Akashi Seijuurou, 19 tahun. Tidak pernah merasakan apa itu cinta.
Sampai ia bertemu dengannya.
Seorang bocah ingusan yang masih berumur 11 tahun.
.
.
Pedophil?
Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi
Romance.
7/7
T+
Warning:
Gaje. Typo. OOC. AkaKuro. Perhatikan rate sebelum lanjut baca /sip.
.
.
Aomine Daiki, pemuda berkulit dim—orang-orang mengatainya dekil—bersurai navy blue, berumur 19 tahun, mahasiswa yang tengah berusaha selamat dari serbuan tugas dan dosen galak, status hubungan jomblo, sukses dibuat melongo oleh ucapan kawannya,
Jari kelingkingnya mengorek telinga sendiri, takut tadi ia hanya salah dengar, "Coba bilang sekali lagi."
Akshi Seijuurou, pemuda bersurai crimson dan memiliki sepasang manik dwiwarna—gold dan ruby, berumur 19 tahun, status hubungan tengah melakukan pendekatan.
"Begitu aku lulus, aku akan langsung melamar Tetsuya."
Rahang Aomine nyaris copot. Tentu saja ia kenal Tetsuya—sangat malah.
Kuroko Tetsuya—nama lengkapnya. Bocah bersurai teal yang merupakan adik sepupunya, berusia 11 tahun dan masih duduk dibangku SD—sekali lagi, SD. Bocah yang memang darisananya semanis gulali, dan terkenal dengan pesonanya yang mampu membuat siapa saja jatuh cinta padanya, mau laki-laki, atau perempuan, dari anak-anak, remaja, bahkan om-om.
Dan Akashi Seijuurou—temannya sendiri, telah jatuh dalam pesonanya.
"Tunggu Akashi, kau tidak serius 'kan?" tanya memastikan sekali lagi.
Tangan bersidekap di depan dada, manik dwiwarnanya menatap serius, "Apa aku terlihat seperti bercanda?"
Aomine mengacak surainya kasar, "Demi Tuhan Akashi! Tetsu itu masih kelas 6 SD! Dia masih polos!"—aku saja tidak sampai hati untuk menodai kepolosannya.
"Aku tidak keberatan untuk menodainya. Tenang saja, Daiki," ucapnya tenang.
Pemuda dim itu mengerang frustasi. Ini semua salahnya. Jika saat itu ia tidak membuat Akashi dan Kuroko bertemu, pasti kepolosan adik sepupunya itu masih akan tetap trerjamin untuk beberap atahun kedepan. Bukan seperti ini. Kepolosan Kuroko sekarang berada diujung tanduk. Serigala yang tengah tergila-gila padanya siap menerkamnya kapan saja.
.-.-.
Semuanya peristiwa ini berawal pada sebuah kejadian yang terjadi pada hari Sabtu sore yang begitu damai.
Aomine yang saat itu tengah sibuk mengurusi tugasnya yang harus ditumpuk saat itu juga meminta tolong pada Akashi untuk menjemput adik sepupunya yang berada di kursus.
Aomine tidak bisa meminta tolong Kise Ryouta—pemuda yang diam-diam ditaksirnya—untuk mengantarkan Kuroko pulang. Pemuda pirang yang meruapakan pegawai paruh waktu di tempat kursus itu masih memiliki setumpuk pekerjaan yang tidak bisa ia tinggalkan.
Dan jadilah Aomine meminta bantuan Akashi yang saat itu tidak sengaja bertemu dengannya di perpustakaan.
Awalnya Akashi menolak, ia bahkan sudah bersiap membunuh Aomine, pemuda itu sudah dengan sangat kurang ajar memerintahnya, manusia tidak tau diri seperti Aomine harus segera dilenyapkan dari muka bumi ini—Akashi memang sadis.
Namun, pada akhirnya ia berangkat juga. Meski hatinya agak tidak rela. Akashi tidak tega—muak lebih tepatnya—ketika mendengarkan curhatan Aomine mengenai tugasnya dan kemungkinan dirinya yang tidak akan lulus mata kuliah ini jika tugas yang tengah ia kerjakan tidak ditumpuk hari ini juga.
Sebuah bangunan dengan plang bertuliskan 'Bimbingan Belajar Vorpal' yang menjadi tujuannya sudah terlihat, ia pun mempercepat laju mobilnya. Ia langsung memarkirkan mobilnya pada area parkir dan langsung menuju gedung utama.
Ia melihat keadaan disekitarnya. Gedung kursus itu cukup besar, lihat saja, lobynya saja seluas ini. Pada dinding loby banyak bingkai yang berisi penghargaan dari para penghuni tempat kursus yang terpasang rapi. Berjejer dari ujung satu ke ujung lainnya.
