Seokjin menggedorkan tangan pada pintu kerja Namjoon –atasannya itu, dan peduli setan dengan pangkat, ia hanya penasaran dan kelewat bosan dengan kelakuan Namjoon yang selalu tiba-tiba itu.

"Masuk, Seokjin, hentikan kebiasaanmu menggedor pintu ruang kerja atasanmu seperti itu."

Setelah suara itu terdengar, Seokjin masuk dengan wajah masam, mendapati Namjoon sedang berdiri di depan jendela besar, menatap ke luar dengan jengah. Laki-laki berlesung pipi itu berbalik tepat ketika Seokjin telah menghentikan langkahnya.

"Ada apa?" Namjoon menaruh sebuah map di tangannya, kemudian duduk di atas meja. Wajahnya tidak menunjukkan reaksi apa pun pada kedatangan Seokjin, hanya menunggu pemuda berbahu lebar itu untuk berbicara.

"Tentang Park Jimin," Seokjin melemparkan map di tangannya pada Namjoon dengan alis berkerut, ia melangkah lagi lebih dekat pada Namjoon. "Apa maksudmu tidak menuliskan sebab kematiannya?"

"Hm," Namjoon mengangkat bahu, menaruh map yang dilemparkan Seokjin di atas map yang lain. Menaikkan sebuah alis. "Kupikir tidak bijak jika Jungkook tahu penyebabnya."

"Maksudmu?"

Tak ada hubungannya kematian Jimin dengan Jungkook selain Jungkooklah yang harus mengambil nyawa Jimin, lantas mengapa harus menyembunyikan hal itu. Membuatnya seperti misteri dan membuat orang penasaran, Seokjin pikir, Namjoon sudah sangat tidak bijak karenanya.

"Aku tidak tahu harus memulai dari mana cerita ini," Namjoon melipatkan tangannya di perut, ikut mengerutkan alisnya pula. Sembari kemudian ia menatap Seokjin untuk meminta sebuah pengertian. "Tapi apakah kau bisa menjaga rahasia ini Seokjin?"

Seokjin berpikir sebentar, berhubung bibirnya seperti ember yang cepat sekali rusak dan bocor, Seokjin tak yakin dapat menyanggupinya. Namun ia mengangguk, meminta Namjoon untuk menceritakan.

"Coba kuingat," Namjoon turun dari meja, berjalan menuju sebuah sisi ruangan dan menatap pada deretan tetua yang memajang pada ruangan itu. "Apakah kau kenal Min Yoongi, Seokjin?"

"Min Yoonggi?"

"Yoongi," memperbaiki apa yang diucapkan Seokjin, Namjoon tersenyum pada laki-laki itu. "Dia juga salah satu pencabut nyawa dari devisi ini."

"Oh, lalu, ada apa dengan si Min Yoongi itu?" Seokjin bertanya, seolah sudah mulai tertarik. Dilihat dari caranya mengambil kursi di depan meja Namjoon dan mulai mendengarkan.

Namjoon menarik sebuah gulungan kertas di sebuah lemari, kemudian berjalan pada Seokjin dan memberikan gulungan itu dengan sangat hati-hati. "Yoongi jatuh cinta pada seorang manusia kala itu."

Seokjin mengerutkan alisnya, membuka gulungan itu sembari terus mendengarkan. Dan di sana, ia melihat sosok asing yang dilukis begitu hati-hati, dan seseorang di sebelah sosok itu yang sangat familiar.

"Jimin?"

"Tepat sekali," Namjoon menghela napas, kembali memutari ruangan kerjanya, seperti sedang mencari-cari bukti masa lalu yang mungkin telah terselip entah di mana.

"Tapi mustahil pencabut nyawa dan manusia bisa bersama," Seokjin mengerutkan alisnya –entah sudah berapa kali alisnya itu berkerut terus menerus. "Dan gulungan ini sudah sangat lama, apakah dia Jimin yang sama dengan Jimin yang kita bicarakan?"

