A/N: Halo, saya balik lagi dengan multichapter lain yang masih mengusung tema absurditas. 'w' #bukan #pergisana Project dari lama (banget) yang akhirnya ketulis juga (sekalian merangin wb yang tak berkesudahan huhu), semoga aja sih selesai ya. 'w' Karakter yang kali ini kena sial jadi tokoh utama saya adalah Midorima—ohokkarenadiatidakpernahcukupmasouhok—dan sekadar catatan juga, ide dasar fanfik ini terinspirasi dari novelnya Jonathan Stroud, The Leap.
Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki
Saya tidak mengambil keuntungan materiil apa pun dari menulis fanfiksi ini.
AU. Fantasy/mystery. Absurd (kayaknya ini beneran mesti dibikinin genre sendiri lol).
Btw saya ini multishipper akut tak tertolong yang ga punya notp—saya ga bisa bilang ini romance juga sih tapi kalau sepanjang cerita kebeneran ada satu atau lebih notp Anda yang ke-hint, saya minta maaf sebelumnya karena nggak bakal nyantumin pairing. 'w' Selamat membaca dan semoga menikmati ya! /o/
prologo
Langkah kakinya terdengar bagai rentetan senapan mesin.
Midorima kesulitan melihat, namun ia tetap berlari sekuat tenaga, memukul-mukul beton di bawah sepatunya, berlomba dengan tabuhan jantungnya sendiri. Peneranganya hanya berasal dari ponsel, yang berpendar dalam cahaya putih suram, bergoyang-goyang karena gerak tubuhnya. Ia tidak peduli kalau paru-parunya mulai berteriak ataupun belokan yang ada membuatnya tersandung-sandung—Midorima mencengkeram pegangan, tungkainya melompati dua atau tiga anak tangga sekaligus. Ia bahkan tidak menghiraukan papan tanda di bagian depan yang mengumumkan bahwa bangunan itu seharusnya tidak boleh lagi dimasuki.
Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah dua hal: pertama, berapa lama lagi hingga ia bisa mencapai atap; kedua, Akashi Seijuurou.
Midorima Shintarou adalah pemuda yang dibesarkan oleh keluarga serta didikan yang baik-baik, perilakunya selalu terjaga dan mulutnya sopan—hampir dua puluh tahun hidupnya dan kata-kata paling kasar yang pernah keluar dari bibirnya sebelum ini hanyalah "sial" dan "tolol". Tapi malam itu, lain ceritanya; Midorima mengumpat, Midorima menyumpah, Midorima mengeluarkan semua kata tidak beradab yang diketahuinya dan memenuhi kekosongan di tangga darurat itu dengan gema sumpah serapah. Ia ingin mencari alasan untuk itu, tapi ia tidak punya. Midorima hanya benar-benar kesal, jengkel, kecewa, ngeri, khawatir, dan marah—marah pada Akashi, dan terlebih, marah pada dirinya sendiri.
Kenapa Akashi selalu begitu gesit dan tidak bisa dipahami, kenapa Midorima selalu terlampau lamban untuknya, kenapa ia tidak bisa menangkap maksud-maksud yang ia implisitkan dengan lebih cepat, kenapa harus ada buku sial itu, kenapa ia terjebak di dunia yang seperti ini, kenapa, kenapa, kenapa.
Ada pintu di ujung tangga. Midorima setengah terlambat menyadarinya, namun refleksnya cukup baik untuk meraih kenop lalu memutarnya, meski pada akhirnya bahunya tetap menghantam papan itu, hingga engsel-engselnya yang telah berkarat berkertak mengerikan dan daun pintunya membanting membuka. Ia nyaris terjatuh ke lantai dengan wajah terlebih dahulu, tapi dengan segera meraih keseimbangannya kembali.
Nyeri mulai merasuki lengannya, tanpa mengacuhkan, mata hijaunya bergerak-gerak panik, mencari satu sosok, mencari satu sosok—
Akashi berdiri di sana, seperti sepotong bayangan yang digunting dari sebuah karton gelap dan ditempel di latar belakang kota yang penuh cahaya, dengan dua kaki telanjang setengah berjinjit di pinggiran atap, membelakanginya sembari merentangkan tangan; blazernya dikembangkan angin di sekitar tubuhnya, siluetnya mirip burung dengan sayap-sayap yang sakit.
"AKASHI!"
Belum pernah Midorima berteriak sebegitu keras, tenggorokannya kering hingga ia merasa ada sesuatu di dalam sana yang akan putus dan berdarah. Pemuda yang namanya dipanggil itu memutar badannya sedikit lalu menoleh. Seharusnya Midorima tidak bisa melihat matanya di bawah langit malam dan jarak seperti itu, tapi entah bagaimana ia bisa. Wajah Akashi tampak benar-benar jelas, hingga ke ceruk kecil yang tercipta di sudut-sudut bibirnya, juga kantung mata di bawah kedua matanya yang membentuk bulan sabit. Di luar situasi mereka sekarang ini, ekspresi Akashi terlihat bahagia, sungguh-sungguh bahagia, seakan ia kembali menjadi anak kecil yang baru pertama kali dikenalkan pada bola basket.
Namun Midorima tahu ada sesuatu yang aneh dengan caranya memandang, ia paham ada saat-saat tertentu ketika kedua mata sewarna rubi itu menatap lawan bicara yang tidak ada—seakan ia sedang melakukan konversasi dua arah dengan seseorang yang tidak terlihat (atau dirinya sendiri)—tapi di saat yang lain menjadi begitu tajam bagai mampu menembus setiap orang. Sekarang bukanlah saat-saat itu, sekarang cara memandangnya benar-benar berbeda; Akashi sedang menerawang sebuah dunia jauh yang tidak tergapai oleh Midorima.