Puas melihat-lihat koridor, ia langsung mendekati gadis yang menjaga meja loby, "Apa ada seseorang bernama Kuroko Tetsuya yang mengikuti kursus disini?"
Gadis itu menatap lekat paras tampan Akashi, sebelum deheman dari Seijuurou membuatnya tersadar dari lamunannya yang memuji betapa tampannya pemuda didepannya.
Akashi mengernyit heran ketika gadis itu tak menjawab pertanyaannya. Ia justru menggeser badannya dari hadapan Akashi.
"Kuroko-kun, kemarilah sebentar. Ada orang yang mencarimu," ucap gadis itu. Maniknya menatap kedepan—menatap sosok bocah bersurai teal yang duduk manis bangku loby.
Akashi memutuskna untuk mengikuti arah pandang si gadis resepsionis. Netranya menangkap sosok bocah bersurai teal yang mengenakan baju putih lengan panjang yang dipadu hodie tanpa lengan berwarna oranye cerah dan celana ¾ yang membalut kakinya. Sebuah buku yang baru saja ditutup diatakan diatas paha. Manik bulat sejernih azure menatap polos kearahnya.
Sumpah, Akashi seperti melihat sesosok malaikat tanpa sayap.
Bocah yang diketahui bernama Kuroko Tetsuya itu memasukkan buklunya kedalam tas dan berjalan menghampirinya. Ia menatap binmgung sang gadis resepsionis, "Ada apa, Nee-san?"
"Kakak ini mencarimu," ucap si gadis sembari menunjuk Akashi.
Kuroko mengikuti arah jemari milik sang kakak resepsionis. Ia menatap bingung sosok dihadapannya dengan kepala ditelengkan ke kanan, "Ada apa?"
Akashi gigi jari saking gemasnya. Kuroko terlalu menggemaskan. Akashi ingin menggigit pipi itu.
"Aku disuruh oleh Daiki untuk menjemputmu," ucap Akashi mengutarakan maksud kedatangan mulianya.
Kaki mungil itu melangkah mundur, matanya menatap awas kearah Akashi, "Daiki-nii bilang dia sendiri yang akan menjemputku dan jangan mengiyakan ajakan orang asing."
"Sepupumu itu sedang sibuk dengan tugasnya. Dia sendiri yang menyuruhku untuk menjemputmu, Tetsuya," Akashi berusaha menyakinkan Kuroko yang nampaknya curiga.
Manik bulat itu masih menatap lekat kearah Akashi, menatapnya ragu, "Benarkah?"
Pemuda bersurai crimson itu mengangguk, berusaha untuk sabar dan tidak kelepasan untuk langsung menggendong bocah manis itu atau ia akan benar-benar dituduh sebagai penculik.
"Ya. Aku tidak berbohong. Ayo pulang, Tetsuya," ucap Akashi. Ia mengulurkan tangannya, berharap bocah biru itakan menyambut tangannya.
"Tidak mau. Okaa-san dan Daiki-nii bilang untuk tidak menerima tawaran dari orang asing."
Memang pada dasarnya Kuroko itu anak yang penurut dan berbakti kepada orang tua, langsung menolak. Ia mengamalkan dengan baik ajaran ibunya yang menyuruhnya untuk tidak menuruti perintah orang asing.
Disisi lain, Akashi mendecih—ia kesal, namun disisi lain juga kagum. Ia memuji ibu dan Aomine. Dua orang itu berhasil membentengi Kuroko dengan pengetahuan dasar dalam hal melindungi diri dari penculik.
Namun, i ajuga kesal. Bocah biru muda ini terlalu keras kepala. Memang wajahnya terlihat seperti om-om tukang menculik bocah manis?
Akashi merogoh saku celananya, meraih ponselnya dan langsung menghubungi Aomine.
"Daiki, adik sepupumu tidak percaya jika kau menyuruhku untuk menjemputnya."
"OH ya? berikan ponselku pada Tetsu. biar aku yang bicara padanya."
Akashi menurut, ia menghampiri Kuroko dan memberikan ponselnya, "Daiki ingin bicara padamu."
Ponsel pintar itu langsung didekatkan ke telinga. Senyum Kuroko langsung merekah begitu suara sang kakak sepupu menyapa gendang telinganya. Keduanya terlibat percakapan yang cukup lama. Akashi geli melihat Kuroko yang beberapa kali menganggukkan kepalanya—yang jelas tidak akan terlihat oleh Daiki.
Beberapa saat kemudian, bocah manis itu memberikan ponselnya.
