"Kalau jalan, lihat-lihat pakai mata!"

"Ma-maafkan a-aku."

Kouki membiarkan seseorang yang tidak sengaja ia tabrak mendamprat frontal, menerima permintaan maafnya dengan balik menyembur gerutu, lalu tenggelam dalam kerumunan massa terhambur ke destinasi masing-masing seraya mengentak langkah.

"Apa kau baik-baik saja?"

"I-iya."

Kouki melengak. Ditemukannya Akashi Seijuurou dengan sepasang biner rubi brillian menatapnya seraya mengulurkan tangan membuatnya sesak—dipikirkannya Akashi yang ini tidak akan melakukannya lagi setelah waktu itu Kouki impuls menepisnya.

Intensinya untuk menolak terkoyak—dan mungkin justru inilah yang paling ia harapkan. Kouki meraih tangan itu, tidak merasakan apa-apa selain dingin ketika jemari mereka saling bertaut, dan menggigit bibir ketika tangan itu begitu cepat melepaskan tangannya setelah ia kembali berdiri tegak.

Seijuurou memandang bibir yang digigit itu. Pandangan mengemayup, sebelum ia mendistraksi momen tersebut dengan membungkuk untuk memungut tas pemuda yang tersungkur tadi.

"Apa kau bisa berjalan lebih cepat? Kita bisa ketinggalan kereta kalau terjebak hujan lagi," kata Seijuurou datar,menyerahkan tas Kouki yang tadi terjatuh saat pemuda itu melamun dan menabrak ketergesaan seseorang hendak kembali ke rumah sebelum diperangkap hujan dalam cengkeraman dingin tak berjeda.

Kouki mengangguk kaku. Tangannya terkepal menguatkan diri untuk entah apa yang ia hadapi—bisa jadi perasaan anomalinya sendiri.

Keduanya menelusuri jalan pasca hujan menuju stasiun. Melesap di sela lalu-lalang yang melangkah pulang ke rumah masing-masing atau tempat yang dituju dengan napas terembun.

Kouki nanar memandang punggung Seijuurou. Dia tahu Akashi Seijuurou yang ini adalah yang selalu membuatnya merasa bersalah dan tidak sempurna kendati hanya untuk berjalan di sisinya.

Seseorang yang akan selalu berjalan di depannya, seringkali mengerlingnya dengan lembut, menuntunnya dengan instruksi yang mudah dipahami dan dilaksanakan, yang selalu mengulurkan tangan ketika dirinya jatuh terduduk. (Ketika dirinya selalu terpuruk.)

Kouki mengulum bibirnya yang dingin walau yang dirasakannya saat ini dimuai kalor berlebih, panas setelah dilumat, temperatur nyaris menyenggol titik kulminasi tatkala memori tadi terkilas-balik—ketika Kouki masih terengah-engah dengan wajah memerah parah, Akashi memejamkan mata.

Dan persona mereka berganti.

Begitu banyak pertanyaan meronta-ronta di benaknya, berontak menuntut jawaban. Perasaannya mungkin teralir bersama ranting patah, daun robek, dan rinai hujan yang membelukar belukar membasahi hutan di tepi lapangan basket tempat biasa mereka berlatih.

Seijuurou dengan kasual memungut handuknya, memerasnya, lalu memasukkannya kembali ke dalam tas. Mengajaknya untuk berteduh saja di rumah sakit dan berbalik melangkah lebih dulu.

(Tidak ada tangan terulur dan senyuman dengan mata magenta monokrom kemilau menaunginya dari terik matahari.)

Begitu menunggu di rumah sakit depan bangsal sakit jiwa, keduanya tidak berbahasa verbal. Kouki mengggigil hebat kedinginan dan terlalu takut menanyakan apa Seijuurou tidak merasakan hal yang sama—diam hanya menerawang hujan dan kelabu awan di kejauhan.

Akashi Seijuurou yang ini ramah dan jauh lebih hangat. Tapi ketika merasakan betapa dinginnya persona tersebut hari ini, Kouki berharap yang satu lagi akan muncul. Keluar menemuinya—menghadapinya, tidak bisa mengenyahkan kekecewaan karena ditinggal begitu saja tanpa penjelasan atau klarifikasi apa pun.

Seijuurou yang ini pun tidak mengatakan apa pun tentang terakhir kali mereka bertemu, mengapa bertukar posisi begitu saja. Kouki dalam terka yang hanya berlandaskan prasangka, Seijuurou marah padanya—yang seharusnya tidak mungkin. Hal itu irasional, bukan ia yang membuat kesalahan. Seijuurou sudah bilang itu bukan salahnya—jadi ... apa Seijuurou marah pada dirinya sendiri?

Dan Seijuurou pernah bilang personanya yang satu lagi tidak akan muncul begitu saja setelah ia kembali menguasai raga mereka berdua, harus ada pemicu yang membuatnya mencuat merepresentasi regalitas Akashi Seijuurou.

Apa pemicunya?

Ini sudah tiga kali terjadi, Kouki sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi .

Tatkala hujan mereda, menjelma gerimis dan percik-percik mendesis seantero jalan, keduanya memutuskan untuk beranjak ke rumah Furihata Kouki.

Sungguh ironis ketika kau—kalian—berada dalam hiruk-pikuk kota dan tidak sendiri tapi tetap merasa semua itu begitu buruk. Ironis ketika kalian tidak menikmati marak senja yang menyempit dalam peluk malam, dan ada seseorang di sisi, tapi kalian terjerembab dari lereng hingar-bingar dunia pada lembah kesepian.

"Kouki-kun!"

Kouki mungkin tidak akan mendengar panggilan ringkih itu jika Seijuurou tidak menarik pergelangan tangannya. Ia tergemap, menoleh, dan tidak bertemu pandang dengan seseorang yang lantas melepas pegangan dari pergelangan tangannya.

"Ada yang memanggilmu."

Kouki tidak sempat bertanya siapa—atau memaki Akashi Seijuurou dan absolut menuntut klarifikasi, ketika seorang wanita paruh baya yang dikenalinya datang dengan setangkai krisan di tangannya.

"Benar ternyata, Kouki-kun!" Wanita paruh baya itu tersenyum berseri-seri. "Sudah lama sekali kau tidak ke tokoku."

Kouki refleks tersenyum mengenali siapa yang memanggil-manggilnya. "Lama tidak jumpa, Obaa-san."

"Kau tidak beli bunga lagi untuk Koichi-kun?" tanya orangtua itu kecewa.

"O-oh, maaf, aku sibuk sekali akhir-akhir ini Obaa-san." Dia menyungging senyum yang mungkin terlihat amat meragukan—dan lebih meyakinkan sebagai ringis pasien gigi berlubang. "Nanti aku akan beli lagi."

"Ya sudah." Wanita itu menepuk gemas punggung lengan Kouki. Matanya berbinar-binar. "Pesananmu satu lagi yang kautitipkan padaku sudah datang. Apa mau kau ambil sekarang?"

Sepasang mata yang sedari tadi terliuk kuyu kini merekah. Agak cerah. "Benarkah?" Dan menyurut dengan sebilur ingatan. "Ta-tapi, a-aku belum ada uang lagi. Du-dua minggu lalu uangku dicuri berandalan itu untuk membayarnya."

"Apa?! Kau baik-baik saja, Nak? Astaga, aku tidak tahu ... waktu itu juga sempat ada anak sebayamu kerampokan oleh mereka, dan aku panggil polisi setempat, kudengar dari polisi itu anak tersebut terluka membawa seorang anak lagi yang terluka parah—"

Wanita paruh baya itu membelalak syok.

"—ara. Anak yang kumaksud!" tudingnya pada pemuda yang berdiri di belakang Kouki.

Seijuurou membungkuk sopan. "Senang bertemu dengan Anda lagi, Obaa-san." Senyum tipisnya terkembang menawan. "Terima kasih untuk bantuan Anda waktu itu."

"E-eh ..." Wanita tersebut tercenung bingung. Dia memicingkan mata melihat dua pemuda di hadapannya berdiri bersisian. "... kalian ... saling kenal?"

"Uhm." Kouki meringis, miris mengingat malam kelam dirajam penderitaan. "Namanya Akashi Seijuurou, kami kenal karena pernah tanding basket, Obaa-san. Dan, ya, aku yang ditolong oleh Akashi malam itu."

Wanita paruh baya itu memekik panik. Ketika menyentuh wajah Kouki, bunga krisan menggores pelan pipinya. "Kau baik-baik saja?! Kudengar dari polisi itu kondisi kedua pemuda tersebut parah—"

"—a-aku sudah baik-baik saja, Obaa-san." Kouki susah payah menjawab karena florist di hadapannya sibuk meneliti tiap inci wajahnya.

"Syukurlah." Wanita tersebut tersenyum penuh haru. Atensi tertoleh pada Seijuurou. "Terima kasih sudah menyelamatkan Kouki-kun, Akashi-kun."

"Itu bukan apa-apa."

Seijuurou membungkuk sekilas, kilasan terkejut hanya sekelebat di wajahnya saat merasakan punggung lengannya dielus halus oleh tangan rapuh yang ahli merangkai bunga itu. Lantas dia tersenyum—mencoba untuk tidak berdecak dengan tanya mengapa ada lagi orang yang mesti berterima kasih padanya berkaitan dengan Furihata Kouki.

Pemuda berambut coklat dikuyupkan hujan itu meremat jaket lembabnya. Memori berguling-guling menarik secarik kenangan akan rahang yang ditinju, pelipis dihantam bola basket, hujan pukulan dan hunjaman berbagai macam serangan, kebrillianan negosiasi dan cepatnya membuat keputusan.

Mananya yang bukan apa-apa?

("Yang memutuskan untuk menolongmu saat itu bukan aku." )

Jaket yang diremas merintik lebih banyak bulir air, mengalir di sela-sela jemari dengan buku-buku tan ringan memutih. Kouki gemetar menghirup napas.

"Berhati-hatilah pada anak-anak nakal itu. Mereka menyeramkan. Kuharap akan ada segera yang menyadarkan mereka." Wanita tersebut mendesah khawatir. Dia menatap cemas menyadari sesuatu hal yang luput ia sadari. "Kalian basah kuyup."

"E-eh, ya, tadi kami kehujanan ..." Kouki menjilat bibirnya yang mengering dingin, panas mengulum wajahnya menyadari Seijuurou tengah meliriknya—dan ketika lirikan mereka bertaut Seijuurou lagi-lagi memutusnya menatap florist di hadapan mereka, Kouki mencelos kehilangan—dan tidak mengerti sakit serta kehilangan yang perih mengimpit dadanya. "... sudah kering. Tidak apa—"

"Aduh, ada apa dengan anak-anak muda zaman sekarang? Apa kalian pikir kalian dapat meremehkan kekuatan alam, hah? Hujan-hujanan apalagi memakai baju basah begini bisa membuat kalian sakit. Apa kalian tidak pernah diberitahu Ibu kalian?"

Wanita tersebut berkacak pinggang seperti ibu-ibu pada umumnya, menyerahkan setangkai krisan di tangan Kouki, lalu berbalik.

"Tunggu di situ, kupinjamkan handuk untuk kalian!"

Kedua pemuda tersebut menepi pada rak-rak bunga yang meluruh embun. Sesak mendengar pertanyaan tentang ibu mereka.

Ada yang satu ibunya terlalu cepat kembali ke haribaan hakiki, satu lagi ibunya tidak pernah sempat mengomeli hanya karena kehujanan—mungkin tidak pernah tahu apakah ia pernah hujan-hujanan atau tidak.

Sampai wanita tersebut kembali, keduanya tidak berbicara. Wanita itu menyerahkan sebuah bungkusan berbentuk kubus dilapis dengan plastik bening agar orang bisa mengintip apa isinya pada Kouki, dan mengomel agar pulang nanti cepat-cepat mandi air panas sembari menghanduki kepalanya.

"A-aku belum me-mendapatkan uangku kembali—"

"—sudahlah, itu untuk Koichi-kun, 'kan? Kau bisa membayarnya kalau kau sudah punya uang lagi. Jangan pikirkan itu, cepat pulang dan ingat kata-kataku tadi! Pakai baju hangat—"

"—ta-tapi handuk Anda—"

"—oh, ya, kembalikan sini."

Wanita itu menoleh ketika mendengar tawa melodis pemuda di sisi Kouki yang telah dianggapnya seperti anak sendiri. Dia tersenyum hangat seraya menepuk bahu bidang pemuda itu yang mengulurkan lipatan rapi handuk setelah diperas padanya.

"Kau anak yang baik," puji wanita itu lembut seraya menerima handuk yang dikembalikan padanya, lalu tertawa inosen tatkala mengaku impresi yang didapatkannya dari pertama kali melihat eks-kapten Teikou itu, "dan tampan sekali."

Kouki tidak tahu apa yang salah dalam dirinya, matanya meredup dan jantungnya berdegup gugup, tapi ironi perih tak terperi ketika melihat Seijuurou tersenyum pada wanita tersebut (senyum pertama yang ia lihat hari ini, karena sejak dua hari lalu Seijuurou tidak berekspresi apa pun padanya—menemuinya saja tidak).

Mungkin, yang dirasakannya saat ini adalah iri karena ia tidak ada apa-apanya di sisi pemuda serba sempurna itu.

Mungkin.

"Terima kasih."

"Datang lagi ke sini dengan Kouki-kun, ya."

"Iya. Kami permisi dulu."

"Ah, Kouki-kun, kembalikan bunga krisanku juga dan titip salam untuk Koichi-kun, ya."

"Ba-baiklah."

"Hati-hati di jalan, Nak!"

Kedua pemuda tersebut pamit pergi diiringi lambaian lembut wanita tersebut. Menyusuri jalanan menuju ke stasiun.

Tidak ada yang berbicara.

Keduanya berdesakan di antara lalu-lalang orang yang berebut untuk naik kereta di jam-jam terpadat arus balik. Mungkin mobilitas sebagai atlet basket menyebabkan mereka mudah menyusup dan kilat masuk ke salah satu gerbong sampai mendapatkan tempat duduk. Padatnya penumpang kereta membuat mereka terduduk di kursi dekat pintu, persis bersebelahan.

Ia tidak bisa merasakan guncangan kereta yang dimuati puluhan penumpang terkantuk-kantuk sepanjang perjalanan. Namun Kouki dapat merasakan sisi kiri tubuhnya bersentuhan, radiasi hangat di balik fabrik basah, dari pemuda yang duduk di sisinya.

Kouki memang menaruh tas di rak tempat menaruh barang bawaan. Namun pesanan yang dititipkannya pada bibi florist tadi dipangku olehnya. Dia berpikir keras agar ide atau inspirasi apa pun pecah dari kepalanya—menghancurkan kesenggangan antara mereka berdua.

"U-uhm ... a-aku sudah melihat surelmu dan menonton video yang kaukirimkan."

"Pendapatmu?" tanya Seijuurou tanpa minat.

Kouki merasakan hatinya seperti sebuah ruang yang dikirik hingga berlubang karena apa yang dilakukannya tidak berjalan sesuai harapannya. "Me-mereka, Sasaki bersaudara itu ... lumayan hebat. Ta-tapi tidak selevel Kiseki no Sedai."

Seijuurou tetap non-ekspresif tatkala berujar dengan nada final, "Karena itulah, tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

Kouki menggigit bibir. Oh, Tuhan, tolong lakukan sesuatu agar situasi aneh ini bisa terenyahkan. Bukankah Akashi Seijuurou dengan basis deskripsi diri sendiri merujuk pada oreshi ini seharusnya bisa lebih berbicara padanya dan membuatnya merasa lebih nyaman?

Mungkin pepatah filsuf ada benarnya, dunia seperti roda yang berputar.

Kikik para gadis yang duduk di sebelah kiri seberang, melirik kedua pemuda yang duduk bersama. Kouki tersipu, Seijuurou menatap datar sambil-lalu—menahan diri untuk tidak mendengus menyadari Kouki begitu mudah salah tingkah dengan gadis imut sedikit saja. Ah, bagaimanapun dia orang biasa-biasa saja, tidak mengherankan Kouki bereaksi demikian.

(Furihata Kouki juga selalu salah tingkah saat menghadapi dirinya yang satu lagi.)

Kouki melirik Seijuurou yang tidak merespons sinyal kuat dari para gadis di sana. Dia mengeluh pelan, menyadari tentu yang dilirik pasti pemuda penuh perfeksi dan menoreh impresi enigmatis—bukan pemuda biasa saja sepertinya.

Tidak tahu harus mengobrol apa dengan pemuda di sebelahnya—dan otaknya bisa korslet difungsikan berpikir bagaimana menghadapi malam ini pemuda di sisinya menginap di rumahnya, Kouki menatapi pesanannya.

Seijuurou menotis senyum tipis meliuk di bibir itu. Dia mengembus pendek. Mengerti tidak ada yang bisa mengalahkan kesesakan antara mereka kecuali dirinya—dan ia sadar kelakuan adiknya saat berhujan tadi benar-benar keterlaluan bahkan Furihata malah tidak juga marah, maka ia berkata perlahan, "Kudengar dari kakakmu kemarin, harta karunnya adalah orgel."

Beruntung ada begitu banyak penumpang dalam gerbong itu. Kalau tidak, entah apalagi hasrat yang Seijuurou mesti tolak dan koyak melihat raut wajah pemuda di sisinya mencerah—seolah tulang pipinya bisa patah karena tersenyum seterharu itu.

Well, bukan karena dirinya. Pasti karena orgel tersebut menyangkut kakaknya. Seijuurou tidak menanggapi argumen dirinya yang satu itu lagi. Tentu saja ia sadar diri bukan dirinya yang mengubah arah riak airmuka Kouki.

(Seperti waktu itu tidak tahu alasan mengapa Furihata Kouki di-submit untuk me-marking-nya, terkadang memang ada hal-hal yang sesekali, bahkan seorang Akashi Seijuurou pun tidak tahu atau terlambat disadarinya.)

"Aku tidak menyangka Aniki me-mengatakannya padamu." Kouki melirik pemuda di sisinya, berusaha untuk tidak merusak bungkusan kotak di pangkuannya dalam remasannya menyadari Seijuurou tersenyum tipis—seperti mengeratkan kembali lubang ternganga di hatinya.

"Hm. Kami berbagi cerita banyak hal. Kakakmu, di luar kesuramannya dalam memandang hidupnya sendiri, adalah orang yang sangat menyenangkan."

–oh, jadi Seijuurou bisa tersenyum dengan pendar hidup lagi di mata magentanya hanya karena memikirkan kakaknya. Dan mereka bahkan baru bertemu dua kali. Ternyata kali ini bukan dirinya yang membuat Seijuurou tersenyum seperti itu. Kouki merasakan ceruk matanya terlekuk dan bibirnya mendadak pegal mengedut senyuman.

Kau tidak pernah bilang aku orang menyenangkan. Kouki pahit menelan bulat-bulat cetusan instan benaknya. "A-apa saja yang ka-kalian ceritakan pada satu sama lain?"

"Banyak hal." Sorot mata Seijuurou melembut. "Kalau saja aku bertemu dengannya lebih cepat ..."

lalu apa? Apa yang akan terjadi jika Seijuurou lebih dulu bertemu Aniki? Kouki tercekat. Mendadak pepat tak berani menerka kelanjutan prediksi tersebut.

"... jika dia tidak sakit, aku yakin dia akan jadi seseorang yang sangat hebat." Seijuurou terdiam sejenak, menggeleng seraya tertawa rendah dengan realisasi. "Tidak, Furihata-san bahkan sudah sangat hebat—karena dia hebat dengan keterbatasan kondisinya."

"..." –ah.

"Candaannya sangat lucu. Siapa sangka orang muram sepertinya bisa bercanda seperti itu? Jarang sekali orang bisa membuatku tertawa, tapi dia bisa melakukannya."

"..." –tidak mungkin.

"Aku banyak belajar darinya. Ada banyak yang belum aku mengerti."

"..." –cukup.

"... ah, dia punya intuisi yang tajam, mengetahui hal yang seharusnya tidak ia ketahui."

"..." –sudah.

"Dia orang yang pesimis dan inferior terhadap dirinya sendiri akan segala hal, padahal tidak seperti itu. Mungkin dia tidak sadar bahwa dia begitu kuat, bertahun-tahun berkutat melawan penyakit itu walau sempat menyerah juga. Demi kau dan orang-orang yang dia sayang."

"..." –itu benar, tapi ...

"Siapa sangka orang yang hanya terjebak di kamar rumah sakit, wawasannya begitu luas. Perspektif yang terbuka. Dia pun musisi dengan musikalitas tinggi yang sangat indah."

"..." –berhenti.

"Furihata-san mengagumkan."

"..." –a-apa?

"Kalau aku tidak pernah bertemu dengannya, aku tidak akan pernah tahu ..."

Kata-katanya tergantung begitu saja ditenggak deru kereta. Ekspresi Seijuurou saat itu tidak seperti kekecewaan, tidak juga penyesalan. Ketika dia menoleh dan tersenyum tipis—bukan karena dirinya, karena kakaknya—melankolis padanya, melirih sedemikian tulus, Kouki merasakan hentakan menyakitkan yang mengimpit paru-parunya hingga ia sulit bernapas.

"Terima kasih sudah mempertemukanku dengan Furihata Koichi-san, Furihata-kun."

"Jangan ... jangan berterimakasih padaku. A-aku hanya memenuhi permintaan Aniki." –hentikan! "Apa lagi yang kalian bicarakan kemarin?"

Seijuurou mengatup bibir. Mengapa Kouki malah menundukkan kepala dengan rambut lembab itu terjuntai menutupi matanya? Mengapa nadanya berubah parau menajam seperti itu seolah apa yang dibicarakan tentang kakaknya adalah salah?

Akashi Seijuurou tidak pernah salah, walau baru dua kali dirinya bertemu Furihata Koichi dan tidak seharusnya dapat semudah itu menjustifikasi dirinya. Hanya saja, keduanya terpaut relasi pada satu individu yang sama—menyayangi orang yang sama.

Tidak luput dari atensi Kouki yang tak pelak ingin bertanya lebih lanjut—terutama tentang rahasia yang ada hanya mereka berdua dan mengapa ia disisihkan dari hal itu, tapi Seijuurou cukup kalkulatif untuk mengalihkannya dengan melirik kotak musik, "Apa itu untuk Furihata-san?"

Aniki lagi.

Semua orang selalu saja memuja dan mengagumi Aniki.

Selalu saja Koichi Aniki, bahkan Akashi ...

("Wah, aku juga merasakan hal yang sama, Akashi Seijuurou-kun! Aku senang berbincang padamu. Coba kita bisa mengobrol lebih lama lagi. Ah, aku harap kita akan berbicara lagi. Nanti kita bicarakan tentang dia lagi, oke?"

.

.

Tawa ringan yang hangat bertukar dengan pandangan magenta yang melembut.

.

.

"Huh? Dia siapa—Kou—ah."Jeda. Realisasi. "Maaf. Itu rahasiaku dan Akashi-kun. Tenang saja, dia yang kami bicarakan adalah seseorang yang tidak akan kau tahu, Kouki.")

Koichi Aniki dan Akashi punya rahasia yang tidak melibatkan Kouki.

Setelah sekian lama menetralisir letupan emosi iri pada kakaknya yang selalu menoreh impresi dan membuat siapa pun menyayanginya tanpa memandang kelemahannya sebagai pesakitan, dan ini pertama kali setelah sekian lama Kouki resistensi terhadap gelegak perasaan seperti ini, Kouki berusaha mendistraksi dirinya sendiri agar tidak terlarut dalam labilitas perasaan termenjijikkan ini yang sukar memudar.

"U-uhm."

Kouki mengetuk lesu pelan salah satu sisi kubus itu—menyadari Seijuurou tidak lagi tidak menghiraukannya, mungkin ini berkat kakaknya—tapi kalaupun benar Kouki ragu apakah ia ingin berterimakasih pada kakaknya.

"Ini kupesan untuk Koichi Aniki dan dia."

Seijuurou telah terlatih dengan kejutan. Ekspresinya stoiknya profesional memanipulasi bahwa tidak ada apa-apa yang terjadi.

