please tell me you'll stay

Haikyuu © Furudate Haruichi

.

.

.

Tadashi berhenti tepat di hadapan pintu apartemennya.

Tempat tinggal barunya mulai hari ini.

Barang bawaannya kemudian diletakkan dekat kaki: sebuah koper yang ditempeli stiker di sana-sini, kantung plastik berisi sisa keripik kentang dan biskuit cokelat, juga satu tas ransel besar yang membuat setiap sendi di kedua pundaknya merintih karena ia sudah menentengnya semenjak perjalanan panjang dari stasiun kereta terdekat. Sekian detik Tadashi hanya dapat terpaku selagi satu tangannya memijati tulang bahu yang pegal, matanya melahap seluruh pemandangan asing yang tersaji di sekitarnya, dan ada helaan napas yang lolos ketika ia menyadari, ah, lagi-lagi ia dikecewakan. Seolah udara Tokyo yang dingin ketika musim semi sekalipun belum menjadi cobaan yang cukup, apartemen ini juga agak mengkhianati harapannya.

Ia mendongak dan bisa melihat langit-langit koridor yang begitu rendah. Cat dinding nampak terkelupas di sudut-sudut bangunan, penerangan dalam koridor tak lebih dari cahaya remang-remang yang datang dari lampu berwarna kuning-malas, mengingatkan Tadashi dengan latar belakang mencekam milik sebuah film horor yang dulu pernah ditontonnya. Bahkan sisi paling kanak-kanak yang masih hidup dalam diri pemuda itu mulai merasa agak panik, membuat ia menyesal tak menanyakan sejarah yang dimiliki apartemen tua ini pada resepsionis berwajah masam di lantai dasar. Lalu Tadashi melangkah ke sisi lain koridor, mendapati pintu antar kamar yang berjarak tidak lebih dari satu meter. Bunyi sebatang jarum yang jatuh di kamarnya mungkin akan terdengar bergema sampai kamar sebelah, mengingat kemungkinan bahwa apartemen sebobrok ini pasti memiliki dinding yang tipis dan tidak kedap suara.

Tadashi mengerang dalam hati, menyadari bahwa hidupnya di Tokyo mungkin takkan selancar dugaannya semula.

Tetapi apa boleh buat, kan? Tokyo selalu menjadi mimpi Tadashi sejak lama. Kecintaannya pada olahraga voli bermula sejak ia berumur sepuluh tahun, namun ia sudah memutuskan bahwa voli tidak akan menjadi mimpinya. Mimpinya adalah menjadi dokter hewan, menyelamatkan nyawa para binatang liar sebisa mungkin, lalu jika ia sudah memiliki cukup uang ia akan membangun tempat penampungan hewan liar di tengah-tengah kota, tempat yang menyediakan fasilitas adopsi hewan gratis untuk setiap orang yang berminat. Kini Tadashi tinggal beberapa langkah dari mimpinya; ia diterima di salah satu universitas di Tokyo sesuai jurusan yang ia minati dan tabungannya semasa sekolah cukup membantunya untuk meringankan beban kedua orangtua. Sebuah apartemen murah bukanlah cobaan berarti jika dibandingkan dengan usaha keras Tadashi sebelum ini.

Ya, di luar dugaan Tadashi, roda hidupnya berputar lewat cara yang mencengangkan. Tidak ada halangan besar yang menghalangi lajunya. Perjalanan pemuda itu selancar keinginannya.

Tidak ada penyesalan sama sekali.

Tidak ada penyesalan. Yamaguchi Tadashi mengulang kata-katanya sendiri dalam hati, seakan ia lagi-lagi gagal meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia sedang menuju destinasi yang benar. Tangannya sempat terkepal di sisi tubuh, matanya menatap karpet koridor apartemen yang berwarna gelap-mencurigakan, tenggorokannya terasa menyempit untuk sesaat. Ia sedikit kesulitan bernapas. Mungkin karena langit-langit yang rendah, atau mungkin ia hanya kelelahan karena Miyagi berjam-jam jauhnya dari sini. Menghela napas dalam-dalam, Tadashi menekuk punggung, mencangklong tas ranselnya dan mengambil koper serta kantung plastik yang sempat terabaikan di atas lantai.

Ia sedang bingung menentukan satu dari dua pilihan, antara membereskan isi apartemennya atau mencari makan malam lebih dulu karena perutnya mulai keroncongan, ketika didengarnya suara pintu yang berderit membuka.

Betul-betul apartemen bobrok. Reaksi pertamanya adalah meringis pasrah dalam hati. Satu-satunya harapan Tadashi, yang bahkan terdengar muluk-muluk sekali, hanyalah bahwa hujan badai tidak akan meruntuhkan atap ruangan dan membuat ia harus membeli lima ember untuk menadahi kebocoran. Tadashi lantas memicing ke sumber suara, batal memutar kunci untuk membuka pintu. Pemuda itu sedikit penasaran. Mungkin ia harus menyapa tetangganya sesegera mungkin sebagai bentuk sopan santun?

Tadashi menoleh.

Dan seketika saja, senyumnya memudar.

