Author : Im Soo Jung

Cast : Jungkook, Jimin, all BTS member.

Genre : Fantasy, Romance

Disclaimer : saya tidak memiliki para member, namun fic ini milik saya.

Warning : Many Typos, yaoi, dan sebenarnya masih banyak lagi.

_Don't Like Don't Read_

Ini sekitar setahun yang lalu, semenjak Jungkook yakin bahwa ia sudah tidak memiliki hati lagi. Hatinya sudah kebas pada apa pun yang terjadi, tidak peduli itu menyangkut kebahagian atau kesedihan. Entah itu pada dirinya sendiri, atau pada orang lain.

Terakhir kali Jungkook menyapa orang-orang adalah dua bulan yang lalu, tepat saat kelulusan SMA-nya. Catat, ia sudah tidak pernah lagi tersenyum. Seberapa banyak kebahagian, seberapa banyak prestasi, seberapa banyak keberhasilan yang terpijaki olehnya, ia tidak pernah tersenyum. Bahkan pada dirinya sendiri.

Tidak memiliki perkejaan, statusnya hanyalah seorang pengangguran aneh. Walaupun ia punya cukup banyak wanita yang berteriak histeris padanya ketika ia berada di luar rumah, ia tidak pernah ingin berjalan pada wanita-wanita itu dan menjadikannya pacar.

Terserah.

Jungkook tidak peduli.

Ia punya tugasnya.

Ia tidak punya waktu untuk mengagumi seseorang. Ia tidak punya waktu untuk bekerja di kantor, atau berjualan sesuatu. Ia sudah memiliki pekerjaannya sendiri. Yang cukup berat, cukup sulit untuk manusia. Tapi bukankah, laki-laki itu bukan manusia?

"Permisi."

Suara itu terdengar ketika Jungkook masih menelpon atasannya –atau bosnya, atau tuannya, atau apalah– di kamar. Ia mematikan panggilan di ponselnya sebelum ia membuka pintu dan menyerngit pada seseorang yang berdiri di depan pintu rumahnya.

"Siapa?" Jungkook menaikkan alis, ditatapnya orang yang sedang tersenyum simpul itu. "Ada masalah?"

"Oh, tidak," laki-laki di depannya menyodorkan setoples manisan rumahan, tersenyum lagi. "Aku tetangga baru, mereka bilang kalau di lantai lima mereka hanya punya dua apartemen."

"Ya," Jungkook tidak peduli.

"Kau satu-satunya tetanggaku, jadi sebagai orang baru, aku ingin kau menerima ini," laki-laki itu masih menggenggam manisan di tangannya, menunggu Jungkook menerima sebelum ia pergi. "Dan oh, namaku Jimin. Park Jimin."

Jungkook menerimanya, walaupun ia tidak makan makanan seperti ini. Ia tidak makan makanan manusia. Apa pun bentuknya.

"Terima kasih," hanya sekedar mempercepat dialog itu, supaya ia bisa kembali melanjutkan pembicaraan telepon yang terputus tadi. "Aku Jungkook."

Jimin mengangguk, sebelum ia berbalik dan berkata terima kasih dan masuk ke dalam apartemennya. Jungkook segera masuk dan membuka panggilan lagi. Melemparkan toples di tangannya pada sofa di dua meter di sampingnya.

"Halo," ia memanggil ketika panggilan sudah kembali tersambung. "Maaf, Seokjin, ada seseorang yang menggagu, kau ingin berurusan dengan manusia kalau saja dia mendengar percakapan kita?"

Jungkook berbincang, sementara ia juga mendengar ribut-ribut dari apartemen sebelahnya, terdengar begitu jelas. Ia yakin laki-laki bernama Jimin itu sedang tersibuk oleh sesuatu seperti menggeret sofa, menggeser lemari, memindahkan kardus. Tentu saja, Jungkook cukup pintar untuk menebak semua itu hanya dengan suara.

Ia bukan manusia, tidak perlu kaget.

.

.