"Perempuan yang kakakmu dan kau cinta?" tanya Seijuurou—setenang yang ia bisa.

"EEH?!" Kouki menoleh, syok menodai paras wajahnya.

Jarak mereka terpangkas. Kedekatan ekstrim mengerikan karena pucuk hidung mereka telah bertemu—nyaris tanpa sekat berbagi napas hangat. Seijuurou memundurkan kepalanya dan menaruh telunjuk di depan bibir.

Kouki gelagapan malu menyadari beberapa penumpang tersentak bangun, kaget karena keterkejutannya. Dia mengangguk repetitif, menggerung maaf berkali-kali, rasanya ingin melompat keluar melalui jendela dan membiarkan dirinya naas digilas kereta.

"Da-dari mana ka-kau tahu?"

"Kakakmu."

Lagi-lagi Aniki. "A-ah, yang kalian bicarakan kemarin."

Tunggu, bukankah saat kemarin dia tertidur yang bersamanya adalah persona Akashi Seijuurou yang absolut?

"A-apa lagi yang Aniki katakan padamu?"

"Kau dan dia sama-sama mencintai perempuan itu. Dia merasa merebutnya darimu."

"Perempuan itu ... mencintai Aniki. Bukan aku."

Jadi, Furihata Kouki patah hati? Seijuurou memicingkan mata, tidak mengerti mengapa Kouki tidak terlihat demikian.

"Dia perempuan yang sangat menyenangkan dan suaranya indah sekali. Lebih tua dari Aniki dua-tiga tahun sepertinya. Kalau kau melihat Aniki bersamanya, kau pasti bisa melihat mereka seperti benar-benar pasangan untuk satu sama lain." Kouki tersenyum tipis mengenang objek afeksi kakaknya itu. "Dia menyemangatiku untuk menjadi yang terbaik di satu bidang."

"Dan kau berhasil membuktikannya." Seijuurou tidak bisa merasakan apa tulang pipinya meninggi atau tidak.

"Uhm. Aku berjanji padanya akan memberikan yang terbaik, dia berjanji padaku jika aku berhasil jadi nomor satu di satu bidang, dia akan kembali menemui Aniki."

Nah, ini informasi klarifikasi dari Kouki yang bahkan Koichi sendiri tidak mengerti.

"Bukankah dia pernah dirawat di rumah sakit?"

"Ya, tapi dia sembuh lagi. Tidak seperti Aniki yang jatuh sakit lagi."

"Lalu, kemana dia sekarang?"

"... dia mewujudkan mimpinya menjadi seorang bintang." Kouki melihat refleksinya dari kaca kereta di seberang kursinya, senyumnya memudar. "Tapi, dia tidak pernah kembali."

"Bisa jadi dia tidak ingat pernah berjanji padamu."

Kata-kata itu disuarakan penuh kehati-hatian oleh Seijuurou, tetap tidak membuat Kouki merasa lebih baik diberitahukan kenyataan yang telah ia ketahui.

"Mungkin. Tapi, aku tidak bisa tidak berharap perempuan itu, Hikari-san, akan kembali—karena Aniki bisa bertahan selama ini karena masih menantinya."

Kouki mengusap kotak di pangkuannya.

"Dulu Hikari-san pernah punya kotak musik kesayagan, dan Aniki—saat itu tidak sengaja karena penyakitnya kambuh—menjatuhkannya sampai rusak. Aniki benar-benar menyesal, tidak sempat meminta maaf terlebih Hikari-san pindah rumah sakit dan hanya berjanji akan menemuinya lagi."

"Kakakmu sangat kuat. Bertahan selama itu dengan penyakit yang dideritanya," tanggap Seijuurou seraya memerhatikan refleksinya seperti yang Kouki lakukan, "dia juga bilang ingin melawan takdirnya sendiri."

"Uhm. Dan Aniki akan operasi lagi, aku harap suatu hari nanti Aniki bisa sembuh, berdiri sendiri mengembalikan kotak musik ini untuk Hikari-san."

Ding dong pengumuman kereta mencapai satu destinasi. Sedikit penumpang tergesa keluar kereta, lebih banyak yang berbondong-bondong masuk. Begitu ada sepasang ibu dengan anak-anak dalam gendongan tercenung cemas tidak dapat tempat duduk, refleks kedua pemuda tersebut berdiri memberikan tempat duduk mereka layaknya lelaki sejati lakukan.

Menerima ucapan terima kasih penuh haru dari sepasang ibu dan cengiran bocah-bocah manis (salah satunya dengan gigi berlubang), keduanya berdiri di depan pintu kereta menggelantung tangan di pegangan.

Pemuda itu menelisik ritmik ekspresi Kouki di kaca pintu kereta. "Kau tidak apa-apa jika mereka—kakakmu dan Hikari-san—bersatu?" tanya Seijuurou perlahan.

'Jenius, Seijuurou, harusnya kautanyakan pertanyaan ini pada dirimu sendiri.'

"Mungkin ... a-aku akan merasa kesepian. Ta-tapi dulu, ada waktu di mana mereka hanya berdua saja tanpa aku, kurasa aku tidak apa-apa."

"Memang apa yang kaudapatkan bila melakukan hal ini?"

Kouki maju sedikit, merapat pada Seijuurou karena banyak penumpang berdiri dan berdesakan. Dia mencermati pertanyaan itu selamat dia menghirup wangi samar cologne segar yang Seijuurou pakai.

"Bukankah kau malah tidak dapat apa-apa selain—mungkin—kesepian jika mereka bersama?"

Ketika Kouki terdorong entah oleh siapa di belakangnya, ia mendongak, mendadak diterjang kefamiliaran seperti ketika manik heterokromik itu menatap dari atas ke bawah. Tapi, yang memegangi bahunya agar tidak terjatuh—lalu membuang pandang ke kaca—adalah pemuda dengan mata magenta monokrom sepekat merah darah.

"A-aku tidak mengharapkan pamrih apa pun dari mereka."

Kouki mengeratkan genggamannya pada pegangan kereta, membiarkan Seijuurou menarik tangannya sendiri kembali ke sisi tubuh—tidak lagi berlabuh di bahunya.

"Asal ... asal mereka bersama dan bahagia, itu sudah cukup—karena keduanya begitu berarti untukku."

Seijuurou tidak membalas lagi perkataannya, dan Kouki tidak mengerti apa yang salah dari perkataannya karena Seijuurou bersandar ke pilar di sisi kursi penumpang—tidak menatapnya sama sekali. Lagi-lagi menerawang jauh keluar panorama malam yang dirintiki gerimis.

Kouki mencari di antara berbagai refleksi yang menumpahi kaca kereta dan dirunut bulir-bulir embun, tetap tidak menemukan refleksi sepasang biner magenta monokrom (yang memikat) bertautan pandang dengannya.

Perjalanan kereta saat ini mirip penjelajahan ruang dan waktu. Seperti tidak akan berakhir.

.

.

(Mungkin kesepian tidak seperti ketika melihat kakaknya dan perempuan itu berdua bersama menyebabkannya tersisih. Kouki lebih tulus bahagia melihat mereka bersama.

Mungkin kesepian lebih seperti ini, ketika seseorang mengabaikan keberadaannya dan membuatnya merasa begitu pengecut karena tak mampu melakukan apa pun untuk mengubahnya.

Mungkin kesepian memang semenyakitkan ini. Karena ketika mereka bertemu pandang, Seijuurou membuang pandang darinya dan Kouki tidak bisa mengeja arti ekspresinya dari refleksi mereka yang tertuang di kaca jendela kereta.)

.

.

Walau keduanya berdiri berhadapan hampir begitu rapat hingga membuat hati terasa seperti tersayat, pandangan mereka tidak (lagi) saling menjerat.

.

#~**~#

.

Kouki bisa bernapas sedikit lega ketika mereka turun dari kereta, naik bus menuju kompleks rumahnya, lalu turun di terminal, dan tidak mendapati Seijuurou mengasingkannya lagi (walaupun mereka masih saling tidak bertatapan).

Ada percakapan (tentang basket, sekolah, dan pertandingan mereka) meski hanya selintas dan Seijuurou lebih sering menerawang keluar kaca bus yang menampilkan gedung-gedung beton bermarathon di balik kuluman embun.

Sejujurnya, Kouki tidak menyangka Seijuurou tidak keberatan diajak ke konbini untuk mencari bahan makan malam yang bisa mereka dapatkan.

Menelusuri rak demi rak untuk memilih bahan makanan yang dapat mereka olah, susah-payah menahan tawa ketika Seijuurou (entah bercanda atau memang sekedar berkomentar) datar menyahut betapa konyolnya mereka: dua pemuda; keranjang belanjaan bahan makan malam; di antara ibu-ibu atau para istri muda yang berbelanja.

Kouki tidak bisa membaca apa yang pemuda kini berjalan selangkah di belakangnya pikirkan. Tidak seperti pemuda itu yang seakan menyibak kelambu benaknya untuk dibaca semudah membalikkan telapak tangan.

Sunyi masih dominan berbanding dengan percakapan minim mereka. Kouki mulai berkaji kembali dengan pikirannya, mungkinkah sebenarnya yang tadi ia katakan bukan kesalahan walau membuat Seijuurou bungkam sepanjang perjalanan menuju stasiun tempat mereka turun. Atau itu justru menyebabkan Seijuurou tidak lagi mengabaikannya.

Kouki mengeluarkan kunci dari tasnya untuk membuka gembok pagar rumahnya, menggumamkan terima kasih ketika Seijuurou tanpa diminta segera membantunya menjinjing belanjaan makan malam mereka.

Seijuurou berpikir rumah ini lebih tampak seperti rumah ketimbang rumahnya sendiri. Lengang, ditindih atmosfer seperti rumahnya, tapi tidak melambangkan kehampaan yang luar biasa. Masuk ke dalam setelah membuka sepatu dan menggenakan sandal rumah yang Kouki sediakan, Seijuurou melihat jajaran foto keluarga terpajang di sebuah lemari.

Kebanyakan hanya foto masa kecil. Saat keluarga ini masih lengkap dan utuh. Tertawa bahagia bersama.

Sempurna.

Dari lemari pajangan inilah Seijuurou memahami hal baru, bahkan sebuah kesempurnaan suatu hari dapat berubah menjadi tidak sempurna. Dan realisasi itu satir, hingga ia tersenyum getir.

"I-ini handuk untukmu. Pa-pakai saja kamar mandi yang ada di situ."

Kouki kembali entah dari mana, menyerahkan handuk seraya menunjuk sebuah pintu diapit di antara dua pintu yang sentralnya digantungi papan nama pemilik kamar—Koichi dan Kouki.

Seijuurou mengangguk, tenang mengucapkan terima kasih, beralih ke tasnya sendiri yang tadi ia letakkan di lantai dekat sofa ruang tamu. Mengambil baju ganti—yang syukurlah tidak basah kuyup walau agak lembab, lalu bertapak ke kamar mandi.

Kouki pergi ke kamarnya sendiri untuk menaruh barangnya yang basah, mengambil handuknya sendiri dan baju ganti, lalu keluar lagi untuk memijit tombol televisi agar menyala, kemudian melengang membawa belanjaan bahan makan malam mereka ke dapur. Tidak sadar cengir terbit di wajahnya karena akan membuat ommelete rice.

Kouki mulai memotongi ayam yang tadi ia beli di konbini, mengingat-ingat chicken-rice yang Kagami buat untuk isi ommelete rice-nya tempo hari lalu. Dia lupa bagaimana cara memotong bawang bombay tanpa membuatnya banjir airmata dan matanya begitu perih, harusnya bonggolnya tidak dipotong lebih dulu karena itulah yang merebakkan gas airmata.

Ketika ia tengah berdecak, mendesah karena matanya perih bukan main, didengarnya pintu terbuka dan siluet seseorang di ruang tamu rumahnya merapikan barang bawaannya sendiri.

Kouki tetap mencincang bawang bombay meski orang tersebut akhirnya menghampirinya.

"Terima kasih. Kau bisa memakai kamar mandi sekarang."

"O-oke."

Kouki mengejap-ngejapkan mata. Perih. Berair. Begitu menjauhkan dari bawang bombay sial itu, indera pengelihatannya memulih walau masih berkaca-kaca.

"Apa ada yang bisa kubantu?"

Tawaran itu Kouki dengar kendati pandangannya masih begitu berkunang.

Atau yang membuatnya kini berkunang adalah mendapati Akashi Seijuurou berpakaian kasual sedang menghanduki kepalanya—bukan sekedar baju training biasa, hanya dengan sweater putih berbahan wol pas badan, kerah hingga ke leher sehingga menggariskan impresi akan elegansi kejenjangannya, dan celana hitam kasual, telah segar dengan menyimilir wangi yang entah kenapa familiar bagi Kouki.

"Uh, ya ... mungkin memotong bahan-bahan untuk sup? Apa di kulkas masih ada tofu untuk sup miso?" Kouki terhuyung ke kulkas, mengecek apa ada bahan makanan yang telah ibunya siapkan. Dia menarik setoples ikan telah dibumbui untuk mereka masak.

Tidak seharusnya seseorang serapi itu padahal aktifitas yang tersisa hanya tinggal makan malam dan tidur. Kouki tidak menyuarakan hal itu tentunya, dia hendak mengusap matanya dengan tangan—tapi tangannya masih tercemar aroma dan dihinggap gas airmata bawang tersebut, dan dia tercenung ketika ada tangan yang menahan tangannya untuk mengusap mata.

Tisu terulur untuknya.

"Te-terima kasih."

Kouki mengambil tisu tersebut untuk menyeka airmatanya. Begitu merasakan matanya lebih baik, dia menyesali mengapa menuruti instruksi non-verbal tersebut.

Karena yang dilihatnya lebih jelas adalah Akashi Seijuurou dengan rambut teracak—abnormal, bulir-bulir tipis air tergantung di ujung-ujung rambut merahnya yang menguarkan wangi shampoo. Pakaiannya yang agak kusut karena terlipat-lipat, handuk yang digantung kasual melingkari leher jenjangnya, sama sekali tidak mengurangi perfeksi entitas ini sedikitpun.

Sebaliknya, mungkin menjelma atraktan termematikan yang pernah Furihata Kouki hadapi.

"Sebaiknya kau segera mandi. Kau bisa sakit kalau terlalu lama pakai baju basah yang mengering lagi."

Dan impresi itu pun tetap tidak terdestruksi meski kata-kata bernada monotonnya menghunus hati Kouki dengan kenyataan.

(Kadang, ada pula kenyataan tentang betapa menawan seseorang hingga terasa semenyesakkan ini. Sesak yang tak berdurasi dan tidak untuk ditolak hingga menyebabkan hati terasa seperti mati.)

Kouki berlalu ke kamar mandi dengan meraup handuk dan bajunya. Sebelum pintu kamar mandi ditutup, ia melihat Seijuurou di konter dapur rumahnya memanuver gerakan elegan memutar pisau di tangannya.

Sweater putihnya agak transparan dan melekat ke tubuh. Bagian lengan sweater digulung sampai sebatas siku. Hanya punggung tegap maskulin serta garis bahu bidangnya yang terlihat.

"Aaah."

Kouki meratap seorang diri di kamar mandi, tidak habis pikir mengapa hanya dirinya seorang yang tidak bisa berlaku seperti biasa.

.

#~**~#

.

Kouki keluar dari kamar mandi dan yang pertama ia inhalasi adalah wangi sup. Telah menyisir rambutnya yang basah—karena tidak mungkin dirinya dapat terlihat atraktif dengan rambut berantakan seperti seseorang—sembari mengusapi sisa bilur air di ujung-ujung rambut yang mencicipi kulit tengkuknya.

Kouki tidak tahu harus bersyukur atau mengakui mungkin dirinya terjangkit penyakit paru-paru, gangguan sesak napas akhir-akhir ini dialaminya, kian meroket melihat pemuda itu tengah mencincang bakung. Dan entah sejak kapan rambut itu terjatuh natural membingkai wajah yang tengah serius.

Seijuurou mengangkat kepala menotis eksistensi pemilik rumah ini, sesaat pita suaranya vakum dari kinerja normalnya melihat pemuda yang (baru selesai mandi)tengah tercenung menatapinya.

"Potongan semua bahan-bahan ini rapi sekali," ujar Kouki—tersisip iri dalam suaranya. Geleng-geleng kepala melihat dari wortel sampai kubis terpotong dengan ukuran sama dan presisi sempurna. "Ka-kau bisa memasak?"

Pisau sesaat terhenti menghentak telanan, sebelum kembali bergerak ketika Seijuurou akhirnya menjawab, "Sedikit."

Kouki memfokuskan atensi pada pelontar monosilabel tersebut—entah rendah hati atau memang terlalu biasa jadi menganggap itu hal biasa saja.

"Ka-kapan belajar me-masak? A-apa kau tidak sibuk?"

Impuls yang ditanya menjawab dengan volume rendah, "Kau tidak akan bisa membayangkan kesibukanku sebenarnya." Menarik napas, kemudian menutur, "Pelajaran Home Economics di sekolah."

"Ma-masa hanya dengan pelajaran di sekolah kau bisa memasak seperti ini? Kau ... mu-mungkin sama profesionalnya dengan Kagami."

"Karena aku belajar dengan benar. Oh, yang masak saat ulangtahun Kuroko itu Kagami dan Himuro Tatsuya-san, ya?"

"Haha ... itu kau. Tidak mengherankan." Kouki tertawa kering, barulah mengangguk singkat. "Uhm. Masakan mereka benar-benar enak."

"Masakan mereka sangat lezat. Masakanku tidak ada apa-apanya dibanding mereka."

Seijuurou berhenti memotong ketika tidak ada protes dari apa pun. Dia nyaris—benar-benar nyaris—mengiris jarinya sendiri melihat Kouki mendelik padanya dengan pipi terkurva.

"Kau bisa me-menyakiti banyak hati jika mengatakan hal itu." Kouki berputar menuju panci sup tofu dan menghirup harum menggugah seleranya. "Wanginya saja sudah seenak ini."

"Membuat tofu soup cukup mudah," tukas Seijuurou sembari meraih salada untuk dipotong berikutnya.

Kouki berbalik tapi tidak kembali ke sisi pemuda itu, ada panorama (dan rasa) yang berbeda memandang profil Seijuurou dari belakang. "A-aku tidak bisa."

"Belajarlah."

"Aku juga sudah memikirkan hal itu saat memasak bersama Kagami dan Kuroko di tempat Kagami."

"Berarti kau tinggal melakukan."

"Err, ya ... latihan basket makan dan aktifitas lain amat menyita waktu."

"Belajar saja kalau kau punya waktu luang."

"Uhm, akan kulakukan."

Kouki menenggak saliva, mengusapkan telapak tangan yang (entah kenapa) berkeringat dingin ke celananya, dan melangkah mengalahkan kepengecutannya sendiri agar bisa sejajar—di sisi Seijuurou memerhatikannya memasak.

Dia tidak mengerti mengapa di saat seperti ini, seharusnya bisa frontal dan hanya ada mereka berdua, tapi Kouki malah tidak melakukan apa pun selain menekan otot pipinya agar tidak meninggi—sedemikian nyeri.

Mungkin ini tidak seperti yang ia takutkan. Di mana Seijuurou akan menyepak sepi padanya, sehingga ulu hati Kouki ngilu (lagi). Realisasi teriring desah lega, Kouki beranjak untuk memasak chicken rice-nya.

Seijuurou melirik tangan Kouki beraksi untuk memecah telur satu per satu, menabur garam dan lada, lalu mengocoknya dengan cekatan.

"A-apa?"

Kouki yang menyadari tengah dilirik, menoleh padanya dengan wajah inosen itu. Seijuurou lekas menggeleng, berusaha tidak tersenyum eksplisit seraya kembali menyingkirkan apriori akan Kouki bergelora angkara murka dan layaknya bom waktu dapat meledak—menghancurkan segalanya.

(Apa yang perlu dihancurkan sebenarnya jika segalanya memang berbeda selamanya? Atau karena Kouki berurusan bukan dengan dirinya melainkan pribadi yang satu lagi?

Seijuurou tidak ada kaitannya dengan urusan mereka.)

"Kenapa tertarik belajar memasak?" Seijuurou sekadar berbasa-basi sembari membagi atensi antara tomat yang tengah ia cincang dan Kouki yang memanaskan wajan dengan lumeran mentega seraya menumpah cacahan bawang bombay ke muka teflon.

Kouki mengambil spatula dari wadah peralatan memasak untuk mengaduk tumisan di teflon. "Uhmm ... bisa memasak itu, entah kenapa, kelihatannya keren. Seperti Kagami ... uh, dan ... kau."

Jika yang sedang mencincang tomat bukan Akashi Seijuurou, adegan jari teriris absolut akan terealisasi. Maka kedua pemuda itu akan menikmati salad dengan tomat bersaus darahnya untuk makan malam.

Namun karena ini Akashi Seijuurou, yang hanya melirik sekilas Kouki dan wajah individu biasa-biasa saja itu tetap seperti biasa—tidak terlihat apakah wajahnya memerah karena kepul asap di wajan atau karena mengakui hal tersebut, maka dia memutuskan untuk tidak menanggapi.

Kouki menghela napas panjang. Jadi sekarang dirinya sendiri yang menghindar. Tuhan, tolong sekali lagi saja hilangkan kepengecutan ini—dan kenapa pula reaksi Seijuurou sedatar itu, tidakkah orang ini tahu betapa sulit seorang lelaki mengakui lelaki lain lebih hebat darinya.

"Bagaimana kalau aku yang buat isian ommelette rice dan kau menyiapkan peralatan makan?"

Pasti karena Seijuurou tidak tahu letak perlengkapan makan di mana saja—atau memang karena ingin mengenyahkan kedekatan mereka. Mual dengan asumsi negatif yang terakhit terletup di benaknya, Kouki mengangguk lalu menyerahkan spatula padanya, jemari mereka saling menyapa, Kouki terburu-buru menyiapkan makan untuk dua orang.

"A-Akashi."

"Hm?"

Bibir Kouki terbuka, alpa untuk melontar tanya.

Salahkan Seijuurou yang memasak chicken rice itu dengan (keterlaluan atraktif) atraksi bersama wajan serupa chef restoran bintang lima—mengangkatnya sedikit dari atas kompor dan menaik-turunkannya—sehingga butir-butir nasi berhamburan ke udara dan masuk kembali ke wajan, persis seperti perenang loncat indah masuk menusuk lekuk bilur air yang menyambutnya.

Kagami juga bisa seperti itu.

Ya, aksi ini terdefinisi dengan ada banyak orang melakukan hal yang sama, tapi hasilnya begitu berbeda. Mungkin seperti ini.

Kouki tidak membias Seijuurou atau semacamnya. (Mungkin)

"Ada apa?"

Seijuurou luput melihat bagaimana Kouki melongo—terpesona.

Kouki gelagapan. Mungkin jika ini semacam shoujo anime atau manga, piring atau gelas yang ia pegang akan terpecah saking kagetnya lalu kaki atau jari Kouki terluka.

Siswa Seirin itu bisa jadi tergolong sebagai salah satu pemuda dengan kecerobohan berpondasi ketakutan yang natural. Tapi, (sayangnya) kali ini ia tidak sebodoh dan seceroboh itu. Diletakkannya mangkuk nasi dengan posisi terbalik di atas serbet.

"A-apa kau juga mau ommelette rice-nya?"

"Ya." Seijuurou mematikan api kompor yang membakar pantat wajan. Dia mendongak pada Kouki yang berjarak sekitar lima belas langkah darinya. "Chicken rice-nya sudah."

"O-oke. Aku mau buat ommelette rice-nya." Kouki beranjak kembali ke sisi Seijuurou, bergumam dengan suara lebih ringan, "Yang fluffy."

Seijuurou melangkah, meretas jarak dari Kouki karena mengecek sup tofunya sudah mendidih lalu ia mematikan kompor, barulah kembali pada bahan-bahan salad yang terhampar di meja dapur.

"Kau suka ommelette rice yang fluffy?" tanya Seijuurou datar—berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa dia memang hanya sekadar berbasa-basi.

