Bedenke das Ende

Shingeki no Kyojin dan Karakter milik Isayama Hajime

Bagian 2: Perjanjian


"Semua berawal dari permintaan gadis baik hati yang berniat tulus menolong pelayannya. Jarang ada gadis keturunan elit seperti itu, kau bisa bilang aku sangat tergoda untuk membantunya sebisaku."

Erwin Schmidt membalas tatapan galak itu dengan senyuman riang. Pria yang menjadi lawan bicaranya hanya berdecak tak sabar sebagai ganti kata perintah, "...jadi? Lanjutkan!" (sungguh dia sudah sangat memahami pria ini) jadi dia kembali bicara, urung menceritakan pengalamannya dua hari terakhir.

"Namanya Eren Jaeger," Erwin melirik sekilas pada pemuda yang duduk canggung di sampingnya, mencuri-pandang pada pria galak di seberang meja yang membuatnya menciut, "Eren, ini Levi. Dia salah satu pemilik bisnis distribusi yang cukup terkenal di sini. Levi, aku meminta bantuanmu untuk menampungnya di sini."

Lelaki bernama Levi itu akhirnya membalas, walau dengan nada kasar, "Kau kira ini panti sosial, heh? Tiap kali punya masalah dengan orang tak berguna kau selalu melimpahkannya padaku."

Erwin mengernyit, "Coba sebutkan 'orang tak berguna' yang kau maksud itu?"

"Kacamata mesum, dan jangan lupakan si jompo Arlert."

"Hoo…tapi kudengar kau sempat memuji Arlert karena ketrampilan berhitungnya."

"Kita sedang membicarakan masalah-masalahmu, Erwin. Soal itu urusan lain. Dia juga sudah renta, tak mungkin lah kupekerjakan terus."

"Bukankah dia punya cucu lelaki yang mewarisi keahliannya? Armin, iya 'kan?"

"Oh. Aku lupa soal bocah itu. Dia ikut terseret ke sini juga gara-gara ulahmu."

Erwin terbahak, "Singkatnya aku disalahkan karena sudah menarik orang-orang berbakat ke dalam bisnis ini."

"Kacamata brengsek itu tak punya bakat," Levi membalas sengit, "Lihat saja metode coba-coba yang dia terapkan. Bikin rusak jalur stabil saja."

"Oke… oke… dengar dulu Levi... Eren punya pengalaman kerja di banyak tempat dan dia sangat rajin, aku bisa menjamin itu jadi tolong pertimbangkan—"

"Armin… Arlert?"

Erwin dan Levi otomatis memandang Eren.

"Armin… dia di sini?"

"Kau kenal Armin, Eren?" Erwin menunduk, memandang lurus-lurus pada sepasang mata hijau yang berbinar. Tatapan sukacita pertama yang dia lihat dari pemuda itu.

Eren mengangguk semangat.

"Baguslah. Dia kenal Armin juga lho, Levi!"

"Lalu memangnya kenapa?"

Walaupun Levi sudah memberinya tatapan galak yang akan membuat orang normal lainnya menciut tetap saja, tetap saja dia tak bisa menolak seorang Erwin Schmidt.

"Nifa!" Levi mengeraskan volume suaranya tepat saat seorang wanita yang membawa peti kayu lewat di depan pintu.

"Ya, Boss?"

Levi memberi tanda dengan satu anggukan kepalanya pada Eren, berkata,

"Bantu Nifa menyortir barang. Dia Eren Jaeger. Taruh dia bersama Arlert. Ya Nifa, anggota baru...," dia mendelik ke arah Erwin saat mengatakan itu, "Bawa dia ke Arlert, suruh orangtua itu mengajari anak ini berhitung, lalu bilang ke kacamata kalau logistik di distrik selatan terhambat lagi dan... Hei, bocah! Cepat angkat pantatmu itu! Sudah kubilang bantu Nifa menyortir barang 'kan?!"

Eren langsung berdiri dengan sigap seolah kena setrum. Wajahnya memucat saat diberi lirikan keji dari pria berperawakan kecil itu, lalu lebih rileks saat melihat Erwin yang mengangguk menenangkan. Pemuda itu balas mengangguk dan mengikuti anak buah Levi dengan ekspresi yang lebih mantap. Dia bahkan mengajukan diri untuk menggantikan wanita itu membawa peti kayu.

"Jadi," Levi seketika mengarahkan gerutuannya kepada Erwin yang masih mengawasi obrolan ringan antara Nifa dan Eren yang semakin menjauh, "Siapa dia?"