Akashi mengulas senyum miring, "Sudah percaya?"
Paras manis itu memerah, kepalanya tertunduk. Tangannya meremas erat pakaian yang tengah digunakannya—membuat Akashi sekali lagi menahan diirnya untuk tidakk langsung menerjang sosok Kuroko, membawanya pulang dan mengurung bocah manis itu.
"Maafkan aku," cicit Kuroko.
Akashi tersenyum, ia menghampiri bocah manis itu dan mengusak surai tealnya lembut, "Aku memaafkanmu. Kalau begitu kita pulag sekarang."
Bocah manis itu mengangguk, ia berpamitan pada si gadis resepsionis dan berlari-lari kecil menghampiri Akashi yang sudah berlalu terlebih dahulu. Kuroko langsung menggandeng Akashi—kebiasannya apabila berjalan dengan orang yang lebih tua darinya—membuat pemuda bersurai crimson itu tersentak kaget.
Kuroko hanya tersenyum ketika Akashi menatapnya heran—yang langsung dibalas oleh senyuman pula oleh Akashi.
Keduanya berjalan menuju area parkir. Selama itu pula, Akashi merasakan sebuah perasaan hangat yang melingkupi dadanya.
.-.-.
Itu adalah kenangan yang tidak bisa Akashi lupakan. Pemuda itu memutuskan untuk menjadikannya sebagai kenangan terindah—paling berkesan.
Bahkan semenjak itu, Akashi dengan suka rela menjadi supir yang setia untuk menjemput Kuroko dari tempat kursus. Ayah Kuroko yang sebelumnya bertugas menjemput putranya itu benar-benar merasa terbantu.
"Pelan-pelan Tetsuya," ucapnya sembari mengulurkan tangannya, membersihkan noda es krim yang berserakan disekitar bibir merah bocah bersurai biru menggunakan tisu.
Bocah itu mnegangguk dan kembali sibuk menyantap es krimnya, memancing senyum geli dari Akashi.
Ya. saat ini dirinya sedang berdua dengan Kuroko disebuah kedai es krim yang terletak di taman bermain.
Setelah mengancam Aomine ini dan itu, akhirnya ia bisa juga mengajak Kuroko untuk pergi ke taman bermain di hari Minggu yang cerah ini—tidak memperdulikan Aomine yang tengah meratapi kedekatannya dengan adik sepupu manisnya.
Pemuda dim itu dengan sangat terpaksa mengantarkan Akashi menemui kedua orang tua Kuroko, meminta izin pada pasangan suami istri itu untuk membawa bocah biru kesayangan mereka jalan-jalan sebentar.
Tuan Kuroko langsung mengizinkannya—ia mengabaikan Akashi, ia hanya mengizinkan putranya keluar tanpa pengawasan jika bersama dengan Aomine. Berbeda dengan Nyonya Kuroko, beliau menatap tajam Akashi, beliau merasa jika ada niat terselubung dalam niat baik mengajak putranya jalan-jalan dan langsung menolaknya mentah-mentah—insting seorang ibu memang mengerikan.
Aomine dan Tuan Kuroko bahkan harus turun tangan dalam membujuk Nyonya Kuroko yang tiba-tiba ngambek.
Dan setelah melalui perjuangan yang cukup panjang akhirnya kini Akashi bisa berdua saja dengan Kuroko. Ah,ini sebuah anugrah.
Akashi menyesap espressonya, dwiwarnanya menatap langit yang mulai berwarna kemerahan, menandakan hari telah beranjak sore, ia kemudian mengalihkan tatapannya pada Kuroko yang sudah selesai dengan es krimnya, "Setelah ini pulang?"
Azure itu meredup kecewa, ia belum puas bermain. Meski hampir seluruh wahana sudah dicobanya—kecuali wahana berbahaya yang langsung mengusirnya, ia merasa belum puas.
Melihat bocah didepannya yang sepertinya belum rela untuk pulang itu Akashi tersenyum kecil, "Baiklah, satu wahana lagi sebelum kita pulang. Kau ingin naik apa, Tetsuya?"
Jari telunjuk menyentuh dekat bibir, kepala ditelengkan kekanan, sementara matanya menerawang—Akashi gemas sendiri melihatnya. Senyum lebar langsung menyambut ketika ia mendapatkan pencerahan.
"Aku ingin naik bianglala, Akashi-nii."
Akashi tersenyum, "Baiklah, ayo."
Tangan kecil digenggam lembut, mereka berdua beranjak dari kedai menuju wahana bianglala. Ditengah perjalanan, Akashi membelikan Kuroko permen kapas—bocah biru terus memandangi stand permen kapas yang mereka lewati, Akashi jadi tidak tega.
