Disclaimer
KnB chara is belong to Fujimaki Tadatoshi
Harry Potter setting is belong to J.K Rowling


Musim gugur yang berangin di bulan Oktober. Hari-hari yang berlalu tampak berjalan sebagaimana mestinya; belajar di kelas dengan para profesor, mengerjakan PR yang bertumpuk-tumpuk, patroli prefek, dan beberapa hari yang lalu adalah waktu uji coba Quidditch. Hyūga tak pernah sekalipun melewatkannya kendati terasa menjadi begitu membosankan setelah enam tahun. Satu-satunya hal yang paling membuatnya bersemangat adalah Quidditch–meskipun ia bukan bagian –ehm–patroli mungkin bisa menjadi salah satunya. Bukan seperti yang kalian pikir–tentu saja–well, memergoki murid yang melanggar peraturan itu cukup menyenangkan!

Hyūga menggaruk pipinya sementara tangan kanannya menyuapkan sesendok kentang tumbuk ke dalam mulutnya. Melewati beberapa manusia yang berjejer di sampingnya, Wakamatsu nampak melakukan kebiasaannya lagi–memarahi Aomine, yang malas latihan karena sohib tercintanya sedang meringkuk di Sayap Rumah Sakit lantaran terhantam bludger secara tak sengaja. Sang Kapten Quidditch Gryffindor di sekitar mereka nampak tak acuh tak acuh terhadap pertengakaran itu.

Hyūga hanya berharap agar Kagami cepat pulih–otomatis lengkingan Wakamatsu tak perlu mengganggu sepasang telinganya lagi.

"Pertandingan pertama sebentar lagi, kau tahu tidak?! Kita melawan Slytherin!" Wakamatsu memberang, sementara Aomine hanya memandangnya dengan malas.

"Heh, jadi kau masih trauma dengan si Hanamiya itu, ya?" Aomine menyeringai ketika kata-katanya itu memunculkan kedutan di dahi lawan bicaranya.

"Aku. Tidak. Seperti itu! Dengar itu, Ahomine!"

Hmph, Hyūga menahan kikikannya sendiri. Ahomine dan Bakagami. Dipikir-pikir persahabatan absurd Aomine dan Kagami benar-benar sebuah takdir.

"Tsk, mendokusei," Aomine menggumam. "Masih ada waktu sampai kunjungan Hogsmead. Aku akan latihan setelah Kagami keluar dari rumah sakit."

"Kau ..." Wakamatsu mengepalkan tangannya dan sebelum kegaduhan lain terjadi, kapten mereka akhirnya angkat bicara.

"Oi, oi, Wakamatsu, hentikan itu!"

"Nijimura! Kau membelanya lagi dan dia akan semakin ngelunjak!"

Nijimura memutar mata, "Kagami tidak akan lama di rumah sakit. Kau tahu itu, kan. Lagipula Aomine banyak berjasa atas kemenangan-kemenangan kita. Jangan memperpanjang keributan tak penting ini."

"Apa?! Kapten!"

"Oi, suaramu membuat kita semua diperhatikan!" Mibuchi Leo menggerutu. Benar saja, beberapa anak Ravenclaw memerhatikan dengan raut terganggu. Hayama Kotarō yang duduk paling dekat dengan mereka meringis menyesal pada mereka.

Ah, ngomong-ngomong tadi Aomine berkata soal kunjungan Hogsmead. Hyūga mendadak jadi kepikiran. Kunjungan Hogsmead adalah satu-satunya waktu yang bisa para murid gunakan untuk sejenak keluar dari lingkungan kastil tua Hogwarts. Untuk mereka yang senang dengan dunia luar, tentu menjadi sebuah hal yang ditunggu-tunggu. Hyūga tidak seperti itu sebenarnya, tetapi untuk beberapa alasan ia merasa antusias–antusiasme yang aneh.

Matanya tetiba melirik dengan sendirinya ke sosok gadis berambut coklat di depannya. Teman sekelas dan rekan sesama prefeknya, Aida Riko. Gadis itu habis selesai merengut terhadap keributan yang terjadi sebelumnya. Mengaitkan soal Hogsmead dengan Riko, Hyūga merasakan sentakan di jantungnya secara tiba-tiba.

