Chapter 1

Kuroko menatap jam tangannya. Desahan pelan terdengar dari bibir mungil lelaki itu. Ini sudah dua jam lewat dari waktu janjiannya dengan Akashi. Biasanya pria itu tak pernah terlambat. Tapi sejak beberapa minggu terakhir, Akashi selalu membuat Kuroko menunggu. Lelah berdiri, Kuroko mencoba duduk di kursi halte. merapatkan coatnya mencoba mengusir sapuan halus angin malam. Ini sudah jam setengah dua belas malam. Bis sudah berhenti beroperasi sejak setengah jam yang lalu. Harusnya aku naik bis saja tadi, sesalnya. Tapi Kuroko yang percaya Akashi akan datang menjemputnya, mengabaikan bis-bis yang tak terisi penuh itu. Dan sekarang, dia cukup ragu akan hal itu.

Akashi Seijuro dan Kuroko Tetsuya adalah teman sejak kecil. Dimana pun atau kemana pun Akashi pergi, Kuroko selalu bersamanya. Begitu pun sebaliknya. Mereka sudah selalu satu sekolah sejak tk. Bahkan saat Akashi masuk dalam tim basket smp teikou, Kuroko juga mengikutinya. Walaupun Kuroko harus berusaha 2x lebih keras untuk bisa masuk ke dalam tim utama. Selalu ada Akashi dan selalu ada Kuroko. Kebersamaan mereka berlanjut saat mereka memutuskan memasuki sma seirin. Walaupun beda kelas mereka tetap menghabiskan waktu berdua. Tapi beberapa minggu ini, Akashi mulai berubah. Dan Kuroko benar-benar membenci perubahan Akashi.

Kuroko mendengus. Satuan waktu di tangan kanannya menunjuk kan arah jarum ke angka dua belas lewat. Sekarang dia benar-benar yakin Akashi tak akan datang. Kuroko mengambil tasnya yang tergeletak pasrah di dekat kakinya. Dengan perasaan luar biasa kesal, dia mulai berjalan pulang.


"Tetsuya.. Tetsuya.. Tunggu dulu"

Kuroko mengabaikan teriakan itu. Tak mengacuhkan seorang lelaki berambut merah yang berlari mengejarnya dari koridor kelas. Mengabaikan tatapan dan bisikan para murid yang asik bergosip seakan melihat sebuah telenovela. Tapi tarikan di kerah belakangnya tak ayal membuat langkah Kuroko berhenti. Matanya menatap datar pada sang pelaku yang sedang menstabilkan nafasnya.

"Aku benar-benar minta maaf. Aku lupa harus menjemputmu semalam di halte. Apa kau menunggu ku?" Akashi bicara canggung. Tatapan datar lelaki bersurai biru membuatnya bingung untuk menyimpulkan apakah Kuroko marah padanya atau tidak.

Kuroko menghela nafas "Tidak. Setelah aku mengirim pesan kepada Akashi kun, Kise kun menawari ku untuk pulang dengan mobilnya" bohongnya.

"Ohh.. Syukurlah. Aku cukup khawatir kau bersikeras menunggu ku" kata Akashi lega "awalnya aku tetap ingin pergi ke halte, siapa tau kau masih disana. Tapi ku pikir itu sudah hampir jam dua belas malam , jadi aku langsung pulang saja"

"Langsung pulang? Memangnya Akashi kun dari mana?" Tanya Kuroko, bingung.

Akashi tak langsung menjawab. Iris merahnya tampak berbinar seiring senyuman langka muncul di wajahnya. "Semalam aku ken-"

"Akashi senpai..!"

Panggilan dari arah belakang memotong kalimat Akashi. Menghentikan langkah mereka berdua. Di belakang Furihata Kouki berlari kecil menuju Akashi. Senyum manis terpampang jelas di wajahnya.

"Terima kasih untuk semalam. Kau jadi harus pulang larut karna menunggui ku" kata Furihata.