"Ah." Kouki mengejap di depan kompor. Sendirian. Didera sensasi anomali tentang sepi lantaran ditinggal sendiri—Seijuurou menjauhinya. "I-iya. Mau kubuatkan sekalian untukmu?"

"Kalau kau tidak keberatan."

Seijuurou luput melihat bagaimana mata berselaput pelangi sewarna kayu manis itu merekah cerah karena jawabannya. Dia malah membuat dressing salad dari perasan lemon dan olive oil, kemudian mencampur satu per satu sayuran yang telah dicuci bersih dan dipotong rapi dalam mangkuk yang sama. Atensinya absolut terdistraksi dengan aksi Furihata Kouki memasak ommelette rice.

(—karena kali ini Seijuurou yang asli sendiri dapat melihat bagaimana resolusi berpijar cemerlang di mata itu.)

"Yo-yosh."

Katakan selamat tinggal pada aksi atraksi keren memasak ala chef bintang lima dan resolusi brillian.

Furihata Kouki mungkin memiliki bakat akrobatik komedi dengan kehebohannya memasak di dapur. Ironisnya, dia memasak lebih tegang daripada prajurit terjun ke medan perang. Aura siap tempur menggempur musuh lebih meyakinkan daripada saat ia turun ke lapangan untuk bermain basket dan memenangkan pertandingan.

Jika kau melihatnya dengan mata kepala sendiri, kau akan merasa sangat sulit untuk memungkiri bahwa:

"—u-uorgh. Ini bahkan tidak sebesar porsi Kagami, tapi aku tidak akan kalah! Heaaah!"

—seorang pemuda normal yang tidak biasa bekerja di dapur, komat-kamit berseru absurd, meratakan lelehan mentega ke permukaan wajan yang panas, lalu menuangkan telur ke wajan hingga desisnya menderu seluruh ruangan, menyambar sebagian salad dan chicken rice ke atas telur, cekatan melipatnya lalu memotongnya dan menyajikannya ke piring—

"—YATTAAAA!"

—pemuda ini tidak mungkin tidak terkesan menggemaskan saat berhasil melakukan sesuatu dan berseru sebahagia itu.

Karena untuk dua porsi, tentu ada reka ulang adegan.

Seijuurou bersandar di konter, bertopang dagu dengan satu lengan bersidekap sebagai pivot. Mengingat bahwa dia bukan orang yang komikal komedi seperti Furihata Kouki—bahkan bercanda saja tidak bisa, dia tidak mengerti ironi ini.

Bagaimana bisa pemuda tanpa keistimewaan itu benar-benar sangat menghibur bahkan ketika ia begitu serius?

(Seperti atraksi bagi atensi dan afeksi. Atraktan mematikan.)

Wajah kaku Seijuurou gemilang terlayang dihancur-lebur oleh Kouki. Bibir terkurva tinggi hingga tulang dan otot-otot pipi nyeri. Mata magenta kembar itu terhimpit dalam tawa yang tak tersuara.

Usai memasak porsi kedua dan menabur keju sebagai topping untuk ommelette rice buatannya, Kouki tersengal kepayahan tapi tetap mengangguk puas dengan hasil masakannya. Makanan favoritnya itu benar-benar terlihat kenyal, empuk, lembut, gurih, dan menyerbak wangi memeras saliva untuk terkucur karena sangat menggoda.

"Otsukaresama deshita."

Nada geli itu tidak terlewat indera pendengaran Kouki yang meski tak cukup cermat tapi dua kata itu eksplisit diucapkan dengan pad (meminjam istilah bernyanyi kakaknya) sempurna—yang menyenangkan untuk didengar.

Kouki kilat menoleh—lupa dirinya tidak seorang diri lagi memasak makan malam di rumah tanpa siapa pun menemani. Terpana melihat Seijuurou mendekat padanya dengan senyum (yang memikat) itu.

Pemuda yang rusuh sendiri memasak makanan favoritnya itu tertawa canggung menyadari keberadaan seseorang—yang tadi memasak dengan luar biasa dan sangat berbanding terbalik darinya, tapi dia tidak bisa tidak membalas senyum itu.

"A-aku ... terlihat konyol, ya?"

Bibirnya terliuk oleh gaya gravitasi dan lekuk cembung di pipi yang kasat mata—dan matanya kontan tersipit melihat Seijuurou tertawa perlahan. Kouki hangat itu lagi. Akhirnya, Kouki merasa jauh lebih lega daripada yang ia pikir sebelumnya mustahil lagi untuk ia rasakan.

Kali ini, Seijuurou membiarkan Kouki melihat senyumnya. Dia bergumam lembut membenarkan, "Hmm."

Bahu Kouki refleks menurun lesu—tidak ubahnya terbumbung ke kaki langit hanya untuk dihempas hancur lagi ke bumi. Serahkan pada Akashi Seijuurou dan konsistensi aku-selalu-benar yang amat mengagumkan memecah ekspetasi setiap orang dengan melontar kenyataan yang sebenarnya.

"Kalau saja tekad dan semangat juangmu itu diterapkan dalam bermain basket," Seijuurou menatap Kouki, meluruhkan dingin di tatapannya, "kau akan terlihat keren."

Kikuk dengan senyum yang melelehkan entah organ atau bagian mana dalam dirinya, Kouki menjatuhkan tatapan pada hasil masakannya yang bersebelahan dengan toples ikan berbumbu.

"Kau ti-tidak be-bercanda?" Kouki menyibukkan diri dengan penggorengan lain dan menuang minyak untuk memasak ikan.

Seijuurou mengangkat sebelah alis, bertanya heran, "Apa aku terlihat seperti bercanda?"

"A-apa ada bedanya kau terlihat bercanda atau tidak?"

"Menurutmu?"

Kouki meliriknya, menemukan Seijuurou masih menatapnya. Mulut terbuka-terkatup, barulah menjawab berdasarkan pendar mata magenta tersebut, "Ti-tidak."

Pemuda yang menatapi gelembung-gelembung mungil meletup di permukaan minyak teringat perkataan kakaknya, dan itulah yang ia sampaikan pada Seijuurou sembari membuka tutup toples ikan.

"Kau se-seperti Aniki. Mengatakan apa yang nyata adanya tanpa gengsi jika i-itu memang benar."

"Kenapa kau berpikir begitu?"

"Ka-karena ... seperti kemarin lusa. Aniki bilang tanpa ragu, uh ... matamu bagus."

"..."

"..."

"Aku tidak seperti kakakmu."

"...e- ... eh?"

"Ada hal yang tidak bisa kukatakan tanpa keberatan karena terjadi pertentangan dengan rasionalitas diriku sendiri."

"..."

"Isi hatiku sendiri pada seseorang—yang berbeda dari semua orang lainnya, terutama ketika orang itu ada di hadapanku."

Kouki yang tengah memegang ikan, kaget mendengar tukasan tersebut diiring satu telunjuk yang tergerak untuk merapikan anakan rambut di keningnya, lantas ikan tergelincir dari tangannya ke minyak panas tepat ketika dia terkejut karena jawaban amat serius Seijuurou itu.

Satu dari dua pemuda yang tidak mengenal huru-hara dapur, tidak mengetahui bahwa bahan makanan basah mengandung air, bila dimasukkan ke minyak panas maka yang pasti terjadi berikutnya adalah segalanya meledak.

"ARRGH!"

Jika berharap pelaku yang tidak sengaja menjatuhkan ikan itu ke minyak panas satu-satunya yang kesakitan karena gelegak galak aksi-reaksi hidrogen bertarung dengan minyak itu melukainya, maka sayang sekali itu tidak terjadi.

Karena kedua pemuda tersebut terlonjak. Sama-sama menderita dengan rajam jahanam minyak panas tersebut.

Hanya saja yang satu terlompat mundur karena wajahnya kena percik larutan kental menyaingi kalor magma inti bumi, maka yang satu lagi melompat maju mematikan kompor meski punggung tangannya ditabrak panasnya minyak lalu lekas mendorong rekan memasaknya itu keluar dari genderang perang menakutkan bergemuruh meriuh dapur.

Keduanya mengungsi ke ruang tamu, terhempas ke sofa sembari menahan sakit membakar kulit.

Seijuurou tidak bisa menyeka keringat dingin tersembul di pelipis. Dia melirik Kouki yang merintih perih memegangi pipi dan rahang kirinya. "Kau punya obat oles anti bakar?"

Kouki menggeleng. "Se-sepertinya tidak ada."

"Pasta gigi?"

"A-ada. Uh, sebentar. Akh."

Kouki lekas beranjak ke kamar mandi, mengambil pasta gigi, lalu kembali ke sofa.

Dia terbelalak melihat ruam merah menyemburat di punggung tangan kanan tamunya itu, lantas lekas duduk tertunduk di sentris sofa, kemudian bergegas mengoleskan punggung tangan kanan pemuda di hadapannya yang berdecak pelan karena sensasi panas berkobar dinetralisir dengan menthol dari pasta gigi mint.

"I-ini ... tanganmu ... pa-padahal sebentar lagi kita akan bertanding, aku menyulitkan kita karena membuat—ba-bagaimana—"

"—sudahlah, cepat oleskan ke wajahmu agar tidak berbekas."

Sergahan urgensi itu seketika membungkamnya. Kouki lekas memoles pasta gigi ke pipinya, meringis karena rasanya menyakitkan. Memang tidak sesakit saat ia dihajar habis-habisan malam itu oleh para berandalan, tapi bara di pipinya tidak tertampik.

"Itu belum tertutup semuanya." Seijuurou berekshalasi berat melihat Kouki mengernyit menahan sakit padahal belum semua semburat merah tertutup polesan pasta gigi. "Sini, biar kulakukan."

Kouki mengulurkan pasta gigi pada pemuda yang telah hampir selama dua minggu ini selalu bersamanya.

Seijuurou mengangkat alis karena Kouki tetap tertunduk. "Angkat kepalamu, Furihata-kun."

Prioritasnya saat ini adalah mengobati luka bakar ringan yang mereka dapatkan. Nihil tanda-tanda Kouki akan mengangkat tegak kepalanya, Seijuurou kilat memutuskan untuk menyangga dagu pemuda itu dengan tangan kirinya.

Dia terkesiap pelan melihat biner sienna yang terlapis saput tipis.

"Maafkan aku," lirih Kouki perih, mengerling punggung tangan kanan Seijuurou yang terluka, "Padahal ... ta-tangan begitu berharga untuk pemain basket. Dan gara-gara aku ... kau —"

"Sssh. Jangan bergerak."

Telunjuk tangan kanannya bergerak memulas pasta gigi pada pipi sampai ke rahang kiri memerah itu. Memastikan tidak ada yang luka bakar ringan yang terlewat. Semua dia lakukan dengan menelisik baik-baik kontur wajah tiada keistimewaan dibelenggu pilu dengan sepasang mata merah magenta sempurna.

Sorot matanya berakhir tertambat pada bibir yang digigit itu. Seijuurou menghirup napas tajam ketika ibujari tangan kirinya meraba perlahan garis bibir itu, memberai gigitannya. Memerah. Familiar menyergapnya pada memori hujan berbadai tadi.

Kenangan yang bukan miliknya.

"Maaf."

Suara Kouki memarau. Bibirnya menggulir lagi silabel mengiritasi atensi pemuda yang telunjuk tangan kanannya berhenti mengoles ke spot terakhir di sudut bibir. Bibirnya mengering ketika ia memberanikan diri dengan segala keberanian yang tersisa dalam dirinya, menatap pemuda di hadapannya.

Ini pertama kali pandangan mereka kembali bertemu.

"Kaupikir aku akan kalah begitu saja hanya karena luka seperti ini?" bisik Seijuurou yang bercermin di biner solid kolong langit itu—mendapati refleksinya sempurna ada di sana namun mungkin yang Kouki tatap adalah yang jauh ada dalam dirinya.

"Ti- ... dak." Kouki meremas kaus yang ia kenakan, kusut dalam cengkeraman. Mungkin bukan hanya matanya yang memanas melihat siapa yang lurus menyelami dirinya dari lensa yang jadi jembatan antara hati dan dunianya. "Tapi, a-aku ... melukaimu."

"Kau juga terluka." Seijuurou tidak tahu siapa yang bertremor, jemarinya yang membelai lembut dagu Kouki atau pemuda di hadapannya yang memang telah bergetar hebat. Kita terluka. "Kau hanya perlu lebih berhati-hati."

"A-aku me-mencoba untuk berhati-hati, tapi ta-tadi—"

Serak depresif. Apa yang ingin Kouki katakan, apa yang terlintas di benaknya, rasa yang poranda seketika, seluruhnya tidak terjemahkan dalam bahasa verbal untuk dilisankan. Lenyap serupa kepul asap ketika sepasang mata magenta memikat itu mendekat dan ia tergugu menyadari mata mereka sama-sama tertarik gaya anomali ke bibir mereka masing-masing.

"—sepertinya," Seijuurou memiringkan kepala perlahan, menginhalasi berat hasrat yang ekuivalen membuat keduanya setimpal berdebar—seperti yang mengetam rongga dada mereka agar hancur kapan saja—intens, "aku yang selama ini perlu berhati-hati."

Mata merah brillian Seijuurou meredup sebelum akhirnya bibir Kouki perlahan ia kecup.

Kouki sangat pantas berhasrat meninjunya atau menendangnya atau frontal mendamprat karena aksi afeksi Akashi Seijuurou menyebabkan frustrasi sementara pelakunya bersembunyi di balik persona satu sama lain.

Namun ia lebih ingin memukul atau mencakar atau menjerit mencaci-maki ketika kecupan lembut Seijuurou yang merampas seluruh harga diri dan esensi akan waktu itu berakhir lebih cepat dari airmata panas melelehi pipinya yang perih—tetap tidak lebih menyakitkan daripada dentam abnormal di rongga dadanya yang berdetak seakan hendak mendobrak pagar rusuk.

Ketika Seijuurou menarik diri dan hampir memejam mata, Kouki menahan tangan yang menangkup wajahnya dengan tangannya, timbal-balik kejadian itu berdampak pada stressor yang menggilas defensi diri dan rasionalitasnya.

Mata berpupil mungil itu mirip pinus yang diluruh embun tatkala fajar menggeliat. Menyelami balik samuderah merah yang membuat asanya berdarah-darah, pilu karena malu merasa terlecehkan dengan absurditas tindakan Seijuurou yang tidak mampu ia nalar. Ia bahkan tidak bisa mengeja ekspresi Akashi Seijuurou dan roman wajahnya yang mengeruh.

"Ke-kenapa kau selalu pergi?" bisik Kouki seperti orang tercekik.

"..."

"Apa ... a-apa itu tadi—" –ciuman barusan— "—da-dari ... dia yang sa-satu lagi?"

"... kau mengharapkannya?" Seijuurou sendu balas menatapnya. Tersenyum getir dengan realisasi anomali yang hanya dirinya sendiri pahami, mata hampir terpejam, tapi tangan tan meremas tangannya.

"Kau me-mempermainkanku?" Kouki berbisik, lalu frekuensi suaranya meninggi dimosi pedih mendidih dan ketidakmengertian yang berkompiklasi dalam diri. "Aku me-mengharapkan pe-penjelasan. Kau bahkan tidak pernah me-menjelaskan a-apa yang kau mau dengan melakukan se-semua ... semua ha-hal ini. Ini bukan soal aku mengharapkan siapa, tapi ... a-aku menerimanya—dirimu yang satu lagi, jadi kurasa kau—"

Tamparan emosional dari Kouki itu tidak mendegradasi kapabilitas Seijuurou untuk mendengarnya. Dia sudah menduga hal ini akan terjadi karena tindakan impulsif dirinya yang satu lagi, tapi ia tidak pernah berintensi untuk membuat Kouki jadi seperti ini—melankolia terlinang dari matanya dan dialah penyebabnya.

Mungkin yang berpijar di mata dengan resolusi yang selalu Akashi Seijuurou hasratkan untuk melihat akan memendar kebencian karenanya. Namun—

"Apa kau tahu aku ingin kelemahanku ini hilang?"

Kouki menggigit bibir ketika Seijuurou dengan keseriusan dan serak abnormal di suaranya itu nyaris membuatnya gila.

"Kau hanya membuatnya tidak bisa hilang."

Tanpa sempat menafsir makna rangkai kata yang dilontarkan padanya, Kouki tergugu tatkala Seijuurou menangkup wajahnya, lalu maju untuk menciumnya lagi. Kali ini bukan kecup kupu-kupu yang bersayap patah dan kepak rapuh riwayatnya tamat begitu saja, bermetamorfosis jadi ciuman yang memblokade tangis.

Tidak seperti saat Akashi Seijuurou dengan gelimang cemerlang manik heterokromik itu melumat bibirnya dan matanya terpejam, kendatipun pandangannya buram, Kouki memastikan Seijuurou tidak mengatup matanya. Yang ia lihat lebih jelas tatkala jemari pemuda yang melumat bibir bawahnya itu tidak mematut hanya dari sudut-sudut mata, tapi memaut eksistensinya seutuhnya.

Kouki bernapas berat, mulut terbuka tatkala organ lunak basah menjilat lalu menggigit bibirnya lamat—seperti tengah menguji kekenyalannya. Ia yang mengerang ketika lidah itu lagi mempenetrasi dinding gusi dengan sapuan menggelitik dan menyambangi langit-langit mulutnya, memiringkan kepala ke arah oposisi selaras lengannya yang terangkat untuk merangkul leher Seijuurou menariknya agar bibir mereka melekat lebih erat.

Entah siapa yang mendorong atau siapa yang menarik, punggung Kouki melesaki sofa dengan Seijuurou menaunginya.

Singsingan sensasi menggila ketika lidah mereka bercumbu, panas dan basah, saraf-saraf sensorik sensitif di bibir di sengat listrik dinamis kenikmatan, tatkala bibir mereka saling menghisap merebutkan dominansi yang tidak berarti, tidak ketika melumat lapis kenyal dan dingin itu begitu nikmat—walau membuat napas mereka sama-sama tersendat.

"Nngh."

Seijuurou mengangkat kepala ketika Kouki melepas rekat lumat bibir mereka. Pandangannya tidak meredup dengan seduksi, tapi aksi ini belum bisa secara absolut Seijuurou definisi sebagai afeksi. Namun nilon saliva mereka yang tergantung dari lidah ke lidah, sebagian meluruh dari bibir Kouki melebur dengan basa pasta gigi yang lumer ke dagunya, kian menyebabkan netra magentanya meredup digolak hasrat.

Ini pertama kalinya ia mencium seseorang—atau tepatnya personanya yang asli, dan tidak pernah ada yang mengoyak kendali diri Seijuurou terserpih seperti ini hingga rasionalitasnya terserpih. Gebu-gebu perasaan menderu dadanya menang melebihi kewarasannya untuk menghentikan semua ini, entah ini ambisi atau desperasi afeksi, tapi ia tidak ingin tidak memiliki Kouki—egonya menuntut absolut Kouki hanya untuknya seorang.

"Uh. Nnh."

Kouki merintih ketika Seijuurou menindihnya. Serakah meraup bibirnya dalam dominansi yang menggigilkannya, ia melumat balik bibir yang memonopolinya dengan menggigit pelan bibir atas Seijuurou yang keras menghisapi bibir bawahnya. Bunyi decap basah gulat lumat bibir mereka menyentak senyap ruangan itu.

Benang saliva mereka terajut kembali manakala lidah Seijuurou menjilat bagian bawah lidah Kouki hingga pemuda yang ditindih balas menekan lidahnya, sehingga lidah mereka saling mengait dan desah nikmat mereka mengecupi wajah bertemperatur tinggi mereka masing-masing.

Eratika sistem respirasi sekali lagi jadi kendala sehingga Kouki sekali lagi yang lebih dulu memutus lekatan bibir mereka. Terengah-engah dengan wajah memerah dan mata digenang bening yang tinggal berdenting, Kouki keras menanamkan jemari ke tengkuk Seijuurou tatkala pemuda itu memanfaatkannya yang menoleh ke samping untuk menoreh kulit lunak di belakang daun telinga dengan ciuman dalam.

"Nghh!" Kouki menggeliat hebat tatkala sekujur tubuhnya meremang karena gerigi Seijuurou menggores garis telinganya dan mengempas panas merangsangnya.

"Kau tanya," Sengal pelan Seijuurou yang jauh lebih terkendali dari eratika ekshalas-inhalasi pemuda yang dicumbunya itu terhembus ke rahang kanannya, matanya terpejam tatkala menghirup wangi natural ceruk leher pemuda dalam dekapannya dengan gestur teramat intim—hidung menelusuri kulit leher yang terpapar, "apa yang kumau."

"A-apa yang kau—ah!" Kouki menggelinjang dan kewarasannya terlayang ketika lapisan kulit arteri yang berdenyut kuat di kejenjangan lehernya dihisap perlahan, lama, dengan gigi lambat tertambat, mengigit gemas, ia pening dijerat nikmat—menggelitar gemetar dalam kungkungan Seijuurou. " ... Akashi ... mmngh!"

Seijuurou merasakan lengan melingkar padanya, Kouki meremas kulit yang menangkupi belikat di balik kausnya. Getar bergelegar di sepanjang garis punggungnya, dia menghisap lebih keras leher tersebut mencecap peluh yang tersembul dari pori-pori, menciumnya gemas dengan realisasi volume desah erotik dan lelah Kouki meningkat dengan intensitas cumbuannya.

Ketika suara dari personanya yang satu lagi mengusik, Seijuurou terinterupsi menciumi leher Kouki. Rasanya sarkasme menggiling mereka dalam ironisasi di mana dirinya masih bisa mengingat persona yang satu lagi sementara saat dirinya yang itu memonopoli Kouki dia malah terlupa.

Mengenyah suara lain dirinya yang digerogot angkara murka akan keegoisannya, Seijuurou tidak membiarkan dirinya yang satu lagi mendominasi—tidak ketika Kouki yang terengah-engah dengan bibir basah dan beberapa bagian dirinya basah, kemilau saliva Seijuurou yang tertinggal padanya, menatap (hanya dirinya) tersesat oleh nikmat.

"Ah- ... Ah-ka- ... shi?"

Kouki gulana memanggilnya—akan ketakutan dipermainkan atau ditinggalkan berkubang lagi dalam kesepian, Seijuurou terhenyak ketika Kouki menariknya turun untuk menciumnya lagi—tidak menahan tangan Seijuurou yang menyelinap ke balik bajunya dan membelai paparan kulit di sana.

Mungkin mereka tidak akan berhenti jika bebunyian gerendel dan gembok tidak bergemertak, tak menggema sampai ruang tamu tempat mereka berada. Cumbuan mereka takan akan terhenti di sana andai tapak-tapak langkah dan lirih letih taidama tidak tergelinding menepis hening rumah.

Kouki impuls mendorong Seijuurou untuk bangun dari dirinya, dicabik panik mendengar suara familiar lelah nan rapuh ibunya dengan tapak kaki khasnya, berusaha untuk berdiri, tapi yang ada karena tungkainya masih saling mengait dengan kaki Sejuurou, dia tersandung dan dengan fantastis jatuh tersusruk dengan kepala membentur meja di depan sofa.

"Tadaima, Kouki."

Dalam posisi terbalik, Kouki hanya bisa melihat kaki ibunya yang beralas sandal rumah memasuki ruang tamu. Dia berusaha menyeka jejak-jejak anomali di wajahnya—tidak sadar itu juga membuat wajahnya makin belepotan pasta gigi.

Kouki berguling ke samping, terengah melampaui orang paling pengecut dan penakut lari terbirit-birit dikejar chihuahua, memaksakan senyum di wajahnya seraya berseru dengan suara terpeleset melengking tinggi, "O-o-okaerinasai, Okaa-san!"

Ibunya tidak lagi memerhatikannya, ia melihat seorang pemuda yang bukan anggota keluarganya duduk di sofa rumah keluarganya. Memerhatikan profil pemuda tersebut baik-baik, rambut merah identik dengan seorang wanita yang ia ingat dulu seringkali menemani dan jadi kawan baik putra sulungnya sebelum wafat, serta perasaan dejavu pernah melihat rambut merah itu—walau kali ini tidak serapi waktu itu.