Hyūga telah mengenal Riko sejak Hogwarts Express membawanya untuk pertama kalinya. Saat itu ia tak bisa menemukan kompartemen kosong yang bisa ditempati dan Riko dengan baik hatinya menawarkan Hyūga duduk bersama. Beberapa menit yang canggung segera berubah setelah beberapa murid baru lain ikut nimbrung di kompartemen mereka–yang ternyata mereka adalah teman-teman sepermainan Riko. Hyūga yang agak pendiam menjadi sosok pendengar saja ketika Riko, Koganei Shinji, Izuki Shun, Tsuchida Satoshi, dan Kiyoshi Teppei saling bertukar cerita. Hanya satu orang yang Hyūga tidak pernah mendengar suaranya hingga eksistensinya hampir terlupakan, Mitobe Rinnosuke.

Hyūga jadi cukup banyak mengetahui tentang Riko sejak itu. Kemudian entah bagaimana mereka menjadi sepasang teman yang jarang terpisah, terutama sejak mereka mulai–hampir-selalu–menjalankan tugas prefek bersama. Orang-orang bahkan merasa heran ketika melihat ia berjalan sendirian. Hyūga tak pernah ambil pusing soal itu sampai ketika Tsuchida nyeletuk soal kedekatan Riko dengan teman sebangkunya yang seorang cowok Hufflepuff akhir-akhir ini. Sejak saat itu, entah mengapa ia menjadi begitu sentimen dengan Himuro Tatsuya dan mengkhawatirkan Riko di sepanjang kelas-kelas yang mereka lalui.

Tsuchida bilang ia hanya cemburu.

Hah? Cemburu? Yang benar saja!

Begitu hatinya berkata. Hyūga mungkin berusaha menyangkal dan menolak mengakui bahwa ia menyangkal soal kecemburuan yang Tsuchida maksud. Ia mungkin hanya ... cemas. Walaupun Hyūga tak mengerti apa yang ia cemaskan. Kecemasan dengan setitik kekesalan yang abnormal di dalamnya. Bahkan perasaan itu tak muncul ketika mengetahui bahwa Riko dan Kiyoshi pernah berkencan selama tahun kelima mereka.

Kemudian hal aneh lain yang Hyūga rasakan adalah Riko nampak semakin cantik di matanya. Apa mungkin Riko mulai berdandan? Tapi sepertinya tidak. Ah, Hyūga tak bisa memutuskan. Dan tentang Hogsmead ... Hyūga belum pernah sekalipun ke Hogsmead tanpa Riko. Bisa dibilang seperti itu karena di masa Riko dan Kiyoshi pacaran, Hyūga kebetulan menolak pergi ke Hogsmead dan lebih suka berjalan-jalan ke kawasan pertokoan di London secara diam-diam atas ajakan Izuki demi menemaninya memburu buku lelucon muggle yang didambakan.

Sebuah ide aneh yang sempat di tepis dari otaknya kini bercokol di sana akibat Izuki mengomporinya suatu hari, di kelas Jimat dan Guna-guna.

"Kenapa tidak kencan saja dengannya sekalian, Hyūga. Mumpung dia sudah selesai dengan Kiyoshi," Izuki berkata dengan berbisik sambil melambaikan tongkat sihirnya ketika mereka tengah mempelajari mantra Aguamenti.

Hingga saat ini, Hyūga masih terus memikirkannya tanpa membuat langkah. Ia tidak yakin semuanya akan berhasil jika ia mengajukan keinginannya untuk meningkatkan jenjang hubungannya dengan Riko. Bukankah Riko hanya menganggapnya sebagai teman? Hyūga takut Riko tidak akan merasa nyaman dengan perubahan mereka.

Gadis itu baru saja usai berfokus dengan kertas jadwalnya. Kini ia tengah menenggak jus labu kuningnya, lalu memandang Hyūga.

"Hyūga-kun, apa yang sedang kaupikirkan?" Riko bertanya.

Hyūga sedikit gelagapan karena sepertinya Riko menyadari Hyūga memandanginya terus tanpa kedip. "Ah, tidak ada apa-apa, Riko. Hanya masalah PR."

"Hmm, apa kau belum menyelesaikan esai Sejarah Sihir? Hei, pelajarannya siang ini loh," kata Riko.

"I-itu ..." aku sudah menyelesaikannya, Riko, "aku memikirkan beberapa hal untuk merevisinya sedikit."

"Begitu," ujar Riko paham. "Ayo, sebentar lagi masuk." Mereka berjalan berdampingan untuk menghadiri kelas pertama mereka pagi ini.

