"Ngh~ lagi~ lebih dalam~" mendesah, lelaki bersuarai merah dengan dua manik senada darah, merasakan surga dunia. Batang besar sosok di atasnya ini, sungguh membuatnya terbuai kenikmatan. Dan ya. Dia menyukainya. Tiap benda tumpul itu masuk di dalam celahnya dan menghujami titik nikmatnya, dia akan senantiasa menggeliat tanpa daya, dimabuk akan nikmat dunia.

"Seijuurou… Sei… Sei!" Sang merah memejamkan matanya, menikmati alunan khas akan panggilan namanya. Oh… dia sangat suka bagaimana sang Tan memanggil namanya. Entah mengapa lekuk suara yang timbul begitu merdu. Dan tanpa sadar, mengikuti alur permainan panas mereka, pemuda putih menggerakkan lengannya, mengalungkannya di leher sang Tan.

Akashi Seijuurou adalah nama sang merah. Dan kawan senamnya yang sungguh mendebarkan kala ini… tak lain dan tak bukan adalah…

Aomine Daiki.

.

.

Title : Versteckt [hidden]

Fandom : KnB

Language : Bahasa Indonesia

Disclaim : all rights reserved to tadatoshi fujimaki-sensei. However this fanfic is mine and no money is made with this.

Warn : Major OOC-ness and absurdness. The gatot-ness feels everywhere.

Rate : M(A)

Pairing : AoAka (untuk saat ini cuma ini ._.)

.

.

"Daiki! Daikkkkiiih~! Ah! Daiki! Cium aku Daiki!" Emperor adalah title yang dimiliki Akashi Seijuurou. Dari dulu, hingga sekarang, lelaki tan yang secara tubuh jauh lebih besar dari sang Emperor, mengetahui itu. Meski status mereka yang semula hanya kawan setim—lawan yang patut dipertimbangkan—sahabat—dan kini kekasih, Aomine lebih dari tahu untuk tak menolak apa pun keinginan sang Merah.

Mengiyakan pinta kawan bermainnya, Aomine segera menempelkan bibirnya dan menjulurkan lidahnya. Perang daging tak bertulang terjadi. Masih dengan kegiatan menyodok celah ketat, sosok 26 tahun itu mulai dapatkan dominasi akan peperangan singkat dalam goa bergeligi. Dia tahu. Sudah sangat tahu jika kekasihnya ini tak akan mendominasinya lebih dari 5 menit. Hemp, sang Akashi yang almighty, menjadi sosok vulnerable dalam hal seperti ini. Dan Aomine Daiki sangat bangga. Hanya dia yang mengetahui sisi ini! Sisi cute sang Akashi!

Hanya saja… di tengah-tengah kegiatan panasnya, secara tak menyenangkannya dan secara timming yang tak tepat…, lantunan nada memutus kegiatan. Bukan lantunan desah, lenguh dari kekasihnya. Bukan pula dari dirinya. Ugh… Aomine tahu nada itu…

"S-sepertinya, rekanmuhn~ mem-aaah!-manggil Daikiiiih!" Akashi menyuarakan hal yang Aomine sudah tahu. Aomine mengerti jika yang berbunyi ponselnya. Aomine pula tahu dari ringtone-nya, yang memanggil adalah rekannya—teamnya.

Namun Aomine ingin egois. Dia ingin kali ini egois. Sekali saja. Sudah lebih dari sebulan dia tak bersetubuh dengan Akashi, duh! Karenanya, mengabaikan lantunan itu, dia tetap menusuk-tusuk kekasihnya. Membuat lelaki kecil itu melengkungkan punggungnya dan mengeluarkan saliva akibat nikmat berlebih.

Tapi sungguh sial.

Siapapun kawan terkutuk Aomine Daiki yang tengah menelepon kini, dia tak mau menyerah dan dering ponsel terus memenuhi indra pendengar kedua sejoli di atas king size mewah itu.