Kedua matanya terpaku saat tatapan mereka bersirobok. Jarak mereka hanya terpaut beberapa langkah, angin awal musim semi yang terasa menusuk di tulang mulai menemukan jalan untuk menyusup ke balik pakaian. Dingin. Namun Tadashi merasa ia sedang bermimpi.

Yang kini terlintas dalam benaknya, adalah pikiran yang sama sekali tak berkaitan dengan makan malam ataupun gagasan untuk membereskan barang bawaannya sesegera mungkin. Tadashi merasa ia sedang memimpikan segala hal yang ingin ia lupakan dengan mata terbuka: tentang ingatan-ingatan muram yang terasa jauh dan pudar. Tentang telepon yang tak lagi dijawab. Tentang email yang gagal terkirim. Tentang suara yang perlahan-lahan ia lupakan. Tentang seseorang yang keberadaannya menghilang perlahan di antara deru shinkansen tepat dua tahun lalu.

Tadashi membuka mulut. Ia ingin bersuara, ingin mengatakan sesuatu, tetapi alih-alih ia mundur satu langkah dengan canggung. Punggungnya terantuk dinding koridor yang terasa beku di kulit meskipun ia sedang memakai jaket tebal.

"Yamaguchi?"

.

.

.

"Tokyo?"

Mereka berjalan bersisian, menginjak sisa-sisa lapisan salju yang mulai menipis akibat temperatur yang mulai menghangat. Tadashi mengulang penjelasan Tsukishima dengan gumaman ragu, matanya melirik ke samping seakan meminta penjelasan tambahan.

"Tokyo." Tsukishima Kei ikut mengulang, kedua tangannya terbenam dalam saku jaketnya. "Ikut dengan kedua orangtuaku. Ayah dipindahtugaskan dan… yah, apa boleh buat. Mau membantah sampai suaraku habis pun, pendapatku tidak akan didengarkan."

Tadashi ingin tertawa ketika melihat kerutan masam di kening sahabatnya tersebut. Komentar sinis Tsukishima Kei bukanlah hal baru bagi telinganya, Tadashi merasa dirinya telah kebal dengan selera humor sang sahabat yang begitu dingin, namun ia hanya berhasil meloloskan senyum yang terasa kaku di bibir. "Begitu, ya."

Begitukah? Sebetulnya Tadashi masih ingin bertanya banyak. Matanya berkedip dalam ketertegunan, ia lupa dengan udara dingin yang beberapa menit lalu sempat dirutukinya diam-diam. Kenapa Tokyo? Kenapa harus sejauh itu? Kenapa kau berkata seakan-akan Tokyo tidak lebih dari kota yang bisa dicapai hanya dengan melewati satu stasiun? Hei, Tsukki. Kenapa? Namun pada akhirnya Tadashi cuma menggaruk sisi pipi, mencoba meyakinkan diri bahwa kepindahan Tsukishima mungkin merupakan kabar baik. Tokyo

"Kau yang pergi lebih dulu ya, kalau begitu." Tadashi mengusir kesenyapan singkat itu, ganti menatap sepatunya, masih melangkah dengan hati-hati karena salju merupakan musuh permanennya tiap kali musim dingin mencapai kota. Tsukishima telah menjadi saksi dari berbagai kecerobohan Tadashi, hampir seluruhnya melibatkan kaki yang terpeleset atau sepatu yang entah mengapa bisa-bisanya terbenam dalam gundukan salju sampai-sampai sulit diangkat.

"Tokyo. Masih berminat kuliah di sana, kan?" selagi melanjutkan, Tadashi tersenyum ketika mengingat percakapan mereka dulu. Ya, Tokyo. Bukankah mereka pernah berencana untuk melanjutkan sekolah di sana? Salah satu cita-cita Tadashi adalah dokter hewan, sementara Tsukishima belum bisa memutuskan antara dokter gigi atau pengacara. Mereka toh masih kelas satu. Ada dua tahun yang tersisa untuk menimbang-nimbang ulang berbagai macam kemungkinan.

"Hm." Tsukishima menjawab, diiringi anggukan, jujur dan singkat. Tadashi mengalihkan tatapan lagi pada Tsukishima, melihat si pemuda yang mendongak tepat ketika hujan salju turun dalam serpihan-serpihan kecil. "Tokyo. Setidaknya, aku bisa lepas lebih cepat dari kebodohan Hinata dan Kageyama sebelum mereka menularkannya."

Tadashi mendengus menahan tawa. "Yah, mungkin memang ada baiknya kau berangkat ke sana dua tahun lebih cepat dari seharusnya." Ia mengeratkan belitan syal di leher, napasnya mengepul membentuk kabut tipis di udara.

Ada jeda yang lantas menyusul, terasa mentah dan aneh di antara mereka.

"Tanggal berapa, Tsukki?"

"Awal musim semi tahun depan. Waktu kenaikan kelas."

"Sudah pasti?"

Tadashi bisa merasakan tatapan Tsukishima kini terarah padanya.