Lagi-lagi Hyūga belum memutuskan untuk membuat langkah.


Sore itu Hyūga bebas karena tugas-tugas rumah yang ber-deadline dekat telah selesai ia kerjakan. Ia memutuskan menonton tim Gryffindor latihan di stadion Quidditch. Hyūga naik ke tribun terdepan dan menemukan dua anak Gryffindor melambai kepadanya mengajaknya bergabung.

"Ah, melihat Furihata, ya?" tanya Hyūga pada mereka yang mengangguk membenarkan.

"Senpai sendirian ke sini?" tanya Fukuda, dia termasuk anggota prefek kelas lima.

"Ya. Riko sedang sibuk di perpustakaan," jawabnya. Sibuk bersama Himuro Tatsuya, dalam hatinya menambahkan sambil mengabaikan perasaan digigit semut di tempat yang sama.

Kemudian mereka teralihkan dengan sapu terbang para pemain Quidditch asrama mereka yang bermanuver di udara. Tim dibagi menjadi tiga lawan tiga sebab dua Chaser sekaligus ace mereka, Aomine dan Kagami, tengah absen. Latihan berlangsung hingga menjelang makan malam. Hyūga sudah kembali ke asrama untuk mandi dan berganti baju. Ia belum menemukan Riko di ruang rekreasi sama sekali.

Ia menanyakan hal tersebut kepada beberapa anak kelas satu yang tengah mengerjakan PR mereka di dekat perapian yang menjawabnya dengan ketidaktahuan. Hyūga menyimpulkan bahwa Riko memang belum kembali. Ada keinginan untuk menyusulnya ke perpustakaan, tetapi sesuatu menahannya dan ia pikir itu terlalu berlebihan. Akhirnya Hyūga memutuskan menunggu hingga tak berapa lama kemudian Riko muncul dari lubang lukisan Nyonya Gemuk.

"Riko," Hyūga tak tahu ia memanggil namanya untuk apa, yang jelas ia sedikit lega.

"Hyūga-kun," balasnya. Di sebelah tangannya ada dua buku dan segulung perkamen, di tangan satunya pena bulu dan botol tinta. "Aku akan bersiap untuk makan malam."

"Hm, tentu," isyarat alami bagi mereka untuk pergi bersama.

Mereka berjalan ke Aula Besar untuk makan malam. Riko sudah nampak segar dengan pakaian kasualnya, rambutnyapun wangi. Hyūga tetiba merasakan dorongan kuat untuk menanyakan soal 'belajar bersama' Riko dan Himuro.

"Mmm, tadi gimana belajarnya?"

"Eh? Biasa saja kok," kata Riko. "Kami diskusikan soal-soal Arithmancy yang sulit, yang mungkin muncul di ujian nanti. Himuro-kun benar-benar banyak membantuku!"

Kegembiraan Riko semakin membuat Hyūga khawatir. "Kita baru saja mulai tahun ajaran baru, kan? Bukankah masih lama?"

"PR akan semakin banyak membebani kita, Hyūga-kun. Aku hanya tidak mau waktu senggang menjadi sia-sia," kata Riko.

Andai kau tahu bukan itu yang kumaksud, Riko.

Dengan perasaannya yang seperti ini, Hyūga jadi waswas sendiri kalau perkataan Tsuchida dan Izuki memang benar adanya. Ia tidak mungkin, kan, jatuh cinta pada sahabatnya sendiri? Apalagi Riko tak pernah menunjukkan sedikitpun pertanda untuknya. Ini pasti hanya akan jadi kisah cinta yang bertepuk sebelah tangan.

Kegalauan ini berlangsung selama beberapa hari. Hari-hari menjadi terasa tidak menyenangkan dan nampaknya disadari oleh teman sebangkunya, Izuki. Hyūga menjadi sangat pendiam dan fokusnya pada pelajaran meningkat dengan mengerikan. Izuki mulai berhenti dari kebiasaannya membuat plesetan kata yang biasanya hanya membuat Hyūga kesal–Hyūga mensyukuri ini. Ia beberapa kali mencoba berbicara dengan Hyūga di tengah-tengah pelajaran Sejarah Sihir yang mengundang kantuk, namun berbalas hening.

"Hyūga, kacamatamu retak," bisik Izuki.