Menjadi seseorang yang mengerti dan tak ingin kekasihnya dicap tak berbakti pada negeri, Akashi melepaskan tautan tangannya di belakang leher Aomine. Kemudian setengah hati, dia dorong dada bidang lelaki di hadapannya. Dorongannya cukup kuat, buktinya… Aomine segera menghentikan apa yang tengah dia nikmati segera.

Dua mata beradu. Biru gelap Aomine dan merah menyala sang Ruby.

Tanya memenuhi manik gelap sang polisi. Tanpa lantunkan tanya, menjadi manusia yang dapat memprediksi akan apa yang ada dalam hati, Akashi menarik sebuah senyum. Bukan senyum bahagia memang. Juga bukan senyum sedih. Senyum itu hambar, datar. Namun ketegasan dalam matanya, katakan semua: kau-harus-angkat-itu-Daiki.

Tangan Aomine yang berada di samping kanan-kiri kepala Akashi, spontan mengepal kuat. Gigi mantan ace Too mengatup kuat, menggemeretak. Detik berikutnya, dia benamkan kapalanya di samping kepala sang mantan kapten dan dia biarkan bobotnya ambruk seiring gerakannya; menindih lelaki mungil di bawahnya.

"Aku tak ingin," tepat di samping telinganya, Akashi menangkap Aomine berkata. Suaranya teredam keempukan kasur, menjadi gumam tak jelas, Tapi Akashi tahu persis apa yang dikatakan lelaki biru itu. Scene ini kerap terjadi di luar keinginannya. Sudah lebih dari dua tangan hal yang sama terjadi. Akashi hafal sudah. Dan dia hafal pula dia harus melakukan apa. "Tapi kau harus," balas Akashi menelan rasa sesak dan kecewa yang mulai menggerogotinya seraya membawa jemarinya membelai surai navy-blue penuh kasih. "Aomine Daiki... Mereka membutuhkanmu. Team Daiki butuh kaptennya," rendah, Akashi mengingatkan Aomine. Dia menekankan kata kapten di sana. Memberi tandasan akan apa posisi penting kekasihnya. Dan secepat dia mengingatkan, Akashi merasakan kepalan tangan di samping kepalanya makin menguat.

Ah…

Kala kekasih harus dikalahkan demi tugas…

Sakit memang.

Namun Akashi tahu.

Tak ada pilihan lain meski Aomine tak menginginkannya.

"Mereka bis—"

"Tidak, mereka tak bisa," cepat, mengerti kekasihnya akan selalu menggunakan sejuta alasan untuk mendelay keberangkatan, Akashi memotong ucapan itu. Seperti apa yang dia inginkan, sang tan mengangkat kepalanya. Dua manik kontras kembali bertumbuk. Tanya dan ketak percayaan tergambar di sana.

Mendesah, Akashi membawa tangannya dan mengelus pipi kanan Aomine pelan. Tiap gores yang dilakukan jemari itu, tinggalkan kasih sayang. Tiap telunjuk itu bergerak, perasaan tak ingin melepaskan tersuarakan. Namun menjadi pemimpin perusahaan ternama, sudah lebih menjadikan Akashi tahu jika 'bawahan' tak akan dapat bekerja sempurna tanpa 'atasan'. Selebihnya… 'rekan' tak akan merasa aman tanpa ada sosok yang saling menjaga dari 'lawan'.

Akashi tahu itu dan sangat mengerti.

Blame his knowledge and his Akashi-will-know-everything-things.

"Pergilah," gumam Akashi sembari menurunkan tangannya hingga dia dada manusia tan di atasnya. "Aku mengerti. Dan aku tak apa," lanjutnya lagi tanpa mengurangi tenaga untuk mendorong sosok itu hingga membuat kejantanan besar yang semula masih tertanam di lubangnya, keluar seiring dorongan. Pelan, tanpa ragu, Akashi mengangkat tubuhnya. Sakit yang menyengat dia tahan.

