Umm, hai? Apakah kalimat itu bisa kupakai sebagai salam pembuka dalam ceritaku? Yah, aku tak tahu. Ini kali pertama bagiku untuk menulis cerita seperti ini. Bahkan, bisa dibilang ini pengalaman pertamaku sebagai seorang penulis.

Ah, aku tak tahu apakah tindakan ini bisa dikategorikan sebagai tindakan yang berani, ataukah konyol. Maksudku, seorang biasa, yang tak memiliki latar belakang di bidang tulis menulis, mempublikasikan karyanya untuk dibaca beramai-ramai dengan hanya bermodalkan kenekatan dan kepercayaan diri yang minim. Well, kupikir kalian bisa menilai itu nanti. Setelah kalian selesai membaca ini, tentu saja.

Aku di sini hanya ingin sekedar menceritakan sebuah kisah tentang dua orang. Kisah sederhana antara dua orang yang saling bertolak belakang. Ini mungkin terdengar klise, dan kalian pasti akan berpikir bahwa ini hanya kisah cinta yang membosankan, sebuah romansa yang mungkin hanya terjadi di novel-novel romantis yang pernah kalian baca.

Tapi, siapa bilang kisah cinta yang hanya terjadi di dalam sebuah buku tak akan pernah bisa terjadi di dunia nyata?

Pernah mendengar ucapan yang mengatakan bahwa apapun bisa terjadi jika kau percaya?

Nah, ini yang terjadi pada dua orang tokoh utama kita kali ini. Dua orang yang akan kita sebut dengan nama, hmm, Uchiha Sasuke dan Sarutobi Hinata.

Kisah dua orang dengan gender yang berbeda inilah yang akan menjadi fokus cerita kita. Dua orang yang sama sekali tak memiliki hubungan kekeluargaan ini, terpaksa harus menghabiskan waktu bersama-sama demi memenuhi permintaan terakhir orang yang mereka sayangi.

Lalu apakah kisah mereka berakhir bahagia?

Kupikir, kalian harus mencari tahu sendiri untuk itu ….


Naruto © Masashi Kishimoto

Rate : M

Pairing : SasuHina

Warning : OOC. AU. Typo. Dan kesalahan lain yang bisa ditemukan di dalamnya. Strongly suggest you just leave this page if you don't like the story.

.

.

Happy Reading

.

.

A Will and You © Raye Harrogath

Dedicated to Hazelleen

.

.


CHAPTER 1

Hinata merasa canggung. Bukan karena penampilannya yang bermasalah. Ia sama sekali tak ambil pusing tentang itu. Tapi, ini lebih karena ia berada di satu ruangan bersama orang-orang yang memandang curiga ke arahnya.

Hinata mengedarkan pandangannya ke arah lain, ke mana saja asalkan ia tak harus melihat wajah orang-orang kaya sombong itu, sembari sekali lagi mempertanyakan kewarasannya.

Kenapa ia mau saja disuruh datang kemari?

Dahi Hinata berkerut ketika mengingat bagaimana semua ini bermula. Ini terjadi karena ia mengangkat telepon dari seorang pria yang mengaku sebagai pengacara Uchiha Madara. Pria yang memperkenalkan dirinya sebagai Nara Shikamaru, meminta Hinata datang ke kantornya untuk mengikuti pembacaan terakhir wasiat dari bilyuner kaya yang baru saja meninggal itu.

Dan di sini Hinata gagal paham.

Untuk apa, ia, yang jelas tak memiliki hubungan kekerabatan apapun dengan Uchiha Madara, harus datang menghadiri pembacaan wasiatnya?

Ia bukannya tak mengenal Uchiha Madara. Hinata kenal baik dengannya, dan menganggap pria tua itu seperti kakeknya sendiri. Hinata selalu datang berkunjung ke rumahnya setiap akhir pekan, sengaja menyisihkan waktunya dari kehidupan membosankan yang dijalaninya untuk menemui Madara, dan berbagi cerita dengannya. Kadang kala, Hinata akan mendominasi pembicaraan dan bercerita tentang kehidupannya, mencurahkan segala perasaannya sementara Madara hanya duduk diam sembari menikmati tehnya, dan mendengarkan Hinata.

Di lain waktu, Madara akan menceritakan kisah hidupnya sewaktu muda, dan apa saja yang telah dilakukannya. Dan Hinata akan memandanginya dengan penuh kagum yang tak ditutupi.

Karena itu, Hinata begitu terpukul ketika mendengar kabar kematiannya. Ia bahkan masih dalam keadaan berduka hingga sekarang, dan jelas tak akan bersedia meninggalkan apartemennya jika bukan karena paksaan Nara Shikamaru yang mengatakan bahwa kehadirannya sungguh diperlukan.

Tidakkah pria itu mengerti? Hinata hanya ingin menyendiri. Duduk dan merenung di dalam apartemennya, memikirkan segalanya. Rasanya semuanya menjadi buruk dalam sekejap, dan Hinata tak dapat mengenyahkan pemikiran jahat yang muncul di dalam kepalanya, yang mengatakan bahwa ia dikutuk untuk tak akan pernah bahagia.

Pikiran konyol, tentu saja. Tapi mungkin ada benarnya. Mungkin ia ditakdirkan untuk selamanya seorang diri.

Hinata tak memiliki keluarga. Ia dibesarkan di panti asuhan dan tak mengenal orang tuanya. Mencari tahu keberadaan mereka, ia bisa saja melakukannya. Tapi, informasi dari kepala panti yang mengatakan bahwa keluarganya sengaja meninggalkannya di sana, memupuskan harapan itu. Mereka memiliki alasan membuangnya, dan Hinata jelas tak ingin mengacaukan kehidupan mereka dengan tiba-tiba muncul di depan pintu rumah mereka sembari membawa sebuah koper.