"Oh... jadi dimulai dari permintaan—"

"Hentikan basa basimu itu Erwin."

Erwin menahan diri untuk tidak tertawa. Membuat Levi jengkel mungkin bisa dibilang termasuk salah satu hobinya.

"Saudara dari pelayan Historia."

Levi mengernyitkan alisnya yang tak mungkin lagi bisa mengerut lebih dari itu, "Saudara— pelayan...?"

"Historia," Erwin menambahkan dengan kalem, "Calon istriku."

"Dan?" Levi membalas lagi, masih memasang tampang tak tertarik walau lawan bicaranya itu telah memberi penekanan pada 'calon istri'.

"Hmn... apa lagi yang harus dijelaskan? Aku cuma meminta bantuanmu untuk menampungnya saja."

Levi berdecak tak sabar.

"Apa harus kusebut lagi aturan mainku, eh? Minimal tahu sejarah orang yang kutampung lah! Apalagi kalau mereka berasal darimu!"

Erwin berpikir sejenak. Levi adalah satu dari sedikit orang yang sangat dia percaya.

"Anak itu berasal dari Freudenberg."

"Tch. Dari kampung para jalang. Pantas."

Tapi Erwin mengernyit tak senang, "Jangan sebut ini di depan Eren. Dia cuma korban, asal kau tahu saja."

"Aku tak pernah bermaksud mengatai bocah Jaeger-mu," Levi membalas agak defensif, "Aku hanya bermaksud mengejekmu, Erwin. Asal kau tahu saja."

Erwin tersenyum.

"Kau tahu soal Freudenberg? Pernah main kesana ya?"

Kening Levi berkerut galak, tapi tak menjawab pertanyaan retorika Erwin, yang masih menambahkan, "Tapi aku harus berterima kasih untuk ejekanmu itu."

Levi masih memasang tampang defensif, ditambah decakan tak sabar yang bisa diartikan oleh Erwin sebagai, 'mati saja kau sana daripada bilang terima kasih!' dan desis jengkel yang sangat ketara "Jangan bilang kau mengambilnya tanpa ijin! Hanya karena opinimu soal, apa tadi? Bocah itu cuma korban..."

"Tenang saja Levi. Mana mungkin aku membawa Eren ke tempatmu kalau masih bermasalah dengan mereka 'kan? Aku tak akan membuatmu repot lebih jauh lagi."

Levi mengulang 'Tak mau membuatku repot? Sombong sekali kau,' dengan nada merendahkan. namun Erwin membalasnya dengan senyuman, memandang lawan bicaranya lurus-lurus, bersiap membalas argumentasi lain.

Kalimat Levi setelah itu semakin membuat Erwin menaikkan sudut-sudut bibir.

"Awas saja kalau bocah itu tak bisa kerja!"


Historia Reiss memahami benar maksud ucapan Reiner tentang keselamatan, dan dia mengerti bahwa sudah menjadi tanggungjawab butler tersebut apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan selama nona muda Reiss menikmati jatah wisatanya, dan bahwa rute wisata tak boleh diubah demi alasan keselamatan tersebut. Tapi Historia tidak begitu memahami mengapa Reiner masih berwajah masam. Padahal pengawal-pengawal Schmidt, yang jelas lebih berkompeten daripada rombongan mereka, telah dikerahkan. Seperti semburan kalimat pedas Ymir yang diucapkan keras-keras pada Reiner tadi, "Kencan dengan tunangan itu hak Historia 'kan?! Lagipula siapa coba mau menyerang anggota keluarga Reiss di saat- saat ini?! Mereka pasti bukan orang waras. Sama halnya dengan butler paranoid yang dimiliki keluarga ini."

Historia samar-samar bisa mengartikan tatapan Reiner tadi. Tapi maaf saja, karena kali ini dia tak bisa jadi pihak netral. Historia sudah sangat menantikan pertemuan dengan Erwin Schmidt lagi. Pikiran itu malah membuat wajahnya bersemu merah, sampai-sampai membuat Mikasa memajukan badannya sedemikian rupa di kabin kereta kuda kecil tersebut hingga memenuhi pandangan Historia, dan bertanya khawatir, "Anda baik-baik saja?"