Dalam hitungan detik, dia telah duduk kini. Kedua sejoli itu bersitatap sekali lagi.

Aomine menggigit bibir dalamnya. Dia memandang mantan kaptennya dalam sembari melakukan hal ini. Kecamuk yang dia rasa di hati terutara melalui dua bilahnya. Dia tak ingin meninggalkan Akashi saat ini. Mereka belum 'datang'. Mereka baru saja melakukan sex dan belum capai 'kenikmatan' tertinggi. Dan kini mereka harus berpisah lagi?

Hell no!

Aomine Daiki tak ingin melakukan hal ini. Dia sudah lebih dari cukup abaikan sosok malaikat berambut merah di hadapannya. Akhir-akhir ini masalahnya di kepolisian tak dapat dia tinggal. Pergerakan suatu organisasi yang cukup berbahaya buatnya kualahan. Dia selalu pulang dalam kondisi lelah, tak ayal jika lelap akan menelannya begitu lautan kapuk mendekap. Dan tanpa sadar, rutinitas ini berlangsung. Tiap hari. Tiap saat.

Hingga dapat satu minggu…

Komunikasinya dengan orang tercinta…

Lenyap.

…Oh God! Dia rindu Akashi!

Dia ingin menyentuh lelaki manis itu tanpa henti!

Dia ingin menyesapnya. Membuatnya mabuk. Melenakannya. Melambungkanya hingga langit ketujuh. Dia ingin memberi kekasihnya reward. Sosok itu masih bertahan mencintainya meski kabar darinya kerap menghilang! Lelaki itu masih menjawab panggilannya meski dia tak pernah menjawab panggilan sebaliknya! Bagaimana mungkin dia tak memberi reward atas kasih sayang luar biasa yang ditunjukkan sang merah padanya?

Itulah alasan mengapa dia mengambil cuti di hari Sabtu ini. Dia ingin memanjakan kekasihnya. Sangat ingin bermanja-manja. Ok. Dia memang sudah mendapatkan kencan indah tadi sepanjang hari. Mereka sudah berjalan ke berbagai toko, beli bermacam-macam—bahkan barang couple yang memalukan pun mereka beli—juga sudah makan di resto kelas atas romantis—yang entah kenapa berbalik jadi Akashi mengeluarkan uang—dan berujung memesan hotel mewah untuk sekedar senam malam. Dia ingin… mereka kelelahan hingga tidur dalam buaian semen kering dan bangun dengan Akashi di sampingnya.

Tapi shit!

Kenapa juga dia harus ditelepon malam-malam begini?

"Daiki," suara penuh tekanan Akashi menghentakkan Aomine dari alam pikirannya. Dia pandang pemuda merah itu. kedua tangan ramping tersilang di depan dada dan raut keras terkurva indah di sana. Raut keras yang seolah berkata: oh-ayo-lah!-Temanmu-membutuhkanmu!

"Hai, hai," gumam Aomine yang segera merangkak di atas tempat tidur, menuju sisi dimana ponselnya tergeletak. Cepat, dia ambil ponselnya. Dan segera… dia terlarut dalam pembicaraan dengan rekannya. Urgensi dari kalimat di ujung telepon, membawa tubuhnya bergerak tanpa sadar. Dia turun dari tempat tidur—dia memungut pakaiannya yang berceceran—dia mengenakannya… Aomine melakukan itu tanpa sadar. Seolah… sistem autopilot tubuhnya lah yang sedang bekerja. Sistem persiapan tugas.

Di bawah tatapan tajamnya, Akashi melihat gerak per gerakan Aomine. Hatinya sakit. Dia merasakan ada tangan kasat mata meremat organ itu kuat-kuat. Tapi dia tak menunjukkan itu setitik pun. Dia tak ingin Aomine mementingkan dirinya daripada kepentingan kebaikan dunia. Dia tak ingin Aomine… dipandang negatif oleh orang-orang di sekitarnya.