"…belum." Tsukishima sedikit menunduk, dagu terbenam ditutupi syal biru tua di lehernya. "Aku masih ingin meyakinkan Ayah bahwa aku bisa tinggal sendirian di sini. Mungkin di apartemen murah, atau rumah paman dan bibiku… semacam itu." Kali ini Tsukishima betul-betul menatapnya, terdiam untuk beberapa saat. "Menurutmu bagaimana?"

"E-Eh? Menurutku?" Tadashi tak mengantisipasi pertanyaan itu. Ia mengerjap bingung. "Mungkin—mungkin kau bisa coba… mendiskusikannya lagi?" Dengan tak yakin ia berpendapat, lalu buru-buru mengulum senyum tipis ketika menatap mata sahabatnya. "Tapi, pergi pun bukan masalah kan? Tokyo lho, Tsukki. Tokyo!"

"Yah, memang. Tokyo."

"Tokyo Tower! Harajuku!"

"Akihabara."

"Dan Shibuya. Roppongi Hills." Tadashi mengerutkan kening, mencoba mengingat-ingat berbagai tempat yang sebelum ini hanya ia baca di majalah. "…uh, Tokyo Skytree, Asakusa? Ginza, lalu kafe internet yang buka 24 jam—kenapa kau malah tertawa?!"

"Siapa yang tertawa?" Pembelaan diri yang sia-sia karena Tsukishima telanjur terkekeh, sedikit menampilkan gigi-giginya ketika menyeringai untuk mengejek sahabatnya. "Aku beruntung tidak harus pergi ke sana bersamamu. Memalukan."

"Tsukki!" Tadashi memicingkan mata untuk melemparkan tatapan paling sengit yang bisa dia usahakan, langkahnya sekarang bergegas dan tanpa sadar menjadi sedikit lebih cepat dari Tsukishima. "Selama ini aku cuma lihat dari majalah, dan kita tinggal di kota kecil sejak lahir, wajar saja kalau—w-whoa!"

Ucapannya terputus. Bahkan tak ada waktu untuk memaki ketika kakinya terpeleset di atas salju. Kutukan. Telah sejak lama Tadashi memberi judul untuk kecerobohannya itu; salju yang telah menipis rupanya tak menjadi pengecualian berarti. Ia limbung, kedua tangannya menggapai udara kosong dengan sia-sia—

Dan seolah memiliki refleks tubuh yang telah terbiasa dengan semua itu, Tsukishima menangkap tubuhnya pada detik yang tepat. Tadashi meringis ketika keningnya terantuk pundak si pemuda berambut pirang, kedua lengannya yang barusan sempat mencari pegangan kini refleks melingkarkan pelukan pada tubuh Tsukishima. Sahabatnya mundur akibat momentum tersebut, namun entah bagaimana caranya mereka berhasil menghindari kemungkinan yang paling merepotkan, tidak serta-merta terjatuh berdua menumbuk tanah yang keras.

Kedua lengan Tsukishima balik merengkuhnya. Tangan pemuda itu terasa dingin di punggung Tadashi, lagi-lagi karena Tsukishima lupa memakai sarung tangan seperti biasa. Namun wajah Tadashi menghangat tanpa ia inginkan.

"Kalau nanti aku pergi ke Tokyo, kau bagaimana?" Tadashi bisa mendengar cibiran dalam suara Tsukishima, dan entah ini hanya perasaannya semata, namun rengkuhan itu terasa sedikit mengerat. Tsukishima menghela napas, seolah-olah semua ini membuatnya lelah dalam sekejap. "Akan tetap seceroboh ini?"

Hening sebentar, kemudian Tadashi menyeringai, tertawa lepas ketika mendengar kepedulian tipis yang berusaha disamarkan Tsukishima sebisa mungkin. Tak ekspresif, seperti biasa, dan entah mengapa Tadashi selalu tahu.

"Maaf, Tsukki."

Namun Tadashi tidak beranjak. Keningnya ditekankan pada bahu Tsukishima, kedua lengannya masih memeluk ragu tubuh si pemuda berkacamata. Tsukishima tidak membantu; lengannya melingkari pundak Tadashi, tidak dilepaskan bahkan meskipun kecerobohan Tadashi telah lewat beberapa puluh detik. Salju turun dan mencair perlahan di pundaknya, sementara cahaya matahari pagi masih berjuang menembus kungkungan awan mendung tebal di langit. Tadashi mencengkeram kain jaket Tsukishima, erat-erat.

Tokyo.

Tadashi mengulang kata itu di dalam kepala hingga ia kehilangan maknanya.

.

.

.

to be continued

.

.

(a/n: fanfiksi Tsukkiyama pertama saya. Maafkan kalau masih OOC sana-sini, terutama di bagian Tsukishima karena menulis sebagai dia itu sulit sekali… orz omong-omong saya menggunakan alur maju-mundur dalam penceritaan, semoga bisa dimengerti dan tidak membuat bingung. Rencananya ini akan menjadi fanfiksi yang panjang, slow burn, doakan saja semoga saya sempat meng-update secara rutin, ya. Terima kasih telah membaca, kritik dan komentar akan sangat membantu! :D)