"I-iya," dia mendengar dirinya menjawab terbata, tangan kiri langsung meraba poni dan kepang rambut dengan gelisah, "Mikasa... begini… Tuan Erwin bilang dia sudah menemukan saudaramu— eh, jangan bilang Reiner! A-aku tahu seharusnya memberitahumu sejak awal, tapi Reiner pasti tak akan suka kalau alasanku memaksa bertemu Tuan Erwin adalah untuk mempertemukanmu dengan—"

Historia berhenti bicara, karena Mikasa memeluknya erat hingga mengalahkan ketatnya korset yang dia pakai.

"... maaf sudah membuat repot nona Historia hingga sejauh ini. Terima kasih..."

Historia jadi merasa agak bersalah saat melihat genangan familiar di sudut mata Mikasa. Sebenarnya alasan utama Historia bukan itu, alasan sebenarnya...

… senyuman Erwin Schmidt saat menyambut tangan Historia, membantunya turun dari kereta kuda, sukses membuat gadis itu bersemu merah. Tak banyak lelaki yang pernah menyentuhnya dengan begitu halus, dan lagi, bukankah Schmidt ini sudah menjadi tunangannya? Mengapa dia harus risih?

"Jauh ya?" Erwin berkata pelan, masih menuntun Historia melalui tangannya (lengan Historia menggantung kikuk, tapi dia masih mencoba bertahan), "Maaf tiba-tiba menyuruhmu kemari. Tenang saja, ini masih lingkungan kerja rekan Schmidt, kalau itu yang dikhawatirkan pengawasmu yang berwajah masam di sana," Erwin menambahkan dalam bisikan. Historia tersenyum sambil mencuri pandang pada Reiner yang masih berdiri di samping pintu kereta. Agak merasa bersalah karena kemungkinan Reiner-lah yang nanti akan kena bentak. Di belakang Historia, Mikasa mengekor patuh. Kelihatannya sudah diperintah oleh Reiner karena gadis itu membawa keranjang keperluan Historia.

Erwin menggenggam tangan Historia dan menggiringnya masuk ke salah satu bangunan yang jumlah peti kayu di latar depannya tak begitu banyak. Agak mengejutkan bagi Historia saat memasuki bangunan tersebut karena dia membayangkan bau pelitur atau setidaknya debu kayu. Ruangan yang mereka masuki minim perabotan. Satu-satunya perabot yang kelihatannya berharga adalah jam dinding di sudut, bau sitrus dan cairan pembersih mendominasi udara. Erwin menuntun tunangannya ke salah satu kursi empuk; yang walaupun tampak tua namun kelihatan terawat. Mikasa memecah keheningan dengan menanyakan arah dapur karena dia akan menyeduh teh.

"Mikasa… lama tak jumpa," Erwin berkata seolah dia tadi tak melihat gadis itu, "Yah. Dapur… dapur… Jurgen, antarkan Mikasa," dan menambahkan saat pelayannya mulai bergerak, "… panggil Artlet juga, suruh dia bantu."

Historia bisa melihat mata Mikasa melebar, melihat Erwin lekat-lekat namun tak mengatakan apapun, lalu berbalik mengekor Jurgen.

"Jalan-jalan keluar hanya dengan dua pelayan?" Erwin membuka pembicaraan.

"Eh… tidak, Ymir membawa pulang sebagian besar formasi, jadi yang tersisa hanya Reiner dan Mikasa."

"Oh. Pengertian sekali sepupumu itu."

Historia mengangguk senang dan pembicaraan mereka mulai beralih mengenai Ymir. Sementara itu Mikasa mendapatkan kejutannya di dapur.

Awalnya, setelah selesai mengelap perangkat minum teh dari dalam keranjang yang dia bawa, Mikasa baru akan menanyakan dimana letak teko didih dan dimana dia bisa mengambil air bersih. Kemudian matanya menangkap sosok yang sangat familiar. Sosok yang dia pikir tak akan pernah ditemuinya lagi sejak berpisah dengannya setahun lalu.

Mikasa berbisik, "Armin… bagaimana mungkin…?" bahkan nyaris menjatuhkan cangkir yang dia pegang. Matanya belum begitu berkabut, hingga melihat sosok lain di belakang Armin.

"EREN!"

Mikasa mengabaikan daun-daun teh yang berserakan di bawah kakinya. Dia berlari ke arah pemuda bertampang sedih yang menggaruk lengannya malu-malu, memeluknya erat seolah tak ada hari esok.

Eren mengelus punggung Mikasa yang bergetar hebat dikuasai emosi, bertukar pandang dengan Armin yang kedua matanya memerah, keduanya saling memberi senyuman senang. Eren menenggelamkan wajahnya di bahu Mikasa dan berbisik pelan dengan suara serak, "Kita masih hidup, ya…."