"Terima kasih, Akashi-nii," ucapnya diiringi senyum senang. Melihat senyum si bocah, Akashi tak kuasa menahan senyumnya.
Mereka pun kembali berjalan menuju bianglala. Kuroko memakan permennya dengan tenang, bocah itu memang pendiam, tak banyak tingkah, tangannya digenggam erat oleh Akashi—takut Kuroko kembali hilang, dan mulai saat itu Akashi bersumpah tidak akan melepaskan gandengannya, Kuroko yang hilang itu merupakan mimpi buruk, menemukannya susahnya setengah mati berhubung bocah manis itu memiliki hawa keberadaan setipis benang.
"Antriannya panjang," gumam Akashi ketika melihat barisan manusia yang tengah antri untuk memasuki wahana bianglala. Tidak heran, wahana ini biasanya mejadi primadona ketika sudah beranjak sore begini. Suasanya lebih romantis—katanya.
"Kalau Akashi-nii capek lebih baik kita pulang saja," ucap Kuroko.
Akashi menepuk kepala bocah itu. Meski bibir bocah itu mengatakan pulang, namun matanya berkilat kecewa, Akashi jadi tega, "Tak apa. Aku tidak capek."
Kuroko menganggukkan kepalanya, ia kembali sibuk dengan permen kapasnya. Sementara Akashi terdiam memainkan ponselnya. Samar-samar ia bisa mendengar orang-orang yang antri bersamanya berbisik mengenai mereka.
"Lihat, mereka akur sekali."
"Aku tidak pernah melihat kakak-adik pergi berdua ke taman bermain seperti ini. Kakaknya baik sekali."
"Adiknya manis sekali, kakaknya juga tampan. Mereka keluarga yang sempurna. Apa orang tua mereka artis?"
Dan berbagai bisikan lain yang mengatakan bahwa mereka berdua bersaudara.
Akashi hanya bisa menghela napas.
Nasib.
.-.-.
Aomine Daiki yang saat itu tengah melancarkan aksi pendekatan dengan sang pujaan hati, Kise Ryouta kini melongo menatap ponselnya. baru saja ia menerima panggilan dari Kuroko Tetsumi—bibinya sekaligus ibu dari keponakannya yang paling manis, Kuroko Tetsuya.
Ia masih mengingat betul perkataan bibinya.
"Daiki, bibi titip Tecchan untuk dua hari kedepan ya? paman dan bibi ada urusan pribadi."
Aomine paham betul urusan pribadi yang dimaksud oleh bibinya—bulan madu. Yah, Aomine tidak sengaja mendengar diskusi pasangan Kuroko itu ketika ia tengah main kesana.
Sekarang masalahnya, ia harus menemani Kuroko selama dua hari. Berarti ia harus menginap disana dan menyiapkan berbagai kebutuhan Kuroko, begitu?
Tiba-tiba berbagai imajinasi mengenai tinggal seatap dengan anak berusia 11 tahun berkeliaran di benaknya. Anak yang manja, sedikit-sedikit merengek. Anak yang membuat kekacauan, lalu dia yang harus menyiapkan segala kebutuhannya?
Tidak. Aomine tidak sanggup.
Padahal sebenarnya Kuroko tidak seperti itu, anak itu mandiri.
"Ada apa-ssu?" tanya Kise yang penasaran karena wajah Aomine tiba-tiba memucat—walau tidak terlalu kelihatan, Aomine gelap sih. Makanan di hadapannya sejenak terlupakan.
"Tetsu ditinggal orang tuanya. Aku harus mengurusnya untuk dua hari kedepan."
BRAK!
Meja kedai digebrak oleh pemuda pirang dihadapannya. Aomine berjengit kaget, seluruh pengunjung kedai langsung menatap kearah mereka—lebih tepatnya menatap tajam Aomine, mereka mengira keduanya adalah pasangan yang tengah bertengkar dengan Aomine sebagai pelakunya.
"Kalau kau tidak mau mengurus Kurokocchi, aku rela kok mengurusnya-ssu!" ucap Kise semangat.
Aomine menghela napas lelah, ia lupa jika kekasihnya termasuk kedalam golongan orang Kuroko addict. Pemuda pirang itu sangat menyukai Kuroko—alasannya sederhana, karena Kuroko itu manis dan enak dipeluk.
Ia menggeleng, "Tidak. Yang ada nanti Tetsu mati kehabisan napas karena kau peluk terus."