"Sepertinya aku pernah melihatmu. Apa kau yang waktu itu ada di depan kamar Koichi?"

Seijuurou berdeham, memusnahkan kesesakan yang masif saling gilas dengan sensasi nikmat memening dirinya, lekas berdiri untuk membungkuk sopan pada ibunda pemuda yang tengah duduk tergugu itu dan menjawab serak, "Ya, Furihata-san. Saya Akashi Seijuurou."

"Teman Kouki?"

Seijuurou menegakkan lagi tubuhnya, menemukan wanita yang waktu itu dilihatnya di bangsal mereka yang dikhianati harapan dan setiap waktu dipermainkan ajal, relief wajahnya lembut sekaligus menunjukkan ketegaran akan seseorang yang telah mencecap asam-garam pahit-pedas hidup. Dia mengangguk pada wanita yang mengembang senyum lelah padanya.

"Terima kasih sudah menemani Kouki, ya. Maaf, biasanya aku dan suamiku pulang malam sekali jadi dia biasa sendiri."

Ini tidak berakhir. Frasa apresiatif atas Furihata Kouki sekali lagi dilontar padanya. Mungkin tidak akan pernah berakhir. Seijuurou mengatup bibirnya—yang tadi telah sempat ia seka dengan punggung lengan—dan mengangguk sesopan yang ia bisa dengan konflik batin internal dalam dirinya.

"Kenapa kau duduk di—" Wanita tersebut menaruh tas tangannya di meja, menelisik fitur putra bungsunya yang terduduk kaku di lantai, "—kenapa lehermu merah-merah begitu, Kouki?"

Serangan jantung—Kouki hanya mampu mematung.

"Dan wajahmu belepotan putih-putih apa itu." Wanita itu mendesah lelah dengan ulah putra bungsunya yang seringkali tidak bisa ia mengerti.

Seijuurou yang semula tercenung sigap memungut pasta gigi yang ternyata meringkuk di kaki sofa. "Tadi kami memasak makan malam. Saat menggoreng ikan, kami terkena minyak panas. Karena tidak ada salep anti-bakar, maka memakai pasta gigi."

Ah, jenius. Kouki tidak mengerti mekanisme otak macam apa yang Seijuurou pikirkan sampai bisa menjawab hal sebrillian itu.

Wanita biasanya memiliki intuisi yang jauh lebih tajam. Ada kalanya, intuisi itu sendiri menumpul oleh berbagai faktor—seperti lelah dan stress karena beban pikiran berlebih. Hal ini terbukti dari wanita tunggal penyandang marga Furihata itu yang memercayai alasan tersebut.

"Ada-ada saja. Leher dan wajahmu kena minyak, Kouki?" Wanita itu menggeleng-geleng tidak percaya. "Padahal simpan saja ikannya untuk sarapan besok, biar aku yang memasakkannya."

Kouki mengangguk kaku sembari menggigit bibir agar tidak mencetus hal apa pun yang memungkinkan ibunya mengetahui peristiwa apa yang terjadi tepat sebelum bertapak ke ruang tamu. Dia tidak berintensi berdusta pada ibunya, hanya saja dia juga tidak mungkin mengatakan kejadian sebenarnya tanpa membuat ibunya tewas di tempat seketika.

"Obatilah lagi. Okaa-san saja yang masak ikannya. Kalian belum makan malam, 'kan?"

Kepala sepasang pemuda itu serentak tergeleng dengan pertanyaan itu. Mengekori wanita itu yang melangkah masuk ke kamarnya dan suaminya. Berekshalasi panjang, lelah, dan bahkan mereka tidak bisa saling lirik dengan ceceran ketegangan yang masih mengudara di antara mereka.

Ibunda keluarga Furihata itu tidak banyak bicara, menyuruh mereka duduk di meja makan dan menyergah dia sudah makan malam di kantor. Kelelahan tergurat jelas di wajahnya, tapi itu tidak menghalanginya mengembang senyum ketika mencicipi sup tofu di panci dan lekas memuji masakan tersebut sangat lezat.

Walaupun chicken-rice yang menjadi isi ommelette rice-nya luar biasa enak, Kouki terlalu kelu untuk memuji kelezatannya. Tidak dengan sisa-sisa rasa cumbu nikmat pembuat chicken-rice serta sup tofu itu duduk di hadapannya dan berbincang begitu tenang dengan ibunya yang bertanya hal-hal klise tentang latar belakang kehidupan.

Setelah bekerja sama membereskan kembali peralatan makan malam dan memasak, terbentang sejengkal jarak yang canggung total ketika keduanya mencuci piring bersama—mendiamkan satu sama lain, sementara ibu beranak dua itu duduk di sofa—tempat mereka sempat bergulat saling lumat—dan menonton televisi.

Tidak lagi bisa memungkiri degup anomali mendentum diri tatkala jemari mereka bersentuhan saat mencuci piring. Tiada lirik yang terkerling selain desing hening melingkupi keduanya.

"Kouki."

Berjengit pelan, kaget karena panggilan dari ibunya, Kouki buru-buru menatap ibunya yang tengah menonton acara televisi. "Y-ya?"

"Tadi produsermu telepon padaku, katanya besok uang royaltimu dan Koichi akan ditransfer lagi."

Kouki mengejapkan mata. Dia ternganga beberapa saat, melirik Seijuurou yang distan mengeringkan sendok dan sumpit satu per satu.

"Dia juga masih bersikeras meminta, kau bisa mewakili kau dan Koichi untuk datang ke acara itu. Katanya, hanya yang pasti menang yang diundang untuk datang."

Seijuurou balik melirik Kouki dengan dahi berkerut-merut dihamburi anakan rambut.

Kouki sama sekali tidak ragu menjawab muram, "Aku tidak bisa datang, Okaa-san. Hari itu ... Aniki operasi." Menghirup napas dalam, lalu bergumam suram, "... yang seharusnya datang ke sana bukan aku."

Ibunda Furihata itu kentara menghela napas panjang melihat video klip lain yang mendendang nada-nada familiar sampai rasanya terdengar sumbang memuakkan. "Terserah kau saja."

Seijuurou teringat pada yang Koichi kemukakan, tentang orangtua yang memberikan Kouki pilihan melakukan apa yang terbaik baginya sendiri tanpa ditentang. Ia tidak kuasa memprevensi dari selarik pertanyaan yang menginvasi benaknya.

Jika Kouki memilih untuk bersamanya, apa kedua orangtua Furihata akan merelakannya?

Pertanyaan konyol. Kalaupun Kouki bersamanya, ia yang tidak bisa—tervisualisasi regalitas ayahnya dan instruksi absolut untuk selalu menang dengan menguasai berbagai bidang. Dan Kouki mungkin tepatnya bukan ingin bersamanya.

"Sudah malam sekali. Kalian berdua tidurlah," ucap ibu Furihata mengetahui mereka telah selesai mencuci piring.

"Otou-san bagaimana?" tanya Kouki yang mengerling jam dinding, nihil tanda-tanda pagar rumahnya akan berderit dibuka kembali.

"Biar Okaa-san tunggu." Ibunya itu menoleh pada kedua pemuda yang masih berdiri bersisian di balik konter dapur. "Ah, Kouki, ambil futon cadangan untuk Akashi-kun—atau kau tidur di kamar Koichi saja, Akashi-kun?"

Seijuurou hendak mengungkapkan intensinya yang sejak tadi telah terpikirkan sebelum dirinya dan Kouki makan malam—pamit pulang kemudian mencari hotel untuk dirinya tidur malam itu, tapi lirikan ekspetatif Kouki yang memelas menguapkan intensi tersebut.

"Aku tidak keberatan tidur di mana pun," kata Seijuurou mengafirmasi.

Kouki tersenyum setengah hati pada ibunya. "A-aku akan gelarkan futon saja untuk Akashi di kamarku."

Seijuurou tidak tahu lagi apa ia perlu menyesali intensinya untuk pergi saja tidak terungkapkan adalah kebenaran atau tetap tinggal dan sekamar dengan Kouki-lah yang merupakan kekeliruan.

Namun keduanya tetap bekerja sama membawa futon dari kamar Koichi ke kamar Kouki—dan Sejiuurou tidak sempat meneliti wilayah Kouki paling privasi itu dengan cermat—lalu menggelarnya, membawakan perlengkapan tidur yang lain, kemudian memasukkan tasnya ke dalam kamar tempat mereka akan tidur.

"Oyasuminasai."

Itulah saja yang dapat mereka dengar, sahut lembut dari ibu Furihata itu yang sibuk menahan kantuk menunggu suaminya pulang. Setelah memadamkan lampu, Kouki merangkak ke atas ranjangnya sementara Seijuurou berbaring di futon. Keduanya membenam diri dalam hangat selimut.

Mereka masih dalam proses adaptasi dengan keremangan ruangan, ketika mereka mendengar ucapan salam dari suara berat pria dan sambutan selamat datang dari ibu di rumah Furihata itu.

Kouki menggigit bibirnya, menjilatnya perlahan karena kering—sekerontang rongga intern lehernya. Menyadari dirinya tidak bisa meminta penjelasan atau klarifikasi apa pun dari yang Seijuurou hunjamkan padanya karena kedua orangtuanya ada di luar sana—tidak juga mereka bisa kontinu atas sesi panas yang asing tapi tidak sepenuhnya bisa dibenci. Dalam dekapan selimut, jemarinya merayap, mengusap lehernya yang masih terasa panas.

Posisi mereka terbalik.

Kini Kouki di atas dan Seijuurou di bawah.

Dan meski posisi mereka di balik pun, tidak ada yang berubah. Semua tetap sama seperti semula.

Namun di tengah kungkungan kegelapan, biner sienna itu memindai, nyalang bergulir menelusuri siluet yang rebah di futon. Mencari, terus mencari hingga menemukan sepasang gelimang magenta yang terang di bawah sana tengah menatapnya.

Tidak satu pun dari keduanya tergerak.

Sampai mata mereka berserah diri oleh kantuk terbujuk rayuan gelap malam,mengilasbalikkan suatu malam di tengah remang kamar dengan wangi sakura dan medikasi yang memuakkan mereka bersitatap dalam temaram, hingga akhirnya lamat-lamat terpejam—

.

.

—spektrum dan derum ekspresi yang terpancar di mercusuar hati mereka tidak memudar, justru terpugar sempurna dalam momentum ketika reras detik-detik itu berkisah tentang warna mata satu sama lain yang seharusnya tiada di balik tirai kelopak mata.

.

#~**~#

.

Bukan hal yang menyenangkan ketika terbangun paksa oleh objek yang mendistorsi mimpi.

Itu yang Seijuurou alami dengan tas bagian depan tempat ponsel barunya berada, tervibrasi dan berdering menyalak nyenyak tidurnya. Bukan alarm yang telah disetel, karena ia tidak mungkin terbangun saat udara masih sarat akan embun dan bahkan matahari belum menyemburat malu-malu di horizon.

Tidak tahu kapan dirinya tertidur—karena seingatnya semalam ia tidak bisa terlelap dan senyap memerhatikan pemuda yang lebih dulu pulas di ranjang, Seijuurou tidak merutuk walau di luar burung-buruk pelatuk dan sekawanan unggas mulai berkukuk.

Susah-payah tengkurap dan meraih ponselnya, Seijuurou melihat nama ajudan yang dipercayakan oleh ayahnya padanya itu terdisplay di layar. Sebelah alis terangkat. Andai bukan urgensi, mustahil ajudan tersebut meneleponnya di waktu di mana semua orang masih bergelung dalam kurungan selimut.

"Halo?" sapa emperor muda itu serak.

Seijuurou merebahkan kembali kepalanya dengan ponsel disangga satu tangan ke telinga. Matanya kembali terpejam karena ajudannya itu mengawali pembicaraan dengan meminta maaf karena menginterupsi waktu tidurnya.

Ajudannya melaporkan dua hal.

Satu prosedural yang selama ini disiapkannya—dengan memanipulasi yang dialaminya kala itu pada justifikasi ayahnya.

Dan satu lagi kabar yang membuatnya berdecak pelan. Mimpi yang ingin ia realisasi murni untuk diri sendiri. Telah berhari-hari ia berusaha mendapat koneksi yang sekiranya dapat membantunya mewujudkan, sekarang hal ini malah terjadi.

"Tidak bisakah aku menemuinya nanti?"

"..."

"Nomor beliau yang kuterima ada di ponselku yang dicuri. Orang itu tidak mau memberikannya lagi, karena dia pikir aku tidak benar-benar serius untuk diorbitkan karena tidak juga menelepon beliau."

"..."

"Aku sudah bilang apa yang terjadi, tapi sepertinya dia skeptis."

"..."

Mendengar tawar yang disampaikan sang ajudan, instingtif matanya mematut siluet seseorang yang tertidur dengan lengan terjuntai ke lantai. Sorotnya menyendu dipalu pilu.

Ada tanya bagaimana yang dilempar seperti kerikil memecah jendela di ruang imajiner dalam diri. Seijuurou menggeser posisi, menghadap pemuda yang pulas di hadapannya, satu tangannya yang tidak memegang ponsel meraih tangan itu, mengisi ruang antar spasi jari dengan jemarinya sendiri dalam sentuhan yang belum dapat disebut genggaman erat.

Kapalan.

Hangat dan dapat menyebabkan siapa pun bergantung padanya.

Seijuurou bukan seseorang yang dapat semudah itu menyerahkan dependensi pada orang lain. Namun ia selalu jadi tempat bergantung orang lain, selalu diandalkan, jadi pondasi hati dan kepercayaan diri untuk orang-orang di sekelilingnya. Ironis ketika ia berada di posisi sebaliknya.

Bagaimana rasanya jika untuk mendapatkan harta karun berharganya kembali Seijuurou harus bergantung pada seseorang biasa-biasa saja seperti Furihata Kouki?

Ibujari Seijuurou mengusap bekas luka karena pemuda yang tengah melindur itu pernah terjatuh saat berlari-lari rusuh hanya agar membuatnya tak menunggu.

Sekali lagi ia dihadapkan pada keputusan sulit yang terpahat kerunyaman karena situasi tidak menguntungkan ini.

"Baiklah. Kalau itu memang satu-satunya jalan, aku akan temui asistennya lagi hari ini agar dapat membujuk beliau bersabar lagi sampai aku bisa meneleponnya sendiri. Soal invasi, nanti setelah kita bertemu, akan kita bahas lagi."

Sambungan telepon berakhir, sama seperti tautan jemari mereka.

Ketika dua hari terpenting ini berakhir, apa yang akan terjadi pada mereka nanti?

Apa yang harus ia lakukan pada seseorang yang menyulitkannya menghilangkan kelemahannya sendiri?

Seijuurou setengah terduduk, mendekatkan wajahnya pada wajah polos pulas seseorang, membiarkan tanya itu terbisik tepat di depan bibir yang lagi-lagi melirihkan namanya kendati tetap dalam lelap.

"Apa yang harus aku lakukan padamu, Furihata ... Kouki?"

Ini adalah kedua kali bagi Kouki, ciumannya dicuri saat ia masih terjebak di labirin mimpi.

Namun ini kali pertama bagi Seijuurou mencium Kouki sedemikian lembut dan hati menghayat hangat yang amat menyayat, karena yang ciuman pertama Kouki dicuri oleh dirinya yang satu lagi saat senja melarat di antara wangi sakura, rakitan sempurna railroad, dan serakan keping-keping shogi.

.

Kau

Tersenyum

Menangis

Tertawa

Kau merasa

Dan kau mencinta

(Kita bersama)

Ohayou! Konichiwa! Konbawa!

.

Disclaimer: Kuroko no Basket belongs to Fujimaki Tadatoshi and I don't own it. I do not take any commercial advantages or profit from making this fanfiction. Song lyrics originally belongs to LoL.

Warning: Alternate Reality (plus canon divergence from OVA Kuroko no Basket 75.5), OC, OOC, typo(s), death chara, rough-paces, Akashi-Oreshi X Furihata X Akashi-Bokushi, mild languages, M for violence, etc.

Special backsound:

Infinity by One Direction

Sing for You by EXO

Drag Me Down by One Direction

Takkan Terganti by Marcel

.

Catatan pra-fic:

Akashi mengacu pada Bokushi.

Seijuurou mengacu pada Oreshi.

Italic: kilas balik/flashback/ inner's mind

Bold and Italic: lirik lagu

-**- : penggalan lirik lagu

.

Jika ada yang tidak disukai dalam warning yang telah saya cantumkan, tolong jangan memaksakan diri untuk membaca. Terima kasih untuk pengertiannya.

.

Have a nice read! ^_~

.

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

.

"Kalau jalan, lihat-lihat pakai mata!"

"Ma-maafkan a-aku."

Kouki membiarkan seseorang yang tidak sengaja ia tabrak mendamprat frontal, menerima permintaan maafnya dengan balik menyembur gerutu, lalu tenggelam dalam kerumunan massa terhambur ke destinasi masing-masing seraya mengentak langkah.

"Apa kau baik-baik saja?"

"I-iya."

Kouki melengak. Ditemukannya Akashi Seijuurou dengan sepasang biner rubi brillian menatapnya seraya mengulurkan tangan membuatnya sesak—dipikirkannya Akashi yang ini tidak akan melakukannya lagi setelah waktu itu Kouki impuls menepisnya.

Intensinya untuk menolak terkoyak—dan mungkin justru inilah yang paling ia harapkan. Kouki meraih tangan itu, tidak merasakan apa-apa selain dingin ketika jemari mereka saling bertaut, dan menggigit bibir ketika tangan itu begitu cepat melepaskan tangannya setelah ia kembali berdiri tegak.

Seijuurou memandang bibir yang digigit itu. Pandangan mengemayup, sebelum ia mendistraksi momen tersebut dengan membungkuk untuk memungut tas pemuda yang tersungkur tadi.

"Apa kau bisa berjalan lebih cepat? Kita bisa ketinggalan kereta kalau terjebak hujan lagi," kata Seijuurou datar,menyerahkan tas Kouki yang tadi terjatuh saat pemuda itu melamun dan menabrak ketergesaan seseorang hendak kembali ke rumah sebelum diperangkap hujan dalam cengkeraman dingin tak berjeda.

Kouki mengangguk kaku. Tangannya terkepal menguatkan diri untuk entah apa yang ia hadapi—bisa jadi perasaan anomalinya sendiri.

Keduanya menelusuri jalan pasca hujan menuju stasiun. Melesap di sela lalu-lalang yang melangkah pulang ke rumah masing-masing atau tempat yang dituju dengan napas terembun.

Kouki nanar memandang punggung Seijuurou. Dia tahu Akashi Seijuurou yang ini adalah yang selalu membuatnya merasa bersalah dan tidak sempurna kendati hanya untuk berjalan di sisinya.

Seseorang yang akan selalu berjalan di depannya, seringkali mengerlingnya dengan lembut, menuntunnya dengan instruksi yang mudah dipahami dan dilaksanakan, yang selalu mengulurkan tangan ketika dirinya jatuh terduduk. (Ketika dirinya selalu terpuruk.)

Kouki mengulum bibirnya yang dingin walau yang dirasakannya saat ini dimuai kalor berlebih, panas setelah dilumat, temperatur nyaris menyenggol titik kulminasi tatkala memori tadi terkilas-balik—ketika Kouki masih terengah-engah dengan wajah memerah parah, Akashi memejamkan mata.

Dan persona mereka berganti.

Begitu banyak pertanyaan meronta-ronta di benaknya, berontak menuntut jawaban. Perasaannya mungkin teralir bersama ranting patah, daun robek, dan rinai hujan yang membelukar belukar membasahi hutan di tepi lapangan basket tempat biasa mereka berlatih.

Seijuurou dengan kasual memungut handuknya, memerasnya, lalu memasukkannya kembali ke dalam tas. Mengajaknya untuk berteduh saja di rumah sakit dan berbalik melangkah lebih dulu.

(Tidak ada tangan terulur dan senyuman dengan mata magenta monokrom kemilau menaunginya dari terik matahari.)

Begitu menunggu di rumah sakit depan bangsal sakit jiwa, keduanya tidak berbahasa verbal. Kouki mengggigil hebat kedinginan dan terlalu takut menanyakan apa Seijuurou tidak merasakan hal yang sama—diam hanya menerawang hujan dan kelabu awan di kejauhan.

Akashi Seijuurou yang ini ramah dan jauh lebih hangat. Tapi ketika merasakan betapa dinginnya persona tersebut hari ini, Kouki berharap yang satu lagi akan muncul. Keluar menemuinya—menghadapinya, tidak bisa mengenyahkan kekecewaan karena ditinggal begitu saja tanpa penjelasan atau klarifikasi apa pun.

Seijuurou yang ini pun tidak mengatakan apa pun tentang terakhir kali mereka bertemu, mengapa bertukar posisi begitu saja. Kouki dalam terka yang hanya berlandaskan prasangka, Seijuurou marah padanya—yang seharusnya tidak mungkin. Hal itu irasional, bukan ia yang membuat kesalahan. Seijuurou sudah bilang itu bukan salahnya—jadi ... apa Seijuurou marah pada dirinya sendiri?

Dan Seijuurou pernah bilang personanya yang satu lagi tidak akan muncul begitu saja setelah ia kembali menguasai raga mereka berdua, harus ada pemicu yang membuatnya mencuat merepresentasi regalitas Akashi Seijuurou.

Apa pemicunya?

Ini sudah tiga kali terjadi, Kouki sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi .

Tatkala hujan mereda, menjelma gerimis dan percik-percik mendesis seantero jalan, keduanya memutuskan untuk beranjak ke rumah Furihata Kouki.

Sungguh ironis ketika kau—kalian—berada dalam hiruk-pikuk kota dan tidak sendiri tapi tetap merasa semua itu begitu buruk. Ironis ketika kalian tidak menikmati marak senja yang menyempit dalam peluk malam, dan ada seseorang di sisi, tapi kalian terjerembab dari lereng hingar-bingar dunia pada lembah kesepian.

"Kouki-kun!"

Kouki mungkin tidak akan mendengar panggilan ringkih itu jika Seijuurou tidak menarik pergelangan tangannya. Ia tergemap, menoleh, dan tidak bertemu pandang dengan seseorang yang lantas melepas pegangan dari pergelangan tangannya.

"Ada yang memanggilmu."

Kouki tidak sempat bertanya siapa—atau memaki Akashi Seijuurou dan absolut menuntut klarifikasi, ketika seorang wanita paruh baya yang dikenalinya datang dengan setangkai krisan di tangannya.

"Benar ternyata, Kouki-kun!" Wanita paruh baya itu tersenyum berseri-seri. "Sudah lama sekali kau tidak ke tokoku."

Kouki refleks tersenyum mengenali siapa yang memanggil-manggilnya. "Lama tidak jumpa, Obaa-san."

"Kau tidak beli bunga lagi untuk Koichi-kun?" tanya orangtua itu kecewa.

"O-oh, maaf, aku sibuk sekali akhir-akhir ini Obaa-san." Dia menyungging senyum yang mungkin terlihat amat meragukan—dan lebih meyakinkan sebagai ringis pasien gigi berlubang. "Nanti aku akan beli lagi."

"Ya sudah." Wanita itu menepuk gemas punggung lengan Kouki. Matanya berbinar-binar. "Pesananmu satu lagi yang kautitipkan padaku sudah datang. Apa mau kau ambil sekarang?"

Sepasang mata yang sedari tadi terliuk kuyu kini merekah. Agak cerah. "Benarkah?" Dan menyurut dengan sebilur ingatan. "Ta-tapi, a-aku belum ada uang lagi. Du-dua minggu lalu uangku dicuri berandalan itu untuk membayarnya."

"Apa?! Kau baik-baik saja, Nak? Astaga, aku tidak tahu ... waktu itu juga sempat ada anak sebayamu kerampokan oleh mereka, dan aku panggil polisi setempat, kudengar dari polisi itu anak tersebut terluka membawa seorang anak lagi yang terluka parah—"

Wanita paruh baya itu membelalak syok.