"Oh hai," Jimin mengalihkan pandangannya pada Jungkook ketika mereka bertemu besoknya. Di tangannya ada kantong sampah, dan tubuhnya berkeringat parah. "Ingin bekerja?"

Jungkook berdeham. "Sejenis itulah."

"Semoga menyenangkan," Jimin nyengir, ia masuk ke dalam lift, bersamaan dengan Jungkook juga. "Kau bekerja apa?"

Jungkook tidak menjawab. Tidak perlu menjawab pertanyaan seperti itu. Apa peduli orang-orang tentang pekerjaannya. Itu hanya membuatnya terlihat menakutkan. Jimin mengerti bahwa Jungkook tidak ingin ditanyai, jadi dia mengangguk dan bersenandung kecil sebelum lift mengantarkannya menuju lantai satu.

"Sampai jumpa," Jimin melambaikan tangannya ketika mereka sudah benar-benar berpisah. Tidak ada secuil pun niatan bagi Jungkook untuk membalasnya, walaupun wajah dengan pipi berisi itu membuat dadanya berdesir halus –hal yang sepertinya sudah lama hilang, tidak pernah ada lagi mungkin.

Jungkook sudah masuk ke dalam mobil, bersandar dan menghela napas. Direnggangkannya tubuh, menatap pada dinding yang menangkup lapangan parkir. Ketika kakinya menginjak pedal gas, ia berkata pada diri sendiri, "ini membuatku ingin bunuh diri."

.

.

"Kerjamu bagus," Seokjin menaruh map di meja, memijit pelipisnya. Ketika dirasanya Jungkook belum juga pergi dari hadapannya, ia mengerling dan menunjuk pintu ruangan dengan mata. "Kau bisa pergi sekarang."

"Apa pencabut nyawa bisa dipecat?" ucapan itu membuat Seokjin tertawa singkat, namun Jungkook memberikan keseriusan dalam hujaman manik matanya.

"Bisa," Seokjin menghela, ia mengambil map lagi, membukanya dengan enggan. "Jika kau bertingkah konyol dan membongkar identitasmu ke depan banyak orang, maka kau akan dipecat. Dengan hukuman mati."

"Hm," bukan itu sebenarnya yang ingin didengar Jungkook. "Apa kita tidak bisa jadi manusia biasa?"

"Tidak," Seokjin menaikkan sebelah alis, map yang dipegangnya terjatuh lagi ke meja dan pundaknya merosot turun oleh perasaan lelah ketika seorang perempuan memasuki ruangan dan mendekap tumpukan map lainnya. "Kenapa kau bertanya?"

"Kau tahu jawabannya," jawabannya karena Jungkook ingin menjadi manusia. Berhenti memikirkan kematian orang lain dan hidup tenang sembari menunggu kematian sendiri, bukankah itu lebih baik?

"Aku pernah dengar pencabut nyawa yang kehilangan keahliannya, keabadiannya, ketangguhan dan kecekatannya," Seokjin berpikir sebentar untuk kembali melanjutkan. "Dan pada akhirnya, ia menjadi manusia biasa."

Jungkook membiarkan laki-laki yang lebih tua melanjutkan tanpa ingin menyela, sesuatu seperti ini adalah jawaban-jawaban yang dicarinya beberapa tahun terakhir.

"Tapi aku tidak tahu rincinya, tidak penting untukku," sebuah kekehan kecil meluap dari ucapannya. "Kalau ingin bertanya, kau bisa bertanya pada Namjoon. Seorang petinggi seperti dia tahu semuanya."

Jungkook mengerutkan alis. Tidak menanggapi. Ia mengucapkan terima kasih atas penjelasan itu, kemudian berbalik pergi ketika dirasanya Seokjin tidak akan menggubris ucapan terima kasihnya.

Helaan napasnya mencuat keluar, ditatapnya sekeliling yang dipenuhi laki-laki dan perempuan yang memiliki status yang sama sepertinya ; pencabut nyawa. Berbelok ke arah tangga dan turun, ia melirik pada penjaga pintu yang tersenyum padanya, dan melenggang pergi dari gedung.