Hidupnya keras, namun Hinata tak mengeluh. Semua itu justru menempa dirinya untuk menjadi pribadi kokoh yang tegar. Tapi, kehilangan dua orang yang dia sayangi dalam waktu dekat jelas saja mampu mengacaukan keseimbangan hidup yang mati-matian ia pertahankan.

Pertama kekasihnya yang memutuskan untuk berpisah dengannya. Lalu kabar tentang kematian Madara. Satu persatu, mereka menjauh pergi. Membuatnya kembali merasa kesepian. Kembali merasa bahwa ia hanya seorang diri di dunia ini.

Ia memusatkan seluruh perhatiannya kembali ke tempatnya berada ketika terdengar suara mengeluh dari seorang wanita yang berada di pojokan. Hinata tak tahu siapa dia. Dan ia tak tertarik untuk mencari tahu. Yang jelas Hinata tahu jika wanita itu tak menyukainya. Ia bahkan langsung mengernyitkan hidungnya, dan membuang muka ketika Hinata melemparkan senyum sopan kepadanya.

"Sampai kapan lagi kita harus menunggu?" Wanita itu mengeluh dengan suara cukup keras kepada pria bertubuh tinggi yang berada di sampingnya. "Jadwalku cukup padat jika harus dihabiskan di ruangan─" ia melirik sekeliling dengan pandangan merendahkan, sebelum melanjutkan ucapannya. "─yang sempit dan suram seperti ini."

"Tak ada yang memaksamu untuk terus berada di sini, Nami." Kali ini pria bertubuh gembul dan berdiri di dekat perapianlah yang berkata. "Kau bisa pergi kapanpun, dan biarkan kami saja yang mendapat bagian harta paman kesayangan kita."

Wanita itu, Nami, mengangkat dagunya dengan angkuh. "Seakan kau akan mendapat bagian saja," Ia menyindir tajam. "Kau bahkan tak pernah mengunjunginya."

"Apa kau pernah?"

Dan terus saja seperti itu, Hinata memperhatikan. Ruangan yang tadinya sunyi, kini dipenuhi suara mereka yang berkumpul di sana. Satu sama lain, saling melontarkan sindiran sana sini seraya mempertontonkan bahwa mereka lebih baik dari yang lainnya.

Mereka membuat Hinata jijik. Di sini, mereka sibuk beradu mulut menentukan siapa yang lebih pantas mendapatkan harta Madara ketika pria tua itu sudah meninggal. Padahal selama pria itu masih bernyawa, mereka sama sekali tak peduli. Hanya ada satu orang yang Hinata tahu memiliki kepedulian yang sama sepertinya. Tapi, Hinata menyadari, orang itu sepertinya belum datang.

Orang-orang serakah. Hingga kini Hinata sama sekali tak bisa mengerti akan jalan pemikiran mereka yang seperti itu. Berusaha menguasai harta milik orang lain yang sama sekali bukan haknya, tapi tak pernah menunjukkan itikad baik pada si pemilik harta sebenarnya.

Munafik ─ya, begitulah kesimpulan yang bisa diambilnya setelah hampir menghabiskan setengah jam waktunya berada di ruangan ini dan memperhatikan tingkah mereka. Hinata sungguh berharap Madara sama sekali tak kehilangan kewarasannya dan memberikan hartanya pada orang-orang ini.

Meski begitu, ia sama sekali tak mengerti kenapa ia diwajibkan datang. Apakah ini berarti namanya berada di dalam wasiat Madara? Karena sungguh hanya itu satu-satunya alasan yang terpikir olehnya.

Dan jika memang demikian, hal itu justru membuat Hinata beralih ke pertanyaan selanjutnya. Kenapa? Kenapa namanya ada di sana?

Hinata bukan siapa-siapanya. Bukan saudaranya ataupun kerabatnya, meski ia menyayangi pria tua itu. Tapi, hal itu tetap saja tak mampu mnyembunyikan kenyataan bahwa mereka sama sekali tak memiliki pertalian darah.

Lamunan Hinata terputus ketika seseorang di antara kumpulan kerabat Madara yang lain berseru,

"Bisakah kau memulai pembacaaan wasiatnya sekarang? Tak seperti orang lain di sini, kami harus bekerja jika ingin memastikan kulkas kami terisi."

Dan untuk pertama kalinya, Hinata menyetujui ucapan salah satu dari anggota keluarga Madara. Tentu saja ucapan itu justru lebih menimbulkan reaksi negatif ketimbang positif dari yang lainnya. Mereka memandang ke arah wanita berambut gelap yang sedang duduk di kursi dengan pandangan melecehkan.

"Tentu saja Mikoto sayang, bagaimana mungkin kami melupakanmu yang harus bekerja meski di usiamu seperti sekarang."

Dan Mikoto -Hinata memperhatikan- jelas bukan tipe wanita yang akan diam begitu saja ketika mendapatkan sindiran halus itu. Ia mengangkat dagunya angkuh, memandang tajam ke arah Nami dan berkata dengan ketidaksukaan yang tak tertutupi.

"Aku bekerja karena aku mengerti arti kemandirian, seperti yang selalu diajarkan paman Madara kepadaku, Nami. Tak peduli meski umurku sudah lebih dari lima puluh tahun, aku menolak untuk menjadi wanita merepotkan yang hanya tahu cara menghabiskan uang saja."

Nami menggeram. "Apa kau sedang menyindirku?"

"Apa aku menyebut namamu?" Mikoto tertawa sambil mengangkat bahu. "Bukan salahku jika kau tersinggung."

Ya Tuhan, Hinata merana dalam hati. Sampai kapan ia harus bertahan dalam kegilaan ini?

Ia melirik ke arah sang pengacara yang kini sedang memijit dahinya. Mungkin, bukan hanya ia saja yang menderita di sini. Di balik penampilannya yang terlihat tenang, Hinata bisa melihat pria itu berharap bahwa ia berada di mana saja selain di sini. Dan Hinata tak dapat menyalahkannya. Lebih lama lagi, ruangan ini bisa berubah menjadi ruang sirkus.