Hyūga segera terkesiap kesal, "Jangan bercanda, kacamataku baik-baik saja, d'aho!" sambil melirik hati-hati pada guru hantu mereka di depan kelas. "Apa yang sedang coba kau cari dariku, Izuki?"

"Itu karena kau diam terus sejak pagi, dan kau tahu apa yang kuinginkan sekarang," kata Izuki.

"Aku diam karena kita sedang belajar, d'aho," Hyūga mencelupkan pena bulunya ke dalam botol tinta. "Dan aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan."

Izuki masih mencoba mengorek informasi darinya hingga kelas berikutnya. Jika di saat-saat seperti ini, Hyūga menyesali mengapa ia memiliki banyak kelas yang sama dengan Izuki. Namun berhubung kali ini Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam, Izuki mendadak jadi anak baik dan tidak berbisik padanya sedikitpun sepanjang pelajaran demi mengamankan dirinya dari ancaman pengurangan poin dan detensi dari Profesor Snape.

Tetapi ini nampak memberinya ide menjengkelkan dengan terus mengikuti Hyūga padahal kegiatan belajar telah usai. Ini membuat Riko memberi mereka pandangan aneh lantaran Izuki memutuskan makan malam di meja Gryffindor.

"Oi, mejamu bukan di sini, Izuki!" Hyūga menumpahkan kekesalannya. "Kau membuatnya bertambah sempit!"

"Jangan begitu, Hyūga. Ini, kan, salahmu juga," Izuki membalas sambil mengambil dua potong paha ayam.

"Ada apa dengan kalian?" Riko bertanya dengan heran. Izuki mengangkat bahunya, Hyūga memalingkan wajah.

Kagami, yang telah berada di samping Riko (entah kapan), tetiba bersuara, "Eh? Izuki senpai, kenapa tidak di meja Ravenclaw?" di sampingnya, Aomine menggigit sosis panggang sambil memerhatikan mereka.

"Kagami! Jangan lupa sabtu nanti Ravenclaw versus Gryffindor loh! Aomine, kau juga!" Izuki berkata semangat kepada duo aho-baka itu.

"Eh? Bukankah itu untuk pertandingan kedua? Kami akan melawan Slytherin dulu," kata Kagami.

"Benarkah?" Izuki kaget, lalu dia menerawang. Hyūga mencibirnya samar-samar. Katanya kapten, tapi tidak hafal pertandingan sendiri.

"Izuki, cepat habiskan makananmu dan kembali ke mejamu!" tukas Hyūga.

"Sudah kubilang kau belum memberikan keinginanku," Izuki berujar cuek.

"Bicara apa lagi kau, hah?! Sudah cepat pergi sana!"

"Riko, lihat dia. Tempramennya semakin mengkhawatirkan," Izuki geleng-geleng kepala.

"Teme ..."Hyūga menggeram, urat dahinya berkedut. Ia harus segera menyingkirkan si mata elang itu sebelum dia bicara yang macam-macam pada Riko.

"Hyūga-kun, memang apa yang Izuki-kun inginkan?" Riko bertanya.

Ck! "Jangan dengarkan dia, Riko," Hyūga meneguk jus di pialanya, mencoba lebih tenang. "Izuki ikut aku setelah ini."

Izuki tersenyum, "Nah, begitu dong!" ia menepuk-nepuk bahu Hyūga yang mendengus.

Hyūga membawa Izuki menjauhi Aula Besar setelah acara makan mereka selesai. Di undakan batu di Aula Depan yang sepi, Izuki mulai menanyakan hal yang ia penasaran sejak tadi pagi.

"Kau itu tidak bisa kasih aku waktu sejenak saja," Hyūga menggerutu. "Jangan coba-coba bicara sembarangan tentang aku di depan Riko!"

"Oh, jadi ini benar tentang dia?" kata Izuki mendadak bersemangat. "Melihat tingkahmu sepanjang hari ini, kau sepertinya terlampau galau–tunggu! Terlampau, galau. Kitakore!"

"Jangan mulai, Izuki!"

"Oke, oke. Jadi, ada apa dengan Riko sampai kau galau begini, eh?" Izuki menyandar pada dinding batu Aula Depan.

Hyūga masih enggan mengatakannya, tapi jika sudah seperti ini ...

"Bukan dia, tapi aku."

Alis Izuki naik sebelah.

"Aku ..." Hyūga meragu. "... aku tidak tahu, tapi kupikir ... sesuatu telah berubah."