Jujur? Ok, jujur… Akashi Seijuurou tak ingin Aomine pergi.

Hidupnya menjadi pimpinan Akashi Corp dari berbagai sudut sangat menjemukan. Satu-dua memang sangat menantang. Namun tetap, kekasih tak tergantikan. Dia ingin berdua bersama Aomine. Beromantis dan saling lempar kata-kata manis. Dia jarang mendengar tan-nya menggombal semenjak hubungan 3 tahun ini bermulai. Mungkin itu alasan mengapa dia membatalkan seluruh kegiatannya hari ini, menolak kegiatan terbang ke Negara sana untuk suatu masalah dan menyerahkan apa pun untuk ditanggung wakilnya. Dia cukup percaya wakilnya akan menghandle semuanya, kendati sang wakil memiliki pekerjaan penting sebagai Direktur utama sebuah rumah sakit. Dan pilihannya, tak mendapatkan penolakan dari wakil luarbiasanya.

Tapi sampai kapan pun, Akashi jelas tak akan mengatakan hal ini pada Aomine.

Salahkan harga dirinya hingga dia memilih bungkam akan usaha yang telah dia tempuh untuk mendapatkan satu hari luang ini.

Mendengus, Akashi mengamati kekasihnya yang telah berpakaian sempurna dan siap meninggalkannya. Dan dengusannya, menyadarkan Aomine Daiki dari alam pembicaraan kasus dengan rekannya.

"Sakurai, aku akan menemuimu 5 menit lagi. Jemput aku. Sekarang aku masih ada urusan," adalah line yang dipilih pemuda biru itu pada mantan rekan basket setimnya masa SMA; Ryo Sakurai. Ah. Ryo menjadi partner Aomine dalam berbagai kasus dewasa ini. Entah mengapa pemuda malu-malu itu pun menjadi polisi sepertinya. Polisi? Hahah. Tidak. Aomine Daiki bukan sembarang polisi. Ya. Dia polisi khusus. Polisi yang terjun pada kriminalitas level tinggi yang tak bisa diselesaikan sembarang polisi. Dia agen.

Wow, kan ya? Nah, tak mengherankan. Aomine meraihnya dengan banyak bekorban.

….Termasuk mengorbankan basketnya…

Usai memutus sambungan, Aomine bergerak ke arah kekasihnya yang masih duduk tanpa selembar kain pun di tepi kasur. Dua alis kekasihnya terangkat melihat Aomine datang ke arahnya. Aomine mengerang mendapati reaksinya ini. Shit! Apa segitu sialannya dia hingga Akashi berpikir dia akan langsung pergi meninggalkan sosok fucking gorgeous yang belum berpakaian tanpa satu atau dua kecup tanda sayang?

"Ada apa? Ada yang terting—" kekhawatiran putra Akashi Masaomi terputus begitu dengan tak halusnya, pemuda tan mengangkat dagunya dan menghantamkan kedua bibir di sana. Jilatan terjadi. Beberapa kali, mantan pembuat onar itu menghisap-hisap bibir bawah uke emperor-nya, meminta bibir itu terbuka. Bahkan gigitan kecil pun dia lakukan. Namun sang Akashi tak memenuhi keinginannya. Dia tetap dengan keras kepalanya mengatupkan dua bibir tipisnya.

Kesal, tangan besar Aomine yang telah terbalut sarung tangan, segera bergerak dari dagu Akashi ke bawah. Menyusuri garis leher, bahu, lengan, pinggang dan berakhir pada Seijuurou jr. Lalu kuat, dia remat si kecil yang membuat pemiliknya mengerang, mendesah ekstasi. Gunakan kesempatan itu, Aomine memasukkan lidahnya, mengeksplorisasi gua hangat dengan teliti.