"Maaf terlambat."

Dan Hinata menghembuskan nafas lega melihat kedatangan seseorang yang mereka tunggu sejak tadi.

Uchiha Sasuke ...

Hinata memperhatikan dari tempatnya duduk bagaimana ruangan yang semula ramai mendadak hening karena kehadiran pria itu. Siapa yang dapat menyalahkannya. Di usianya yang baru saja menginjak kepala tiga, Sasuke memancarkan kharisma yang mengintimidasi. Postur tubuh dan ketenangannya sendiri seakan mengatakan untuk tak main-main dengannya. Dan Hinata bertanya-tanya dalam hati apakah sikap pria ini di rumah sakit juga sama seperti sekarang?

Ia melihat Sasuke melangkah mendekati Mikoto dan sedikit mencondongkan tubuhnya untuk mencium pipi wanita itu. Hinata mengangkat sebelah alisnya sewaktu menyadari kemiripan dua orang itu. Mungkinkah, wanita anggun tersebut memiliki hubungan darah dengan si pria dingin itu?

Hinata menepuk-nepuk kedua pipinya, mencoba menyadarkan dirinya. Pikirannya mulai melantur ke sana-sini. Memang apa pedulinya jika dua orang itu memiliki hubungan darah? Hinata tak akan lagi berurusan dengan orang-orang ini. Tugasnya hari ini hanya datang, duduk diam, dan mendengarkan isi wasiat yang akan dibacakan oleh Tuan Nara. Lalu setelah itu Hinata bisa kembali ke apartemennya yang sunyi dan mengurung diri, mengasihani dirinya sendiri.

Ia sontak menegapkan posisi duduknya, dan memandang ke arah Shikamaru yang kini sedang berdiri di depan meja kayu miliknya sembari memegang dokumen di tangannya. Kelihatannya pembacaan wasiat akan dimulai, dan Hinata, mau tak mau harus mendengarkan.

.

.

.

.

Uchiha Sasuke mengumpat dalam setiap menit perjalanannya menuju ke firma hukum keluarga Nara. Ponselnya terus menerus berdering semenjak ia melangkah keluar dari rumah sakit. Dan mengingat ia sudah berada di tempat kerja lebih dari 12 jam, keinginan untuk melempar benda itu keluar jendela mobilnya terasa begitu menggoda.

Ia melirik ke arah ponselnya yang sekali lagi berdering dan melihat nama Shikamaru tertera di layar ponselnya.

Sasuke mendengus.

Ia tahu maksud pria pemalas itu menelponnya. Dan saat ini, ia sedang tak berada dalam mood terbaiknya untuk mendengarkan ocehan pria itu, yang sudah jelas hanya akan menyuruhnya untuk bergegas datang ke kantornya. Sasuke bukan tipe pria yang suka dipaksa. Ia memiliki aturannya sendiri. Dan jika ia terlambat datang hingga berjam-jam, itu kesalahan mereka. Ia memiliki profesi yang tak main-main dan menjadi prioritas utamanya. Semua orang tahu itu, dan harusnya Nara sendiri pun tahu itu.

Tapi ─dahinya mengernyit sewaktu kali ini ia melihat nama Uchiha Mikoto di panggilan masuk─, ia lupa bahwa kali ini ibunya pun termasuk dalam daftar mereka yang hadir dalam pembacaan wasiat Uchiha Madara.

"Sialan!" Sasuke sekali lagi merutuk, menginjak pedal gas ketika lampu lalu lintas berganti menjadi hijau. Selain pasien-pasiennya, ia paling tak bisa membuat ibunya menunggu. Sungguh, terkadang hidup memang bisa menjadi sangat menyebalkan ketika kau tak mengiranya.

Lima belas menit kemudian, di sinilah ia berada. Di depan pintu kayu dengan kualitas terbaik, dan papan nama Nara Shikamaru menggantung di depannya. Sasuke memijit pangkal hidungnya, menarik nafas dalam-dalam sebelum menghadapi kekacauan yang jelas akan terjadi di dalam nanti. Ia terlalu mengenal sang kakek, dan yakin pria tua itu pasti akan melakukan sesuatu dalam wasiat terakhirnya.

Sesuatu yang ia tahu pasti tak akan pernah berakhir menyenangkan bagi mereka semua.

Ia membuka pintu tanpa mengetuknya dan melangkah masuk. "Maaf terlambat." Gumamnya.

Matanya menyapu sekeliling, mencari sosok ibunya tanpa peduli akan keheningan nyata yang terjadi karena kehadirannya. Ia menemukan wanita yang paling berarti dalam hidupnya itu sedang duduk di sofa dengan raut wajah jengkel yang tak tertutupi.

Sasuke tahu kejengkelan itu tak ditujukan padanya, karena ketika ia melangkah mendekat dan mencondongkan tubuhnya untuk mencium pipi sang ibu sebagai ucapan salam, mata wanita itu berkilat hangat.

"Kau baru pulang?" Mikoto bertanya sambil menggeser duduknya, memberi ruang agar ia bisa ikut bergabung dengannya di sofa.

"Ya," Sasuke menjawab singkat, menyandarkan tubuhnya. Rasanya begitu nikmat, dan ia semakin merindukan tempat tidurnya, berharap bisa meluruskan tubuhnya sesegera mungkin. "Hampir 13 jam aku terjebak di rumah sakit. Mungkin aku seharusnya mempertimbangkan untuk tinggal di sana."

Ibunya memukul lengannya pelan. "Yang harus kau lakukan itu adalah mencari seorang istri." Katanya menyindir.

Sasuke mengerang, mengambil bantalan sofa dan menutup wajahnya. "Ya Tuhan , kupikir sekarang bukan saat yang tepat untuk membicarakan itu."