"—ara. Anak yang kumaksud!" tudingnya pada pemuda yang berdiri di belakang Kouki.

Seijuurou membungkuk sopan. "Senang bertemu dengan Anda lagi, Obaa-san." Senyum tipisnya terkembang menawan. "Terima kasih untuk bantuan Anda waktu itu."

"E-eh ..." Wanita tersebut tercenung bingung. Dia memicingkan mata melihat dua pemuda di hadapannya berdiri bersisian. "... kalian ... saling kenal?"

"Uhm." Kouki meringis, miris mengingat malam kelam dirajam penderitaan. "Namanya Akashi Seijuurou, kami kenal karena pernah tanding basket, Obaa-san. Dan, ya, aku yang ditolong oleh Akashi malam itu."

Wanita paruh baya itu memekik panik. Ketika menyentuh wajah Kouki, bunga krisan menggores pelan pipinya. "Kau baik-baik saja?! Kudengar dari polisi itu kondisi kedua pemuda tersebut parah—"

"—a-aku sudah baik-baik saja, Obaa-san." Kouki susah payah menjawab karena florist di hadapannya sibuk meneliti tiap inci wajahnya.

"Syukurlah." Wanita tersebut tersenyum penuh haru. Atensi tertoleh pada Seijuurou. "Terima kasih sudah menyelamatkan Kouki-kun, Akashi-kun."

"Itu bukan apa-apa."

Seijuurou membungkuk sekilas, kilasan terkejut hanya sekelebat di wajahnya saat merasakan punggung lengannya dielus halus oleh tangan rapuh yang ahli merangkai bunga itu. Lantas dia tersenyum—mencoba untuk tidak berdecak dengan tanya mengapa ada lagi orang yang mesti berterima kasih padanya berkaitan dengan Furihata Kouki.

Pemuda berambut coklat dikuyupkan hujan itu meremat jaket lembabnya. Memori berguling-guling menarik secarik kenangan akan rahang yang ditinju, pelipis dihantam bola basket, hujan pukulan dan hunjaman berbagai macam serangan, kebrillianan negosiasi dan cepatnya membuat keputusan.

Mananya yang bukan apa-apa?

("Yang memutuskan untuk menolongmu saat itu bukan aku." )

Jaket yang diremas merintik lebih banyak bulir air, mengalir di sela-sela jemari dengan buku-buku tan ringan memutih. Kouki gemetar menghirup napas.

"Berhati-hatilah pada anak-anak nakal itu. Mereka menyeramkan. Kuharap akan ada segera yang menyadarkan mereka." Wanita tersebut mendesah khawatir. Dia menatap cemas menyadari sesuatu hal yang luput ia sadari. "Kalian basah kuyup."

"E-eh, ya, tadi kami kehujanan ..." Kouki menjilat bibirnya yang mengering dingin, panas mengulum wajahnya menyadari Seijuurou tengah meliriknya—dan ketika lirikan mereka bertaut Seijuurou lagi-lagi memutusnya menatap florist di hadapan mereka, Kouki mencelos kehilangan—dan tidak mengerti sakit serta kehilangan yang perih mengimpit dadanya. "... sudah kering. Tidak apa—"

"Aduh, ada apa dengan anak-anak muda zaman sekarang? Apa kalian pikir kalian dapat meremehkan kekuatan alam, hah? Hujan-hujanan apalagi memakai baju basah begini bisa membuat kalian sakit. Apa kalian tidak pernah diberitahu Ibu kalian?"

Wanita tersebut berkacak pinggang seperti ibu-ibu pada umumnya, menyerahkan setangkai krisan di tangan Kouki, lalu berbalik.

"Tunggu di situ, kupinjamkan handuk untuk kalian!"

Kedua pemuda tersebut menepi pada rak-rak bunga yang meluruh embun. Sesak mendengar pertanyaan tentang ibu mereka.

Ada yang satu ibunya terlalu cepat kembali ke haribaan hakiki, satu lagi ibunya tidak pernah sempat mengomeli hanya karena kehujanan—mungkin tidak pernah tahu apakah ia pernah hujan-hujanan atau tidak.

Sampai wanita tersebut kembali, keduanya tidak berbicara. Wanita itu menyerahkan sebuah bungkusan berbentuk kubus dilapis dengan plastik bening agar orang bisa mengintip apa isinya pada Kouki, dan mengomel agar pulang nanti cepat-cepat mandi air panas sembari menghanduki kepalanya.

"A-aku belum me-mendapatkan uangku kembali—"

"—sudahlah, itu untuk Koichi-kun, 'kan? Kau bisa membayarnya kalau kau sudah punya uang lagi. Jangan pikirkan itu, cepat pulang dan ingat kata-kataku tadi! Pakai baju hangat—"

"—ta-tapi handuk Anda—"

"—oh, ya, kembalikan sini."

Wanita itu menoleh ketika mendengar tawa melodis pemuda di sisi Kouki yang telah dianggapnya seperti anak sendiri. Dia tersenyum hangat seraya menepuk bahu bidang pemuda itu yang mengulurkan lipatan rapi handuk setelah diperas padanya.

"Kau anak yang baik," puji wanita itu lembut seraya menerima handuk yang dikembalikan padanya, lalu tertawa inosen tatkala mengaku impresi yang didapatkannya dari pertama kali melihat eks-kapten Teikou itu, "dan tampan sekali."

Kouki tidak tahu apa yang salah dalam dirinya, matanya meredup dan jantungnya berdegup gugup, tapi ironi perih tak terperi ketika melihat Seijuurou tersenyum pada wanita tersebut (senyum pertama yang ia lihat hari ini, karena sejak dua hari lalu Seijuurou tidak berekspresi apa pun padanya—menemuinya saja tidak).

Mungkin, yang dirasakannya saat ini adalah iri karena ia tidak ada apa-apanya di sisi pemuda serba sempurna itu.

Mungkin.

"Terima kasih."

"Datang lagi ke sini dengan Kouki-kun, ya."

"Iya. Kami permisi dulu."

"Ah, Kouki-kun, kembalikan bunga krisanku juga dan titip salam untuk Koichi-kun, ya."

"Ba-baiklah."

"Hati-hati di jalan, Nak!"

Kedua pemuda tersebut pamit pergi diiringi lambaian lembut wanita tersebut. Menyusuri jalanan menuju ke stasiun.

Tidak ada yang berbicara.

Keduanya berdesakan di antara lalu-lalang orang yang berebut untuk naik kereta di jam-jam terpadat arus balik. Mungkin mobilitas sebagai atlet basket menyebabkan mereka mudah menyusup dan kilat masuk ke salah satu gerbong sampai mendapatkan tempat duduk. Padatnya penumpang kereta membuat mereka terduduk di kursi dekat pintu, persis bersebelahan.

Ia tidak bisa merasakan guncangan kereta yang dimuati puluhan penumpang terkantuk-kantuk sepanjang perjalanan. Namun Kouki dapat merasakan sisi kiri tubuhnya bersentuhan, radiasi hangat di balik fabrik basah, dari pemuda yang duduk di sisinya.

Kouki memang menaruh tas di rak tempat menaruh barang bawaan. Namun pesanan yang dititipkannya pada bibi florist tadi dipangku olehnya. Dia berpikir keras agar ide atau inspirasi apa pun pecah dari kepalanya—menghancurkan kesenggangan antara mereka berdua.

"U-uhm ... a-aku sudah melihat surelmu dan menonton video yang kaukirimkan."

"Pendapatmu?" tanya Seijuurou tanpa minat.

Kouki merasakan hatinya seperti sebuah ruang yang dikirik hingga berlubang karena apa yang dilakukannya tidak berjalan sesuai harapannya. "Me-mereka, Sasaki bersaudara itu ... lumayan hebat. Ta-tapi tidak selevel Kiseki no Sedai."

Seijuurou tetap non-ekspresif tatkala berujar dengan nada final, "Karena itulah, tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

Kouki menggigit bibir. Oh, Tuhan, tolong lakukan sesuatu agar situasi aneh ini bisa terenyahkan. Bukankah Akashi Seijuurou dengan basis deskripsi diri sendiri merujuk pada oreshi ini seharusnya bisa lebih berbicara padanya dan membuatnya merasa lebih nyaman?

Mungkin pepatah filsuf ada benarnya, dunia seperti roda yang berputar.

Kikik para gadis yang duduk di sebelah kiri seberang, melirik kedua pemuda yang duduk bersama. Kouki tersipu, Seijuurou menatap datar sambil-lalu—menahan diri untuk tidak mendengus menyadari Kouki begitu mudah salah tingkah dengan gadis imut sedikit saja. Ah, bagaimanapun dia orang biasa-biasa saja, tidak mengherankan Kouki bereaksi demikian.

(Furihata Kouki juga selalu salah tingkah saat menghadapi dirinya yang satu lagi.)

Kouki melirik Seijuurou yang tidak merespons sinyal kuat dari para gadis di sana. Dia mengeluh pelan, menyadari tentu yang dilirik pasti pemuda penuh perfeksi dan menoreh impresi enigmatis—bukan pemuda biasa saja sepertinya.

Tidak tahu harus mengobrol apa dengan pemuda di sebelahnya—dan otaknya bisa korslet difungsikan berpikir bagaimana menghadapi malam ini pemuda di sisinya menginap di rumahnya, Kouki menatapi pesanannya.

Seijuurou menotis senyum tipis meliuk di bibir itu. Dia mengembus pendek. Mengerti tidak ada yang bisa mengalahkan kesesakan antara mereka kecuali dirinya—dan ia sadar kelakuan adiknya saat berhujan tadi benar-benar keterlaluan bahkan Furihata malah tidak juga marah, maka ia berkata perlahan, "Kudengar dari kakakmu kemarin, harta karunnya adalah orgel."

Beruntung ada begitu banyak penumpang dalam gerbong itu. Kalau tidak, entah apalagi hasrat yang Seijuurou mesti tolak dan koyak melihat raut wajah pemuda di sisinya mencerah—seolah tulang pipinya bisa patah karena tersenyum seterharu itu.

Well, bukan karena dirinya. Pasti karena orgel tersebut menyangkut kakaknya. Seijuurou tidak menanggapi argumen dirinya yang satu itu lagi. Tentu saja ia sadar diri bukan dirinya yang mengubah arah riak airmuka Kouki.

(Seperti waktu itu tidak tahu alasan mengapa Furihata Kouki di-submit untuk me-marking-nya, terkadang memang ada hal-hal yang sesekali, bahkan seorang Akashi Seijuurou pun tidak tahu atau terlambat disadarinya.)

"Aku tidak menyangka Aniki me-mengatakannya padamu." Kouki melirik pemuda di sisinya, berusaha untuk tidak merusak bungkusan kotak di pangkuannya dalam remasannya menyadari Seijuurou tersenyum tipis—seperti mengeratkan kembali lubang ternganga di hatinya.

"Hm. Kami berbagi cerita banyak hal. Kakakmu, di luar kesuramannya dalam memandang hidupnya sendiri, adalah orang yang sangat menyenangkan."

–oh, jadi Seijuurou bisa tersenyum dengan pendar hidup lagi di mata magentanya hanya karena memikirkan kakaknya. Dan mereka bahkan baru bertemu dua kali. Ternyata kali ini bukan dirinya yang membuat Seijuurou tersenyum seperti itu. Kouki merasakan ceruk matanya terlekuk dan bibirnya mendadak pegal mengedut senyuman.

Kau tidak pernah bilang aku orang menyenangkan. Kouki pahit menelan bulat-bulat cetusan instan benaknya. "A-apa saja yang ka-kalian ceritakan pada satu sama lain?"

"Banyak hal." Sorot mata Seijuurou melembut. "Kalau saja aku bertemu dengannya lebih cepat ..."

lalu apa? Apa yang akan terjadi jika Seijuurou lebih dulu bertemu Aniki? Kouki tercekat. Mendadak pepat tak berani menerka kelanjutan prediksi tersebut.

"... jika dia tidak sakit, aku yakin dia akan jadi seseorang yang sangat hebat." Seijuurou terdiam sejenak, menggeleng seraya tertawa rendah dengan realisasi. "Tidak, Furihata-san bahkan sudah sangat hebat—karena dia hebat dengan keterbatasan kondisinya."

"..." –ah.

"Candaannya sangat lucu. Siapa sangka orang muram sepertinya bisa bercanda seperti itu? Jarang sekali orang bisa membuatku tertawa, tapi dia bisa melakukannya."

"..." –tidak mungkin.

"Aku banyak belajar darinya. Ada banyak yang belum aku mengerti."

"..." –cukup.

"... ah, dia punya intuisi yang tajam, mengetahui hal yang seharusnya tidak ia ketahui."

"..." –sudah.

"Dia orang yang pesimis dan inferior terhadap dirinya sendiri akan segala hal, padahal tidak seperti itu. Mungkin dia tidak sadar bahwa dia begitu kuat, bertahun-tahun berkutat melawan penyakit itu walau sempat menyerah juga. Demi kau dan orang-orang yang dia sayang."

"..." –itu benar, tapi ...

"Siapa sangka orang yang hanya terjebak di kamar rumah sakit, wawasannya begitu luas. Perspektif yang terbuka. Dia pun musisi dengan musikalitas tinggi yang sangat indah."

"..." –berhenti.

"Furihata-san mengagumkan."

"..." –a-apa?

"Kalau aku tidak pernah bertemu dengannya, aku tidak akan pernah tahu ..."

Kata-katanya tergantung begitu saja ditenggak deru kereta. Ekspresi Seijuurou saat itu tidak seperti kekecewaan, tidak juga penyesalan. Ketika dia menoleh dan tersenyum tipis—bukan karena dirinya, karena kakaknya—melankolis padanya, melirih sedemikian tulus, Kouki merasakan hentakan menyakitkan yang mengimpit paru-parunya hingga ia sulit bernapas.

"Terima kasih sudah mempertemukanku dengan Furihata Koichi-san, Furihata-kun."

"Jangan ... jangan berterimakasih padaku. A-aku hanya memenuhi permintaan Aniki." –hentikan! "Apa lagi yang kalian bicarakan kemarin?"

Seijuurou mengatup bibir. Mengapa Kouki malah menundukkan kepala dengan rambut lembab itu terjuntai menutupi matanya? Mengapa nadanya berubah parau menajam seperti itu seolah apa yang dibicarakan tentang kakaknya adalah salah?

Akashi Seijuurou tidak pernah salah, walau baru dua kali dirinya bertemu Furihata Koichi dan tidak seharusnya dapat semudah itu menjustifikasi dirinya. Hanya saja, keduanya terpaut relasi pada satu individu yang sama—menyayangi orang yang sama.

Tidak luput dari atensi Kouki yang tak pelak ingin bertanya lebih lanjut—terutama tentang rahasia yang ada hanya mereka berdua dan mengapa ia disisihkan dari hal itu, tapi Seijuurou cukup kalkulatif untuk mengalihkannya dengan melirik kotak musik, "Apa itu untuk Furihata-san?"

Aniki lagi.

Semua orang selalu saja memuja dan mengagumi Aniki.

Selalu saja Koichi Aniki, bahkan Akashi ...

("Wah, aku juga merasakan hal yang sama, Akashi Seijuurou-kun! Aku senang berbincang padamu. Coba kita bisa mengobrol lebih lama lagi. Ah, aku harap kita akan berbicara lagi. Nanti kita bicarakan tentang dia lagi, oke?"

.

.

Tawa ringan yang hangat bertukar dengan pandangan magenta yang melembut.

.

.

"Huh? Dia siapa—Kou—ah."Jeda. Realisasi. "Maaf. Itu rahasiaku dan Akashi-kun. Tenang saja, dia yang kami bicarakan adalah seseorang yang tidak akan kau tahu, Kouki.")

Koichi Aniki dan Akashi punya rahasia yang tidak melibatkan Kouki.

Setelah sekian lama menetralisir letupan emosi iri pada kakaknya yang selalu menoreh impresi dan membuat siapa pun menyayanginya tanpa memandang kelemahannya sebagai pesakitan, dan ini pertama kali setelah sekian lama Kouki resistensi terhadap gelegak perasaan seperti ini, Kouki berusaha mendistraksi dirinya sendiri agar tidak terlarut dalam labilitas perasaan termenjijikkan ini yang sukar memudar.

"U-uhm."

Kouki mengetuk lesu pelan salah satu sisi kubus itu—menyadari Seijuurou tidak lagi tidak menghiraukannya, mungkin ini berkat kakaknya—tapi kalaupun benar Kouki ragu apakah ia ingin berterimakasih pada kakaknya.

"Ini kupesan untuk Koichi Aniki dan dia."

Seijuurou telah terlatih dengan kejutan. Ekspresinya stoiknya profesional memanipulasi bahwa tidak ada apa-apa yang terjadi.

"Perempuan yang kakakmu dan kau cinta?" tanya Seijuurou—setenang yang ia bisa.

"EEH?!" Kouki menoleh, syok menodai paras wajahnya.

Jarak mereka terpangkas. Kedekatan ekstrim mengerikan karena pucuk hidung mereka telah bertemu—nyaris tanpa sekat berbagi napas hangat. Seijuurou memundurkan kepalanya dan menaruh telunjuk di depan bibir.

Kouki gelagapan malu menyadari beberapa penumpang tersentak bangun, kaget karena keterkejutannya. Dia mengangguk repetitif, menggerung maaf berkali-kali, rasanya ingin melompat keluar melalui jendela dan membiarkan dirinya naas digilas kereta.

"Da-dari mana ka-kau tahu?"

"Kakakmu."

Lagi-lagi Aniki. "A-ah, yang kalian bicarakan kemarin."

Tunggu, bukankah saat kemarin dia tertidur yang bersamanya adalah persona Akashi Seijuurou yang absolut?

"A-apa lagi yang Aniki katakan padamu?"

"Kau dan dia sama-sama mencintai perempuan itu. Dia merasa merebutnya darimu."

"Perempuan itu ... mencintai Aniki. Bukan aku."

Jadi, Furihata Kouki patah hati? Seijuurou memicingkan mata, tidak mengerti mengapa Kouki tidak terlihat demikian.

"Dia perempuan yang sangat menyenangkan dan suaranya indah sekali. Lebih tua dari Aniki dua-tiga tahun sepertinya. Kalau kau melihat Aniki bersamanya, kau pasti bisa melihat mereka seperti benar-benar pasangan untuk satu sama lain." Kouki tersenyum tipis mengenang objek afeksi kakaknya itu. "Dia menyemangatiku untuk menjadi yang terbaik di satu bidang."

"Dan kau berhasil membuktikannya." Seijuurou tidak bisa merasakan apa tulang pipinya meninggi atau tidak.

"Uhm. Aku berjanji padanya akan memberikan yang terbaik, dia berjanji padaku jika aku berhasil jadi nomor satu di satu bidang, dia akan kembali menemui Aniki."

Nah, ini informasi klarifikasi dari Kouki yang bahkan Koichi sendiri tidak mengerti.

"Bukankah dia pernah dirawat di rumah sakit?"

"Ya, tapi dia sembuh lagi. Tidak seperti Aniki yang jatuh sakit lagi."

"Lalu, kemana dia sekarang?"

"... dia mewujudkan mimpinya menjadi seorang bintang." Kouki melihat refleksinya dari kaca kereta di seberang kursinya, senyumnya memudar. "Tapi, dia tidak pernah kembali."

"Bisa jadi dia tidak ingat pernah berjanji padamu."

Kata-kata itu disuarakan penuh kehati-hatian oleh Seijuurou, tetap tidak membuat Kouki merasa lebih baik diberitahukan kenyataan yang telah ia ketahui.

"Mungkin. Tapi, aku tidak bisa tidak berharap perempuan itu, Hikari-san, akan kembali—karena Aniki bisa bertahan selama ini karena masih menantinya."

Kouki mengusap kotak di pangkuannya.

"Dulu Hikari-san pernah punya kotak musik kesayagan, dan Aniki—saat itu tidak sengaja karena penyakitnya kambuh—menjatuhkannya sampai rusak. Aniki benar-benar menyesal, tidak sempat meminta maaf terlebih Hikari-san pindah rumah sakit dan hanya berjanji akan menemuinya lagi."

"Kakakmu sangat kuat. Bertahan selama itu dengan penyakit yang dideritanya," tanggap Seijuurou seraya memerhatikan refleksinya seperti yang Kouki lakukan, "dia juga bilang ingin melawan takdirnya sendiri."

"Uhm. Dan Aniki akan operasi lagi, aku harap suatu hari nanti Aniki bisa sembuh, berdiri sendiri mengembalikan kotak musik ini untuk Hikari-san."

Ding dong pengumuman kereta mencapai satu destinasi. Sedikit penumpang tergesa keluar kereta, lebih banyak yang berbondong-bondong masuk. Begitu ada sepasang ibu dengan anak-anak dalam gendongan tercenung cemas tidak dapat tempat duduk, refleks kedua pemuda tersebut berdiri memberikan tempat duduk mereka layaknya lelaki sejati lakukan.

Menerima ucapan terima kasih penuh haru dari sepasang ibu dan cengiran bocah-bocah manis (salah satunya dengan gigi berlubang), keduanya berdiri di depan pintu kereta menggelantung tangan di pegangan.

Pemuda itu menelisik ritmik ekspresi Kouki di kaca pintu kereta. "Kau tidak apa-apa jika mereka—kakakmu dan Hikari-san—bersatu?" tanya Seijuurou perlahan.

'Jenius, Seijuurou, harusnya kautanyakan pertanyaan ini pada dirimu sendiri.'

"Mungkin ... a-aku akan merasa kesepian. Ta-tapi dulu, ada waktu di mana mereka hanya berdua saja tanpa aku, kurasa aku tidak apa-apa."

"Memang apa yang kaudapatkan bila melakukan hal ini?"

Kouki maju sedikit, merapat pada Seijuurou karena banyak penumpang berdiri dan berdesakan. Dia mencermati pertanyaan itu selamat dia menghirup wangi samar cologne segar yang Seijuurou pakai.

"Bukankah kau malah tidak dapat apa-apa selain—mungkin—kesepian jika mereka bersama?"

Ketika Kouki terdorong entah oleh siapa di belakangnya, ia mendongak, mendadak diterjang kefamiliaran seperti ketika manik heterokromik itu menatap dari atas ke bawah. Tapi, yang memegangi bahunya agar tidak terjatuh—lalu membuang pandang ke kaca—adalah pemuda dengan mata magenta monokrom sepekat merah darah.

"A-aku tidak mengharapkan pamrih apa pun dari mereka."

Kouki mengeratkan genggamannya pada pegangan kereta, membiarkan Seijuurou menarik tangannya sendiri kembali ke sisi tubuh—tidak lagi berlabuh di bahunya.

"Asal ... asal mereka bersama dan bahagia, itu sudah cukup—karena keduanya begitu berarti untukku."

Seijuurou tidak membalas lagi perkataannya, dan Kouki tidak mengerti apa yang salah dari perkataannya karena Seijuurou bersandar ke pilar di sisi kursi penumpang—tidak menatapnya sama sekali. Lagi-lagi menerawang jauh keluar panorama malam yang dirintiki gerimis.

Kouki mencari di antara berbagai refleksi yang menumpahi kaca kereta dan dirunut bulir-bulir embun, tetap tidak menemukan refleksi sepasang biner magenta monokrom (yang memikat) bertautan pandang dengannya.

Perjalanan kereta saat ini mirip penjelajahan ruang dan waktu. Seperti tidak akan berakhir.

.

.

(Mungkin kesepian tidak seperti ketika melihat kakaknya dan perempuan itu berdua bersama menyebabkannya tersisih. Kouki lebih tulus bahagia melihat mereka bersama.

Mungkin kesepian lebih seperti ini, ketika seseorang mengabaikan keberadaannya dan membuatnya merasa begitu pengecut karena tak mampu melakukan apa pun untuk mengubahnya.

Mungkin kesepian memang semenyakitkan ini. Karena ketika mereka bertemu pandang, Seijuurou membuang pandang darinya dan Kouki tidak bisa mengeja arti ekspresinya dari refleksi mereka yang tertuang di kaca jendela kereta.)