Angin berembus melambaikan rambut dan dasi berbeda warna mereka.

"Hyūga, kau ..."

"Kupikir perasaanku untuk Riko bukan lagi sebagai teman, Izuki," pipinya panas ketika memperjelas maksudnya, jantungnya berdebar-debar meski gadis yang tengah dibicarakan tidak ada di sekitar mereka. "Aku tidak tahu ini muncul sejak kapan."

"Dugaanku kau menjadi sangat sebal dengan Himuro. Aku benar, kan?" kata Izuki.

Hyūga menggumam tidak jelas yang mengundang tawa Izuki.

Beberapa saat mereka dilanda keheningan sebelum Izuki buka suara, "Kau harus kejar dia, Hyūga!"

Hyūga menoleh kepada Izuki. Hyūga memandangnya setengah melamun karena ada bayangan wajah Riko di kepalanya yang menyebabkan debaran jantungnya meningkat.

"Sebentar lagi kunjungan Hogsmead," kata Izuki. "Lakukan secepatnya sebelum kau didahului!"

Hyūga terdiam sejenak. "Mmm, aku selalu ke Hogsmead bersamanya dan kadang-kadang juga kau. Jadi, apa bedanya?"

"Perbedaannya adalah tujuan dan bagaimana cara kau mengajaknya."


Hyūga dan Riko kembali ke asrama setelah memotong masing-masing lima poin dari dua anak kelas empat yang ketahuan menyihir lukisan Nyonya Gemuk dengan mantra pembesar gigi. Alasan yang sangat menggelikan dan cukup menggiurkan bahkan bagi Hyūga sendiri. Mereka lelah dengan usaha Nyonya Gemuk yang terus menyanyikan lagu, yang mereka anggap bak lagu pengundang bala, dengan suara melengking menyakitkan siapapun yang mendengarnya. Sekali waktu, Hyūga pernah melihat anak kelas satu mengalami penurunan fungsi sensorik selama satu malam lantaran mendengarkan suara Nyonya Gemuk yang menahannya masuk ke ruang rekreasi.

Hayama tengah melempar-lempar kacang pada Nebuya ketika Hyūga turun dari lubang lukisan. Nebuya berseru padanya untuk berhenti melakukan hal yang sama seperti orang-orang zaman dahulu untuk mengusir roh jahat di malam Halloween. Mibuchi di sisi lain menggerutu karena Hayama menyampahi ruang rekreasi, Riko ikut mengomporinya dengan ancaman detensi. Hyūga menjatuhkan tubuhnya ke sofa yang paling dekat dengan perapian, kebetulan di sebelah Nijimura yang tengah melakukan perawatan pada sapu terbangnya.

"Berapa tangkapan kali ini, Hyūga?" tanyanya mengacu pada para pelanggar peraturan yang terjaring patroli mingguan.

"Tidak banyak," jawabnya. "Suatu kemajuan, bukan?"

Nijimura terkekeh pelan, "Tentu saja."

"Nijimura-kun, Madam Hooch berpesan agar kau tidak melupakan tanggungjawabmu soal bludger yang hancur sore tadi," Riko berkata.

"Ah, si Bakagami itu ..." Nijimura mengernyit. "Ya, ya, I got it. Asal serpihannya terkumpul saja."

Berdasarkan cerita Riko, Hyūga mengetahui insiden bludger yang Kagami hancurkan saat latihan Quidditch. Bludger yang Nebuya pukul mengarah pada Aomine yang saat itu menjadi lawan dan hampir mengenainya. Nampaknya Kagami mencoba agar Aomine tak sampai bernasib sama dengannya sehingga ia memantrai bludger itu dengan Expulso. Madam Hooch marah-marah dan menyuruh Nijimura, selaku kapten, bertanggungjawab atas ulah anak buahnya. Entahlah, padahal Hyūga pikir mudah saja memerbaikinya dengan Reparo.

"Hm," Riko mengangkat bahu, lalu ia bersimpuh di depan perapian dan mendekatkan telapak tangannya ke bara.

Hyūga merasakan lengannya disikut. Nijimura, si penyikut, berkata padanya pelan, namun cukup untuk semua orang di sekitar mereka mendengar, "Jahat sekali kau, Hyūga."

Hyūga menaikkan sebelah alisnya tak paham. Nijimura menghela napas panjang, Hayama menahan kikikan, sementara Nebuya berdecak pelan sambil menggeleng-geleng kepala, dan Mibuchi berdesis. Hyūga makin tak paham.