Ibunya menarik bantal sofa dari wajahnya, dan memukul lengannya, lagi. "Kalau begitu bersikap seriuslah. Sudah terlalu banyak waktu yang terbuang karena menunggumu, dan mendengarkan ocehan-ocehan kerabat kita."

Sasuke menegakkan badannya dan menggosok lengannya yang menjadi korban siksaan ibunya. Ia memperhatikan Shikamaru yang kini sedang mengumpulkan dokumen di tangannya, dan terlihat seakan sedang mempersiapkan mentalnya. Sasuke menahan keinginan untuk menyeringai. Ia sangat yakin bahwa pria yang berprofesi sebagai pengacara itu pastilah sudah gatal ingin mengucapkan kata andalannya.

Ia pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling, dan matanya membelalak lebar mendapati satu raut wajah yang tak asing baginya.

Wanita itu ...

Sarutobi Hinata.

Apa yang sedang wanita itu lakukan di sini?

Itulah kalimat pertama yang muncul dalam kepala Sasuke ketika menyadari kehadiran wanita yang terlihat begitu berbeda di antara para Uchiha lainnya. Berbeda, dalam artian wanita itu telihat biasa saja jika dibandingkan dengan tampilan glamour para kerabatnya, yang bersuka cita karena akan mendapatkan warisan dalam jumlah yang menggiurkan.

Seakan mereka sudah bisa memastikan nama mereka tertera dalam wasiat Uchiha Madara saja, pikir Sasuke dengan nada mencemooh.

Hipokrit. Orang-orang ini. Mereka menunjukkan kepada dunia seolah mereka begitu kehilangan sosok Madara, padahal dibalik itu semua mereka berbahagia dan sibuk mengkalkulasi harta yang akan mereka dapatkan akibat kematiaannya.

Sasuke tak peduli dengan harta peninggalan Madara, atau apakah ia akan mendapat bagian atau tidak. Ia memiliki uangnya sendiri, hasil yang didapatnya dengan susah payah, yang jelas menjamin kehidupannya. Tapi, Sasuke jelas peduli ke mana uang itu akan bersarang ataupun siapa yang akan menempati Sharingan House, mansion kebanggaan Kakeknya yang bernilai miliaran meski sang empunya hanya tinggal seorang diri, dan hanya ditemani oleh pelayan-pelayan yang setia bersamanya.

Singkat kata, Sasuke peduli kepada pria tua itu bahkan setelah ia mati sekalipun. Ini adalah bentuk balas budinya kepada pria yang bersedia mengulurkan tangannya untuk membantu ia dan ibunya setelah ayah dan kakaknya tewas karena kecelakaan. Mungkin sekedar peduli saja tak akan pernah mampu membalas hutang budinya, karena itu Sasuke melakukan apa yang dia bisa untuk membahagiakan kakek itu. Dan jika itu termasuk berkumpul bersama gerombolan pengerat harta yang harus ia sebut sebagai keluarga, maka ia akan melakukannya.

Meski ada kata terpaksa yang tersemat di belakangnya.

"Nah, sekarang mari kita masuk ke bagian yang aku yakin, telah kalian tunggu sejak tadi setelah ucapan membosankan yang harus kalian dengarkan sebelumnya," Shikamaru membaca.

Sasuke mendengus. Ucapan membosankan?

Ia berani bertaruh, kakeknya itu pasti sengaja membuat ucapan pembuka yang panjang hanya untuk memancing kekesalan kerabat-kerabatnya. Dan itu terbukti ketika Shikamaru selesai mengucapkan sebagian isi wasiat Madara.

Perhatiannya teralihkan sejenak ketika Shikamaru mulai menyebutkan nama Uchiha Honzu dan istrinya. Ia mengangkat sebelah alisnya, tak percaya bahwa Madara akan memberikan hartanya kepada pria pemalas yang hanya tahu cara menghamburkan uang itu. Tatapannya lurus tajam kepada Shikamaru, dan ia mengerutkan kening sewaktu menangkap sahabat lamanya itu menggumamkan kata andalannya sebelum berdehem dan memegang erat kertas di tangannya.

Apapun yang ada di dalam surat wasiat itu jelas tak akan baik jika menilai dari reaksi Shikamaru.

Sasuke menunggu pria itu melanjutkan ucapannya.

Tapi, kemudian ia berubah pikiran. Mungkin akan lebih baik jika waktunya ia gunakan untuk tidur sejenak. Toh namanya pun tak akan disebut dalam waktu dekat. Jika ia mengenal Madara sebaik yang ia duga, Sasuke meyakini bahwa pria tua itu pasti menyisakan bagian untuknya di penutupan.

Rasanya baru sebentar ia memejamkan matanya dan kini Sasuke merasakan seseorang menyenggol lengannya pelan, berusaha membangunkannya. Tak tahukah orang itu bahwa Sasuke membutuhkan tidur saat ini? Seluruh badannya terasa pegal, dan Sasuke yakin tubuhnya bisa ambruk jika dipaksa terjaga terus-terusan seperti ini.

Sentuhan itu semakin mengganggu, membuat Sasuke mengumpat pelan, dan membuka matanya kembali. Ia menggosok tengkuknya, menguap. Pandangannya tertuju pada Shikamaru yang masih sibuk membaca dokumen yang ada di tangannya.

"Jangan tidur, setidaknya kau harus menghormati kerabat kita, Sasuke," Ibunya yang berada di sampingnya berbisik mengingatkan.

Sasuke berpura-pura tak mendengar itu. Ia lebih memilih untuk memperhatikan kerabat-kerabatnya.

Rata-rata raut wajah anggota keluarga besar Uchiha itu terlihat seakan baru saja dipaksa menelan sebuah tablet pahit yang bernama kenyataan. Uchiha Hozu dan istrinya, Uchiha Nami dan Uchiha Matsu, Uchiha Hyobu dan Uchiha Nori, para paman dan bibinya itu terlihat seakan sedang menahan kalimat umpatan yang dapat meluncur kapan saja dari mulut mereka.

Apa yang terjadi?