Akashi menatap Furihata lembut "Tak masalah. Aku hanya khawatir meninggalkan mu sendirian dirumah"

"Apaan sih senpai?! Aku ini laki-laki. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Lagi pula aku sudah terbiasa ditinggal sendiri di rumah" renggutnya kesal.

"Tapi sudah kewajiban ku untuk menjaga mu. Aku akan sangat khawatir jika meninggalkan mu sendirian" jawab Akashi. Furihata memerah. Dia tampak salah tingkah mendengar jawaban Akashi.

"Ish! Aku ini bukan pacarmu"

"Sekarang memang belum, tapi tak lama lagi.."

"Apanya yang tak lama lagi?"

"Entah lah, mungkin bel masuk"

Wajah Furihata makin memerah mendengar godaan Akashi. Dia mencoba mengalihkan pandangannya ke segala arah. Tak sengaja mendapati Kuroko yang berdiri tepat di sebelah Akashi.

"Eh, Kuroko senpai? Kau.. Sejak kapan kau ada disini?"

Kuroko menatap Furihata. Jadi sejak tadi keberadaannya tak dianggap sama sekali oleh dua orang ini.

"Kau terlalu terpesona pada ku hingga tak menyadari dia di sebelahku sejak tadi" bukan Kuroko yang menjawab melainkan Akashi.

"Aku tak terpesona padamu Akashi senpai" kilah Furihata

"Kau terpesona" ulang Akashi keras kepala. Furihata hanya mendengus dengan kepercayaan diri Akashi yang begitu tinggi.

"Aku balik kelas ku dulu. Sebentar lagi bel masuk. Sampai jumpa Kuroko senpai" Furihata berbalik pergi. Menyisakan Kuroko dengan tatapan datarnya.

"Jadi, apa yang terjadi semalam?" Tanya Kuroko memecah keheningan.

"Ah, tidak" Akashi juga berbalik, melangkah menuju kelasnya. Kuroko mengekori di belakang "Aku hanya berkencan dengan Kouki semalam dan setelah mengantarnya pulang ternyata orang tuannya sedang diluar. Jadi aku menemaninya menungu orang tuanya sampai tengah malam." Lanjutnya.

Kuroko terkesiap. Dia memang sudah tau Akashi mendekati Furihata belakangan ini. Hal ini juga alasan Akashi selalu terlambat jika membuat janji dengannya. Tapi sampai membiarkan Kuroko menunggunya sampai lewat tengah malam di halte sendirian di musim dingin dan lebih memilih menemani Furihata yang aman didalam rumahnya sendiri, Kuroko benar-benar merasa Akashi keterlaluan. Setidaknya jika Akashi memang tak bisa menjemputnya, Akashi bisa menolak dari awal. Kuroko tau selama ini orang tuanya meminta Akashi untuk menjaganya. Tapi Akashi juga tak perlu memaksakan diri seperti ini jika tidak bisa melakukannya.

"Tetsuya, nanti pulang sekolah bersama ku! Ingat, jangan pergi duluan seperti tadi pagi!" Itu bukan ajakan, melainkan perintah. Perintah dari sang raja super mutlak.

Kuroko hanya diam. Wajahnya masih tetap datar seperti biasa. Tapi pikirannya berkecamuk memikirkan banyak hal. Entah kenapa, memikirkan Akashi yang lebih mengutamakan Furihata ada getaran tak nyaman merasuki hatinya. Karena sebelum ini, Akashi selalu lebih mengutamakannya.


Kuroko mencoba untuk fokus belajar. Mengabaikan ketukan dan panggilan dari balik pintu kamarnya. Suara khas sang kapten basket sma seirin sudah terdengar sejak 5 menit yang lalu. Awalnya Kuroko mencoba tak mengacuhkan rengekan itu, tapi dia sudah tak tahan. Dia ada tes besok. Tapi suara Akashi membuatnya tak fokus belajar.

"Ada apa Akashi kun?" Kuroko menyerah. Dia membuka pintu kamarnya sebesar tubuhnya. Menghalangi pandangan Akashi yang mencoba mengintip masuk ke dalam.