Setelah dapatkan napas terpatah-patah pemilik Akashi corp, seringai menghiasi bibirnya. Lalu serta merta, dia menjauhkan diri. Saliva menghubungkan kedua bibir. Raut muka Tuan muda di hadapannya begitu priceless saat ini. Manik merah setengah tertutup kelopak, semburat merah merajah pipi dan bibir seolah tunjukkan betapa dia belum puas hanya dengan ciuman.

"Doakan aku hidup, Sei. Jika aku masih hidup, kita akan lakukan yang lebih dari ini," usai terkekeh, Aomine mengecup pucuk hidung Akashi penuh kasih. Tangannya membelai surai merah sosok di hadapannya tanpa kurangi rasa sayang yang membuncah. Detik demikian dia tarik bahu kecil mantan kaptennya dan dia peluk dia kuat-kuat. "Love you," bisik Aomine sebelum melepaskan pelukan dan berjalan menjauh kemudian keluar pintu. Meninggalkan Akashi dalam posisi tercengangnya.

.


.

Di balik pintu, usai yakin Akashi tak mengikutinya—dan memang pemuda kecil itu tak pernah membuntutinya—Aomine mendengus berat. Dia tutup matanya dengan punggung tangan kala punggungnya menyandar di kokohnya daun pintu. Hatinya sakit, jiwanya tercabik.

Sial.

Sial.

Aomine mengumpat. Dia merasa menjadi kekasih tak tahu diuntung. Dia dapatkan sosok luar biasa. Dia memiliki kekasih yang sangat perhatian dan sangat sempurna hampir tak bercela.

Dan apa yang dia lakukan?

Bahkan waktu untuk memuaskan sosok itu pun tak ada.

Dia sungguh sangat merasa….

Berengsek.

"Maaf, Sei," gumamnya seraya menggemeretakkan gigi dan melangkah menjauhi kamar hotel yang telah mereka sewa.

Kamar yang harusnya detik ini… dipenuhi lenguhan fantastis sang surai merah.

Kamar yang alih-alih penuh lenguh cinta, keheningan menelan.

.


.

Akashi Seijuurou bangkit dari posisinya. Dia berjalan pelan menuju jendela besar yang membatasi kamar tempatnya berada dengan langit berbintang. Dia tak peduli mengenakan baju, tidak. Dia masih telanjang. Tubuh rampingnya terpampang jelas. Lekuk-tonjolan di sana tak ada yang mengkerukupi. Semua terpampang. Bahkan titik-titik merah yang mebuat dadanya bagai polkadot, tertampilkan. Dan dia tak ambil pusing akan hal itu. Bahkan bila ada orang tiba-tiba masuk pun, dia tak masalah.

Begitu sampai di depan kaca yang membingkai malam, dia letakkan telapak tangan kirinya di sana. Maniknya memandang kemerlap bintang di atas, sebelum turun menatap jalanan ramai di bawah sana. Kecil memang, namun dia bisa melihat Aomine berjalan keluar hotel, memasuki sebuah mobil hitam.

…meninggalkannya.

Lagi.

Hirupan rakus Akashi lakukan. Kemudian desahan panjang ikuti kegiatan.

Rasanya ditinggal itu…

…sakit, eh?

Beberapa menit, pemilik marga Akashi itu berdiri di posisinya. Bayangan akan betapa romantisnya jika dia melihat pemandangan kota di bawah dengan kekasih tercinta, terlintas. Betapa romantis ya? Ah, malam ini sepertinya tak mungkin.

…seperti malam-malam sebelumnya.

Mengerti, tanpa menggerutu lebih lanjut, Akashi melenggang pergi menjauhi jendela. Dia berjalan menuju nakas, dimana ponsel flip merahnya tergeletak. Dia ambil ponsel itu, dia buka kunci layarnya sebelum kedua alisnya terangkat.

Serekah senyum mengembang di bibirnya melihat fakta tak ada satu pun pesan atau panggilan. Luar biasa. Wakilnya sungguh luar biasa. Tak mau mengakui jika dia butuh bantuannya, huh? Tipikal. Dasar tsundere level akut.