Namjoon hanya tertawa, dan menatap langit-langit ruangannya. "Benar. Itulah letak kesalahan cerita ini."

"Ha?"

"Mungkin akan terjadi kesalahan yang sama seperti ratusan tahun yang lalu, kesalahan yang dilakukan Yoongi, mungkin juga akan dilakukan Jungkook."

Seokjin menaruh gulungan itu di meja kerja Namjoon dan mengurut dahinya. "Aku sama sekali tidak mengerti Namjoon."

Namjoon kembali tertawa, dan itu membuat Seokjin kesal. Ia tidak datang untuk diberikan pernyataan-pernyataan rumit seperti ini, ia hanya perlu dijelaskan sesuatu. Sedang Namjoon menepuk kepala Seokjin pelan. "Dengarkan aku dulu Seokjin."

"Jimin yang sekarang adalah reinkarnasi Jimin tiga ratus lima puluh tahun yang lalu. Tiga ratus lima puluh tahun yang lalu, Yoongi dan Jimin memutuskan untuk bersama, dan berpikir dengan bodohnya bahwa mereka bisa hidup tenang."

"Lalu?" Seokjin memutuskan untuk bersabar menunggu cerita ini selesai, yah, mungkin saja pertanyaannya akan terjawab nanti.

"Jimin mati."

"Tentu saja, dia manusia."

Namjoon tersenyum lagi. "Tahukah kau hukuman mati bagi para pencabut nyawa yang melanggar aturan?"

"Ya, aku tahu," sejenak Seokjin bergidik ngeri membayangkannya. "Apakah Yoongi menerima hukuman itu?"

"Tidak," Namjoon menelemparkan sebuah manik menyedihkan dari matanya, hilang sudah tatapan bijaksana yang selalu ia paparkan.

"Jimin yang menerimanya."

.

.

"Apakah baik-baik saja jika aku tahu semua ini?"

Jimin duduk di sofa dengan tatapannya yang membingungkan. Ia sudah menyiapkan makan malam, dan memberikannya pada Jungkook walaupun Jungkook tidak memerlukan hal manusiawi seperti itu.

"Kalau kau bisa menyembunyikannya," Jungkook mengangkat bahu, ia belum pernah membeberkan identitas dan pekerjaan begitu saja seperti ini, namun mungkin jika Jimin benar-benar menjaga informasi itu, tidak akan terjadi apa-apa.

"Ini semua benar-benar tidak masuk akal," laki-laki yang lebih pendek menyandarkan tubuhnya pada sofa, menatap kosong pada derak-derak jendela yang yang bergetar di belakang televisi.

"Tidak ada yang benar-benar masuk akal di dunia ini," Jungkook mengingatkan, sembari ia tolehkan wajahnya pada si pendek yang masih duduk uring-uringan. "Kau tahu maksudku kan?"

"Hm," Jimin mengangguk, kemudian menatap Jungkook dengan senyum. "Terima kasih sudah menyelamatkanku tadi Jungkook."

"Bukan masalah," Jungkook mengangkat bahu, mendekatkan bokongnya pada si pendek beberapa centi meter lagi.

Mereka terdiam di sana. Melupakan makan malam dan melupakan pembicaraan mereka. Seketika itu, Jungkook merasa asing dengan keheningan dengan sekitar, dan Jimin yang terdiam begitu lama di sampingnya. Sampai akhirnya, sesuatu jatuh di bahu Jungkook yang membuat Jungkook berjengit.

"Jimin?"

Tapi Jimin sudah tertidur, sedikit mendengkur. Melihat itu saja, Jungkook tersenyum dibuatnya –bukan sebuah senyum yang besar, namun bukankah itu hal yang baik? Jungkook memberanikan diri menyeret anak-anak rambut Jimin yang jatuh, kemudian menariknya ke belakang –walaupun tetap saja jatuh pada akhirnya.