"Jangan." Ujar Midorima. Suaranya sendiri terkesan asing dan berjarak, seakan-akan datangnya dari sebuah balon udara yang sedang melintasi angkasa di atas kepala mereka. Lidahnya kaku dan bibirnya terasa seperti tanah yang tandus, kering serta penuh retakan. Perlahan didekatinya pemuda itu. "Jangan, Akashi. Aku mohon."
Akashi memiringkan kepalanya sedikit, gerakan itu membuatnya terlihat lebih rentan terhadap gravitasi dan seketika napas Midorima macet di dada. "Jangan apa?"
"Jangan pergi," ia berusaha menelan ludah sebelum melanjutkan, tapi isi mulutnya habis sama sekali, "jangan pergi ke sana, jangan pergi ke Paradiso—atau tempat apa pun yang sedang berusaha kau tuju."
"Kenapa?"
Midorima berhenti. Kakinya terhambat oleh paku-paku yang tidak terlihat. Kenapa? Ia dapati dirinya juga tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Tentu saja karena aku tidak mau kau mati, bodoh, jadi jangan melompat! Ingin dikeluarkannya kalimat itu, tapi rupanya mengatakannya tidak semudah yang disangka. Ia memang tidak pernah bisa menemukan kata-kata yang tepat, maka sering kali lebih memilih untuk diam, atau mengatakan yang sebaliknya. Tapi ini sama sekali bukan kondisi untuk melakukan itu, dan Midorima benar-benar tidak tahu bagaimana harus bertindak.
"Kau tidak bisa meninggalkan dunia ini dan semuanya begitu saja."
"Maksudmu, aku tidak bisa meninggalkanmu begitu saja?"
Telak.
Midorima mengatupkan bibirnya. Sekilas senyum tulus Akashi berubah jadi sedikit sarkastis seperti yang biasa ditampilkannya sehari-hari—lengkungan kecil yang miring di satu sisi—kemudian kembali mengembang saat ia mengulurkan tangannya padanya. "Kalau begitu ikutlah denganku, Midorima."
Matanya membulat di balik lensa kacamata, kali ini sedikit pun tak bisa bicara. Bagaimana kau harus merespon ajakan bunuh diri bersama dari seseorang yang secara harfiah tinggal selangkah saja menuju kematian? Midorima ingin mengatakan tidak dengan segala tenaga yang ia punya, tapi ia khawatir jawabannya hanya akan membuat Akashi melompat secara tiba-tiba.
Tanpa kata, menit-menit lewat seakan waktu hanyalah sebuah konsep statis. Di atap itu sendiri toh, tidak benar-benar hening, bermacam suara yang bisa ditangkap telinga Midorima—deru mesin kendaraan dan klakson dari jalanan, tawa seseorang yang terlalu keras, dan kelontang nyaring di suatu tempat di sisi kanan mereka—ada sebuah kota yang hidup di bawah sana. Meski begitu, segalanya terkesan jauh bagi Midorima, seakan ia sedang berada di dasar kolam renang, saat bunyi-bunyian menumpul dan pandangannya mengabur, lalu sebagai ganti air, ada kabut tipis yang melingkupi mereka dengan perasaan surealis—batas mimpi dan realitasnya melebur, seperti dalam buku sial yang gemar dibaca Akashi itu.
Kemudian pemuda yang berdiri di pinggiran atap itu berkata, dengan suaranya yang renyah serta nada yang begitu kasual, seakan mereka sedang berbasa-basi soal cuaca, atau sedang duduk-duduk di sebuah kafe dengan tumpukan tugas kuliah di meja, tersebar di antara cangkir-cangkir kopi dan sepiring camilan yang manis (tapi telah sampai dalam kesadaran Midorima bahwa sehabis ini, jika ia mengambil langkah yang salah, mereka mungkin tidak akan pernah pergi bersama ke mana pun atau minum apa pun lagi, karena hidup tidak sesederhana itu hingga memungkinkan dirinya untuk menelepon Akashi di akhirat dan menanyakan tentang cuaca di sana), "Midorima, kau tahu arti sebenarnya dari paradiso?"
Pertanyaan Akashi ditiup angin hingga berdesing ke telinganya—hanya sedikit lebih keras dari suara kehidupan di bawah sana—Midorima ingin menjawab, Ya, aku tahu, karena ia memang tahu, puluhan kali ia telah mendengar hal yang sama dari Akashi. Ia sangat tahu dan ia sudah muak.
Lalu mendadak, intuisi membuat Midorima kembali bergerak dan mulai berlari. Selaput surealis itu terobek, ia kembali menjejak kenyataan. Seluruh suara kembali ke pendengarannya, warna kembali menajam di sekelilingnya. Bibirnya membentuk silabel pertama dari nama Akashi. Jantungnya kembali memacu, paru-parunya mengembang, menarik udara sejuk sehabis hujan dari malam musim semi. Nyala lampu dari gedung-gedung di sekitar mereka lewat dengan cepat, warna-warninya membentuk ekor seperti komet. Sekian detik yang singkat membunyikan gong kesadaran di bagian belakang kepalanya, yang memberitahu dengan persis apa tindakan Akashi selanjutnya—
"Artinya adalah"—diangkatnya satu kaki—"sebuah tempat atau pernyataan akan kebahagiaan yang besar."
—namun Midorima tetap saja terlambat, karena Akashi sudah melompat.
Di bawah mereka, kota yang hidup tidak terusik; tubuh Akashi Seijuurou tidak pernah ditemukan.