.

.

Walau keduanya berdiri berhadapan hampir begitu rapat hingga membuat hati terasa seperti tersayat, pandangan mereka tidak (lagi) saling menjerat.

.

#~**~#

.

Kouki bisa bernapas sedikit lega ketika mereka turun dari kereta, naik bus menuju kompleks rumahnya, lalu turun di terminal, dan tidak mendapati Seijuurou mengasingkannya lagi (walaupun mereka masih saling tidak bertatapan).

Ada percakapan (tentang basket, sekolah, dan pertandingan mereka) meski hanya selintas dan Seijuurou lebih sering menerawang keluar kaca bus yang menampilkan gedung-gedung beton bermarathon di balik kuluman embun.

Sejujurnya, Kouki tidak menyangka Seijuurou tidak keberatan diajak ke konbini untuk mencari bahan makan malam yang bisa mereka dapatkan.

Menelusuri rak demi rak untuk memilih bahan makanan yang dapat mereka olah, susah-payah menahan tawa ketika Seijuurou (entah bercanda atau memang sekedar berkomentar) datar menyahut betapa konyolnya mereka: dua pemuda; keranjang belanjaan bahan makan malam; di antara ibu-ibu atau para istri muda yang berbelanja.

Kouki tidak bisa membaca apa yang pemuda kini berjalan selangkah di belakangnya pikirkan. Tidak seperti pemuda itu yang seakan menyibak kelambu benaknya untuk dibaca semudah membalikkan telapak tangan.

Sunyi masih dominan berbanding dengan percakapan minim mereka. Kouki mulai berkaji kembali dengan pikirannya, mungkinkah sebenarnya yang tadi ia katakan bukan kesalahan walau membuat Seijuurou bungkam sepanjang perjalanan menuju stasiun tempat mereka turun. Atau itu justru menyebabkan Seijuurou tidak lagi mengabaikannya.

Kouki mengeluarkan kunci dari tasnya untuk membuka gembok pagar rumahnya, menggumamkan terima kasih ketika Seijuurou tanpa diminta segera membantunya menjinjing belanjaan makan malam mereka.

Seijuurou berpikir rumah ini lebih tampak seperti rumah ketimbang rumahnya sendiri. Lengang, ditindih atmosfer seperti rumahnya, tapi tidak melambangkan kehampaan yang luar biasa. Masuk ke dalam setelah membuka sepatu dan menggenakan sandal rumah yang Kouki sediakan, Seijuurou melihat jajaran foto keluarga terpajang di sebuah lemari.

Kebanyakan hanya foto masa kecil. Saat keluarga ini masih lengkap dan utuh. Tertawa bahagia bersama.

Sempurna.

Dari lemari pajangan inilah Seijuurou memahami hal baru, bahkan sebuah kesempurnaan suatu hari dapat berubah menjadi tidak sempurna. Dan realisasi itu satir, hingga ia tersenyum getir.

"I-ini handuk untukmu. Pa-pakai saja kamar mandi yang ada di situ."

Kouki kembali entah dari mana, menyerahkan handuk seraya menunjuk sebuah pintu diapit di antara dua pintu yang sentralnya digantungi papan nama pemilik kamar—Koichi dan Kouki.

Seijuurou mengangguk, tenang mengucapkan terima kasih, beralih ke tasnya sendiri yang tadi ia letakkan di lantai dekat sofa ruang tamu. Mengambil baju ganti—yang syukurlah tidak basah kuyup walau agak lembab, lalu bertapak ke kamar mandi.

Kouki pergi ke kamarnya sendiri untuk menaruh barangnya yang basah, mengambil handuknya sendiri dan baju ganti, lalu keluar lagi untuk memijit tombol televisi agar menyala, kemudian melengang membawa belanjaan bahan makan malam mereka ke dapur. Tidak sadar cengir terbit di wajahnya karena akan membuat ommelete rice.

Kouki mulai memotongi ayam yang tadi ia beli di konbini, mengingat-ingat chicken-rice yang Kagami buat untuk isi ommelete rice-nya tempo hari lalu. Dia lupa bagaimana cara memotong bawang bombay tanpa membuatnya banjir airmata dan matanya begitu perih, harusnya bonggolnya tidak dipotong lebih dulu karena itulah yang merebakkan gas airmata.

Ketika ia tengah berdecak, mendesah karena matanya perih bukan main, didengarnya pintu terbuka dan siluet seseorang di ruang tamu rumahnya merapikan barang bawaannya sendiri.

Kouki tetap mencincang bawang bombay meski orang tersebut akhirnya menghampirinya.

"Terima kasih. Kau bisa memakai kamar mandi sekarang."

"O-oke."

Kouki mengejap-ngejapkan mata. Perih. Berair. Begitu menjauhkan dari bawang bombay sial itu, indera pengelihatannya memulih walau masih berkaca-kaca.

"Apa ada yang bisa kubantu?"

Tawaran itu Kouki dengar kendati pandangannya masih begitu berkunang.

Atau yang membuatnya kini berkunang adalah mendapati Akashi Seijuurou berpakaian kasual sedang menghanduki kepalanya—bukan sekedar baju training biasa, hanya dengan sweater putih berbahan wol pas badan, kerah hingga ke leher sehingga menggariskan impresi akan elegansi kejenjangannya, dan celana hitam kasual, telah segar dengan menyimilir wangi yang entah kenapa familiar bagi Kouki.

"Uh, ya ... mungkin memotong bahan-bahan untuk sup? Apa di kulkas masih ada tofu untuk sup miso?" Kouki terhuyung ke kulkas, mengecek apa ada bahan makanan yang telah ibunya siapkan. Dia menarik setoples ikan telah dibumbui untuk mereka masak.

Tidak seharusnya seseorang serapi itu padahal aktifitas yang tersisa hanya tinggal makan malam dan tidur. Kouki tidak menyuarakan hal itu tentunya, dia hendak mengusap matanya dengan tangan—tapi tangannya masih tercemar aroma dan dihinggap gas airmata bawang tersebut, dan dia tercenung ketika ada tangan yang menahan tangannya untuk mengusap mata.

Tisu terulur untuknya.

"Te-terima kasih."

Kouki mengambil tisu tersebut untuk menyeka airmatanya. Begitu merasakan matanya lebih baik, dia menyesali mengapa menuruti instruksi non-verbal tersebut.

Karena yang dilihatnya lebih jelas adalah Akashi Seijuurou dengan rambut teracak—abnormal, bulir-bulir tipis air tergantung di ujung-ujung rambut merahnya yang menguarkan wangi shampoo. Pakaiannya yang agak kusut karena terlipat-lipat, handuk yang digantung kasual melingkari leher jenjangnya, sama sekali tidak mengurangi perfeksi entitas ini sedikitpun.

Sebaliknya, mungkin menjelma atraktan termematikan yang pernah Furihata Kouki hadapi.

"Sebaiknya kau segera mandi. Kau bisa sakit kalau terlalu lama pakai baju basah yang mengering lagi."

Dan impresi itu pun tetap tidak terdestruksi meski kata-kata bernada monotonnya menghunus hati Kouki dengan kenyataan.

(Kadang, ada pula kenyataan tentang betapa menawan seseorang hingga terasa semenyesakkan ini. Sesak yang tak berdurasi dan tidak untuk ditolak hingga menyebabkan hati terasa seperti mati.)

Kouki berlalu ke kamar mandi dengan meraup handuk dan bajunya. Sebelum pintu kamar mandi ditutup, ia melihat Seijuurou di konter dapur rumahnya memanuver gerakan elegan memutar pisau di tangannya.

Sweater putihnya agak transparan dan melekat ke tubuh. Bagian lengan sweater digulung sampai sebatas siku. Hanya punggung tegap maskulin serta garis bahu bidangnya yang terlihat.

"Aaah."

Kouki meratap seorang diri di kamar mandi, tidak habis pikir mengapa hanya dirinya seorang yang tidak bisa berlaku seperti biasa.

.

#~**~#

.

Kouki keluar dari kamar mandi dan yang pertama ia inhalasi adalah wangi sup. Telah menyisir rambutnya yang basah—karena tidak mungkin dirinya dapat terlihat atraktif dengan rambut berantakan seperti seseorang—sembari mengusapi sisa bilur air di ujung-ujung rambut yang mencicipi kulit tengkuknya.

Kouki tidak tahu harus bersyukur atau mengakui mungkin dirinya terjangkit penyakit paru-paru, gangguan sesak napas akhir-akhir ini dialaminya, kian meroket melihat pemuda itu tengah mencincang bakung. Dan entah sejak kapan rambut itu terjatuh natural membingkai wajah yang tengah serius.

Seijuurou mengangkat kepala menotis eksistensi pemilik rumah ini, sesaat pita suaranya vakum dari kinerja normalnya melihat pemuda yang (baru selesai mandi)tengah tercenung menatapinya.

"Potongan semua bahan-bahan ini rapi sekali," ujar Kouki—tersisip iri dalam suaranya. Geleng-geleng kepala melihat dari wortel sampai kubis terpotong dengan ukuran sama dan presisi sempurna. "Ka-kau bisa memasak?"

Pisau sesaat terhenti menghentak telanan, sebelum kembali bergerak ketika Seijuurou akhirnya menjawab, "Sedikit."

Kouki memfokuskan atensi pada pelontar monosilabel tersebut—entah rendah hati atau memang terlalu biasa jadi menganggap itu hal biasa saja.

"Ka-kapan belajar me-masak? A-apa kau tidak sibuk?"

Impuls yang ditanya menjawab dengan volume rendah, "Kau tidak akan bisa membayangkan kesibukanku sebenarnya." Menarik napas, kemudian menutur, "Pelajaran Home Economics di sekolah."

"Ma-masa hanya dengan pelajaran di sekolah kau bisa memasak seperti ini? Kau ... mu-mungkin sama profesionalnya dengan Kagami."

"Karena aku belajar dengan benar. Oh, yang masak saat ulangtahun Kuroko itu Kagami dan Himuro Tatsuya-san, ya?"

"Haha ... itu kau. Tidak mengherankan." Kouki tertawa kering, barulah mengangguk singkat. "Uhm. Masakan mereka benar-benar enak."

"Masakan mereka sangat lezat. Masakanku tidak ada apa-apanya dibanding mereka."

Seijuurou berhenti memotong ketika tidak ada protes dari apa pun. Dia nyaris—benar-benar nyaris—mengiris jarinya sendiri melihat Kouki mendelik padanya dengan pipi terkurva.

"Kau bisa me-menyakiti banyak hati jika mengatakan hal itu." Kouki berputar menuju panci sup tofu dan menghirup harum menggugah seleranya. "Wanginya saja sudah seenak ini."

"Membuat tofu soup cukup mudah," tukas Seijuurou sembari meraih salada untuk dipotong berikutnya.

Kouki berbalik tapi tidak kembali ke sisi pemuda itu, ada panorama (dan rasa) yang berbeda memandang profil Seijuurou dari belakang. "A-aku tidak bisa."

"Belajarlah."

"Aku juga sudah memikirkan hal itu saat memasak bersama Kagami dan Kuroko di tempat Kagami."

"Berarti kau tinggal melakukan."

"Err, ya ... latihan basket makan dan aktifitas lain amat menyita waktu."

"Belajar saja kalau kau punya waktu luang."

"Uhm, akan kulakukan."

Kouki menenggak saliva, mengusapkan telapak tangan yang (entah kenapa) berkeringat dingin ke celananya, dan melangkah mengalahkan kepengecutannya sendiri agar bisa sejajar—di sisi Seijuurou memerhatikannya memasak.

Dia tidak mengerti mengapa di saat seperti ini, seharusnya bisa frontal dan hanya ada mereka berdua, tapi Kouki malah tidak melakukan apa pun selain menekan otot pipinya agar tidak meninggi—sedemikian nyeri.

Mungkin ini tidak seperti yang ia takutkan. Di mana Seijuurou akan menyepak sepi padanya, sehingga ulu hati Kouki ngilu (lagi). Realisasi teriring desah lega, Kouki beranjak untuk memasak chicken rice-nya.

Seijuurou melirik tangan Kouki beraksi untuk memecah telur satu per satu, menabur garam dan lada, lalu mengocoknya dengan cekatan.

"A-apa?"

Kouki yang menyadari tengah dilirik, menoleh padanya dengan wajah inosen itu. Seijuurou lekas menggeleng, berusaha tidak tersenyum eksplisit seraya kembali menyingkirkan apriori akan Kouki bergelora angkara murka dan layaknya bom waktu dapat meledak—menghancurkan segalanya.

(Apa yang perlu dihancurkan sebenarnya jika segalanya memang berbeda selamanya? Atau karena Kouki berurusan bukan dengan dirinya melainkan pribadi yang satu lagi?

Seijuurou tidak ada kaitannya dengan urusan mereka.)

"Kenapa tertarik belajar memasak?" Seijuurou sekadar berbasa-basi sembari membagi atensi antara tomat yang tengah ia cincang dan Kouki yang memanaskan wajan dengan lumeran mentega seraya menumpah cacahan bawang bombay ke muka teflon.

Kouki mengambil spatula dari wadah peralatan memasak untuk mengaduk tumisan di teflon. "Uhmm ... bisa memasak itu, entah kenapa, kelihatannya keren. Seperti Kagami ... uh, dan ... kau."

Jika yang sedang mencincang tomat bukan Akashi Seijuurou, adegan jari teriris absolut akan terealisasi. Maka kedua pemuda itu akan menikmati salad dengan tomat bersaus darahnya untuk makan malam.

Namun karena ini Akashi Seijuurou, yang hanya melirik sekilas Kouki dan wajah individu biasa-biasa saja itu tetap seperti biasa—tidak terlihat apakah wajahnya memerah karena kepul asap di wajan atau karena mengakui hal tersebut, maka dia memutuskan untuk tidak menanggapi.

Kouki menghela napas panjang. Jadi sekarang dirinya sendiri yang menghindar. Tuhan, tolong sekali lagi saja hilangkan kepengecutan ini—dan kenapa pula reaksi Seijuurou sedatar itu, tidakkah orang ini tahu betapa sulit seorang lelaki mengakui lelaki lain lebih hebat darinya.

"Bagaimana kalau aku yang buat isian ommelette rice dan kau menyiapkan peralatan makan?"

Pasti karena Seijuurou tidak tahu letak perlengkapan makan di mana saja—atau memang karena ingin mengenyahkan kedekatan mereka. Mual dengan asumsi negatif yang terakhit terletup di benaknya, Kouki mengangguk lalu menyerahkan spatula padanya, jemari mereka saling menyapa, Kouki terburu-buru menyiapkan makan untuk dua orang.

"A-Akashi."

"Hm?"

Bibir Kouki terbuka, alpa untuk melontar tanya.

Salahkan Seijuurou yang memasak chicken rice itu dengan (keterlaluan atraktif) atraksi bersama wajan serupa chef restoran bintang lima—mengangkatnya sedikit dari atas kompor dan menaik-turunkannya—sehingga butir-butir nasi berhamburan ke udara dan masuk kembali ke wajan, persis seperti perenang loncat indah masuk menusuk lekuk bilur air yang menyambutnya.

Kagami juga bisa seperti itu.

Ya, aksi ini terdefinisi dengan ada banyak orang melakukan hal yang sama, tapi hasilnya begitu berbeda. Mungkin seperti ini.

Kouki tidak membias Seijuurou atau semacamnya. (Mungkin)

"Ada apa?"

Seijuurou luput melihat bagaimana Kouki melongo—terpesona.

Kouki gelagapan. Mungkin jika ini semacam shoujo anime atau manga, piring atau gelas yang ia pegang akan terpecah saking kagetnya lalu kaki atau jari Kouki terluka.

Siswa Seirin itu bisa jadi tergolong sebagai salah satu pemuda dengan kecerobohan berpondasi ketakutan yang natural. Tapi, (sayangnya) kali ini ia tidak sebodoh dan seceroboh itu. Diletakkannya mangkuk nasi dengan posisi terbalik di atas serbet.

"A-apa kau juga mau ommelette rice-nya?"

"Ya." Seijuurou mematikan api kompor yang membakar pantat wajan. Dia mendongak pada Kouki yang berjarak sekitar lima belas langkah darinya. "Chicken rice-nya sudah."

"O-oke. Aku mau buat ommelette rice-nya." Kouki beranjak kembali ke sisi Seijuurou, bergumam dengan suara lebih ringan, "Yang fluffy."

Seijuurou melangkah, meretas jarak dari Kouki karena mengecek sup tofunya sudah mendidih lalu ia mematikan kompor, barulah kembali pada bahan-bahan salad yang terhampar di meja dapur.

"Kau suka ommelette rice yang fluffy?" tanya Seijuurou datar—berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa dia memang hanya sekadar berbasa-basi.

"Ah." Kouki mengejap di depan kompor. Sendirian. Didera sensasi anomali tentang sepi lantaran ditinggal sendiri—Seijuurou menjauhinya. "I-iya. Mau kubuatkan sekalian untukmu?"

"Kalau kau tidak keberatan."

Seijuurou luput melihat bagaimana mata berselaput pelangi sewarna kayu manis itu merekah cerah karena jawabannya. Dia malah membuat dressing salad dari perasan lemon dan olive oil, kemudian mencampur satu per satu sayuran yang telah dicuci bersih dan dipotong rapi dalam mangkuk yang sama. Atensinya absolut terdistraksi dengan aksi Furihata Kouki memasak ommelette rice.

(—karena kali ini Seijuurou yang asli sendiri dapat melihat bagaimana resolusi berpijar cemerlang di mata itu.)

"Yo-yosh."

Katakan selamat tinggal pada aksi atraksi keren memasak ala chef bintang lima dan resolusi brillian.

Furihata Kouki mungkin memiliki bakat akrobatik komedi dengan kehebohannya memasak di dapur. Ironisnya, dia memasak lebih tegang daripada prajurit terjun ke medan perang. Aura siap tempur menggempur musuh lebih meyakinkan daripada saat ia turun ke lapangan untuk bermain basket dan memenangkan pertandingan.

Jika kau melihatnya dengan mata kepala sendiri, kau akan merasa sangat sulit untuk memungkiri bahwa:

"—u-uorgh. Ini bahkan tidak sebesar porsi Kagami, tapi aku tidak akan kalah! Heaaah!"

—seorang pemuda normal yang tidak biasa bekerja di dapur, komat-kamit berseru absurd, meratakan lelehan mentega ke permukaan wajan yang panas, lalu menuangkan telur ke wajan hingga desisnya menderu seluruh ruangan, menyambar sebagian salad dan chicken rice ke atas telur, cekatan melipatnya lalu memotongnya dan menyajikannya ke piring—

"—YATTAAAA!"

—pemuda ini tidak mungkin tidak terkesan menggemaskan saat berhasil melakukan sesuatu dan berseru sebahagia itu.

Karena untuk dua porsi, tentu ada reka ulang adegan.

Seijuurou bersandar di konter, bertopang dagu dengan satu lengan bersidekap sebagai pivot. Mengingat bahwa dia bukan orang yang komikal komedi seperti Furihata Kouki—bahkan bercanda saja tidak bisa, dia tidak mengerti ironi ini.

Bagaimana bisa pemuda tanpa keistimewaan itu benar-benar sangat menghibur bahkan ketika ia begitu serius?

(Seperti atraksi bagi atensi dan afeksi. Atraktan mematikan.)

Wajah kaku Seijuurou gemilang terlayang dihancur-lebur oleh Kouki. Bibir terkurva tinggi hingga tulang dan otot-otot pipi nyeri. Mata magenta kembar itu terhimpit dalam tawa yang tak tersuara.

Usai memasak porsi kedua dan menabur keju sebagai topping untuk ommelette rice buatannya, Kouki tersengal kepayahan tapi tetap mengangguk puas dengan hasil masakannya. Makanan favoritnya itu benar-benar terlihat kenyal, empuk, lembut, gurih, dan menyerbak wangi memeras saliva untuk terkucur karena sangat menggoda.

"Otsukaresama deshita."

Nada geli itu tidak terlewat indera pendengaran Kouki yang meski tak cukup cermat tapi dua kata itu eksplisit diucapkan dengan pad (meminjam istilah bernyanyi kakaknya) sempurna—yang menyenangkan untuk didengar.

Kouki kilat menoleh—lupa dirinya tidak seorang diri lagi memasak makan malam di rumah tanpa siapa pun menemani. Terpana melihat Seijuurou mendekat padanya dengan senyum (yang memikat) itu.

Pemuda yang rusuh sendiri memasak makanan favoritnya itu tertawa canggung menyadari keberadaan seseorang—yang tadi memasak dengan luar biasa dan sangat berbanding terbalik darinya, tapi dia tidak bisa tidak membalas senyum itu.

"A-aku ... terlihat konyol, ya?"

Bibirnya terliuk oleh gaya gravitasi dan lekuk cembung di pipi yang kasat mata—dan matanya kontan tersipit melihat Seijuurou tertawa perlahan. Kouki hangat itu lagi. Akhirnya, Kouki merasa jauh lebih lega daripada yang ia pikir sebelumnya mustahil lagi untuk ia rasakan.

Kali ini, Seijuurou membiarkan Kouki melihat senyumnya. Dia bergumam lembut membenarkan, "Hmm."

Bahu Kouki refleks menurun lesu—tidak ubahnya terbumbung ke kaki langit hanya untuk dihempas hancur lagi ke bumi. Serahkan pada Akashi Seijuurou dan konsistensi aku-selalu-benar yang amat mengagumkan memecah ekspetasi setiap orang dengan melontar kenyataan yang sebenarnya.

"Kalau saja tekad dan semangat juangmu itu diterapkan dalam bermain basket," Seijuurou menatap Kouki, meluruhkan dingin di tatapannya, "kau akan terlihat keren."

Kikuk dengan senyum yang melelehkan entah organ atau bagian mana dalam dirinya, Kouki menjatuhkan tatapan pada hasil masakannya yang bersebelahan dengan toples ikan berbumbu.

"Kau ti-tidak be-bercanda?" Kouki menyibukkan diri dengan penggorengan lain dan menuang minyak untuk memasak ikan.

Seijuurou mengangkat sebelah alis, bertanya heran, "Apa aku terlihat seperti bercanda?"

"A-apa ada bedanya kau terlihat bercanda atau tidak?"

"Menurutmu?"

Kouki meliriknya, menemukan Seijuurou masih menatapnya. Mulut terbuka-terkatup, barulah menjawab berdasarkan pendar mata magenta tersebut, "Ti-tidak."

Pemuda yang menatapi gelembung-gelembung mungil meletup di permukaan minyak teringat perkataan kakaknya, dan itulah yang ia sampaikan pada Seijuurou sembari membuka tutup toples ikan.

"Kau se-seperti Aniki. Mengatakan apa yang nyata adanya tanpa gengsi jika i-itu memang benar."

"Kenapa kau berpikir begitu?"

"Ka-karena ... seperti kemarin lusa. Aniki bilang tanpa ragu, uh ... matamu bagus."

"..."

"..."

"Aku tidak seperti kakakmu."

"...e- ... eh?"

"Ada hal yang tidak bisa kukatakan tanpa keberatan karena terjadi pertentangan dengan rasionalitas diriku sendiri."

"..."

"Isi hatiku sendiri pada seseorang—yang berbeda dari semua orang lainnya, terutama ketika orang itu ada di hadapanku."

Kouki yang tengah memegang ikan, kaget mendengar tukasan tersebut diiring satu telunjuk yang tergerak untuk merapikan anakan rambut di keningnya, lantas ikan tergelincir dari tangannya ke minyak panas tepat ketika dia terkejut karena jawaban amat serius Seijuurou itu.

Satu dari dua pemuda yang tidak mengenal huru-hara dapur, tidak mengetahui bahwa bahan makanan basah mengandung air, bila dimasukkan ke minyak panas maka yang pasti terjadi berikutnya adalah segalanya meledak.

"ARRGH!"

Jika berharap pelaku yang tidak sengaja menjatuhkan ikan itu ke minyak panas satu-satunya yang kesakitan karena gelegak galak aksi-reaksi hidrogen bertarung dengan minyak itu melukainya, maka sayang sekali itu tidak terjadi.