"Apa?" ia bertanya. "Kenapa?"

"Kau benar-benar cowok payah," Nijimura menerangkan, namun Hyūga masih belum tercerahkan.

Kemudian Riko berpamitan untuk kembali ke kamarnya, meninggalkan lima remaja laki-laki itu. Hyūga tambah penasaran mengapa mereka bersikap semakin mencurigakan, terutama setelah Riko menghilang dari balik tangga.

"Kenapa sih kalian?"

"Bagaimana bisa kau membiarkan seorang gadis kedinginan sampai ia harus menunggu kembali ke asrama hanya untuk menghangatkan diri?" Mibuchi akhirnya memberi penjelasan yang memuaskan.

"Hah?" Hyūga tiba-tiba merasa tertampar. Benarkah Riko sejak tadi kedinginan? Dan aku tidak menyadarinya sama sekali?

Ia kemudian merasakan pukulan yang keras sekali di bahunya, ulah Nebuya yang memang tak kira-kira dalam hal kekuatan otot. Nebuya berkata, "Kau harus lebih peka mulai sekarang, Hyūga."

Apa?! Nebuya sekarang juga ikut-ikutan?!

"A-aku ..." Hyūga tak berniat melanjutkannya karena memang tak tahu apa yang harus dikatakan. "Lagipula ke-kenapa aku yang harus melakukan itu? Kami tidak pacaran hingga harus melakukan hal-hal macam begitu."

"Ah!" Hayama berseru. "Bagaimana jika kuberitahu satu hal? Kami tidak pernah menyebutkan apapun soal pacaran, kan, Hyūga?"

Mibuchi menyambung dengan seringai, "Aku mengatakan soal cara memperlakukan perempuan dengan jantan, Junpei-chan."

Sesuatu menyentak dadanya seketika. Sepertinya Hyūga mengartikannya terlalu jauh dan membuatnya menjadi deg-degan sendiri karena khawatir jika mereka mencium aroma lain dari alibi Hyūga tadi. Kumohon, semoga mereka tidak sadar!

"Oh, o-oke ... aku mengerti, Madam Mibuchi-san," jawab Hyūga berlagak tak terpengaruh dengan menekankan sapaannya untuk Mibuchi karena cowok flamboyan itu memanggilnya dengan panggilan seperti itu.

Tetapi bagaimanapun, nasehat berkedok sindiran itu mau tidak mau terpikirkan oleh Hyūga sepanjang malam. Ia hampir-hampir menyalahkan dirinya sendiri perihal ketidakpekaannya terhadap gadis yang tanpa sadar telah disukainya itu. Sikap Riko yang selalu independen dan bersahaja membuat Hyūga tak bisa melihat kelemahannya. Ia suka dengan kemandirian Riko sebagai perempuan. Pola pikir Hyūga mengatakan bahwa Riko tidak akan suka jika orang lain memanjakannya yang mengindikasikan kelemahannya.

Pemikiran itu membawa Hyūga pada satu hipotesis. Mungkinkah Riko tidak memiliki perasaan lebih padanya? Hyūga berpikir tipe gadis seperti Riko pasti memiliki prinsip lain soal hati. Apabila perempuan lain mungkin hanya akan menunjukkan kode-kode untuk memberi sinyal bahwa ia menaruh hati pada seorang lelaki, maka Riko akan cenderung lebih memilih mengungkapkannya secara eksplisit agar cowok yang ia sukai mengerti perasaannya.

Hyūga tidak melihat keduanya sama sekali. Bukankah ini berarti perasaannya tak berbalas?

Hyūga galau lagi. Izuki akan benar-benar menertawakannya. Bahkan juga keempat pria yang tergabung dalam tim Quidditch Gryffindor tadi. Mungkin Himuro Tatsuya akan menari heboh merayakan penderitaannya. Melihat kedekatan mereka berdua, Riko dan Himuro, Hyūga memiliki asumsi bahwa Riko sebenarnya naksir Himuro.

Hyūga gegulingan di kasurnya.

Dengkuran Hayakawa menemani malamnya yang suram. Hyūga mempertimbangkan sekali lagi saran Izuki yang terakhir. Ajak Riko ke Hogsmead sebelum orang lain–red: Himuro–mendahului. Karena lusa adalah kunjungan Hogsmead yang pertama dalam tahun ajaran ini, lalu dua hari berikutnya lagi adalah Halloween.