Malam itu Erwin Schmidt memutuskan untuk menginap di markas pusat distribusi, terlepas dari ancaman Levi bahwa mereka tak akan menyediakan kasur baginya dan bagi para pengawalnya.

"Cari hotel sana! Bikin kotor tempatku saja!"

Alasan Levi marah-marah lebih karena dia menemukan jejak lumpur di teras kantor. Bekas sepatu salah satu pengawal Historia yang tadi meminjam toilet, mungkin.

"Kalau kau pikir rumahku tempat romantis untuk ketemu dengan tunanganmu, beli saja tempat ini. Aku bisa pindah."

Betapa Erwin bersyukur Levi sedang ada tugas dinas tadi, saat rombongan Historia datang.

"Hmm… tapi bisnismu ini berjalan dengan enam puluh persen modalku lho, Levi. Bagaimana nanti status jual-belinya?"

"Woi brengsek, rumah ini properti pribadi milikku tahu. Bukan aset perusahaan! Jangan bilang kalian tadi pakai tempat tidurku juga, eh?"

Erwin menahan diri untuk tidak mendengus, "Kudengar Hange menangkap beruang? Divisi mereka mau pesta beruang panggang, jadi pengawalku berkumpul di tempat Hange. Cuma aku sendiri yang numpang di sini."

"Numpang saja ke tempat si kacamata sekalian."

"Hmm… aku 'kan mau ngobrol denganmu, Levi."

Levi mendecak tak sabar, "Eren."

"Eh…?"

"EREN! Woi, bocah…!" Levi berseru keras, gema suaranya bahkan mengalahkan dentang jam dinding yang berbunyi nyaris bersamaan dengan teriakannya, "Bukan denganku, tapi dengan bocah itu 'kan?" dia menambahkan sambil berdiri, melepas tali pengikat kerah kemejanya, "Kau bisa tidur sekasur dengannya. Jangan masuk kamarku."

Levi meninggalkan Erwin yang masih duduk terbengong, di seberang mereka Eren datang tergopoh dengan berisik. Pemuda itu sempat menendang gantungan mantel yang langsung jatuh dengan bunyi kelontang keras. Eren cepat-cepat meraih ujung batang gantungan, panik meraih mantel serta topi yang berserakan. Saat Levi berdecak tak sabar, Eren mengerling gelisah namun telah berhasil menata kembali kekacauan yang dia buat. Walau begitu saat melihat tatapan Levi lagi, lengannya yang gugup membuat Eren mengulang kesalahan yang sama. Levi kembali berdecak tak sabar untuk yang kesekian kalinya dan menoleh tertarik pada Erwin yang susah payah menahan tawa. Lelaki itu bahkan sampai menutup mulut dengan tangannya yang masih utuh, terbungkuk-bungkuk hingga bahunya bergetar.

"Bisa kerja, eh? Kau tak tahu betapa cerobohnya bocah ini," dan tanpa memandang pemuda yang berwajah merah merangkak di dekat kakinya, memungut topi yang kembali terlempar untuk kedua kali, Levi berkata dengan suara yang lebih pelan, "Tuh, dicari Tuanmu."


"Saya bisa tidur di sofa ruang bawah!"

Eren bergerak mondar-mandir di dalam kamarnya, mengelap sana-sini, merapikan ujung seprai yang menurut Erwin sudah sangat rapi. Lagipula ranjang itu akan berkerut lagi saat dipakai nanti, dan kamar itu sudah sangat bersih menurutnya.

Levi telah menularkan obsesinya pada Eren.

Levi, walau bertingkah arogan dan kelihatannya selalu merasa tak puas, sangat menghargai loyalitas. Lelaki itu akan memperlakukan anak buahnya dengan harga yang sama dengan kadar kesetiaan mereka. Dilihat dari fasilitas yang didapat Eren, terlepas dari vonis ceroboh, pemuda itu sepertinya bekerja dengan cukup baik. Eren mendapat kamar di rumah Levi (seingat Erwin dulunya tempat ini gudang barang antik), bahkan mendapat meja dan perabot sederhana dari kayu. Setelah mengamatinya selama beberapa saat, Erwin mengenali perabotan itu.

"Levi memberimu ini?"

"Eh, iya. Tuan Levi menyuruh saya mengambil meja dan lemari itu dari gudang penyimpanan. Buatannya agak kasar," Eren tersenyum bangga, "…tapi saya diajari untuk sedikit menghaluskan permukaan dan tepi-tepinya. Setelah melihat hasil kerja saya, Tuan Levi sekarang memberi kerjaan di bagian kualitas peti kemas."