Ia melirik ke arah ibunya, yang anehnya seperti sedang berusaha menyembunyikan senyumnya.

Baiklah, sekarang ia penasaran dengan apa yang telah ia lewatkan sewaktu tertidur tadi. Ia memandang ke arah Hinata yang masih saja duduk tenang seakan tak peduli dengan sekitarnya. Mungkin, wanita itu berpikiran sama sepertinya. Dan untuk kali pertama, Sasuke seakan tak bisa melepaskan pandang darinya.

Hingga Shikamaru akhirnya menyebut nama ibunya, tentu saja.

"Untuk keponakanku tersayang, Uchiha Mikoto. Kau tahu kau adalah favoritku sejak dulu, meski posisi itu akhirnya tergantikan oleh putramu. Tapi, aku selalu kagum dengan semangatmu dan kemandirianmu. Karena itu, aku pun yakin, kau akan bertanggungjawab jika aku melimpahkan sedikit saham di Sharingan untuk kau jaga. Lima puluh persen dari total mutlak saham itu adalah milikmu, Sayang. Jaga itu untukku. Dan jangan biarkan lebah-lebah penghisap madu itu merebutnya darimu."

Mikoto terperangah tak percaya. Ia seakan terdiam di tempat, sama sekali tak menyadari jika Sasuke meletakkan tangannya di atas tangannya, menggenggamnya erat. Dan Sasuke memahami itu, memahami perasaan ibunya.

Namun ia tak memiliki waktu untuk melontarkan kalimat bernada penghiburan karena Shikamaru menyita perhatiannya dengan akhirnya menyebut namanya. Dan –Sasuke merasakan firasat buruk datang─ pria itu menyunggingkan seulas senyum yang membuat alarm dalam kepala Sasuke berbunyi.

"Dan Uchiha Sasuke, ini adalah wasiat sekaligus permintaan terakhirku untukmu. Kau wajib melakukannya, Anak Muda. Kau tak akan begitu tega membuat pria tua ini tak tenang dalam kuburnya, bukan?" Shikamaru menyeringai, kelihatan sekali ia sudah gatal ingin membaca keras-keras pesan terakhir Madara untuknya.

Sasuke duduk gelisah di sofanya.

"Aku mewariskan kepadamu seluruh hartaku, sisa saham-sahamku, seluruh surat obligasiku, jaminan hipotekku dan segala harta lain yang hanya dapat memusingkan kepalaku kepadamu. Dan aku juga─"

"─Kau pasti bercanda!" Suara marah milik Uchiha Nami menggelegar memenuhi ruangan. Ia menunjuk Sasuke dengan sengit. "Maksudmu, anak sialan ini menguasai seluruh harta Madara? Itu tak adil!"

Sasuke menghembuskan nafas lelah, sama sekali tak terpengaruh oleh kata kasar Nami kepadanya. Wanita tua itu memang selalu seperti itu, seingatnya. Selalu saja rakus akan harta dan kemewahan. Ia berniat untuk menyuruh Shikamaru melanjutkan pekerjaannya, namun ibunya yang mendadak berdiri, membuat kalimat yang harusnya ia lontarkan tersangkut di tenggorokan.

"Tutup mulutmu, Nami!" Mikoto berkata marah. "Memangnya kau itu siapa, sampai menentang keputusan paman Madara seperti itu? Kau, yang bahkan untuk sekedar berkunjung dan berbasa-basi saja tak mau, kini mengharapkan hartanya?"

"Lalu kau menyebut dirimu pantas?" Uchiha Hyobu menyindir sembari menghisap cerutunya.

Sasuke melihat Hinata memberikan pandangan mencela ke arah pamannya yang satu itu.

"Aku tak menyebut aku pantas." Mikoto bersedekap, melipat kedua tangannya di depan dada. "Tapi, setidaknya aku tak pernah mengharapkan harta Madara seperti kalian."

"Oh, sudahlah, Mikoto," Uchiha Nori mendengus meremehkan. "Semua orang juga tahu kalau kau hanya memanfaatkan Madara dengan menggunakan kematian suami dan anakmu sebagai kedok."

Nah, ucapan yang seperti inilah yang membuat telinga Sasuke mendadak panas. Sindiran tak beralasan dari orang-orang rendah yang dialasi rasa sakit hati dan kecemburuan.

"Apa kau bermaksud mengatakan bahwa Kakek Madara itu bodoh?" Sasuke berkata santai, memandang langsung ke arah Uchiha Nori. Wanita itu kelihatannya akan membalas ucapannya, namun sayang sekali Sasuke sama sekali tak berniat memberinya kesempatan untuk membela diri.

"─Karena berdasarkan ucapanmu, aku baru saja menarik kesimpulan bahwa kakek itu seseorang yang tolol karena bisa dimanipulasi oleh ibuku, yang sebenarnya sungguh terdengar konyol bagiku."

"Jaga bicaramu, Sasuke! Kau itu tak tahu apapun!"

Sasuke melirik ke arah Taiko, saudara sepupunya -anak dari Uchiha Nami.

"Kupikir kau yang lebih tak tahu apapun di sini, Sepupu." katanya tajam. Ia memberi isyarat kepada Shikamaru untuk melanjutkan tugasnya. "Aku lelah. Jangan mengetes kesabaranku saat ini."

Shikamaru menggelengkan kepalanya dan mengurut pelipisnya. Migraine sepertinya mulai menyerang dan setelah semua ini selesai, ia berjanji akan mengurung diri dalam ruangannya dan menikmati sebotol vodka.

"Baiklah. Aku peringatkan, jangan ada lagi interupsi ketika aku sedang membaca wasiat ini. Apapun yang Uchiha Madara tulis di dalam sini, itu adalah haknya." ucapnya tegas. Setelah itu ia mengulang kembali bagian dimana Sasuke mendapatkan harta Madara, hingga akhirnya berhenti sejenak, menarik nafas panjang, lalu melanjutkan dengan nada serius,

"Dan aku juga mewariskan Sharingan Corporation kepadamu untuk kau kelola. Tapi, kuharap kau tak terlalu bergembira dengan semua ini. Ini tak gratis. Tentu saja ada syaratnya."