Esok harinya Hyūga benar-benar memersiapkan dirinya untuk itu. Meskipun ia kurang tidur semalam, ia akan berusaha makan yang banyak agar tidak tampak loyo saat akan bicara pada Riko. Oh, persiapan layaknya akan perang saja. Yah, perang sih, bukan perang sungguhan, tetapi ini adalah perang sepihak yang konyol–ia akui. Perang batin di mana satu sisinya menyuruh otaknya menggerakkan bala tentaranya untuk menonjok Himuro karena pria cantik itu duduk terlalu dekat dengan pujaan hatinya, sedang satu sisi lain menahan keinginan itu demi kemaslahatan bersama.

Kenapa harus Himuro? Kenapa bisa Hufflepuff lagi? Kemarin Kiyoshi, sekarang Himuro!

Batinnya meraung. Sebuah kebetulan yang aneh. Apa Riko punya fetish tertentu pada cowok-cowok Hufflepuff? Apa nanti besok-besok Kasamatsu Yukio yang notabene Ketua Murid? Berhentilah berpikir yang aneh-aneh!

Hyūga berusaha keras menyapu kerisauannya ke belakang otaknya. Bibir Profesor McGonagall yang menipis tampak lebih mengancam keselamatan jiwa dan raganya. Ia akan memikirkannya nanti setelah pelajaran selesai.

Saat itu, Hyūga merasa memiliki kesempatan yang bagus untuk meminta Riko saat itu juga. Mumpung koridor sedang sepi dan belum ada tanda-tanda tubuh kecil Profesor Flitwick muncul. Namun sialnya, Izuki malah keburu menariknya menjauh dari Riko untuk menceritakan tentang buku lelucon keluaran terbaru.

Gagal.

Kesempatan kedua, Hyūga mencobanya lagi saat istirahat makan siang. Walaupun agak kurang tepat karena mereka sedang dilanda lapar, tetapi setidaknya tidak ada Izuki yang mengacau. Namun setelah makan selesai, Riko malah dipanggil Profesor Slughorn ke ruangannya dan tidak kembali hingga pelajaran selanjutnya dimulai.

Gagal.

Padahal ia sudah ketar-ketir setengah mampus demi mengutarakan maksudnya. Rasanya tuh kayak ada Dementor di sekelilingnya; dingin-dingin gimana gitu. Disertai keringat dingin yang membuat tangannya licin. Dan ia harus menanggung perasaan menyebalkan itu berturut-turut seharian. Ayolah! Waktu semakin sempit nih!

Hyūga masih belum menemukan waktu yang pas. Sekarang ia malah tengah menggeram kesal akibat kerjaan Peeves yang melemparinya dengan tepung hingga membuat matanya kelilipan. Ia mengancam akan memanggil Baron Berdarah kalau tidak mau berhenti mengganggunya. Tak takut dengan ancamannya, Peeves malah mulai melemparinya lagi dengan balon-balon air yang entah ia dapat dari mana. Hyūga akhirnya mengeluarkan tongkatnya untuk menakut-nakuti Peeves dan membuahkan hasil.

Keadaannya begitu kacau sekarang. Baju dan wajahnya lengket oleh tepung basah. Baru saja ia hendak memerbaiki penampilannya, ia tak sengaja menginjak tali sepatunya sendiri, lalu terpeleset karena genangan air. Wajahnya mengahantam lantai batu terlebih dahulu. Ia mengerang, hidungnya pasti berdarah. Kacamatanya juga terasa menekan keras bola matanya.

"Tho-longg ..." ia berkata di sela lenguhan sakit. Berharap seseorang datang, siapa saja.

Kemudian tiga orang siswa segera menghampirinya. Hyūga tak bisa melihat jelas wajah-wajah mereka. Dalam hati ia berterima kasih, kesadarannya menurun karena nyeri luar biasa di hidungnya. Tak terasa, ia sudah dibaringkan di kasur Sayap Rumah Sakit dan Madam Pomfrey yang kini menggumamkan mantra penyembuhan.

"Apa sih yang kaulakukan sampai bisa begini, Mr Hyūga?" tanya Madam Pomfrey ketika meracik sesuatu.