Saat ia benar-benar keluar, gedung bertingkat itu telah hilang, digantikan oleh toko kue kecil di penghujung gang sempit yang bertuliskan 'tutup' di depannya. Derak jendela toko mengiringi Jungkook seraya laki-laki itu pergi dan keluar dari gang sempit yang dihimpit oleh dua gedung besar.

Jungkook tidak terlalu tahu siapa yang mengelola sistem keamaanan tempat kerjanya. Tapi Jungkook akui sendiri, bahwa tak ada secuil informasi apa pun yang terbongkar selama ini, bahkan gedung yang disamarkan menjadi toko kue itu tidak pernah sekali pun didatangi orang-orang. Tidak pernah.

Kata-kata Seokjin bergantung dalam pikirannya. Sesuatu seperti menjadi manusia biasa. Oh, ya, Jungkook sangat menginginkannya. Terlepas dari semua hal tentang pencabut nyawa, Jungkook ingin merasakan hari-harinya, menjadi dewasa, dan menikahi seseorang. Ia melihat semua itu selama ini, tanpa bisa merasakannya. Jungkook tidak ingin mengambil nyawa orang lain lagi, ia merasa hidup sebagai pembunuh.

Jungkook akan segera masuk ke dalam mobilnya, ketika kakinya berhenti tiba-tiba dan matanya menatap pada laki-laki yang membagikan brosur pada orang-orang. Matanya mengerjap, berusaha tahu siapa itu. Jimin, kalau tidak salah. Tetangga barunya itu.

Kaki Jimin bergerak menelusuri jalanan, membagikan brosur dan tersenyum pada orang-orang, tertawa sesekali. Terlihat begitu bahagia. Tanpa beban. Tanpa masalah. Jungkook iri.

"Akh."

Jimin terjatuh.

Jungkook menunggu sepersekian detik, untuk melihat siapa yang akan menolong Jimin. Namun bahkan ketika lima detik kemudian, masih tidak ada yang membantu Jimin, untuk berdiri sekali pun. Jadi Jungkook melangkahkan kakinya, berjongkok di depan Jimin sembari memberikan uluran tangannya.

"Ah, terima kasih," Jimin meraih uluran tangan itu, tersenyum senang di antara ringgisannya.

"Kau bekerja di sana?" Jungkook melihat pada selebaran di tangan Jimin, melihat nama toko dalam selebaran itu.

"Tidak," kata Jimin. Tersenyum sebentar. "Hanya membantu teman."

"Hm," Jungkook mengangguk mengerti, tidak terlalu tertarik. "Kau bisa pulang sendiri?"

Jimin mengerutkan alisnya, dan sadar maksud Jungkook. Kedua lututnya luka, dan celana jeans panjangnya robek sedikit hingga darah yang keluar terlihat melalui celahnya.

"Ah, aku baik-baik saja," dan senyuman itu keluar lagi.

"Ingin kuantar?"

"Oh, tidak perlu," Jimin mengangkat tangan, "aku bisa pulang sendiri."

Jimin mengucapkan terima kasih, kemudian berjalan lagi, terpincang-pincang. Dan baru beberapa meter ke depan ia berjalan, kakinya sudah berhenti dan ia berjongkok sambil meringgis kecil.

"Sekali lagi kutanya," Jungkook mengeluarkan sapu tangan dan bergerak untuk menekan luka Jimin, si pendek meringgis sakit. "Ingin kuantar?"

Yah, mau bagaimana lagi?

.

.

Jungkook mengantarkan Jimin sampai ke dalam rumah, kemudian mendudukkan Jimin ke sofa sambil kemudian ia bertanya apakah Jimin mempunyai kotak p3k, atau paling tidak plester.

"Tidak usah, aku bisa mengurusi diriku sendiri," Jimin menggelengkan kepala. Namun Jungkook juga ikut menggelengkan kepala.

"Kau terbiasa menolak bantuan orang lain?"

"Bukan begitu, aku hanya sudah terlalu banyak merepotkanmu."