Sasuke yang sedang sibuk melontarkan kalimat umpatan dalam hati memandang curiga ke arah Shikamaru.

"Namun sebelum itu, aku juga ingin mengumumkan bahwa Sarutobi Hinatalah yang akan mewarisi Sharingan Mansion beserta isinya. Dan ia juga akan mendapatkan tunjangan bulanan yang wajib diberikan oleh Uchiha Sasuke sebesar dua puluh persen dari profit perusahaan setiap bulannya, hingga ia akhirnya menikah. Gadis ini adalah kesayanganku. Dan berada dalam perlindunganku, bahkan jika ragaku sudah menjadi tanah sekalipun."

Sasuke -di sela rutukannya- memperhatikan bagaimana wajah wanita itu mendadak kehilangan warna. Bagaimana ia saling meremas kedua tangannya hingga memutih, ataupun bagaimana ia menundukkan kepalanya, tak tahan menghadapi tatapan membunuh yang dilayangkan kepadanya.

"Tapi …,"

Sasuke mengernyit. Kata 'tapi' itu biasanya tak pernah berakhir baik.

"─bagi Sasuke dan Hinata, semua itu tentu saja akan kalian dapatkan jika kalian berdua setuju untuk melakukan permintaan terakhir dari pria malang ini. Hanya sebuah syarat yang sangat mudah untuk dipenuhi."

Sasuke mengusap wajahnya dengan sebelah tangan, merasakan pandangan penuh simpati dari ibunya, yang kini meremas bahunya pelan sebagai bentuk dukungan.

"A-aku tak mau."

Suara Hinata terdengar lemah dan bergetar, membuat Sasuke menyingkirkan tangannya.

"Aku memiliki apartemenku sendiri, dan a-aku bekerja. A-aku tak mau uang itu."

Nami mendengus. "Uang yang akan kau dapatkan itu mungkin berkali-kali lipat lebih banyak dari yang kau hasilkan, dan kau menolaknya? Tak bisa dipercaya."

Hinata terdiam, menggigit bibir bawahnya dan kembali menunduk.

"Nona Sarutobi, biarkan aku menyelesaikan tugasku terlebih dahulu," Shikamaru berkata dengan nada mengingatkan. "Jadi, seperti yang kukatakan tadi. Ada syarat yang harus kalian penuhi. Karena jika tidak, maka aku memutuskan bahwa lima puluh persen hartaku akan disumbangkan ke yayasan amal. Sementara yang lainnya akan dibagi rata kepada para kerabat dekatku."

Dan raut wajah penuh gairah kembali bermunculan. Wajah-wajah penuh ketamakan itu seakan baru saja menemukan kembali semangat baru ketika mendengar kemungkinan untuk mendapatkan uang Madara, meski hanya sebagian saja.

Tidak. Sasuke sama sekali tak akan membiarkannya jika ia bisa.

"Syarat." katanya kepada Shikamaru. "Apa syaratnya?"

Dan untuk kali pertama pandangan Hinata mantap menatap lurus padanya, seakan bertanya tanpa kata apa yang sedang dilakukannya.

"Syaratnya tak terlalu sulit. Kalian hanya harus tinggal bersama di Sharingan House selama 3 bulan, dan tak boleh berpisah sama sekali, kecuali kalian sedang bekerja. Wajib tinggal di rumah, dan kau ─Sasuke─ sama sekali tak bisa menjadikan pekerjaan sebagai alasanmu untuk tak pulang ke rumah. Jika salah satu memiliki acara di luar, yang lain wajib mendampinginya."

Sasuke mengerang begitu Shikamaru selesai. Percayakan saja pada kakeknya untuk membuat hidupnya terasa bagaikan mimpi buruk.

.

.

.

Rumah? Uang tunjangan bulanan?

Ini tak seperti yang Hinata bayangkan sebelumnya. Apapun yang dipikirkannya ketika namanya berada di dalam surat wasiat itu sama sekali bukan itu. Ia sempat berpikir mungkin saja Madara memintanya untuk mengurus Hachi, anjing berjenis husky yang menjadi kesayangan pria itu. Tapi ini?

Hinata jelas tak menginginkannya sama sekali. Dan belum lagi syaratnya!

Ia menolak!

Berdiri dari tempatnya duduk, Hinata mengerahkan seluruh keberaniannya untuk mengajukan keberatan. Tekadnya bulat. Ia akan menolak wasiat itu dan pergi menjauh dari keluarga ini.

Kedekatannya dan rasa sayangnya hanya sebatas pada Madara saja. Ia tak berniat melebarkan itu pada kerabatnya yang lain. Dan Hinata yakin, mereka juga pasti memiliki perasaan yang sama dengannya.

Pandangan seluruh orang tertuju padanya, membuatnya meneguk ludah. Kenapa orang-orang ini menatapnya seperti itu? Seakan Hinata telah bersalah mengambil sesuatu yang bisa saja menjadi hak mereka. Tidakkah mereka berpikir bahwa Hinata korban di sini?

"Maaf Tuan Nara, tapi aku menolak bagianku."

Shikamaru Nara mengerutkan keningnya, seakan meminta penjelasan atas ucapannya tadi.

Hinata mengangkat bahu. "Aku tahu kenapa namaku bisa berada dalam wasiat terakhir Kakek Madara. Tapi, aku yakinkan, kedekatanku dengan beliau sama sekali tak ada hubungannya dengan ini."

Hinata bisa melihat pria bertubuh gembul yang duduk santai sambil memegang pipa rokok mendengus mengejek. "Yang benar saja. Kau bisa saja meyakinkan pria malang itu, tapi bukan kami, Nona."