Kise cemberut, ia kembali duduk dibangkunya. Aomine memutar otak, ia mau saja menjaga Kuroko, tapi tidak untuk dua hari, ia harus meminta bantuan orang lain. Seketika ia menjentikkan jarinya. Benar juga, orang itu pasti dengan suka rela mau menjaga Kuroko. Jemarinya langsung menekan nomor orang itu, menelponnya.
"Aku butuh bantuanmu, Tetsu ditinggal orang tuanya dua hari di rumah. Aku punya urusan penting, jadi aku tidak bisa melakukannya," ucapnya. Hei, ia tidak bohong, dirinya memang punya urusan penting. Pendekatan dengan Kise contohnya?
Pemuda dim itu melongo ketika mendapati jawaban cepat dari orang yang dimintainya bantuan—Akashi. Pemuda itu langsung setuju begitu saja, tanpa protes sedikitpun.
"Kau menelpon siapa-ssu?"
Ponsel hitam diletakkan diatas meja, "Akashi. Dia pasti mau kalau kusuruh menjaga Tetsu, malah dia mengancamku akan membunuhku jika berani mengusik acaranya menjaga Tetsu,"
"Akashi yang tempo hari kau ceritakan itu-ssu? Orang yang akhir-akhir ini sering menjemput Kurokocchi? Orang yang katamu naksir Kurokocchi?" tanya Kise memastikan.
Aomine yang tengah makan hanya mengangguk.
Kise menggaruk pelipisnya ragu, "Err—Aominecchi, kau yakin meninggalkan Kurokocchi hanya berdua dengannya-ssu? Maksudku, dia naksir dengan Kurokocchi 'kan-ssu? Dan mereka hanya berdua di rumah-ssu?"
Aomine membeku, sialan. Ia lupa akan hal sepenting itu.
'Mati aku.'
.-.-.
"Akashi-nii?" Kuroko menatap heran sosok yang ia temui ketika membuka pintu rumah.
"Kenapa kesini?" tanya Kuroko heran. Pasalny pemuda yang seusia dengan kakak sepupunya itu tak pernah mampir ke rumah, meski hampir setiap hari mengantarnya pulang dari kursus.
"Daiki meminta bantuanku untuk menjagamu. Orang tuamu tengah keluar 'kan?"
Akashi berjalan memasuki rumah minimalis itu. Ransel berisi keperluannya selama dua hari diletakkan di sofa. Kuroko mengikuti langkah Akashi setelah menutup pintu—ia pikir Aomine yang akan menjaganya, berhubung tadi ibunya berpesan seperti itu.
"Kau sedang apa Tetsuya?" tanya Akashi ketika melihat sebuah buku paket ditangan bocah itu.
"Mengerjakan tugas bersama Ogiwara-kun di kamar."
Akashi mengangguk, "Sudah makan siang?"
Gelengan kepala ia dapatkan, Akashi menepuk pelan kepala bocah itu, "Akan kubuatkan makan siang. Kau kembalilah mengerjakan tugas."
Bocah biru itu mengangguk, ia berlari menuju lantai dua dimana kamarnya berada. Mata Akashi tidak sengaja menangkap sosok bocah yang sebaya dnegan Kuroko bersurai oranye yang tengah berdiri di tangga—Akashi asumsikan bocah itu yang bernama Ogiwara.
Begitu sosok Kuroko dan temannya menghilang diujung tangga sana, Akashi langsung bergegas untuk memasakkan makan sian untuk dua bocah itu."
.-.-.
Akashi yang tengah menata makan siang diatas meja makan hanya bisa geleng-geleng kepala ketika mendengar suara gaduh yang berasal dari dua bocah yang tengah berlari ke ruang makan.
Kuroko adalah orang pertama yang sampai di meja makan, bocah itu langsung duduk di kursi biasanya duduk, Ogiwara mengikuti kawannya, ia duduk disebelah Kuroko. Mata kedua bocah itu berbinar melihat sajian sederhana yang sudah tertawa rapi.
"Kalian makanlah. Baru lanjut mengerjakan tugas," ucap Akashi sembari membereskan peralatan yang tadi ia gunakan untuk memasak.
"Tugasnya sudah selesai kok kakaknya Kuroko. Kuroko 'kan jago kalau pelajaran bahasa dan sejarah," bocah bersurai oranye itu berteriak sembari tersenyum.
"Tidak ada yang tanya aku jago apa deh, Ogiwara-kun," Kuroko berkata agak sinis—sebenarnya bocah itu malu.
Akashi terkekeh, ia menatap kedua bocah yang tengah makan itu, "Aku bukan kakaknya Tetsuya. Aku Akashi Seijuurou."
Ogiwara mengangguk paham, "Tapi kalian agak mirip. Maaf deh kalau salah, Akashi-san."