Karena kedua pemuda tersebut terlonjak. Sama-sama menderita dengan rajam jahanam minyak panas tersebut.

Hanya saja yang satu terlompat mundur karena wajahnya kena percik larutan kental menyaingi kalor magma inti bumi, maka yang satu lagi melompat maju mematikan kompor meski punggung tangannya ditabrak panasnya minyak lalu lekas mendorong rekan memasaknya itu keluar dari genderang perang menakutkan bergemuruh meriuh dapur.

Keduanya mengungsi ke ruang tamu, terhempas ke sofa sembari menahan sakit membakar kulit.

Seijuurou tidak bisa menyeka keringat dingin tersembul di pelipis. Dia melirik Kouki yang merintih perih memegangi pipi dan rahang kirinya. "Kau punya obat oles anti bakar?"

Kouki menggeleng. "Se-sepertinya tidak ada."

"Pasta gigi?"

"A-ada. Uh, sebentar. Akh."

Kouki lekas beranjak ke kamar mandi, mengambil pasta gigi, lalu kembali ke sofa.

Dia terbelalak melihat ruam merah menyemburat di punggung tangan kanan tamunya itu, lantas lekas duduk tertunduk di sentris sofa, kemudian bergegas mengoleskan punggung tangan kanan pemuda di hadapannya yang berdecak pelan karena sensasi panas berkobar dinetralisir dengan menthol dari pasta gigi mint.

"I-ini ... tanganmu ... pa-padahal sebentar lagi kita akan bertanding, aku menyulitkan kita karena membuat—ba-bagaimana—"

"—sudahlah, cepat oleskan ke wajahmu agar tidak berbekas."

Sergahan urgensi itu seketika membungkamnya. Kouki lekas memoles pasta gigi ke pipinya, meringis karena rasanya menyakitkan. Memang tidak sesakit saat ia dihajar habis-habisan malam itu oleh para berandalan, tapi bara di pipinya tidak tertampik.

"Itu belum tertutup semuanya." Seijuurou berekshalasi berat melihat Kouki mengernyit menahan sakit padahal belum semua semburat merah tertutup polesan pasta gigi. "Sini, biar kulakukan."

Kouki mengulurkan pasta gigi pada pemuda yang telah hampir selama dua minggu ini selalu bersamanya.

Seijuurou mengangkat alis karena Kouki tetap tertunduk. "Angkat kepalamu, Furihata-kun."

Prioritasnya saat ini adalah mengobati luka bakar ringan yang mereka dapatkan. Nihil tanda-tanda Kouki akan mengangkat tegak kepalanya, Seijuurou kilat memutuskan untuk menyangga dagu pemuda itu dengan tangan kirinya.

Dia terkesiap pelan melihat biner sienna yang terlapis saput tipis.

"Maafkan aku," lirih Kouki perih, mengerling punggung tangan kanan Seijuurou yang terluka, "Padahal ... ta-tangan begitu berharga untuk pemain basket. Dan gara-gara aku ... kau —"

"Sssh. Jangan bergerak."

Telunjuk tangan kanannya bergerak memulas pasta gigi pada pipi sampai ke rahang kiri memerah itu. Memastikan tidak ada yang luka bakar ringan yang terlewat. Semua dia lakukan dengan menelisik baik-baik kontur wajah tiada keistimewaan dibelenggu pilu dengan sepasang mata merah magenta sempurna.

Sorot matanya berakhir tertambat pada bibir yang digigit itu. Seijuurou menghirup napas tajam ketika ibujari tangan kirinya meraba perlahan garis bibir itu, memberai gigitannya. Memerah. Familiar menyergapnya pada memori hujan berbadai tadi.

Kenangan yang bukan miliknya.

"Maaf."

Suara Kouki memarau. Bibirnya menggulir lagi silabel mengiritasi atensi pemuda yang telunjuk tangan kanannya berhenti mengoles ke spot terakhir di sudut bibir. Bibirnya mengering ketika ia memberanikan diri dengan segala keberanian yang tersisa dalam dirinya, menatap pemuda di hadapannya.

Ini pertama kali pandangan mereka kembali bertemu.

"Kaupikir aku akan kalah begitu saja hanya karena luka seperti ini?" bisik Seijuurou yang bercermin di biner solid kolong langit itu—mendapati refleksinya sempurna ada di sana namun mungkin yang Kouki tatap adalah yang jauh ada dalam dirinya.

"Ti- ... dak." Kouki meremas kaus yang ia kenakan, kusut dalam cengkeraman. Mungkin bukan hanya matanya yang memanas melihat siapa yang lurus menyelami dirinya dari lensa yang jadi jembatan antara hati dan dunianya. "Tapi, a-aku ... melukaimu."

"Kau juga terluka." Seijuurou tidak tahu siapa yang bertremor, jemarinya yang membelai lembut dagu Kouki atau pemuda di hadapannya yang memang telah bergetar hebat. Kita terluka. "Kau hanya perlu lebih berhati-hati."

"A-aku me-mencoba untuk berhati-hati, tapi ta-tadi—"

Serak depresif. Apa yang ingin Kouki katakan, apa yang terlintas di benaknya, rasa yang poranda seketika, seluruhnya tidak terjemahkan dalam bahasa verbal untuk dilisankan. Lenyap serupa kepul asap ketika sepasang mata magenta memikat itu mendekat dan ia tergugu menyadari mata mereka sama-sama tertarik gaya anomali ke bibir mereka masing-masing.

"—sepertinya," Seijuurou memiringkan kepala perlahan, menginhalasi berat hasrat yang ekuivalen membuat keduanya setimpal berdebar—seperti yang mengetam rongga dada mereka agar hancur kapan saja—intens, "aku yang selama ini perlu berhati-hati."

Mata merah brillian Seijuurou meredup sebelum akhirnya bibir Kouki perlahan ia kecup.

Kouki sangat pantas berhasrat meninjunya atau menendangnya atau frontal mendamprat karena aksi afeksi Akashi Seijuurou menyebabkan frustrasi sementara pelakunya bersembunyi di balik persona satu sama lain.

Namun ia lebih ingin memukul atau mencakar atau menjerit mencaci-maki ketika kecupan lembut Seijuurou yang merampas seluruh harga diri dan esensi akan waktu itu berakhir lebih cepat dari airmata panas melelehi pipinya yang perih—tetap tidak lebih menyakitkan daripada dentam abnormal di rongga dadanya yang berdetak seakan hendak mendobrak pagar rusuk.

Ketika Seijuurou menarik diri dan hampir memejam mata, Kouki menahan tangan yang menangkup wajahnya dengan tangannya, timbal-balik kejadian itu berdampak pada stressor yang menggilas defensi diri dan rasionalitasnya.

Mata berpupil mungil itu mirip pinus yang diluruh embun tatkala fajar menggeliat. Menyelami balik samuderah merah yang membuat asanya berdarah-darah, pilu karena malu merasa terlecehkan dengan absurditas tindakan Seijuurou yang tidak mampu ia nalar. Ia bahkan tidak bisa mengeja ekspresi Akashi Seijuurou dan roman wajahnya yang mengeruh.

"Ke-kenapa kau selalu pergi?" bisik Kouki seperti orang tercekik.

"..."

"Apa ... a-apa itu tadi—" –ciuman barusan— "—da-dari ... dia yang sa-satu lagi?"

"... kau mengharapkannya?" Seijuurou sendu balas menatapnya. Tersenyum getir dengan realisasi anomali yang hanya dirinya sendiri pahami, mata hampir terpejam, tapi tangan tan meremas tangannya.

"Kau me-mempermainkanku?" Kouki berbisik, lalu frekuensi suaranya meninggi dimosi pedih mendidih dan ketidakmengertian yang berkompiklasi dalam diri. "Aku me-mengharapkan pe-penjelasan. Kau bahkan tidak pernah me-menjelaskan a-apa yang kau mau dengan melakukan se-semua ... semua ha-hal ini. Ini bukan soal aku mengharapkan siapa, tapi ... a-aku menerimanya—dirimu yang satu lagi, jadi kurasa kau—"

Tamparan emosional dari Kouki itu tidak mendegradasi kapabilitas Seijuurou untuk mendengarnya. Dia sudah menduga hal ini akan terjadi karena tindakan impulsif dirinya yang satu lagi, tapi ia tidak pernah berintensi untuk membuat Kouki jadi seperti ini—melankolia terlinang dari matanya dan dialah penyebabnya.

Mungkin yang berpijar di mata dengan resolusi yang selalu Akashi Seijuurou hasratkan untuk melihat akan memendar kebencian karenanya. Namun—

"Apa kau tahu aku ingin kelemahanku ini hilang?"

Kouki menggigit bibir ketika Seijuurou dengan keseriusan dan serak abnormal di suaranya itu nyaris membuatnya gila.

"Kau hanya membuatnya tidak bisa hilang."

Tanpa sempat menafsir makna rangkai kata yang dilontarkan padanya, Kouki tergugu tatkala Seijuurou menangkup wajahnya, lalu maju untuk menciumnya lagi. Kali ini bukan kecup kupu-kupu yang bersayap patah dan kepak rapuh riwayatnya tamat begitu saja, bermetamorfosis jadi ciuman yang memblokade tangis.

Tidak seperti saat Akashi Seijuurou dengan gelimang cemerlang manik heterokromik itu melumat bibirnya dan matanya terpejam, kendatipun pandangannya buram, Kouki memastikan Seijuurou tidak mengatup matanya. Yang ia lihat lebih jelas tatkala jemari pemuda yang melumat bibir bawahnya itu tidak mematut hanya dari sudut-sudut mata, tapi memaut eksistensinya seutuhnya.

Kouki bernapas berat, mulut terbuka tatkala organ lunak basah menjilat lalu menggigit bibirnya lamat—seperti tengah menguji kekenyalannya. Ia yang mengerang ketika lidah itu lagi mempenetrasi dinding gusi dengan sapuan menggelitik dan menyambangi langit-langit mulutnya, memiringkan kepala ke arah oposisi selaras lengannya yang terangkat untuk merangkul leher Seijuurou menariknya agar bibir mereka melekat lebih erat.

Entah siapa yang mendorong atau siapa yang menarik, punggung Kouki melesaki sofa dengan Seijuurou menaunginya.

Singsingan sensasi menggila ketika lidah mereka bercumbu, panas dan basah, saraf-saraf sensorik sensitif di bibir di sengat listrik dinamis kenikmatan, tatkala bibir mereka saling menghisap merebutkan dominansi yang tidak berarti, tidak ketika melumat lapis kenyal dan dingin itu begitu nikmat—walau membuat napas mereka sama-sama tersendat.

"Nngh."

Seijuurou mengangkat kepala ketika Kouki melepas rekat lumat bibir mereka. Pandangannya tidak meredup dengan seduksi, tapi aksi ini belum bisa secara absolut Seijuurou definisi sebagai afeksi. Namun nilon saliva mereka yang tergantung dari lidah ke lidah, sebagian meluruh dari bibir Kouki melebur dengan basa pasta gigi yang lumer ke dagunya, kian menyebabkan netra magentanya meredup digolak hasrat.

Ini pertama kalinya ia mencium seseorang—atau tepatnya personanya yang asli, dan tidak pernah ada yang mengoyak kendali diri Seijuurou terserpih seperti ini hingga rasionalitasnya terserpih. Gebu-gebu perasaan menderu dadanya menang melebihi kewarasannya untuk menghentikan semua ini, entah ini ambisi atau desperasi afeksi, tapi ia tidak ingin tidak memiliki Kouki—egonya menuntut absolut Kouki hanya untuknya seorang.

"Uh. Nnh."

Kouki merintih ketika Seijuurou menindihnya. Serakah meraup bibirnya dalam dominansi yang menggigilkannya, ia melumat balik bibir yang memonopolinya dengan menggigit pelan bibir atas Seijuurou yang keras menghisapi bibir bawahnya. Bunyi decap basah gulat lumat bibir mereka menyentak senyap ruangan itu.

Benang saliva mereka terajut kembali manakala lidah Seijuurou menjilat bagian bawah lidah Kouki hingga pemuda yang ditindih balas menekan lidahnya, sehingga lidah mereka saling mengait dan desah nikmat mereka mengecupi wajah bertemperatur tinggi mereka masing-masing.

Eratika sistem respirasi sekali lagi jadi kendala sehingga Kouki sekali lagi yang lebih dulu memutus lekatan bibir mereka. Terengah-engah dengan wajah memerah dan mata digenang bening yang tinggal berdenting, Kouki keras menanamkan jemari ke tengkuk Seijuurou tatkala pemuda itu memanfaatkannya yang menoleh ke samping untuk menoreh kulit lunak di belakang daun telinga dengan ciuman dalam.

"Nghh!" Kouki menggeliat hebat tatkala sekujur tubuhnya meremang karena gerigi Seijuurou menggores garis telinganya dan mengempas panas merangsangnya.

"Kau tanya," Sengal pelan Seijuurou yang jauh lebih terkendali dari eratika ekshalas-inhalasi pemuda yang dicumbunya itu terhembus ke rahang kanannya, matanya terpejam tatkala menghirup wangi natural ceruk leher pemuda dalam dekapannya dengan gestur teramat intim—hidung menelusuri kulit leher yang terpapar, "apa yang kumau."

"A-apa yang kau—ah!" Kouki menggelinjang dan kewarasannya terlayang ketika lapisan kulit arteri yang berdenyut kuat di kejenjangan lehernya dihisap perlahan, lama, dengan gigi lambat tertambat, mengigit gemas, ia pening dijerat nikmat—menggelitar gemetar dalam kungkungan Seijuurou. " ... Akashi ... mmngh!"

Seijuurou merasakan lengan melingkar padanya, Kouki meremas kulit yang menangkupi belikat di balik kausnya. Getar bergelegar di sepanjang garis punggungnya, dia menghisap lebih keras leher tersebut mencecap peluh yang tersembul dari pori-pori, menciumnya gemas dengan realisasi volume desah erotik dan lelah Kouki meningkat dengan intensitas cumbuannya.

Ketika suara dari personanya yang satu lagi mengusik, Seijuurou terinterupsi menciumi leher Kouki. Rasanya sarkasme menggiling mereka dalam ironisasi di mana dirinya masih bisa mengingat persona yang satu lagi sementara saat dirinya yang itu memonopoli Kouki dia malah terlupa.

Mengenyah suara lain dirinya yang digerogot angkara murka akan keegoisannya, Seijuurou tidak membiarkan dirinya yang satu lagi mendominasi—tidak ketika Kouki yang terengah-engah dengan bibir basah dan beberapa bagian dirinya basah, kemilau saliva Seijuurou yang tertinggal padanya, menatap (hanya dirinya) tersesat oleh nikmat.

"Ah- ... Ah-ka- ... shi?"

Kouki gulana memanggilnya—akan ketakutan dipermainkan atau ditinggalkan berkubang lagi dalam kesepian, Seijuurou terhenyak ketika Kouki menariknya turun untuk menciumnya lagi—tidak menahan tangan Seijuurou yang menyelinap ke balik bajunya dan membelai paparan kulit di sana.

Mungkin mereka tidak akan berhenti jika bebunyian gerendel dan gembok tidak bergemertak, tak menggema sampai ruang tamu tempat mereka berada. Cumbuan mereka takan akan terhenti di sana andai tapak-tapak langkah dan lirih letih taidama tidak tergelinding menepis hening rumah.

Kouki impuls mendorong Seijuurou untuk bangun dari dirinya, dicabik panik mendengar suara familiar lelah nan rapuh ibunya dengan tapak kaki khasnya, berusaha untuk berdiri, tapi yang ada karena tungkainya masih saling mengait dengan kaki Sejuurou, dia tersandung dan dengan fantastis jatuh tersusruk dengan kepala membentur meja di depan sofa.

"Tadaima, Kouki."

Dalam posisi terbalik, Kouki hanya bisa melihat kaki ibunya yang beralas sandal rumah memasuki ruang tamu. Dia berusaha menyeka jejak-jejak anomali di wajahnya—tidak sadar itu juga membuat wajahnya makin belepotan pasta gigi.

Kouki berguling ke samping, terengah melampaui orang paling pengecut dan penakut lari terbirit-birit dikejar chihuahua, memaksakan senyum di wajahnya seraya berseru dengan suara terpeleset melengking tinggi, "O-o-okaerinasai, Okaa-san!"

Ibunya tidak lagi memerhatikannya, ia melihat seorang pemuda yang bukan anggota keluarganya duduk di sofa rumah keluarganya. Memerhatikan profil pemuda tersebut baik-baik, rambut merah identik dengan seorang wanita yang ia ingat dulu seringkali menemani dan jadi kawan baik putra sulungnya sebelum wafat, serta perasaan dejavu pernah melihat rambut merah itu—walau kali ini tidak serapi waktu itu.

"Sepertinya aku pernah melihatmu. Apa kau yang waktu itu ada di depan kamar Koichi?"

Seijuurou berdeham, memusnahkan kesesakan yang masif saling gilas dengan sensasi nikmat memening dirinya, lekas berdiri untuk membungkuk sopan pada ibunda pemuda yang tengah duduk tergugu itu dan menjawab serak, "Ya, Furihata-san. Saya Akashi Seijuurou."

"Teman Kouki?"

Seijuurou menegakkan lagi tubuhnya, menemukan wanita yang waktu itu dilihatnya di bangsal mereka yang dikhianati harapan dan setiap waktu dipermainkan ajal, relief wajahnya lembut sekaligus menunjukkan ketegaran akan seseorang yang telah mencecap asam-garam pahit-pedas hidup. Dia mengangguk pada wanita yang mengembang senyum lelah padanya.

"Terima kasih sudah menemani Kouki, ya. Maaf, biasanya aku dan suamiku pulang malam sekali jadi dia biasa sendiri."

Ini tidak berakhir. Frasa apresiatif atas Furihata Kouki sekali lagi dilontar padanya. Mungkin tidak akan pernah berakhir. Seijuurou mengatup bibirnya—yang tadi telah sempat ia seka dengan punggung lengan—dan mengangguk sesopan yang ia bisa dengan konflik batin internal dalam dirinya.

"Kenapa kau duduk di—" Wanita tersebut menaruh tas tangannya di meja, menelisik fitur putra bungsunya yang terduduk kaku di lantai, "—kenapa lehermu merah-merah begitu, Kouki?"

Serangan jantung—Kouki hanya mampu mematung.

"Dan wajahmu belepotan putih-putih apa itu." Wanita itu mendesah lelah dengan ulah putra bungsunya yang seringkali tidak bisa ia mengerti.

Seijuurou yang semula tercenung sigap memungut pasta gigi yang ternyata meringkuk di kaki sofa. "Tadi kami memasak makan malam. Saat menggoreng ikan, kami terkena minyak panas. Karena tidak ada salep anti-bakar, maka memakai pasta gigi."

Ah, jenius. Kouki tidak mengerti mekanisme otak macam apa yang Seijuurou pikirkan sampai bisa menjawab hal sebrillian itu.

Wanita biasanya memiliki intuisi yang jauh lebih tajam. Ada kalanya, intuisi itu sendiri menumpul oleh berbagai faktor—seperti lelah dan stress karena beban pikiran berlebih. Hal ini terbukti dari wanita tunggal penyandang marga Furihata itu yang memercayai alasan tersebut.

"Ada-ada saja. Leher dan wajahmu kena minyak, Kouki?" Wanita itu menggeleng-geleng tidak percaya. "Padahal simpan saja ikannya untuk sarapan besok, biar aku yang memasakkannya."

Kouki mengangguk kaku sembari menggigit bibir agar tidak mencetus hal apa pun yang memungkinkan ibunya mengetahui peristiwa apa yang terjadi tepat sebelum bertapak ke ruang tamu. Dia tidak berintensi berdusta pada ibunya, hanya saja dia juga tidak mungkin mengatakan kejadian sebenarnya tanpa membuat ibunya tewas di tempat seketika.

"Obatilah lagi. Okaa-san saja yang masak ikannya. Kalian belum makan malam, 'kan?"

Kepala sepasang pemuda itu serentak tergeleng dengan pertanyaan itu. Mengekori wanita itu yang melangkah masuk ke kamarnya dan suaminya. Berekshalasi panjang, lelah, dan bahkan mereka tidak bisa saling lirik dengan ceceran ketegangan yang masih mengudara di antara mereka.

Ibunda keluarga Furihata itu tidak banyak bicara, menyuruh mereka duduk di meja makan dan menyergah dia sudah makan malam di kantor. Kelelahan tergurat jelas di wajahnya, tapi itu tidak menghalanginya mengembang senyum ketika mencicipi sup tofu di panci dan lekas memuji masakan tersebut sangat lezat.

Walaupun chicken-rice yang menjadi isi ommelette rice-nya luar biasa enak, Kouki terlalu kelu untuk memuji kelezatannya. Tidak dengan sisa-sisa rasa cumbu nikmat pembuat chicken-rice serta sup tofu itu duduk di hadapannya dan berbincang begitu tenang dengan ibunya yang bertanya hal-hal klise tentang latar belakang kehidupan.

Setelah bekerja sama membereskan kembali peralatan makan malam dan memasak, terbentang sejengkal jarak yang canggung total ketika keduanya mencuci piring bersama—mendiamkan satu sama lain, sementara ibu beranak dua itu duduk di sofa—tempat mereka sempat bergulat saling lumat—dan menonton televisi.

Tidak lagi bisa memungkiri degup anomali mendentum diri tatkala jemari mereka bersentuhan saat mencuci piring. Tiada lirik yang terkerling selain desing hening melingkupi keduanya.

"Kouki."

Berjengit pelan, kaget karena panggilan dari ibunya, Kouki buru-buru menatap ibunya yang tengah menonton acara televisi. "Y-ya?"

"Tadi produsermu telepon padaku, katanya besok uang royaltimu dan Koichi akan ditransfer lagi."

Kouki mengejapkan mata. Dia ternganga beberapa saat, melirik Seijuurou yang distan mengeringkan sendok dan sumpit satu per satu.

"Dia juga masih bersikeras meminta, kau bisa mewakili kau dan Koichi untuk datang ke acara itu. Katanya, hanya yang pasti menang yang diundang untuk datang."

Seijuurou balik melirik Kouki dengan dahi berkerut-merut dihamburi anakan rambut.

Kouki sama sekali tidak ragu menjawab muram, "Aku tidak bisa datang, Okaa-san. Hari itu ... Aniki operasi." Menghirup napas dalam, lalu bergumam suram, "... yang seharusnya datang ke sana bukan aku."

Ibunda Furihata itu kentara menghela napas panjang melihat video klip lain yang mendendang nada-nada familiar sampai rasanya terdengar sumbang memuakkan. "Terserah kau saja."

Seijuurou teringat pada yang Koichi kemukakan, tentang orangtua yang memberikan Kouki pilihan melakukan apa yang terbaik baginya sendiri tanpa ditentang. Ia tidak kuasa memprevensi dari selarik pertanyaan yang menginvasi benaknya.

Jika Kouki memilih untuk bersamanya, apa kedua orangtua Furihata akan merelakannya?

Pertanyaan konyol. Kalaupun Kouki bersamanya, ia yang tidak bisa—tervisualisasi regalitas ayahnya dan instruksi absolut untuk selalu menang dengan menguasai berbagai bidang. Dan Kouki mungkin tepatnya bukan ingin bersamanya.

"Sudah malam sekali. Kalian berdua tidurlah," ucap ibu Furihata mengetahui mereka telah selesai mencuci piring.

"Otou-san bagaimana?" tanya Kouki yang mengerling jam dinding, nihil tanda-tanda pagar rumahnya akan berderit dibuka kembali.

"Biar Okaa-san tunggu." Ibunya itu menoleh pada kedua pemuda yang masih berdiri bersisian di balik konter dapur. "Ah, Kouki, ambil futon cadangan untuk Akashi-kun—atau kau tidur di kamar Koichi saja, Akashi-kun?"

