Well, siapapun yang udah pernah baca cerita ini, Floo cuma mau kasih tau kalau (ehem)...kalau Floo memutuskan untuk me-remake cerita ini dengan alasan tertentu, dan membuat konfliknya lebih jelas dan gak berbelit-belit.

Oke selamat menikmati.
Salam kecup.

Tsukyuu Floo Kitsune.

Devil!
Disclaimer : Masashi Kishimoto own all character of Naruto.

Genre : Romance, AU, Adventure, OOC, and OC.

Warning : Typo(s), Ooc, and Crack-pairing.

Special dedicated for :
White Azalea-senpai.

.

.

.

"Entah kehilangan ikatan mana yang lebih menyakitkan,

Apakah kehilangan seorang kekasih?

Ataukah kehilangan seorang sahabat?

Terlebih lagi untuk...selamanya"

.

.

.

Chapter satu : Ikatan Benang Merah.

Tsukyuu Floo Kitsune

Geraman tertahan dipadu dengan tatatapan ketidak percayaan terdengar mengisi atmosfir ruang segiempat tersebut. Dua orang wanita yang memiliki ciri fisik kontras saling berhadapan disudut kamar. Sang wanita berambut pirang itu menatap nyalang pada sosok yang lebih muda padanya sembari mengepalkan kedua telapak tangannya yang berada di sisi–sisi tubuhnya sendiri dengan raut wajah ketakutan yang coba ia tutupi. Sayangnya, ia gagal menyembunyikan ekspresi wajahnya yang dengan mudah dapat dibaca oleh lawan bicaranya.

"Apa yang kau inginkan?," serunya dengan nada emosi yang tertahan.
Yang lebih muda terkikik dengan nada yang membuat bulu roma meremang.

"Senang sekali melihatmu...menciut seperti tikus terpojok, Nona," kalimatnya terdengar mengejek dan itu makin membuat gadis berambut coklat tua itu mengertakan gerahamnya kuat-kuat.

"Ka-kau," tak bisa dipungkiri nadanya terkesan goyah dan juga resah. Tubuhnya telah disuntik sebuah cairan-yang-entah-apa-itu-oleh bedebah didepannya beberapa menit lalu hingga ia hanya bisa terduduk lemas diatas permadani berbulu yang tak jauh dari kasurnya seperti orang lumpuh yang tak bisa apa-apa.

"Sebenarnya apa yang kau inginkan dariku ha?," nada wanita itu meninggi satu oktaf, tak terima diperlakukan dan dihina oleh sosok dihadapannya.

"Tsk, Temari, Temari, masih bisa sombong rupanya?," cemoohan meluncur dari sosok wanita yang lebih muda, ia berkacak pinggang. "aku penasaran bagaimana ekspresimu nanti saat aku memotong daging dan kulit mulusmu itu sedikit demi sedikit," tangan putihnya menjambak rambut wanita yang dipanggilnya dengan sebutan Temari itu dengan kasar. Erangan kesakitan terdengar mengalun dari bibir tebalnya.

"Aaakhh—sa–kitt bereng—sekk," maki Temari sembari mencoba meraih jari-jari sesosok yang kini menyeringai iblis padanya.

"Apa? Sakit? Nona muda bisa merasakan sakit rupanya ya?,"

"Sial—an—Aaarrggghhhh!,"

"Hei, kalau kau tak mau merasakan sakit, seharusnya kau jangan menyakiti orang lain, Nona Temari," bisik sosok itu dengan nada rendah, ia mendengus mengejek saat retinanya menangkap sebuah manekin yang menggunakan gaun berwarna putih indah berbahan sutra dan beberapa mutiara yang menghias dibagian pinggang disudut kamar.

" Aaah, sebentar lagi pernikahanmu digelar ya?," ia bertanya dengan nada santai yang membuat sel syaraf milik Temari menegang.

Tidak. Tidak.

Firasat buruk membayangi benak gadis berparas cantik tersebut. "Cantik sekali gaunnya, kau tak mau mencobanya didepanku Temari?," tanyanya lagi, ia lalu melepaskan jambakannya dan lebih memilih melangkah mendekati manekin itu.

"Ingin kau pakai dengan siapa gaun ini nantinya ahn?,"

Temari mengigit bibirnya. Keberaniannya menguap entah kemana. Sial! Apa dia takut dengan gadis muda dihadapannya?. Virdiannya membola saat melihat tangan ramping itu mengambil sebuah belati kecil dari saku baju miliknya, lalu memutar-mutarkannya dibagian dada gaun tersebut dan dengan sengaja menciptakan sedikit goresan disana.