"Hmm," Erwin mengusap permukaan meja yang hanya ditempati oleh teko, gelas, lap, dan dua buku, "…jadi lebih halus sih. Kupikir sudah dibuang Levi. Meja ini."

"Eh?"

Erwin bertatapan dengan Eren yang memucat.

"Iya. Ini buatanku. Levi tak bilang?"

"Tuan Levi hanya bilang kalau meja ini buatan—" wajah Eren memerah tiba-tiba, "—maafkan saya sudah lancang!"

"Maaf untuk apa?"

"Soal—" Eren melirik pintu seakan-akan sedang mencari alasan untuk pergi tanpa menyinggung tamunya. Tingkahnya itu membuat Erwin mendengus geli.

"Ini memang buatanku di waktu luang dulu. Aku bisa membela diri soal kualitas jelek," Erwin mengangkat bahu kanannya yang buntung, "Salahkan ini."

Tapi sepertinya Eren tak bisa memahami humor itu karena wajahnya jauh lebih pucat daripada tadi.

"Punya gantungan baju?" Erwin memecah keheningan, memutuskan sudah waktunya meninggalkan mood tak nyaman.

Eren tersentak, lalu mengangguk, berjalan menyeberangi kamar dalam dua langkah untuk mengambil gantungan baju dari dalam lemari.

"Saya… saya bisa bantu anda,"

"Oh," Erwin membiarkan pemuda itu melepas tali pengikat kerahnya. Dia bahkan melepas kancing lengan Erwin. Tangannya berhenti di garter lengan kemeja penyangga kain di bagian yang buntung.

"Maaf…."

"Kau terlalu banyak minta maaf," Erwin mendengus, melepas garter dengan satu sentakan. Eren berdiri diam, berpindah dari satu kaki ke kaki lain, menggigit bibirnya sambil melirik Erwin dengan gugup. Jelas sekali tidak tahu apa lagi yang harus dia lakukan.

"Terima kasih Eren, aku sudah biasa menggunakan satu tangan. Kau tak perlu memanjakanku."

Tersentak, Eren setengah menyambar kemeja yang sudah terlepas dari badan Erwin dan memasangnya di gantungan baju. Dia menatap lengan buntung Erwin selama beberapa saat, lalu malu sendiri saat Erwin memergokinya.

"Sa-saya taruh di lemari… ka-kalau ada perlu, Tuan bisa panggil saya."

"Mau kemana?"

"… ke ruang tengah," Eren mengulang pernyataannya tadi soal tidur di sofa lantai bawah.

"Ini kamarmu, dan ranjang itu bisa untuk berdua 'kan?" Erwin menyentuh dagunya, sambil memandangi ranjang Eren, "Saranku… potonglah ranjang ini. Kamarmu bisa kelihatan lebih luas."

"Eh, ah… apa ranjang itu juga buatan Tuan Erwin?"

"Hampir semua perabot di kamarmu ini buatanku lho. Sudahlah, tidur saja di sini. Tak enak kalau harus mengusirmu."

Eren ragu selama beberapa saat sebelum mengangguk pelan. Dia menyimpan kemeja dan celana panjang Erwin di lemari lambat-lambat. Saat berbalik, Erwin sudah duduk di tepi ranjang. Menatap Eren dengan tenang.

"Jadi? Pilih posisi favoritmu," lelaki itu berkata sambil menggaruk lengannya yang buntung. Kelihatannya juga menahan kuapan.

Eren mengangguk, menutup pintu kamar, dan menuju ranjang dengan langkah pelan. Dia naik melalui kaki ranjang, memilih posisi di dekat dinding, lalu bergelung diam dengan punggung mengarah pada Erwin, yang masih duduk di tepian, agak keheranan selama mengawasi tingkah Eren.

Eren bahkan tidak memakai bantal, pemuda itu memilih untuk menggunakan lengannya.

"Kau tidur masih berpakaian lengkap?"

Sunyi selama beberapa saat. Lalu suara Eren terdengar teredam, "Tuan Erwin… apa Tuan ingin—dengan… saya…?"

Erwin terperangah, lalu menepuk dahinya keras-keras, membuat Eren bergerak gelisah dari tempatnya berbaring.

Erwin lupa kalau Eren adalah kasus spesial.