Jungkook meremas sofa tempat ia duduk. Menyadari bahwa ada detakan-detakan yang membuatnya sulit bernapas saat itu. Dan wajah Jimin yang terlalu dekat seperti ini membuat Jungkook semakin tidak bisa bernapas lagi.

"Haruskah?" ia bertanya pada diri sendiri, menatap Jimin yang masih terlelap. Ia memajukan tubuhnya, kemudian mempertemukan bibirnya dengan bibir Jimin.

Kesalahan? Jungkook tidak peduli. Jungkook hanya tidak bisa mengendalikan lagi dirinya. Jimin terlalu dekat, Jimin terlalu berbahaya, Jimin, Jimin, Jimin. Hanya itu saja yang ada di pikirannya.

Dan ketika Jungkook baru akan melepaskan ciuman singkat itu, Jimin membuka matanya, dengan pipi yang memerah dengan sempurna. Dengan tatapan yang tak bisa Jungkook artikan sebagai kesenangan atau kemarahan.

Tapi yang jelas, ketika Jungkook kembali ke apartemennya lagi, ia mendapat merah lebam yang lebih pekat dari rona di pipi Jimin. Entah itu tinjuan atau tamparan yang terlempar ke pipinya, yang jelas, entah kenapa Jungkook merasa sakit sekali. Sakit hati, mungkin.

.

.

"Pagi Jungkook."

Jungkook tersenyum, lega karena esoknya Jimin masih ingin menyapanya. Syukurlah, pikirnya, mungkin ia terlalu berlebihan semalam karena berpikir mungkin sehabis kejadian itu ia dan Jimin tidak akan berbicara lagi.

"Maaf untuk semalam," Jungkook menundukkan tubuhnya sendiri, berharap Jimin tidak akan menamparnya lagi karena mengingatkannya tentang kejadian itu.

"Kejadian yang mana, ya?" Jimin mengerutkan dahi, memberikan senyum miring.

"Yang itu," Jungkook sulit untuk mengatakannya, jelas saja. "Ketika aku menciummu."

"Itu ..." Jimin semakin mengerutkan dahinya –kali ini bukan karena bingung, karena ia sedang menahan amarahnya saat itu. Wajahnya kembali merah padam, dan jujur, Jungkook sudah siap memberikan sebelah pipinya untuk tamparan lainnya. "Itu ... kejadian yang mana?"

Yah, mungkin Jimin benar-benar tidak ingin diingatkan tentang semalam, jadi Jungkook menggeleng dan memutuskan untuk tidak mengungkitnya lagi. "Tidak, tidak jadi. Lupakan saja."

Sebuah senyum kecil terukir di bibir Jimin begitu mendengar Jungkook mengatakan hal itu. Ia menjulurkan tangannya dan memberikan lebih dari lima lembar kupon padanya.

"Ayo jalan-jalan!"

Jungkook tersenyum, mengambil kupon itu. "Hm, ayo."

.

.

TBC

.

.

Hola!

Maaf saya baru up lagi. Sorry juga buat ChimSza95 yang udah ngingetin saya dan saya tetep aja gak ngelanjutin FF ini. Maaf /bungkuk/

Di chapter ini saya ngebuka sedikit informasi dan gak saya kasih action sama sekali. Karena mungkin setelah tiga chapter kemarin terlalu serius, kita perlu juga chapter refreshing /ea/

Sebenarnya saya pengen juga ngembangin fantasinya, tapi kalo gitu, saya gak bisa sempet ngembangin hubungan Jungkook sama Jimin, kan kasian kalo mereka statusnya cuma 'orang yang bakal nyabut nyawa' dan 'orang yang bakal kecabut nyawanya'.

Saya mau curcol, uhuk. Tapi sudahlah, kepanjangan entar.

Terima kasih buat yang baca, favorite, follow, apalagi review. Kalian super heroku.

Uh-oh, jangan lupa mampir ke Metallic Memories!

Now, please, RnR?