"Berbicara di depan pintu? Oh, sopan sekali Tetsuya" sindir Akashi.

"Kau sudah ada di dalam Akashi kun" balas Kuroko

"Di dalam rumah, bukan dalam kamar mu"

"Dan ada keperluan apa sampai Akashi kun merasa perlu masuk kedalam kamar ku?"

"Tetsuya.." Akashi mendesah " aku tau kau marah. Aku benar-benar minta maaf untuk itu. Aku harus mengantar Kouki dulu pulang. Tapi orang tuanya meminta ku tinggal untuk makan siang bersama. Dan saat aku kembali ke sekolah, kau sudah tak ada disana" jelas Akashi cepat. Wajahnya memelas. Menanti jawaban dari sang sahabat karib.

Kuroko membuang muka. Ingatannya kembali pada kejadian sepulang sekolah tadi. Kuroko yang sudah menunggu Akashi di parkiran, cukup kaget melihat Akashi datang bersama Furihata. Dia benar-benar tidak mengerti dengan cara berfikir Akashi yang meminta izin untuk mengantar Furihata duluan. Bahkan, tanpa menunggu persetujuannya Akashi langsung pergi bersama Furihata. Meninggalkan Kuroko diantara bisik-bisik murid yang menonton ala lenovela di lapangan parkir.

Sudah lewat sejam sejak Akashi meninggalkannya. Kuroko sudah tidak tahan lagi. Selalu begini. Sejak Akashi kenalan dengan Furihata yang tak lain adalah juniornya, Akashi menjadi berubah. Dia yang biasanya selalu mengutamakan Kuroko, mulai beralih pada Furihata. Semua orang yang tau kedekatan Kuroko dan Akashi, mulai bergosip betapa Kuroko tampak seperi seorang istri tua. Yang sudah tak diminati tapi tak bisa untuk ditinggalkan.

Menghela nafas, Kuroko mulai melangkah meninggalkan lapangan parkir yang kini sudah sepi. Mungkin sudah saatnya dia tak bergantung lagi pada Akashi seperti dulu. Mereka bukan anak TK lagi yang bisa menghabiskan waktu bersama. Akashi sudah punya kehidupan pribadi sekarang.

"Tetsuya, aku berjanji tak akan mengulanginya lagi. Apa kau tak bisa memaafkan ku kali ini?"

Kuroko tersentak. Suara Akashi menariknya kembali ke dunia nyata.

"Akashi kun, kenapa kau meminta maaf sampai dua kali sehari seperi ini?"

"Tetsuya.."

"Mengapa kau melakukannya jika akan menyesalinya?"

"Tetsuya-"

"Akashi kun, ku pikir ini saatnya bicara serius. Kita tak perlu berangkat dan pulang bersama lagi. Jadi itu tak akan menyulitkan siapa pun. Kau.. Ataupun aku" putus Kuroko

Akashi menatap bingung. Dia merasa tak keberatan sekalipun jika harus mengantar jemput Kuroko. Rumah mereka juga bersebelahan. Itu lah kenapa sejak dulu mereka selalu kesekolah bersama. Tapi memang sih sejak Akashi mulai kencan dengan Furihata, dia jadi sering lupa dengan janjinya kepada Kuroko. Tapi seharusnya Kuroko mengerti kan?! Furihata adalah orang pertama yang Akashi kencani. Tentu saja dia berusaha memberikan yang terbaik pada Furihata.

Tapi kenapa sekarang Kuroko marah?! Seharusnya sebagai sahabat Kuroko mendukung Akashi. Akashi mendengus. Entah kenapa mendengar jawaban Kuroko membuatnya menjadi kesal. Apa Kuroko tak tau jika dia ngebut di jalanan karena khawatir akan Kuroko yang menunggunya disekolah. Tapi sesampai disana, Akashi bahkan tak mendapati sosok Kuroko lagi.

"Apa maksud mu Tetsuya? Hanya karena aku terlambat menjemput mu kau tak mau memaafkan ku?" Hilang sudah wajah memelas Akashi. Iris merahnya menatap tajam Kuroko.