Hinata mengerut. "Maaf. Maksud anda?"

Uchiha Nami mengibas-ngibaskan tangannya dengan remeh. "Sudahlah. Jangan berpura-pura tak mengerti. Mustahil Madara mau saja memberikan rumah, dan uang kepada seorang wanita muda begitu saja tanpa ada yang terjadi di antara kalian berdua."

Dan Hinata seketika mengerti, memahami maksud ucapan pria gembul tadi. Ya Tuhan, orang-orang kaya dan pemikiran mereka membuat perut Hinata seketika merasa mual. Ia mengepalkan kedua tangannya begitu erat, merasakan kukunya menancap dalam genggamannya.

Ia tahu ia memang orang miskin, kalah jauh jika dibandingkan orang-orang ini. Tapi Hinata masih memiliki harga diri, dan ia menolak untuk direndahkan seperti ini. Ia wanita baik-baik, wanita yang memiliki pendidikan, meski kisah hidupnya tak selalu menyenangkan. Dan ia tak seputus asa itu hingga harus menyerahkan tubuhnya demi hidup mewah yang hanya sesaat!

Hubungannya dan Madara murni seperti keluarga. Hinata mengagumi dan menyayangi pria itu seperti kakeknya sendiri, dan perasaan itu pun timbal balik. Madara pun mencintai Hinata layaknya cucunya sendiri. Pria itu bahkan sering bercanda dengan mengatakan bahwa ia ingin mengadopsinya.

Dan tuduhan, tuduhan tak berdasar seperti itu membuat Hinata merasakan emosi yang jarang dirasakannya.

Ia marah, dan matanya menyipit tajam memandang wajah angkuh yang menatap balik padanya.

"Mungkin kalau saja kalian menyempatkan waktu untuk mengunjungi dan bersikap baik padanya, maka bukan namaku yang akan berada di sana, " ia menyindir ketus. "Kalau kalian ingin menyalahkan seseorang, kenapa tidak menyalahkan diri kalian sendiri yang tak becus dan sama sekali tak mengerti arti keluarga."

Uchiha Nami meraung marah. Ia berdiri dan bersiap melangkah mendekati Hinata, yang tetap berada di tempatnya.

Sasuke bersiul, menepuk pahanya dan ikut berdiri. Melenggang santai seakan tak peduli dengan suasana panas yag terjadi di ruangan itu, mendekati Hinata dan memegang lengannya lembut.

"Kita perlu bicara." katanya.

Hinata menarik lepas lengannya, masih merasa marah. Ia mengambil tas tangannya dan hendak bersiap pergi.

"Aku pikir semuanya sudah jelas. Aku tak mau bagianku. Aku bahkan tak punya urusan lagi dengan keluargamu."

Tapi Sasuke kelihatannya sama sekali tak peduli dengan apa yang dikatakannya. Pria itu malah mengangkat satu tangannya seolah memancing perhatian Shikamaru.

"Ada ruangan yang bisa kami gunakan? Aku perlu bicara empat mata dengan wanita ini."

"Ruangan terakhir di ujung lorong sebelah kanan. Katakan pada Natsu bahwa kau sudah mendapat izinku."

Dan meskipun Hinata berusaha untuk menolak, tetap saja ia kalah tenaga. Dan pada akhirnya ia hanya bisa pasrah, membiarkan dirinya di seret paksa menuju pintu keluar.

Meskipun begitu, telinganya masih bisa menangkap kalimat bernada ejekan yang dilontarkan oleh Nami. Sesuatu yang berbunyi seperti Sasuke tentu saja akan berusaha membujuknya demi memastikan ia akan tetap mendapatkan bagiannya.

Hinata mengerutkan kening ketika pintu di belakangnya tertutup. Ia mengangkat dagunya. Pria itu boleh berkata apapapun nanti, tapi Hinata jelas tak akan merubah keputusannya.

Sasuke tak tahu ia sedang berurusan dengan siapa.

.

.

.

"Aku tak mau!"

Sasuke baru saja mengunci pintu di belakangnya. Ia bahkan belum membuka mulutnya sama sekali, tapi wanita di depannya ini sudah mengeluarkan cakarnya duluan.

Ia memilih untuk tak mempedulikan ucapan wanita itu dan berjalan lurus menuju sofa setelah mengantongi kunci ruangan di sakunya. Tindakan pencegahan jika wanita itu mendadak memutuskan untuk kabur. Sasuke terlalu malas untuk mengejarnya.

"Dan kenapa kau mengunci ruangan ini?" wanita itu kembali berseru sembari memutar-mutar kenop pintu tanpa ada hasil. "Demi Tuhan, aku mau pulang!"

"Bisakah kau memelankan suaramu?" Sasuke akhirnya berkata. "Siapa yang menyangka di balik penampilanmu itu, kau ternyata begitu berisik."

Ucapannya kelihatannya mampu menutup mulut wanita itu, meski kelihatannya bukan dalam artian baik. Hinata kini sedang mendelik ke arahnya, wanita itu bahkan terlihat berminat untuk meletakkan jari jemarinya ke lehernya, mencekiknya.

Sasuke menggelengkan kepalanya, berusaha menjernihkan pikirannya. Ia pasti sudah terlalu lelah hingga ide aneh seperti itu mampu muncul.

"Duduklah. Kita tak akan membutuhkan waktu lama jika kau mau bekerja sama."

"Kerjasama apa? Sudah kubilang aku tak mau ambil bagian dalam masalah ini. Biarkan aku melanjutkan hidupku."

Sasuke memandang Hinata yang kini duduk berhadapan dengannya. "Apa kau tahu bahwa Uchiha Madara merupakan sosok yang paling ditakuti di keluarga kami? Banyak yang membencinya dan menginginkan kematiannya, tapi, kau lihat sendiri pria tua itu mampu bertahan hingga akhirnya usia tualah yang mengalahkan dirinya."