Seijuurou hendak mengungkapkan intensinya yang sejak tadi telah terpikirkan sebelum dirinya dan Kouki makan malam—pamit pulang kemudian mencari hotel untuk dirinya tidur malam itu, tapi lirikan ekspetatif Kouki yang memelas menguapkan intensi tersebut.

"Aku tidak keberatan tidur di mana pun," kata Seijuurou mengafirmasi.

Kouki tersenyum setengah hati pada ibunya. "A-aku akan gelarkan futon saja untuk Akashi di kamarku."

Seijuurou tidak tahu lagi apa ia perlu menyesali intensinya untuk pergi saja tidak terungkapkan adalah kebenaran atau tetap tinggal dan sekamar dengan Kouki-lah yang merupakan kekeliruan.

Namun keduanya tetap bekerja sama membawa futon dari kamar Koichi ke kamar Kouki—dan Sejiuurou tidak sempat meneliti wilayah Kouki paling privasi itu dengan cermat—lalu menggelarnya, membawakan perlengkapan tidur yang lain, kemudian memasukkan tasnya ke dalam kamar tempat mereka akan tidur.

"Oyasuminasai."

Itulah saja yang dapat mereka dengar, sahut lembut dari ibu Furihata itu yang sibuk menahan kantuk menunggu suaminya pulang. Setelah memadamkan lampu, Kouki merangkak ke atas ranjangnya sementara Seijuurou berbaring di futon. Keduanya membenam diri dalam hangat selimut.

Mereka masih dalam proses adaptasi dengan keremangan ruangan, ketika mereka mendengar ucapan salam dari suara berat pria dan sambutan selamat datang dari ibu di rumah Furihata itu.

Kouki menggigit bibirnya, menjilatnya perlahan karena kering—sekerontang rongga intern lehernya. Menyadari dirinya tidak bisa meminta penjelasan atau klarifikasi apa pun dari yang Seijuurou hunjamkan padanya karena kedua orangtuanya ada di luar sana—tidak juga mereka bisa kontinu atas sesi panas yang asing tapi tidak sepenuhnya bisa dibenci. Dalam dekapan selimut, jemarinya merayap, mengusap lehernya yang masih terasa panas.

Posisi mereka terbalik.

Kini Kouki di atas dan Seijuurou di bawah.

Dan meski posisi mereka di balik pun, tidak ada yang berubah. Semua tetap sama seperti semula.

Namun di tengah kungkungan kegelapan, biner sienna itu memindai, nyalang bergulir menelusuri siluet yang rebah di futon. Mencari, terus mencari hingga menemukan sepasang gelimang magenta yang terang di bawah sana tengah menatapnya.

Tidak satu pun dari keduanya tergerak.

Sampai mata mereka berserah diri oleh kantuk terbujuk rayuan gelap malam,mengilasbalikkan suatu malam di tengah remang kamar dengan wangi sakura dan medikasi yang memuakkan mereka bersitatap dalam temaram, hingga akhirnya lamat-lamat terpejam—

.

.

—spektrum dan derum ekspresi yang terpancar di mercusuar hati mereka tidak memudar, justru terpugar sempurna dalam momentum ketika reras detik-detik itu berkisah tentang warna mata satu sama lain yang seharusnya tiada di balik tirai kelopak mata.

.

#~**~#

.

Bukan hal yang menyenangkan ketika terbangun paksa oleh objek yang mendistorsi mimpi.

Itu yang Seijuurou alami dengan tas bagian depan tempat ponsel barunya berada, tervibrasi dan berdering menyalak nyenyak tidurnya. Bukan alarm yang telah disetel, karena ia tidak mungkin terbangun saat udara masih sarat akan embun dan bahkan matahari belum menyemburat malu-malu di horizon.

Tidak tahu kapan dirinya tertidur—karena seingatnya semalam ia tidak bisa terlelap dan senyap memerhatikan pemuda yang lebih dulu pulas di ranjang, Seijuurou tidak merutuk walau di luar burung-buruk pelatuk dan sekawanan unggas mulai berkukuk.

Susah-payah tengkurap dan meraih ponselnya, Seijuurou melihat nama ajudan yang dipercayakan oleh ayahnya padanya itu terdisplay di layar. Sebelah alis terangkat. Andai bukan urgensi, mustahil ajudan tersebut meneleponnya di waktu di mana semua orang masih bergelung dalam kurungan selimut.

"Halo?" sapa emperor muda itu serak.

Seijuurou merebahkan kembali kepalanya dengan ponsel disangga satu tangan ke telinga. Matanya kembali terpejam karena ajudannya itu mengawali pembicaraan dengan meminta maaf karena menginterupsi waktu tidurnya.

Ajudannya melaporkan dua hal.

Satu prosedural yang selama ini disiapkannya—dengan memanipulasi yang dialaminya kala itu pada justifikasi ayahnya.

Dan satu lagi kabar yang membuatnya berdecak pelan. Mimpi yang ingin ia realisasi murni untuk diri sendiri. Telah berhari-hari ia berusaha mendapat koneksi yang sekiranya dapat membantunya mewujudkan, sekarang hal ini malah terjadi.

"Tidak bisakah aku menemuinya nanti?"

"..."

"Nomor beliau yang kuterima ada di ponselku yang dicuri. Orang itu tidak mau memberikannya lagi, karena dia pikir aku tidak benar-benar serius untuk diorbitkan karena tidak juga menelepon beliau."

"..."

"Aku sudah bilang apa yang terjadi, tapi sepertinya dia skeptis."

"..."

Mendengar tawar yang disampaikan sang ajudan, instingtif matanya mematut siluet seseorang yang tertidur dengan lengan terjuntai ke lantai. Sorotnya menyendu dipalu pilu.

Ada tanya bagaimana yang dilempar seperti kerikil memecah jendela di ruang imajiner dalam diri. Seijuurou menggeser posisi, menghadap pemuda yang pulas di hadapannya, satu tangannya yang tidak memegang ponsel meraih tangan itu, mengisi ruang antar spasi jari dengan jemarinya sendiri dalam sentuhan yang belum dapat disebut genggaman erat.

Kapalan.

Hangat dan dapat menyebabkan siapa pun bergantung padanya.

Seijuurou bukan seseorang yang dapat semudah itu menyerahkan dependensi pada orang lain. Namun ia selalu jadi tempat bergantung orang lain, selalu diandalkan, jadi pondasi hati dan kepercayaan diri untuk orang-orang di sekelilingnya. Ironis ketika ia berada di posisi sebaliknya.

Bagaimana rasanya jika untuk mendapatkan harta karun berharganya kembali Seijuurou harus bergantung pada seseorang biasa-biasa saja seperti Furihata Kouki?

Ibujari Seijuurou mengusap bekas luka karena pemuda yang tengah melindur itu pernah terjatuh saat berlari-lari rusuh hanya agar membuatnya tak menunggu.

Sekali lagi ia dihadapkan pada keputusan sulit yang terpahat kerunyaman karena situasi tidak menguntungkan ini.

"Baiklah. Kalau itu memang satu-satunya jalan, aku akan temui asistennya lagi hari ini agar dapat membujuk beliau bersabar lagi sampai aku bisa meneleponnya sendiri. Soal invasi, nanti setelah kita bertemu, akan kita bahas lagi."

Sambungan telepon berakhir, sama seperti tautan jemari mereka.

Ketika dua hari terpenting ini berakhir, apa yang akan terjadi pada mereka nanti?

Apa yang harus ia lakukan pada seseorang yang menyulitkannya menghilangkan kelemahannya sendiri?

Seijuurou setengah terduduk, mendekatkan wajahnya pada wajah polos pulas seseorang, membiarkan tanya itu terbisik tepat di depan bibir yang lagi-lagi melirihkan namanya kendati tetap dalam lelap.

"Apa yang harus aku lakukan padamu, Furihata ... Kouki?"

Ini adalah kedua kali bagi Kouki, ciumannya dicuri saat ia masih terjebak di labirin mimpi.

Namun ini kali pertama bagi Seijuurou mencium Kouki sedemikian lembut dan hati menghayat hangat yang amat menyayat, karena yang ciuman pertama Kouki dicuri oleh dirinya yang satu lagi saat senja melarat di antara wangi sakura, rakitan sempurna railroad, dan serakan keping-keping shogi.

.

Kau

Tersenyum

Menangis

Tertawa

Kau merasa

Dan kau mencinta

(Kita bersama)

.

#~**~#

.

"Kenapa malah kau yang pasang muka takut begitu padahal aku yang besok akan dioperasi, eh?"

Koichi menusuk pelan pipi adiknya yang tadi sudah muncul di pintu kamarnya pagi-pagi bersama ibunya dengan wajah cemberut nan sendu yang sama sekali tak membuat takut siapa pun, sempat membuatnya melongo kaget, lalu tertawa senang karena kehadirannya.

Tentu saja, biasanya adiknya baru akan menjenguknya saat jam besuk ketika petang datang.

Sang kakak batal menggoda begitu mengetahui penyebab mendung merundung adiknya yang menemaninya, gelisah didera rana mencorat-coret buku catatan berharga mereka.

Ibunya memang biasa datang di pagi hari, tapi itu karena ia biasa membawa makanan atau pakaian ganti untuknya. Menanyakan kondisinya, terkadang menceritakan hal-hal yang terjadi dalam hidupnya, dan membelai kepala si putra sulung yang tidak berani protes walau diperlakukan tak ubahnya anak kecil.

Toh, ada kalanya kasih sayang orangtua yang telah berjuang begitu banyak untukmu tidak bisa kauprotes dan sangkal semena-mena.

Yang berbeda pagi itu, selain rutinitas ibunya yang biasa, Koichi menyadari penyebab adiknya bisa datang dengan muka kusut dan ekspresi sekalut itu bukan hanya murni karena dirinya besok akan menjalani operasi besar.

Ibunya mengisahkan teman Kouki yang mirip sekali dengan Shiori-san (karena dulu ibunya pun pernah menjadi teman mengobrol almarhumah wanita tersebut), menginap di rumah malam itu tapi esok paginya bahkan jauh sebelum Kouki terbangun, dia berpamitan pergi pada nyonya Furihata karena ada urusan penting yang harus diselesaikan.

Ibunya mengomel begitu Kouki terbangun menemukan futon dan perlengkapan tidur telah dirapikan, panik menanyai kemana pemuda yang semalam tidur di kamarnya mendadak raib tak berjejak. Bagaimana bisa Kouki tidak tahu temannya sendiri pergi?

Koichi bersimpati untuk adiknya. Dia berbaik hati menawarkan ponselnya agar Kouki bisa menghubungi pemuda tersebut, tapi Kouki meninggikan harga diri dan menolaknya mentah-mentah. Malah mendelik padanya seakan Koichi telah melakukan kesalahan terfatal seumur hidup yang tidak akan Kouki sudi maafkan.

Entah adiknya itu sadari atau tidak, tapi ekspresi kali ini berbeda dari yang biasa tertera di wajah Kouki saat membicarakan Akashi Seijuurou. Frustratif tapi ekspetatif. Kalau intuisinya benar, bahkan mungkin afektif.

Mungkin ada yang terjadi ketika mereka berdua saja semalam di rumah?

Niat hati, ketika adiknya menjenguknya lagi, Koichi ingin merentang seringai selebar-lebarnya. Tentu saja, dengan Akashi (Oportunis Sialan) Seijuurou itu mencium adiknya di kamar rawat-inapnya, mana bisa Koichi berpikiran naif tidak akan terjadi apa-apa antara Seijuurou dan Kouki selama mereka berdua saja di rumah sampai sebelum sang ibu pulang?

Namun dia batal melakukannya karena menilik ekspresi Kouki. Seakan menerima selontar verbal berlandaskan kenyataan—sesuatu terjadi antara dirinya dan Seijuurou, ekuivalen dengan ketika railroad dirubuhkan; adiknya bisa melelehkan yang Koichi benci sekali melihatnya.

"..."

"Kouki, hei."

"..."

"Kau bertengkar dengan Akashi-kun?"

"..."

Koichi tidak luput melihat adiknya berjengit, barulah kemudian menggeleng lamat.

"Mungkin dia ada di tempat kalian biasa berlatih. Coba kau cek ke sana." Koichi menganjurkan seraya mengamati pena adiknya berhenti menari terlalu lama daripada yang seharusnya.

Kouki mencengkeram pena yang digenggamnya. "Dia ... dia mungkin tidak akan ada di sana."

Ah, ternyata benar. Telah terjadi sesuatu.

"Kenapa tidak? Bukankah ini hari kalian harusnya latihan habis-habisan?"

"..."

Menyadari adiknya sendiri tidak mengetahui jawaban atas pertanyaannya, Koichi mengulurkan tangan untuk mengacak rambut adiknya. Entah berapa kali sudah jarum menit bertapak, Koichi masih menepuk-nepuk kepala remaja yang lebih muda darinya.

Momen itu tersekap dalam ruang di mana satuan waktu hanyalah gurat fana. Mungkin untuk mereka yang justru akan segera hanya jadi fana pada selapis kaca, ada bahasa alam yang terlupa dan barulah berhasil mereka eja untuk yang benar-benar telah merasa.

"Pertarungannya besok, 'kan? Semoga kau menang."

"... mungkin, a-aku tidak datang."

"..."

"..."

"Kenapa?"

Karena satu kata tanya dan keterkejutan luar biasa, Koichi menarik tangannya dari kepala Kouki. Memandang adiknya seakan posisi otaknya miring lantas remaja tersebut mendadak sinting.

"Kau sudah berlatih dengannya berhari-hari."

Kouki merasakan ketajaman bukan semata berasal dari tatapan, tapi juga dari hunjaman suara rendah kakaknya. Getar terjalar ke pena, Kouki menaruhnya di atas lembaran penuh coretan, beralih melampias ketegangan pada buku di pangkuannya.

Tidak mungkin Kouki mengungkapkan bahwa sebenarnya tidak perlu lagi bertanding dengan si kembar alumnus Kamata Nishi. Mengingat uang tabungannya untuk membayar kotak musik yang dipesannya jauh-jauh hari, dapat diganti karena kini ia menerima separuh jatah hasil kerjanya dari royalti mereka berdua.

Uang tersebut cukup untuk membayar harga kotak musik tersebut yang Kouki pesankan hanya untuk kakaknya. Bahkan ia bisa membayar hutang biaya administrasi rumah sakit pada pemuda yang lenyap bersama senyap, tak berjejak. Ia tidak perlu lagi bertarung atau menghadapi gerombolan mengerikan yang mencecarkan penderitaan dan cambukan sakit mematikan padanya.

Walaupun kalau ia tidak datang, Kouki tidak yakin apa ia akan pernah bisa mengenyahkan gelontor perasaan bersalah karena telah mengkhianati Seijuurou. Terlebih karena ia memanfaatkan ilmu dari tutornya itu, demi bertambah kuat dan bisa membuat tim khasnya sendiri, agar dia tidak lagi merasa tidak berguna. Kritik dan sarannya, semua yang telah Seijuurou lakukan untuknya dan mereka lakukan bersama.

Kouki tidak bisa membayangkannya bagaimana cara, bagaimana bisa, dirinya akan melupakan semua itu.

"Apa karena kaupikir Akashi-kun bisa menang sendiri meskipun tidak ada kau?"

"... di-dia sangat mampu u-untuk me-menang sendiri, Aniki."

"Walaupun dia mampu, situasi dan kondisinya tidak semudah itu. Dia membutuhkanmu untuk pertarungan besok."

"Dia tidak butuh—"

"Kalau dia tidak butuh, kenapa dia mau repot-repot melatihmu selama ini?"

"..."

"Dia memercayaimu untuk jadi teman setimnya. Jadi, jangan khianati semua yang sudah dia lakukan untukmu."

Koichi tidak mengerti mengapa Kouki menatapnya sengit tersisip sedih yang amat pahit.

Ia tidak tahu apa yang terjadi, seakan Kouki ingin menyambitnya dengan kenyataan yang sebenarnya tidak sesederhana itu. Tapi, ada alasan kuat mengapa bibirnya terkatup rapat—bersikeras tidak akan mengemukakan alasan. Adiknya begitu teguh walau tersepuh sendu.

"Coba kalau Aniki yang ada dalam posisiku, Akashi tidak akan ..." Kouki meremat serat olahan lembaran kulit kayu menjadi buku yang dipangkunya, "Akashi sangat mengagumimu, jadi ... uh, dia bilang kau sangat menyenangkan, dan kuat ... dia senang karena bertemu denganmu dan bilang kalau saja kalian bertemu lebih cepat ... coba saja Aniki yang ..."

Koichi mengerjapkan mata. Ah, adiknya bicara apa? Sebelah alis terangkat, kening terkernyit, mata yang memiliki iris peru itu meruncingkan kecurigaan pada Kouki.

"Akashi –kun bilang begitu?"

Koichi menotis tensi yang meninggi melingkupi Kouki.

"I- ... iya."

Rangkaian aksara terhimpun pada satu verba. Koichi tidak tahu apa yang terjadi antara adiknya dan putra tunggal Akashi Shiori itu, tapi dia yakin ekspresi Kouki itu seperti menghakiminya, seperti dulu—hampir menyerupai sakit hati.

Koichi mengepalkan tangannya. Dia tidak pernah bermaksud membuat adiknya iri. Ada aspek yang pantas menyebabkannya merasa demikian, walau Koichi yakin bagian ternestapa hidupnya bukanlah sesuatu yang akan membuat Kouki memandangnya seperti itu.

Menatap adiknya lekat, memerhatikan ceceran bahasa tubuh Kouki—dari ceruk matanya dikucur pilu, liuk bibirnya, luka menorehi matanya, seakan ada sedan yang tertahan—dan keterkaitan antara Akashi serta hal-hal random yang dibicarakannya, Koichi tergemap karena akhirnya dia paham ekspresi Kouki.

Koichi tidak ingin membahas hal yang akhirnya ia mengerti. Adiknya cemburu padanya karena Akashi Seijuurou membicarakannya, menganggapnya menyenangkan, mengagumkan, dan hal random lainnya yang adiknya kemukakan.

Tidak pernah terbersit sedikitpun niat untuk menjarah begitu banyak bagian dari hidup salah seorang yang paling disayanginya. Dipikirnya Akashi Seijuurou adalah kunci dari segala hal yang telah dirampasnya dari adiknya. Karena itu—

"—walaupun begitu, yang Akashi butuhkan bukan aku." Koichi lurus menyelami biner sienna adiknya. "Kau."

"..."

Suara putra sulung Furihata itu menajam dengan peringatan. "Kouki."

"A-apa ... a-aku pengecut?" Kouki akhirnya bersipandang dengan kakaknya, sorot matanya amat sayu.

Koichi mengangguk tegas. "Kalau kau sampai tidak datang, tentu saja iya."

"..."

Memahami bertumpuk-tumpuk yang menggerus komposur sang adik, Koichi meraih satu tangan adiknya yang menjalar getar ke tangannya—menepuk-nepuk tangan adiknya yang kuat dan berkalus, tidak selunak miliknya.

"Ingat saat kau waktu itu mengeluh padaku, ingin keluar dari tim basketmu karena tidak kuat dengan regimen latihan yang sangat gila dan anggota timmu yang lain sangat hebat. Kau tidak tahan, tapi akhirnya kau tetap bertahan dan berlatih keras?

"Ingat saat kau cerita padaku akhirnya kau pertama kalinya diturunkan bermain di semifinal? Kau sangat takut, tapi keinginanmu akhirnya terkabul, dan kau melakukan segala hal yang kau bisa untuk membantu timmu. Apa kau masih ingat kebahagiaanmu saat itu?

"Terakhir, saat me-marking Akashi-kun. Kau ingat saat itu kau jauh lebih takut lagi dari saat pertama kali bermain, tapi kau berjuang sekuat tenaga untuk timmu tanpa meminta orang lain menggantikanmu?"

Kouki dijejali tenung renung oleh kakaknya, didorong untuk mengilas balik semua pengalaman yang telah ia alami. Seluruh perasaan terbaik yang pernah dirasakannya—dan Kouki tidak pernah bisa lupa dengan semua itu. Meneguk salivanya lamat, kepalanya terangguk lemah.

"Bagiku, setidaknya kau bukan pengecut."

Koichi membelai helai sienna adiknya yang terurai menutupi wajah. Mengerti tanda-tanda adiknya akan menyergah jengah, Koichi tersenyum pada Kouki. Roman wajah pemuda berambut peru itu melembut.

"Kau hanya takut untuk sesuatu yang belum kau tahu."

Sensasi sedingin bilur bulir hujan dari mulut daun yang menerpanya dan Akashi, kini melingkupi hati Kouki.

.

.

"Kurasa kau tidak sepengecut itu." Akashi membiarkan telunjuknya menusuk pelan dahi Kouki karena menampilkan wajah melongo bodoh itu. "Kau hanya takut."

.

.

Mungkin ada sesuatu serupa wahyu yang menjadikan kakaknya sebagai perantara baginya demi memahami semua ini, untuk meretak dinding ketidakmengertian yang mengurungnya.

Ketakutan untuk mengetahui apa yang berikutnya akan terjadi, bagaimana perasaannya sendiri dan Akashi Seijuurou, serta imaji akan hari-hari yang kembali berlangsung seperti biasa seakan semua yang terjadi dua minggu terakhir ini tidak pernah terjadi.

"Kalau kau belum tahu, sebaiknya kau cari tahu. Kalau kau tidak mencari tahu, kau tidak akan tahu. Walaupun juga ada pepatah: curiosity kills the cat, tapi kalau kau tidak tahu dan tidak berusaha mencari tahu, tidak akan ada yang berubah.

"Kalau kau tetap diam saja atau kau mundur dari semua yang sebenarnya kauhasratkan tanpa memperjuangkannya, itulah yang disebut pengecut."

Tidak mengerti mengapa perkataannya memantik titik melankolia melinangi wajah adiknya yang masih tersemburat ruam merah, Koichi beringsut maju untuk merengkuh adiknya dalam pelukan seraya mengusap-usap punggungnya, memeluknya erat seakan itu terakhir kali, lalu berbisik parau dengan makna yang hanya adiknya bisa, pernah, dan akan selalu mengerti.

.

.

"Aku tidak bisa setiap waktu ada bersamamu, Kouki. Belajarlah menyeka airmatamu sendiri dan berjanjilah padaku, kau akan selalu berjuang untuk tersenyum lagi."

"Y-ya, Aniki."

.

.

(Dan semenjak berbicara dengan seseorang itu, Koichi akhirnya menemukan siapa yang dicarinya; siapa yang dapat menebus perasaan bersalah dan menebus segala yang telah ia rampas dari adiknya; siapa yang bisa membuat adiknya begitu hidup dan bercahaya tanpa lagi menjadi bayang-bayang bagi eksistensi rapuhnya.

Seseorang yang bisa menjaga adik semata wayangnya.)

'Aku tidak bisa selamanya ada untukmu, Kouki. Kau tahu itu, walau kau tak mau tahu.'

.

.

.

Demi dirimu—

Dariku, yang hanya bisa bergantung padamu

Padamu, yang tidak mungkin selamanya ada untukku

Kecuali satu pinta agar aku lupa dan menganggapmu tak pernah ada selamanya

tetaplah di sisiku

aku akan bernyanyi untukmu

.

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

.

Fic ini 30k-30k-22k dan membesar (plotnya berkembang) dari stok 10k yang ada, saya mohon maaf karena fanfiksi ini tidak bisa dirangkumkan karena plots-nya melebar. Tapi tetap, fanfiksi ini istimewa untuk Kak Ahokitsune sekalipun batal dirampungkan saat event yang terakhir kali.

Semoga fanfiksi ini masih bisa mengobati dan memenuhi kerinduan Kak Ahokitsune pada fanfiksi canon AkaFuri! (karena saya juga sangat suka hal yang sama—langkanya fic canon AkaFuri beginilah jadinya. X"DDD)

P.S: kenapa Furi unyu banget pas masak omelette eargasm saya gak kuat—huhuhu. *unyelin Furi* ORZ OTL OTZ

.

Terima kasih sudah menyempatkan membaca. Kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan. ^_^

.

Sweet smile,

Light of Leviathan a.k.a LoL