Akashi hanya mengangguk. Miris juga dikatai begitu.
"Tetsuya, apa ada kamar kosong?"
Kuroko yang hampir menyuapkan tempura berhenti, "Ada, disebelah kamarku itu kamar tamu. Akashi-nii bisa tidur disana. Semalam sudah dibersihkan Okaa-san."
Pemuda bersurai crimson itu langsung bergegas menuju tempat yang disebutkan oleh Kuroko, meninggalkan dua bocah yang tengah sibuk sendiri itu.
Dengan kecepatan kilat, Akashi menata barang-barangnya—yang tidak terlalu banyak di kamar tamu tersebut. Setelah selesai, ia langsung bergegas turun kebawah, mengawasi dua bocah SD itu.
Baru saja ia menginjak anak tangga terakhir, Ogiwara dan Kuroko berlari kearahnya, bocah biru muda itu memeluk sebuah benda bulat berwarna oranye.
"Akashi-nii, aku pergi main dengan Ogiwara-kun dulu ya. Aku janji tidak akan pulang kemalaman. Permisi," pamit Kuroko yang langsung berlari—diikuti oleh Ogiwara. Bocah itu bahkan tidak membiarkan Akashi buka suara.
Pemuda bersurai crimson itu menghela napas, jadi ceritanya ia ditinggal sendiri, begitu?
.-.-.
Akashi memutuskan untuk menunggu kepulangan bocah biru itu dengan mengerjakan tugasnya di ruang tengah, ditemani dengan acara berita sore dan secangkir kopi. Ia menghela napas ketika matanya menangkap jarum jam sudah menunjukan pukul enam sore dan bocah biru itu belum pulang juga.
"Tadaima."
Pemuda bersurai crimson itu langsung menghela napas lega ketika mendengar suara cempreng bocah itu disertai dengan langkah kaki yang mendekat. Ia tersenyum kecil ketika menemukan Kuroko sudah pulang—lengkap dengan bola basket yang masih ada dipelukannya.
"Mandi dulu sana," perintah Akashi ketika dirinya melihat Kuroko hampir saja menempatkan dirinya disamping Akashi untuk ikut menonton.
Bocah itu merengut, namun menuruti perintah Akashi. Bocah itu berlari keatas, Akashi yang melihat itu hanya tersenyum kecil. Ia mematikan laptopnya, memutuskan untuk memasak makan malam untuk mereka berdua.
Kuroko berlari kecil menghampiri Akashi yang juga sudah menyelesaikan memasaknya. Akashi tidak memasak terlalu banyak—mengingat bahan baku di kulkas sudah mulai menipis, jadi ia hanya membuat telur gulung dan juga sup tofu.
Kuroko membantu Akashi membawa makanan yang sudah masak ke meja makan. Akashi kagum dengan bocah itu. Biasanya bocah seumuran Kuroko lebih memilih untuk duduk manis menunggu makanan datang di meja makan. Ah, pasti saat sudah besar nanti Kuroko berbakat untuk menjadi istri idaman.
Selesai menyusunnya diatas meja, mereka berdua pun menempatkan diri di meja makan, Akashi duduk dihadapan bocah itu. Keduanya berdoa bersama sebelum memakan makan malam mereka.
Kuroko menatap berbinar kearah Akashi begitu ia selesai memakan telur gulung buatan pemuda itu, "Enak. Seperti buatan Okaa-san."
Akashi hanya tersenyum, ia memakan makanannya dengan tenang.
"Aku bersyukur yang menjagaku adalah Akashi-nii, bukan Daiki-nii," celetuknya.
Pemuda itu mengangkat sebelah alisnya, "Oh ya?"
Kuroko mengangguk, "Daiki-nii tidak bisa memasak, jadi dia selalu memesan masakan cepat saji, kata Okaa-san itu tidak sehat. Okaa-san biasanya memarahiku dan Daiki-nii kalau ketahuan."
"Oh, jadi kau bersyukur tidak memakan makanan cepat saji?"
"Hu-um. Akashi-nii juga baik. Mengizinkanku untuk main bersama Ogiwara-kun. Biasanya Daiki-nii akan marah-marah kalau aku pergi main," Kuroko mendadak curhat.
Aakshi meringis, tadinya ia juga ingin melarang bocah itu untuk main keluar, namun belum sempat ia buka suara, Kuroko sudah lari duluan bersama dengan Ogiwara. Yah, setidaknya ia bersyukur, dengan begitu reputasinya dimata Kuroko semakin baik.
"Setelah ini apa yang biasanya kau lakukan?" tanya Akashi. Ia sudah menyelesaikan makannya terlebih dahulu.