"Keparat! Jauhkan tanganmu dari sana!," pekik Temari mendapati bagian depan gaunnya robek.

"Ha?,"sang gadis menoleh kearahnya lalu tersenyum kecil. "Apa kau mengatakan sesuatu, Nona?," lalu dengan sengaja ia memainkan belatinya dipinggang gaun itu, beberapa mutiara terlepas dari tempatnya.

Temari mengeram dan berseru. "Baik! Aku akan memakainya,"

Sang gadis berambut pirang itu terang tertawa senang lalu kemudian menyimpan kembali belatinya dan menggerakan jemarinya untuk melepas gaun itu dengan mudah, lalu dengan seenaknya ia melemparkan gaun itu ke wajah yang lebih tua.

"Anak pintar," jelas itu bukan pujian karna diucapkan dengan nada mengejek. Ia terlihat kembali melangkah menjauhi Temari sembari merogoh saku bajunya dan mendapatkan apa yang ia cari. Tangan terampilnya menekan tombol on Dvd player yang terdapat didalam ruangan itu, lalu ia menusukan benda pipih yang ternyata adalah flashdisk itu ke perangkat tersebut, puas dengan hal tersebut kini ia mulai mencari remote control dan menyibukkan diri mengutak-atik benda itu. Sesaat kemudian ia menyeringai.

Temari beringsut kecil, persendiannya masih sangat lemas hingga tak memungkinkannya banyak melakukan pergerakan. Ia membuka bajunya asal dan segera memakai gaun itu dengan emosi.

Shikamaru, cepatlah datang...

Doanya sembari melirik jam dinding yang menunjukkan pukul lima lewat dua puluh menit.

"Wah, kau cantik sekali Temari," puji sosok itu ketika ia memutar tubuhnya dan menemukan Temari yang sudah mengenakan gaunnya. "lebih cantik dari yang kuduga," ucalnya sembari menampilkan seulas senyum sinis.

"Aku sudah menemukan lagu yang cocok untuk pernikahanmu nanti, Nona," sang gadis menekan tombol volume sekuat-kuatnya, dan kemudian tangga nada yang samgat rumit terdengar berbaur memenuhi atmosfer ruangan, Temari tertegun dalam keheningan, suasana tegang yang meluap sejak tadi beralih menjadi tak nyaman. Ada perasaan sepi dan keputuasaan yang besar yang dapat Temari rasakan, ia bahkan menahan napasnya saat suara–suara yang terdengar makin bersahutan dan menjadi harmonisasi yang sangat rumit.

"Namanya Symphoni No. 9, dan dari cerita yang kudengar...lagu ini adalah kutukan," suara itu terselip diantara harmonisasi lagu, Temari mengigit bibirnya dengan keras sembari meenggelengkan kepalanya, ia tak tau mengapa ada sesuatu yang asing melesak masuk dan menggedor relung hatinya. Pelan–pelan airmata Temari menetes melewati pipinya, awalnya hanya setetes dan kemudian dua tetes, kemudian Temari tak tau berapa banyak air yang menetes dari matanya.

"Loh? Kenapa menangis Nona?," tanya sang gadis dengan ekspresi yang dibuat sepolos mungkin. "Wajahmu kacau sekali? Mungkin kau harus mandi, ayo, biar kubantu," ia menyeret lengan itu menuju kamar mandi dengan kasar dan kemudian menghempaskannya kelantai, membuat tubuh Temari jatuh berdebam.

"Aku bahkan sudah menyiapkan tempat yang sangat indah untuk bulan madu kalian," ia berucap sembari memutar keran guna mengisi penuh bath up dengan air hangat.

Sang gadis mengeluarkan belatinya kembali, memainkannya dengan terampil kemudian ia kembali mendekat dan berjongkok didepan Temari yang semakin kesulitan mengontrol tubuhnya, sebelah tangannya yang kosong mencengkram erat rahang pipi Temari dan maniknya pun langsung menumbuk iris kehijauan yang memandangnya penuh kebencian.