Ah, benar juga. Jungkook sudah terlalu banyak direpotkan. Kenapa ia sampai ingin mengantarkan laki-laki itu ke rumah padahal biasanya ia tidak akan peduli pada apa pun di sekitarnya.

Ada yang salah.

"Aku tidak merasa direpotkan," Jungkook benar-benar tidak merasa direpotkan, karena entah mengapa, ketika senyuman-senyuman itu terus muncul, Jungkook merasa beban yang memalu pundaknya terasa lebih ringan.

"Apa kau punya kotak p3k?"

Jimin tersenyum, kemudian menunjuk sebuah meja berlaci di dekat sofa tempat ia terduduk. Ia mengulum senyum, berkata pada Jungkook, "aku kira kau orang yang dingin."

Jungkook memang orang yang dingin. Ia bisa dikatakan, cuek. Tidak peduli apa pun. Dan Jungkook sendiri merasa kaget ketika dirinya bisa dengan ringannya melangkahkan kaki untuk menolong Jimin, memberikan uluran tangannya, berkata ia tidak merasa direpotkan.

"Terima kasih," tangan Jimin merabai lututnya yang telah diobati, pada Jungkook yang duduk di sampingnya. "Aku pasti tetangga yang merepotkan."

Dan perasaan hangat itu muncul, menggedor pertahanan dirinya. Jimin yang tersenyum di depannya, sebuah senyum bersahabat. Jungkook merasakan dirinya tidak bisa beranjak untuk beberapa saat, hanya ingin memperhatikan sosok itu saja.

"Sudah waktunya aku kembali," berdiri dari duduknya, Jungkook membungkuk sesopan mungkin kepada Jimin, kemudian melenggang pergi sebelum yang lebih pendek sempat mengatakan sesuatu untuk membalas ucapan itu.

Jungkook merasakan tubuhnya memanas. Oleh apa itu? Perasaan senang?

Ia mendudukkan diri di tempat tidur, memijit pelipisnya walaupun ia tidak merasa pusing. Ia hanya bingung.

Ini sekitar setahun yang lalu, semenjak Jungkook yakin bahwa ia sudah tidak memiliki hati lagi. Hatinya sudah kebas pada apa pun yang terjadi, tidak peduli itu menyangkut kebahagian atau kesedihan. Entah itu pada dirinya sendiri, atau pada orang lain.

Jungkook merasakan, hatinya sudah kembali. Perasaan-perasaan bahagia yang muncul karena orang lain. Perasaan simpati. Empati. Seluruh keruh dalam hidupnya yang panjang, seolah telah terhapuskan walau hanya sedikit oleh si tetangga.

Bukankah ini membingungkan.

Jungkook adalah pencabut nyawa. Yang telah kehilangan hatinya, oleh karena tangannya yang terlalu banyak mengambil nyawa.

Dan sekarang, tubuhnya mendapatkan kembali hati itu. Entah ini baik atau buruk. Tapi hubungan antara pencabut nyawa dengan manusia, tidak pernah berakhir baik.

.

.

TBC

.

.

Saya gak terlalu percaya diri dengan FF ini. Entah kenapa.

Ini terinspirasi dari sebuah anime, jika kalian tahu, judulnya Kuroshitsuji. Di Jepang sana, pencabut nyawa disebut Shinigami. Atau kalau kalian tahu Death Note, pencabut nyawa menyeramkan itu.

Saya lagi galau, ah semua Army sedang galau. Taehyung dan Yoongi sakit. Konser Bangtan hanya berlima. Saya nangis, nyesek. Dan sejenak. Mari kita doakan mereka berdua cepat sembuh.

Saya gak jamin FF ini bakal komplit. Saya itu pemalas. Catat. Ini FF berchapter Bangtan pertama yang saya tulis. Dan saya gak tahu, ini bagus atau enggak. Karena biasanya setiap saya maksa buat bikin FF berchapter, hasilnya tidak pernah baik. Ea.

Oke, ini jadi kepanjangan.

RnR?