"Belajar, menonton TV, lalu pukul 9 tidur."
Akashi mengangguk. Yah, sepertinya menjaga Kuroko akan menjadi hal yang mudah.
.-.-.
Pagi hari ini menjadi hari kedua Akashi menjaga Kuroko. Ia dibuat heran ketika pagi-pagi Kuroko sudah siap untuk berangkat sekolah—yah, Akashi akui ia bangun terlambat gara-gara lembur mengerjakan tugas kuliahnya. Bocah sudah duduk manis di meja makan, memakan serealnya dengan tenang.
Pemuda itu menghampiri Kuroko, ia menarik kursi dihadapan sang bocah dan duduk disana. Rubynya memerhatikan Kuroko yang kelihatannya sama sekali tidak terusik dengan kedatangannya.
"Kau sudah bangun dari tadi, Tetsuya?"
Kuroko menelan serealnya, "Iya. Kupikir Akashi-nii pasti sedang lelah, jadi aku tidak membangunkanmu."
Akashi mendadak pundung, ia merasa harga dirinya terlukai—bagaimana bisa dirinya yang selalu sempurna ini telat bangun?
"Kalau kau sudah selesai, aku akan mengantarkanmu ke sekolah," ucap Akashi sembari beranjak dari duduknya, berniat untuk bersiap mengantarkan Kuroko.
"Tidak usah. Aku biasanya berangkat bersama dengan Ogiwara-kun dan Kagami-kun," tolak Kuroko halus.
Akashi mengangguk paham. Ia menepuk pelan kepala Kuroko—entah sejak kapan ia memiliki hobi untuk menyentuh surai teal lembut milik bocah itu, "Kalau begitu hati-hati."
"Em," Kuroko mengangguk. Ia pun kembali menghabiskan sarapan sederhananya dan Akashi kembali ke kamarnya untuk bersiap berangkat kuliah.
Ya. pagi yang terlalu sederhana.
.-.-.
Seperti rutinitas sebelum-sebelumnya, sore hari, Akashi akan menjemput Kuroko di tempat kursus ketika bocah itu ada bimbingan—yang hanya diadakan di hari Selasa, Kamis, dan Jum'at.
Pemuda itu tengah dalam mood yang kurang baik—dan dia butuh Kuroko kecilnya untuk memperbaiki moodnya. Bagaimana tidak? Sesampainya di kampus ia langsung direcoki oleh Aomine, pemuda dim itu menuduhnya yang macam-macam—seperti menodai Kuroko contohnya—hanya karena ponselnya tidak bisa dihubungi.
Demi Tuhan, Akashi bahkan tidak berinteraksi banyak dengan Kuroko kemarin, dan Aomine menuduhnya yang tidak-tidak. Ponselnya tidak bisa dihubungi karena kehabisan daya, dan Akashi malas untuk mengisinya—ia tidak seperti orang lain yang langsung uring-uringan hanya karena ponselnya mati.
Kalaupun ia ingin mengapa-apakan Kuroko, ia akan menunggu Kuroko beranjak remaja dulu. Usia 14 tahun mungkin? Ia tidak sebodoh itu untuk berbuat macam-macam pada bocah polos yang masih duduk di bangku kelas 6 SD. Akashi tidak sehina itu.
Ketika Akashi menepikan mobilnya di depan pintu masuk gedung Bimbingan Vorpal, ia melihat Kuroko tengah bercakap-cakap dengan seorang bocah bersurai merah gradasi hitam, sebelum akhrinya mata bulat itu menangkap keberadaan mobilnya. Bocah itu melambaikan tangan pada kawannya dan langsung berlari menghampirinya.
"Temanmu?" tanya Akashi begitu Kuroko duduk disampingnya. Ia mulai melajukan mobilnya.
Bocah biru itu mengangguk, "Iya. Dia Kagami-kun. Teman sekelasku di sekolah."
Keduanya pun larut dalam obrolan ringan mereka, Akashi selalu menjadi orang yang membuka topik—mengingat bocah disebelahnya itu pendiam. Ia tersenyum geli ketika mendengar Kuroko mengeluh mengenai guru matematikanya yang memberikan Kuroko tugas lebih banyak dibandingkan yang lain karena dirinya lemah dibidang tersebut.
"Aku tidak bisa mengerjakannya," keluh Kuroko. Ia tidak menyukai matematika, dan hal yang mustahil baginya untuk bisa menyelesaikan semuanya sendirian.
"Kau tidak mengerjakannya di tempat kursus tadi?"
Kuroko menggeleng, "Tadi kami membahas materi Bahasa Inggris."