Ia kembali menyunggingkan senyum manisnya. "Namanya...adalah neraka," bisiknya, ada kilat sendu yang tak dapat ditangkap Temari dari manik dihadapannya. Ia kembali memaksa Temari berdiri dan membuatnya masuk kedalam bath up. Air mulai memenuhi volume didalam benda tersebut dan Temari pun meronta hebat, menendang–nendang dan mencoba melepaskan diri meskipun usahanya terlihat sia–sia.

Sret.

"Aaaaaaaaakkh," teriaknya saat menyadari belati itu telah memotong urat nadi di pergelangan tangannya. Temari menangis lebih keras, ia merasakan panas terbakar dari tangannya.

"Shika— Shika—Shika—," panggilnya, namun sosok yang ia panggil tak juga menunjukkan dirinya.

Semakin Temari berusaha keras untuk memberontak, semakin juga pandangannya berkunang–kunang. Yang ia tahu selanjutnya hanyalah suara mengerikan dari Symphoni No. 9 dan juga warna pirang yang berkibar didepan matanya, sebelum kegelapan memeluknya lebih dalam, dan dalam lagi untuk...selamanya.

"Jangan menyalahkanku, Temari. Kau yang memaksaku melakukan ini semua,"

Tsukyuu Floo Kitsune

Dengan raut lelah pria bermata kelam itu melangkah keluar dari gedung pencakar langit yang telah menaunginya sejak ia lulus masa kuliahnya dua tahun yang lalu, bergegas menuju tempat parkir guna menggambil mobilnya yang sejak pagi telah berdiam diri disana agar bisa segera pulang ke appartement yang kini ia tempati dengan tunangannya, ia kembali menyunggingkan senyumaan dibibirnya kala mengingat sosok cantik bermata virdian yang akan menyambutnya pulang dengan senyumannya. Nara Shikamaru—nama pria tersebut segera memacu kendaraannya membelah jalan tol Konohagakure dalam kecepatan yan tinggi, ia pulang sedikit lebih lambat dari jam biasanya hari ini, dan ia tak mau tunangannya mengkhwatirkannya dan berakhir dengan wanita itu pergi kantornya di cuaca musim gugur yang sangat dingin ini.

Shikamaru menurunkan kecepatannya saat melihat kemacetan panjang yang terjadi, ia mengernyitkan dahinya melihat keributan didepan sana. Setidaknya ada sekitar lima buah mobil yang berhenti tak jauh dari mobilnya. Ia menurunkan kaca jendela mobilnya kemudian menjulurkan kepalanya keluar. Ada seorang pria paruh baya yang berjalan mendekat ke arahnya dengan wajah yang seperti ingin muntah.

"Maaf pak," Shikamaru menyapa dengan nada sungkan. Pria itu menoleh dengan alis tertaut.

"Ya?,"

"Ada kemacetan apa didepan sana?,"

"Ooh," sang pria tampak menelan air liurnya susah payah "ada seorang wanita berambut pirang tertabrak sebuah truk, wajahnya hancur dan kepalanya pecah bahkan isinya sedikit tercecer dengan darah dimana–mana, sangat tragis," ucapnya dengan nada enggan."dan truk yang menabraknya pun melarikan diri, kami sudah menelpon polisi tadi. Semoga saja mereka segera datang dan membereskan kekacauan ini,"

Shikamaru menganggukan kepalanya sembari berucap terimakasih lalu menghela napasnya bosan, ia tak mungkin menunggu kekacauan didepan sana yang entah kapan selesainya 'kan? Itu sebabnya ia memilih membanting setir dan memutar kendaraannya menuju jalan alternatif lainnya tanpa mau ikut campur dengan kejadiaan didepan sana.

Wanita yang malang.

Batinnya sembari menatap keramaian itu dari spionnya.

Tsukyuu Floo Kitsune

Shikamaru mengernyitkan dahinya saat mendapati pintu appartementnya tak terkunci dengan benar, ia kemudian hanya mengendikkan bahunya berpikir barangkali tunangannya itui sengaja melakukannya.

"Temari," pantaunya pelan memanggil nama wanitanya. Tak ada sahutan didalam sana, Shikamaru melangkah masuk melewati pintu itu, melepaskan sepatunya sembari memandang ke sekeliling ruangan hanya untuk mendapati kealphaan yang terjadi diruang tengah itu.

Biasanya Temari akan berdiri menyambutnya, dan segera memeluk Shikamaru saat pria itu datang. Sayup–sayup Shikamaru mendengar suara musik yag menggema dari dalam kamar milik Temari, ia makin mengernyitkan dahinya heran mendengar alunan musik klasik tersebut.