"Akashi kun salah paham" jawab Kuroko. Dia mencoba untuk tetap tenang di bawah lirikan tajam Akashi "aku tidak mengatakan Akashi kun orang yang tak bisa menepati janji. Tapi ku rasa lebih baik aku tak menggantungkan diri lagi kepada Akashi kun. Kita berdua sudah dewasa. Aku bisa menjaga diri ku sendiri. Akashi kun tak perlu merasa memiliki tanggung jawab untuk melindungiku"

"Apa kau semarah itu?" Akashi mengabaikan penjelasan Kuroko. Dia sangat kesal dengan pemikiran Kuroko yang menurutnya kekanak-kanakan.

"Akashi kun-"

"Aku tau aku salah sudah mengabaikan mu beberapa waktu ini. Tapi bukan kah sangat berlebihan jika kau marah karena hanya hal sepele seperti ini?" Potong Akashi cepat

Kuroko mendesah. Akashi selalu seperti ini. Apa Akashi tak paham jika Kuroko mencoba mengalah dari Furihata? Kenapa malah dia yang sekarang jadi penjahatnya?

"Akashi kun.. Aku sudah mandiri sekarang. Mulai besok kau tak perlu menjemput atau mengantar ku lagi. Selamat malam"

Kuroko menutup pintu kamarnya. Mengabaikan teriakan protes dan gedoran Akashi di luar sana. Dia berjalan ke meja belajarnya. Menatap kosong pada lembar-lembar kertas yang terabaikan. Tak lama, dia mendengar sayup-sayup suara ibunya yang berbicara dengan Akashi. Derap langkah terdengar setelahnya. Kemudian hening. Dia yakin ibunya berhasil menghentikan Akashi, setidaknya untuk malam ini.

Kuroko kembali mencoba fokus pada bukunya. Tapi seakan punya pikiran sendiri, hatinya terus merasa tak tenang. Ini pertama kalinya dia bertengkar dengan Akashi sejak mereka saling berjanji untuk bersama selamanya sewaktu SD dulu. Dia masih ingat dengan jelas wajah kumal Akashi yang di sinari rembulan waktu itu. Bagaimana mereka berbagi ketakutan dan harapan untuk tetap hidup. Tanpa ada satu orang dewasa pun yang bisa menolong mereka. Hanya mereka berdua, saling bergantung dan menjaga.

Kuroko menggeleng cepat. Melenyapkan ingatan-ingatan lama yang masih terasa segar. Kami bukan anak SD lagi, batinnya. Ini sudah benar. Akashi tak punya kewajiban untuk terus menjaganya. Mulai besok dia akan melakukan semua sendiri. Ini bukan saatnya untuk Kuroko menggantungkan diri pada Akashi, tapi sekarang adalah giliran Furihata. Ya, benar. Kuroko tak boleh menjadi benalu untuk hubungan mereka berdua. Bagaimana pun, Furihata adalah cinta pertama Akashi. Dia harus mendukung Akashi bagaimana pun caranya.

Mengabaikan hatinya yang mendadak perih, Kuroko berjalan ke tempat tidurnya. Fikirannya sedang penuh sekarang, jadi rasanya percuma jika memaksakan diri untuk terus belajar. Dia mengecilkan AC kamarnya dan mematikan lampu. Dia butuh tidur saat ini.


Kuroko melangkah perlahan. Mencoba menghindari untuk menimbulkan bunyi apa pun di ruangan itu. Rak-rak buku berjejer rapi di hadapannya. Matanya bergerak cepat, membaca judul buku yang tersusun berderet. Mengambil satu dan melihat daftar isinya. Menimbang-nimbang apakah buku itu cocok untuk menjadi bahan tugas resensinya. Setelah merasa cukup dia berjalan ke arah meja panjang yang memang di sediakan disana. Mulai mencicil tugasnya yang sudah menggunung. Kuroko tak habis pikir kenapa para guru begitu hobi memberikan tugas rumah. Dan bagai sudah berkonspirasi, tugas-tugas sialan ini juga tak kunjung habis. Seakan sudah sepakat untuk membuat susah Kuroko.