"Sori, Eren! Bukan itu maksudku, dan tentu saja aku tak memiliki niat apapun," Erwin mengumpat diam-diam dan teringat Levi. Apa mungkin Levi membuatnya tidur di kamar Eren karena dia juga memiliki pikiran….

"… dengar, aku cuma mau tidur, dan… pakailah bantal!" Erwin menghempaskan satu-satunya bantal Eren ke arah si pemilik yang terlonjak kaget, sebagai pelampiasannya pada Levi yang entah kenapa dia merasa berhak untuk melampiaskannya pada Eren juga. Erwin meraih selimut kain yang ditemukannya terlipat rapi di bawah bantal, berkata, "Hmm… kita tak mungkin berbagi kain kecil ini jadi kau bisa dapat bantal, aku pakai selimut. Cukup adil 'kan?"

Eren meraih bantal yang mendarat di pantatnya dan bangun dengan tiba-tiba.

"Untuk Tuan Erwin saja!"

"Hei, sudah kubilang—"

Eren bergeming, masih menggenggam bantal dan menyorongkannya pada Erwin.

"Tuan Erwin sudah berbuat banyak untuk saya!"

Erwin kembali menggaruk lengannya yang buntung. Kali ini tak segan menguap.

"Kalau soal itu sih, 'terima kasih' sudah cukup— tunggu! Aku tak mau mendengarnya lagi. Kau sudah terlalu berlebihan mengucapkan itu sejak tadi."

Eren menjawab tergagap, tapi Erwin sudah sangat mengantuk.

"Oke Eren… sini bantalmu! Dan jangan bergelung ketat di situ. Hanya melihatmu saja sudah membuat punggungku pegal— aku tak akan menyentuhmu," Eren kembali bergerak gelisah tapi Erwin mengabaikannya, "Kau sekarang bekerja sebagai pasukan kurir Levi Ackermann, dan aku cuma orang yang mengganggu teritorimu untuk semalam saja. Tidur, Eren."

Kemudian dengan satu kibasan, kepala Eren sukses tertutup selimut. Terperangah, pemuda itu masih duduk diam bersimpuh menghadap Erwin yang telah menyusupkan kepala di atas bantal dan tertidur di hitungan kelima. Eren Jeager menarik selimut dari atas kepalanya sambil tersenyum. Dia berbaring dengan lebih santai setelah menggelar selimut tersebut menutupi tubuh rekan satu ranjangnya.


Hal pertama yang dilihat Erwin saat membuka mata adalah kernyitan jengkel dari wajah Levi Ackermann yang menunduk memandangnya. Eren tak ada di tempat dan tahu-tahu tubuhnya tertutup kain.

"Oh, Levi," Erwin berdehem, suaranya selalu serak saat bangun tidur, "Selamat pagi."

"Simpan selamat pagi-mu itu," Levi berdecak tak senang, "Jadi ini alasanmu menginap di sini?!" dia menekankan penyataannya sambil mengangkat amplop dengan segel yang telah terbuka.

Erwin mendudukkan diri di tepi ranjang, mengusap dagu, sadar sudah harus bercukur.

"Memang alasan apa lagi? Tidur dengan anak lelaki di bawah umur?"

Sudut mulut Levi, Erwin bersumpah, sempat berkedut beberapa kali. Lelaki berpostur kecil itu mengangsurkan amplop yang dimaksud tanpa mengatakan apapun lagi. Erwin menyambut uluran tersebut, berkata, "Kau tahu Levi, aku menyukaimu karena kau tak banyak bertanya dan nyaris sepaham denganku— iya, nyaris. Tak sepenuhnya sepaham."

Dia membuka amplop itu dan mengambil secarik kertas dari dalamnya dengan satu sentakan kuat. Mengabaikan amplop yang jatuh ke pangkuannya, mata Erwin membaca tulisan yang tercetak; dari atas ke bawah, kembali ke atas….

"… Levi."

"Aku sudah menyuruh si kacamata menggantikanku untuk beberapa hari ini."

"Berapa hari tepatnya?"

"Tiga."

"… secepat itukah? Wow, Levi."

"Simpan wow-mu untuk nanti karena ini tak akan murah."

Erwin mendengus.

"… dan bocah Jaeger susah payah menyiapkan sarapan untukmu sejak pagi. Kau sebaiknya cepat turun. Ah, soal semalam, aku akan merahasiakannya dari Lady Reiss."

Erwin hanya bergumam pada punggung Levi yang menjauh,

"Memangnya kau senang bergosip ya, Levi?"