Apa kekasihnya menaruh minat pada aliran musik klasik?

"Temari?," Shikamaru memanggil dengan nada yang sedikit ditinggikan, membuka pintu kamar yang terbuat dari kayu mahoni itu setengah dan ia bisa mendengar suara gemericik air didalam sana bersaing dengan suara musik yang berasal dari Dvd player dan berpikir kekasihnya tengah mandi, hampir saja ia menutup kembali pintu itu kalau matanya tak menangkap sesuatu yang ganjil.

Gaun pengantin yang dipasang pada manekin di sudut ruangan Temari tidak ada. Tidak mungkin Temari mengirimnya kembali ke desainer yang kemarin ia tunjuk itu 'kan? Pembuatannya saja memerlukan waktu hampir berbulan–bulan sedangkan tenggat waktu pernikahan mereka hanya kurang dari dua minggu.

Shikamaru memutuskan untuk masuk ke ruangan itu, berdiri didepan pintu kamar mandi dan mengetuknya.

"Temari," panggilnya dan makin menajamkan pendengarannya, Shikamaru kembali mengetuk daun pintu sedijit lebih keras. "Temari," ia memanggil nama gadis itu lagi.

"Hei, apa kau mendengarku?," ia bertanya dengan nada yang mulai cemas. "Temari!,"

Shikamaru mengenggam knop pintu dan sudah akan membukanya saat ia melihat sesuatu yang merembes keluar dari celah bawah pintu dan membuatnya tertegun. Sesuatu yang membasahi telapak kaki Shikamaru itu adalah liquid yang ia yakini adalah air, hanya saja air itu tak berwarna bening seperti biasanya, agak keruh dan meskipun samar Shikamaru tau air itu sedikit tercampur oleh warna merah.

"Temari!," Shikamaru berseru sembari mendorong daun pintu itu dengan kasar, dan hatinya mencelos mendapati sosok yang mengenakan gaun pengantin terendam dengan air belimpah didepan sana .

"Te—mari?," dalam ketidakpastian kaki Shikamaru berlari menuju bath up tersebut dengan pikiran yang melayang entah kemana, merengkuh gadis itu dalam pelukannya sebelum jatuh berlutut disisi bath up "ke—kenapa?," bisiknya parau. Ia segera mengangkat tubuh yang mendingin itu dari dalam bath up dan kembali mendekapnya erat, sedetik kemudian tangan kiri Shikamaru bergerak meraba saku jasnya dan menemukan benda persegi canggih disana.

Ia menekan speed dial nomor satu, dan benda itu segera menghubungi seseorang dengan kontak nama bertuliskan Ino disana.

"Ino, angkatlah, ku mohon," pintanya parau, matanya memanas dan menyadari ada cairan yang akan tumpah dari kelamnya malam itu.

Setelah sepuluh detik yang berlalu bagaikan sepuluh jam akhirnya ia tersambung diseberang sana.

"Hallo?," sapa suara lembut diseberang sana.

"Ino! Tolong aku! Temari, Temari, dia—," Shikamaru menjeda ucapannya hanya untuk melihat garis horizontal dipergelangan tangan gadisnya. "Dia terluka," ucapnya kemudian dengan nada putus asa.

"Maaf, apa anda mengenal pemilik nomor ini?,"

Shikamaru terkesiap, bibirnya menggumam pelan dan kini menatapi wajah pucat Temari. "Ya?,"

firasatnya mengatakan ada yang salah disini.

"Pemilik nomor ini ditemukan tewas dalam tabrak lari di dekat prefektur Nagoya, jenazahnya akan segera di—,"

Prak.

Benda itu terhempas diatas lantai marmer. Airmata Shikamaru mengalir juga pada akhirnya.

Bohong! Tidak mungkin!

Ino tidak munkin kecelakaan! Ino tak mungkin tewas! Ino–nya tak mungkin meninggalkannya!

Bohong?

Ia menggeleng sembari berdiri dengan tertatih, mengendong tubuh Temari dengan tatapan kosong dan mulai melangkah setelahnya. Prefektur Nagoya adalah kawasan yang ia tempati, dan itu berarti...