"Kuroko senpai.."

Panggilan itu menghentikan gerakan tangan Kuroko. Dia menoleh ke si pemanggil. Terkesiap melihat sosok yang berdiri disana.

"Furihata kun, ada apa?"

Furihata menarik kursi yang ada di depan Kuroko. Warna kursi itu mengingatkannya dengan rambut lelaki yang belakangan ini mendekatinya. Dia kemudian menyamankan diri disana.

"Kenapa senpai masih disini? Ku pikir senpai sudah pulang bersama Akashi senpai" alih-alih menjawab pertanyaan Kuroko, Furihata malah membalasnya dengan pertanyaan juga.

Kuroko kembali fokus pada bukunya. Mengabaikan Furihata yang mulai mengeluarkan alat tulisnya.

"Bukankah Akashi kun seharusnya mengantar dirimu?"

Furihata membuka tutup pulpennya. Dia kemudian menatap Kuroko. Senyuman kecil masih sarat di wajahnya.

"Apa senpai bertengkar dengan Akashi senpai? Sudah hampir seminggu ini ku lihat kalian jaga jarak"

Oh, sial! Kuroko merasa dia sedang berada dalam ruang diskusi saat ini. Pertanyaan di balas pertanyaan.

"Apa Furihata kun anggota klub jurnalistik? Kau tampak seperti wartawan saat ini" cetus Kuroko.

Furihata sontak tertawa. "Apa senpai berfikir begitu? Apa aku beneran cocok jadi wartawan?" Katanya di sela-sela tawa "Tapi aku lebih tertarik menjadi psikolog Kuroko senpai haha.."

Kuroko menatap malas Furihata yang mencoba menghentikan tawanya. Iris birunya yang cerah beralih ke daun jendela. Beradu dengan gumpalan awan abu-abu yang bergelayutan di kaki langit. Kuroko tak sadar jika sudah cukup lama mengerjakan tugasnya disini.

"Jadi, bagaimana? Kuroko senpai belum menjawab pertanyaan ku lho.." Desak Furihata.

Kuroko tak membenci Furihata. Dia junior yang baik dengan kepribadian menyenangkan. Mungkin itulah alasan Akashi tergila-gila pada lelaki bersurai coklat itu. Sampai mengabaikan Kuroko dan melupakan janjinya. Tapi Kuroko tetap tak bisa mengerti kenapa setiap melihat atau mendengar nama Furihata membuatnya sangat tak tenang. Kuroko merasa perutnya seperti diaduk. Membuatnya ingin menjaga jarak dengan Furihata.

"Tampaknya akan hujan" kata Kuroko. Matanya beralih dari Furihata menuju langit di balik kaca "Sebaiknya aku segera pulang. Kau juga Furihata kun, sebaiknya bergegas pulang" lanjutnya.

"Apa Kuroko senpai sedang mencoba menghindari pertanyaan ku?" Tanya Furihata dengan watadosnya.

Tepat! Pertanyaan Furihata tepat menancap di hati Kuroko. Dia ingin segera menjawab tidak, tapi bukan kah yang dia lakukan sekarang tampak seperti ingin melarikan diri. Kalau di jawab iya, Kuroko sangat tidak suka orang lain kepo dengan masalahnya. Gebetan Akashi sekalipun.

"Furihata kun, ku rasa kau tidak perlu ikut campur dalam masalah ku" jawab Kuroko datar.

Furihata menatap Kuroko tepat dimatanya. Senyum manisnya sudah hilang sejak tadi, menampilkan mimik serius penuh makna milik Furihata Kouki. Dan Kuroko sangat tak suka itu. Sama tak sukanya saat mendengar pertanyaan Furihata selanjutnya

"Apa Kuroko senpai menyukai Akashi senpai?"