"Saya ... tersandung," Hyūga menjawab pelan. Matanya terasa aneh ketika ia berkedip. Hidungnya masih sakit, tetapi ia yakin darah sudah berhenti dan bentuknya sudah kembali seperti semula. Namun sekarang kepalanya yang sakit.

"Tersandung? Seperti anak kecil saja," komentar Madam Pomfrey. "Lalu keadaanmu sangat berantakan. Tepung di mana-mana. Apa kau sedang berulangtahun?"

Hyūga mendengus ringan, "Tidak, Madam. Ini karena Peeves."

"Ah, hantu itu memang ..." Madam Pomfrey datang padanya dengan segelas ramuan di tangannya. "Minum dan istirahat sampai kau benar-benar pulih. Aku sudah menghubungi Miss Aida tentang keadaanmu."

"Terima kasih, Madam Pomfrey."

Hyūga meminum ramuan tidak enak itu setengah hati karena Madam Pomfrey mengawasinya dengan tajam. Menghabiskan secepat mungkin agar Madam Pomfrey tidak berlalu dari pengawasannya. Hyūga sebenarnya ingin langsung pergi, tetapi beliau tidak mengizinkan sampai setidaknya menjelang makan malam. Ia bahkan dilarang untuk mengenakan kacamatanya selama beberapa jam. Oh ya, kacamatanya pecah, tidak?

Sesosok manusia mendekati ranjangnya ketika Hyūga memastikan kacamatanya baik-baik saja.

"Hyūga-kun!" seru Riko setelah tertangkap dengan jelas oleh penglihatannya. Riko duduk di kursi pengunjung, menatapnya heran sekaligus cemas. "Apa yang terjadi?"

Hyūga terkekeh lemah, "Cuma Peeves. Biasa, berulah lagi di saat ada kesempatan. Mungkin ia dendam padaku karena sering mengancamnya dengan Baron Berdarah."

"Kau ini ..." gumam Riko.

"Apa hidungku tampak normal?" Hyūga bertanya yang dijawab anggukkan Riko. "Berhentilah menatapku seperti itu. Malam nanti juga aku kembali."

Riko menunduk. Hyūga memerhatikannya diam-diam. Riko nampak ganjil, tetapi ia tak bisa memutuskan di mana letak keganjilannya. Hening suasana di antara mereka selama beberapa jenak. Hanya ada mereka berdua di sana, di Sayap Rumah Sakit.

"Riko ..."

Riko mendongak dengan pandangan bertanya. Hyūga pikir ini saat yang tepat. Tak ada Izuki, Profesor Slughorn, bahkan Peeves.

"Mmm ..." pipinya pasti memerah sekarang. Ia beranikan diri meraih tangan Riko, menggenggamnya di atas pahanya. Jangan! Kumohon, jangan berkeringat sekarang! "Riko, besok adalah kunjungan Hogsmead."

Riko, yang rautnya sedikit terkejut karena genggaman Hyūga, merespon, "Ya?"

"Aku ..." Hyūga menarik napas samar-samar. "Maukah kau ke Hogsmead denganku?"

"Eh?" Riko kini benar-benar terkejut. Kelihatannya ia tahu maksud Hyūga. Tentu saja, karena ini merupakan yang pertama bagi mereka. Mereka telah melalui banyak waktu bersama, baik di Hogwarts maupun Hogsmead.

"Kalau kau ... tidak keberatan ..."

Kini Riko tersenyum, Hyūga melihat rona di pipi Riko. Rona yang tak biasa, lain daripada yang lain. Ada setitik kebahagiaan muncul di hatinya melihat itu, serta detak jantungnya meningkat yang anehnya terasa menyenangkan.

"Tentu, Junpei."

Dengan ini, Hyūga meyakini maksudnya tersampaikan.


A/N:

Sorry, yang Kasamatsu saya hapus. Saya belum punya gambaran penyelesaiannya T_T Saya datang lagi dengan oneshot baru! Kali ini Hyūga-Riko! Semoga suka dan terhibur!

Untuk Lien Liu, ini hanya imajinasi absurd-ku :'D Petunjuk asrama Kuroko sudah saya munculkan di chapter pertama hihihi! Mengenai pairing, saya hanya mengikuti imajinasi saya T_T terutama soal pair sho-ai, saya gak pandai soalnya T_T Mungkin ada hint-hint terselubung :'D

Terima kasih banyak untuk semua yang bersedia membaca, mem-favorit, mem-follow, dan me-review fanfic ini :')