"ada seorang wanita berambut pirang tertabrak sebuah truk, wajahnya hancur dan kepalanya pecah bahkan isinya sedikit tercecer dengan darah dimana–mana, sangat tragis,"

Apa hari ini adalah april moop? Rasanya bukan, ini bulan September, dan seingatnya tidak ada acara bodoh seperti itu dibulan ini.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Airmata Shikamaru mulai jatuh mengenai tubuh wanitanya.

Ia bahkan tak tau untuk siapa sebenarnya airmatamya turun. Hatinya berdenyut, terasa dicubit. Ia bahkan merasakan paru–parunya terasa mengkerut, membuat napasnya menjadi terputus–putus dan pandangannya memudar, Shikamaru mencoba sekeras mungkin untuk tetap tersadar dan makin mengeratkan dekapannya. Entah mengapa pintu utama appartement makin terasa jauh dari jangkauannya.

Hal terakhir yang terus terekam dalam otaknya adalah Shymponi No. 9 yang mengurungnya dalam kesepian dan kegelapan.

Tsukyuu Floo Kitsune

Pria bersurai bata itu menatap intens sosok yang terbaring lemah diatas kasur diruangan dengan berbagai peralatan canggih yang biasa disebut sebagai laboratorium. Disisinya ada seorang lelaki bermata lavender yang tengah mengetuk–ngetukan jarinya diatas sebuah papan data yang terdapat beberapa lembar kertas yang tak akan dimengerti oleh orang awam.

"Kimimarou" panggilnya nyaris berbisik.

"Ya, Gaara—sama?,"

"Berapa persen ia bisa bertahan?,"

Pria bemata lavender itu terdiam sesaat—terlihat menimbang satu, dua jawaban sebelum berujar dengan pelan. "Sembilan belas persen, itu kemungkinan terburuknya," ia melirik wajah tanpa ekspresi tuannya dan berkata lagi. "Paling tinggi adalah dua puluh tujuh persen,"

Hening. Belum ada respon yang diberikan oleh pria tampan itu.

"Kita gunakan NPS," sahutnya kemudian.

"Maaf?," tanya pria itu terkejut. Gaara menoleh dan melemparkan sebuah tatapan tajam mematikan padanya. "Aku tak suka jika harus mengulangi perkataanku,"

"Ya—maksudku, aku mendengarnya dengan jelas," pria itu bergumam dalam hatinya kemudian sangat jelas bahkan "tapi bukankah NPS belum sempurna? Dan aku masih belum tau apakah itu aman atau tidak, maksudku—,"

"Aku yang akan menyempurnakannya," ungkap Gaara sembari menjeda ucapannya "lalu ia akan menjadi anggota ke empat," lanjutnya dan kemudian berbalik menuju pintu ruangan itu. Kimimarou sedikit terkejut mendengar ucapan Gaara.

"Gaara—sama," panggilnya.

"Jangan banyak bicara, Light,"

Karna aku pasti akan membawanya kembali, bagaimanapun caranya.

Brak.

Daun pintu terbuka lalu tertutup lagi sedetik kemudian, Kimimarou menghela napas sembari melihat sebaris nama yang terukir diatas kertas yang saat ini ia pandangi.

"Mungkin ia tertarik denganmu, Nona," Kimimarou meletakkan papan data itu diatas meja kerjanya dan kemudian melangkah keluar.

Tanpa ia sadari air mata menetes perlahan dari kelopak mata yang tertutup itu. Dan dalam keheningan sang gadis mengucapkan satu bait nama .

"Shi—ka—ma—ru," sangat pelan, bahkan nyaris tanpa suara. Jendela yang terbuka membiarkan angin musim gugur masuk menyibak gorden ruangan tersebut dan kemudian menyapa meja mahoni disudut ruangan. Sedikit mengusik lembar–lembar kertas disana hingga sebagian ada yang berterbangan dan sebagian lagi hanya sedikit tergeser.

Lalu salah satu lembar yang tergeser itu memperlihatkan ukiran nama sederhana diatas kertas yang terjepit papan data berwarna merah.

Yamanaka Ino.

.

.

.

Bersambung.

Hi Dear!

Akhirnya remake cerita ini Floo buat juga dengan Sistem Kejar Kebut.

Semoga kalian suka dengan prolog ini ya?

Dan khusus untuk Lea—nee, uughh, maaf banget karna hampir aja aku mentelantarkan ff ini Nee—chan. T_T

Samarinda, 17 January 2016

Tsukyuu Floo Kitsune.

Long Live ShikaIno!