Kuroko terdiam. Menyukai Akashi kun? Tentu saja Kuroko menyukai Akashi. Akashi adalah sahabat karibnya, orang yang selalu bersamanya selama dua belas tahun ini. Orang pertama yang dia temui saat pertama kali mimpi basah. Orang yang selalu bisa diandalkannya. Orang yang selalu jadi tempatnya bergantung. Dan orang yang hampir mengorbankan nyawanya demi Kuroko sewaktu sd dulu. Dia tak hanya menyukai Akashi, tapi dia juga menyayanginya seperti saudara.

Ya, benar! Akhirnya Kuroko tau kenapa dia tak suka jika Akashi lebih mengutamakannya Furihata di banding dirinya. Itu karena Kuroko menganggap Furihata mengambil satu-satunya saudara yang dia miliki. Ya, pasti karena itu! Memangnya apa lagi alasannya?

"Tentu saja. Akashi kun adalah sahabat karib ku" jawab Kuroko

"Bukan perasaan seperti itu senpai. Tapi... engg.. Seperti seorang lelaki dewasa. Maksudku, apa kau mencintai Akashi senpai?" Furihata mempertegas pertanyaannya. Merasa tak senang dengan jawaban Kuroko yang terkesan polos.

Mencintai Akashi kun?

Apa aku mencintai Akashi kun?

Kuroko tak langsung menjawab. Berbagai pertanyaan menyerang otaknya. Menginveksi sampai bagian terdalam. Mendadak, dia merasakan kepalanya berdenyut-denyut. Mengapa Furihata menanyakan hal seperti ini padanya? Apa Furihata merasa terganggu dengan kedekatannya bersama Akashi? Suara derap langkah kaki terdengar dari belakang. Menampilkan siluet wajah tampan sang model terkenal, Kise Ryota.

" Kurokocchi.. Ayo pulang dengan ku. Sebentar lagi pasti hujan. Aku ingin segera pulang kerumah dan menyelamatkan diri dibawah selimut. Tapi mungkin aku akan membuat ramen dahulu untuk menghangatkan diri. Apa Kurokocchi mau? Kalau kau mau akau akan buat dua bungkus! Eh, tidak! Jangan! Jangan! Aku ada pemotretan baju pantai besok. Aku tidak mau badan ku tampak gendut saat pemotretan besok. Bagaimana jika makan gorengan saja? Ah, tidak! Tidak boleh juga! Enggg... Hmmm.. Ya sudahlah, air putih hangat kuku saja." Tanpa sadar diri Kise asik berceloteh sendiri. Wajahnya menampilkan berbagai macam emosi. Senang, bingung, kemudian merenggut. Tak menyadari jika emosi tegang sedang menyelimuti ruangan pustaka yang sepi itu.

Kuroko menatap Kise lega. Merasa di selamatkan entah karena apa. Dia manyandangkan tasnya ke punggung dan berdiri.

"Ahh... Ada Furihata ya? Apa kabar" terdengar suara Kise dengan nada khasnya

"Baik. Kau tampak sehat Kise senpai. Terakhir ku dengar kau jatuh saat pemotretan di daerah pegunungan" balas Furihata riang. Dan Kuroko benar-benar yakin jika Furihata lebih cocok jadi wartawan dibanding psikolog.

"Haha.. Itu hanya kecelakaan kecil. Kau tak perlu khawatir"

"Ohh.. Syukurlah jika itu hanya kecelakaan kecil" kata Furihata. Senyum manisnya entah sejak kapan kembali.

"Ayo pergi Kise" kata Kuroko "sampai jumpa, Furihata kun" lanjutnya sambil melihat ke arah Furihata. Furihata makin mengembangkan senyumnya sambil mengangguk-angguk. Tangan kanannya bergerak melambai ke kiri dan kanan membalas isyarat dadah dari Kise. Di pandu oleh Kise, Kuroko mulai berjalan keluar. Tapi belum sempat berbelok di antara rak-rak buku yang berjejer, terdengar kembali suara Furihata.

"Kuroko senpai, Akashi senpai tadi menembak ku. Dan aku berencana menerimanya"

To be continue...