Hinata tak menjawab. Ia mengangkat sebelah alisnya seakan bertanya apa hubungannya hal itu dengan topik pembicaraan mereka.

"Kau mungkin tak tahu, tapi pria tua itu meninggalkan banyak sekali harta. Kakek tua itu senang sekali mengambil resiko ketika bernengosiasi, dan sialnya, setiap kali ia bermain dengan keputusannya itu, hasilnya selalu saja sepadan. Bagaikan berjudi, setiap kali ia bermain, ia selalu saja meningkatkan taruhannya. Dan kau lihat sendiri seperti apa kehidupannya."

Hinata berdecak. "Mana aku tahu hidupnya seperti apa. Ketika aku mengenalnya, ia sedang duduk sendirian di café tempatku bekerja. Terlihat begitu kesepian sehingga aku memberanikan diri mengajaknya berbincang. Dan kami jelas tak pernah membicarakan berapa banyak uang yang dimilikinya sebagai topik," katanya melalui gigi yang terkatup rapat. "Kau harusnya yang paling tahu soal itu!"

"Karena itu, kau juga harusnya mengerti bahwa kau tak bisa begitu saja melarikan diri dari persyaratan yang diajukannya dalam surat wasiat itu." Sasuke berkata, mencoba menanamkan ide agar wanita ini mau ikut serta dalam rencananya.

'Kenapa?" Hinata menantangnya, ada nada curiga yang tersirat di dalamnya. "Agar kau pun bisa mendapatkan uangnya? Karena jika aku tak mau ikut dalam kegilaan ini, maka syarat itupun secara otomatis tak berlaku, bukan? Yang, tentu saja secara otomatis akan membuatmu kehilangan bagianmu."

Ya Tuhan, wanita ini bisa-bisa membuatnya gila. Ia dan ketidakpercayaannya.

Uang? Sasuke bahkan tidak tertarik dengan wasiat yang memusingkan kepalanya itu. Ia punya uangnya sendiri. Tak banyak jika dibandingkan dengan kekayaan Madara, memang. Tapi itu uangnya. Hasil jerih payahnya.

"Apa kau sedang menuduhku? Apa aku serendah itu?"

Hinata mengangkat bahunya, mencibirkan mulutnya. "Aku tak tahu. Menurutmu?"

"Touche." Sasuke mengangguk. "Kau benar. Tapi, motifku kali ini tak ada hubungannya dengan niat menguasai apapun. Wasiat itu lebih menjadi beban ketimbang menjadi berkah."

"Lalu kenapa?"

Sasuke berdiri, melangkah mendekati jendela dan menyhibakkan gorden putih yang menutupi ruangan, membiarkan secercah cahaya menerobos masuk. Satu tangannya berada di saku celana.

"Kakek membangun kerajaan bisnisnya dengan susah payah. Ia tak memiliki anak istri yang dapat berbagi dengannya. Seperti kesimpulan yang kau ambil saat pertama bertemu dengannya, ya, ia memang pria yang kesepian. Ia mungkin memiliki banyak saudara, tapi mereka semua hanya lintah penghisap harta." Katanya, menghembuskan nafas lelah dan berbalik. Ia menyandarkan badannya ke dinding. "Apa kau rela, harta yang dikumpulkan kakek dengan susah payah, jatuh begitu saja kepada mereka yang tak pernah peduli dengannya?"

Hinata membisu, dan Sasuke merasa ini pertanda baik untuk semakin menyetir situasi ini ke arah yang ia inginkan. Ia kembali menambahkan dengan nada pelan,

"Kau sudah melihat sendiri bagaimana tamaknya orang-orang di ruangan tadi. Apa kau pikir mereka akan diam begitu saja ketika ada kesempatan untuk mendapatkan uang tersedia di hadapan mereka?"

Hinata menghela nafas panjang, dan Sasuke melancarkan serangan terakhirnya,

"Tiga bulan, Hinata. Aku hanya meminta bantuanmu selama tiga bulan."

" … "

"Dan ketika semuanya selesai, aku janji kau akan mendapatkan hidupmu kembali. Penuh ketenangan tanpa huru-hara seperti tadi."

Hinata masih menolak untuk berbicara, menutup mulutnya rapat-rapat.

"Demi Kakek Madara?"

"Oh baiklah!" Hinata berdiri, mengangkat kedua tangannya ke atas dengan sikap dramatis. Sasuke berusaha mempertahankan ekspresi wajahnya agar tetap datar.

"Tiga bulan!" Hinata berkata dengan nada mendesis. "Kalau begitu lebih baik kita kembali ke ruangan tadi dan memberitahu keputusan kita, bukan?"

Dan Sasuke hanya mengangguk pelan, sementara tangannya merogoh kunci di sakunya.

"Ya. Mari kita beritahu mereka."

*****To Be Continue*****

A/n : Halo, saya balik lagi kemari. Setelah sekian lama, rasanya saya kangen dengan ffn. Fic ini juga sekalian menandai udah hampir satu tahun saya berkarya di sini. Tapi, masalahnya saya balik dengan bawa fic baru, sementara utang fic saya juga masih banyak.

Untuk itu, saya mau minta maaf. Saat ini, saya sama sekali blom punya ide apa buat lanjutannya. Dan saya takut, jika saya tetep maksain diri buat nulis, yang ada saya malah kehilangan minat buat fic itu. Saya juga mo klarifikasi di sini soal fic MBML saya. Fic itu udah tamat. Gak bakal ada lanjutan ataupun ditulis ulang. Dan fic itu emang sengaja saya hapus setelah berdiskusi dengan rekan saya a.k.a Hzl-san.

Anyway, fic ini saya dedikasiin buat Hzl-san. Teman berdiskusi saya, yang saat ini sedang sibuk di RL. Karena saya kangen saling bertukar email sama dia.

And the last, terima kasih udah mampir ke fic saya, dan bersedia ngeluangin waktu buat ngebaca ini.^^ Salam SHL 3

With Love,

Raye