"Aku akan mengajarimu nanti. Sekarang, kita makan dulu. Kau mau makan dimana, Tetsuya?"
Bocah itu terlihat berpikir sejenak, seketika ia teringat obrolannya dengan Kagami dan Ogiwara saat makan siang tadi, "Aku ingin makan ramen. Boleh tidak Akashi-nii?"
Pemuda itu mengangguk, "Tentu. Aku tau kedai ramen yang enak disekitar sini. Tetsuya pasti suka."
Dan bocah itu tersenyum senang begitu Akashi menyetujui usulnya—membuat mood buruk Akashi menjadi jauh lebih baik.
.-.-.
Sepulang dari makan malam—yang lebih dini, Akashi menyuruh Kuroko untuk segera bergegas mandi. Begitu pula dengan dirinya. Seusai mandi, Kuroko langsung mendobrak pintu kamar tamu yang ditempati Akashi.
Pemuda yang baru saja selesai berganti baju itu berjengit kaget, ia menatap Kuroko yang juga tengah menatapnya dengan mata bulat beriris azure tersebut, ditangannya terdapat beberapa buku.
"Mengerjakannya di ruang tengah saja. Kau turun dahulu, nanti aku menyusul," perintahnya begitu menyadari maksud kedatangan Kuroko.
Kuroko menurut, bocah itu langsung pergi ke tempat yang disebutkan oleh Akashi. Meninggalkan Akashi yang kini mulai mengepaki barang bawaannya—mengingat hari ini hari terakhirnya menginap berhubung besok orang tua Kuroko sudah pulang.
Selesai dengan urusan pribadinya, Akashi langsung turun kebawah menuju ruang tengah. Ia menemukan Kuroko tengah menunggunya sambil berusaha mengerjakan tugas itu sendiri.
Akashi beranjak untuk duduk bersila dihadapan Kuroko. Diamatinya bocah itu dalam diam. Baru kali ini Akashi melihat Kuroko begitu serius. Manik azure itu fokus menatap buku dihadapannya, dahinya sesekali mengerut ketika mendapat kesulitan. Ah, manis sekali.
Kuroko mendongak, ia langsung menatap Akashi dengan tatapan memohon—membuat Akashi harus menahan dirinya agar tidak menelan Kuroko bulat-bulat saat itu juga.
"Akashi-nii, aku tidak paham."
Akashi terkekeh, "Yang mana?"
"Semuanya," jawabnya polos.
Pemuda itu pun beralih untuk memangku Kuroko—mempermudahnya untuk menjelaskannya pada bocah itu. Ia meraih buku paket Kuroko dan mulai menjelaskan materi—yang tentu saja sangat mudah bagi Akashi. Bocah itu sesekali melempar tanya jika penjelasan Akashi dirasa kurang dimengerti, dan dengan sabar Akashi kembali menjelaskannya.
Akashi menumpukan dagunya pada bahu mungil Kuroko, mengamati bagaimana si bocah itu mengerjakan sendiri tugasnya. Sesekalinya maniknya melirik kearah Kuroko, mengamati dari dekat betapa manisnya paras itu—membuatnya tersadar, bahwa ia benar-benar jatuh hati padanya.
Akashi bukanlah seorang pedofil. Ia pernah berpacaran beberapa kali sebelumnya. Namun, ia tidak pernah merasakan yang seperti ini.
Hanya saat bersama Kurokolah perasaan Akashi menghangat. Senyum bocah itu mampu menghapus semua beban yang tengah dipikulnya. Perasaan ingin melindungi, memiliki dan membahagiakannya bercampur menjadi satu.
Akashi tidak bodoh, ia tau ini cinta. Terkadang ia berpikir, bagaimana bisa ia jatuh cinta pada seorang bocah? Bahkan ia sudah merasakan adanya benih-benih cinta itu ketika pertama kali bertemu dengan Kuroko.
"Hei Tetsuya, aku menyukaimu," celetuk Akashi tiba-tiba. Ia mengangkat kepalanya dari bahu mungil itu.
Bocah itu mendongak, ia tersenyum menatap Akashi, "Aku juga menyukai Akashi-nii. Akashi-nii baik."
Akashi terkekeh mendengar ucapan polos Kuroko, ia mengusap sayang surai teal Kuroko, membuat bocah itu cemberut karena tidak terima rambutnya diacak-acak oleh Akashi.
Untuk saat ini biarlah seperti ini saja. Ia akan bersabar menunggu Kuroko beranjak dewasa dan menjadikan bocah ini miliknya seutuhnya.
Meskipun itu tandanya ia harus mengundur rencananya untuk melamar Kuroko begitu ia lulus.
.
.
.
END.