Cepat, dengan speed dial yang sudah terekam, Akashi menelpon wakilnya. Sembari menelepon, Akashi berbenah. Tenang adalah ciri khasnya. Meski dia tahu di luar sana sesuatu telah terjadi, dia tampak tak tergesa.

"Halo?" kala suara di seberang sana ucapkan sapa, tawa elegan segera terlepas dari bibir sang merah sembari dia mengancingkan kemeja.

"Tak ada yang lucu, Akashi," kata sosok di seberang sana. Akashi dapat membayangkan orang itu tengah menekuk kening sekarang.

"Aku tak melarangmu untuk menghubungiku jika kau membutuhkanku kan, Shintarou?" adalah apa yang dia ucapkan pada wakilnya. Tawa masih sesekali meluncur dari bibirnya. Tsundere… tsundere… berhadapan dengan tipikal tsundere memang menggairahkan.

"Aku bisa melakukannya sendiri," ujar suara di seberang sana penuh keyakinan tanpa satu pun cengkok keraguan.

"Hmm?" bergumam, Akashi tunjukkan ketak percayaan.

"Aku serius!"

Tawa renyah meluncur dari sang merah. Dia sudah berpakaian sempurna sekarang. Dan dia sedang melihat pantulan bayangnya di cermin full-body di samping pintu. "Daiki sampai pergi lho. Apa itu belum mengindikasikan kau butuh bantuanku, Shintarou?" tanyanya santai sembari membetulkan tatanan rambut.

Erangan tercipta dari ujung saluran. Kikihan segera terkumandang dari sang Akashi begitu ucapannya menyekak apa pun itu pertahanan wakilnya.

"Jadi… Menurut bayanganku, Don Paccina merepotkanmu?" memakai jas hitam elegannya, Akashi bertanya setelah bergumam sebentar.

"Kau akan datang?" tanya sambungan seberang.

"Apa aku butuh terbang ke Italia untuk memberi tahunya kita memiliki kuasa akan Asia?" tanya Akashi seraya mengambil jam tangan dan mengenakannya.

"Persiteruan terjadi di Tokyo, bukan Italia."

"Kau tahu lebih, Shintarou. Orang Don Paccina akan bungkam jika kita mengatasi sumber masalah," mengecek sekali lagi penampilannya, Akashi berkata. Sejenak dia terdiam. Namun wakilnya tak kunjung angkat bicara. "Atau kau menyarankan aku memimpin pembunuhan masal di Tokyo untuk pembunuhan masal kedua yang entah kapan akan terlaksana lagi?"

"Italia bukan kuasa kita."

Akashi meluruskan punggungnya mengerti kemana arah pembicaraan wakilnya. "Kau menyarankan aku bertemu muka dengan penguasa Italia, kalau begitu?" tanya sang merah. Dia dapat melihat pantulan dirinya yang memandang sekeliling dengan tajam.

"…Aku pikir itu ide yang bagus."

"Haha. Baik. Atur agar aku bisa bertemu muka dengan orang terkuat di dunia esok."

"Hn."

Menutup layar ponsel, memutus sambungan tanpa menjawab gumam terakhir Midorima, Akashi berjalan keluar dari kamarnya. Di ambang pintu, dia sedikit meregangkan badannya.

Tuhan, bekerja di dua tempat yang berbeda sungguh merepotkan.

Sebuah kalimat Aomine menggaung di telinga Akashi. Kalimat yang meminta Akashi mendoakannya agar tetap hidup hingga kegiatan sex mereka tetap bisa berlanjut, ya kalimat itu, tak hanya sekali mondar-mandir di benak pemuda itu. Tawa kecil meluncur dari bibir Akashi begitu kalimat itu terulang untuk keempat kalinya.

"Aku tak mungkin membunuh kekasihku sendiri, bodoh."

[]


.

.

a/n.

apa ini? ini apa?

...

entah dee juga clueless nulis apaan :"v

mind to R&R?