Pacar Sewaan

Cast : Naruto U, Sasuke U, Kiba I, Gaara, dll

Genre : Romance

Rated : T

Warning : BL/YAOI, OOC, maksa, typo, abal, tidak jelas, pasaran banget, dan lain-lain

Summary : "Itu hanya sekedar permintaan balas budi saja,". "Apa kau tidak memikirkan perasaan Gaara?". "Inuzuka itu bahkan lebih peka dari mu, dasar bodoh,". "Ini bukanlah mimpi. Ini adalah kenyataan,". "HAAAH?! KAU SERIUS?".

Happy Reading!


Chapter 12


Matahari nyaris hilang dari langit. Sinar jingga juga mulai bercampur dengan warna ungu. Angin yang berhembus pun terasa semakin dingin.

Sebuah mobil mengebut di jalan raya yang tidak bisa dibilang kosong. Oh Dewa, dia ini sakit jiwa atau apa?

Pemilik mobil itu hanya menatap jalanan dengan tajam, walau sesekali ia melirik jok kosong disebelahnya tanpa alasan yang jelas.

'Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif, silakan mencoba beberapa saat lagi,'. "SIAL!".

Suara lembut dari sebuah telepon pintar terdengar, lalu diiringi dengan umpatan yang keluar.

Sasuke—sang pemilik mobil dan objek yang sedari tadi kita amati, sedang menggenggam ponselnya sambil menyetir. Kembali, ia mengutak-atik alat komunikasinya itu.

Jawaban sama kembali terdengar. "Kenapa tidak aktif, sial!". Dibantingnya ponsel ke jok sebelah karena rasa kesal yang memuncak. Matanya kembali fokus ke depan.

Kini, suara hati dari Sasuke terngiang-ngiang dengan jelas.

Apa ia tidak keberatan? Mungkinkah ia mau menerima ku? Bagaimana kalau ia ternyata sudah punya pacar baru yang menyewanya?

Pikiran Sasuke berputar-putar disana. Padahal jalanan mulus layaknya paha Miyabi. Tapi otaknya panas bak dilalap api.

Ah. Peduli setan.

Pemuda pirang itu sudah berani mengusiknya bahkan sampai ke pikirannya sekalipun. Sasuke tak lagi ragu kalau ia memang sudah jatuh hati pada Naruto. Ia mengakuinya.

Dan sekarang, inilah rencananya.

Menjadikan Naruto miliknya secara utuh.


"Itu hanya sekedar permintaan balas budi saja,". Itulah jawaban pertama Naruto sesaat setelah ia mengikat janji kelingking dengan sahabatnya di kantin siang itu.

"Aku ambruk, lalu Gaara datang menolong. Kau tahu—aku merasa berhutang padanya, Kiba… Dan aku berpikir kalau utang itu harus aku bayar," lanjutnya kemudian menyedot kembali susu yang ada di tangannya.

"Dengan mengabulkan apa yang Gaara inginkan?" balas Kiba dengan nada tak percaya.

Naruto mengangguk. "Hanya itu yang terpikir oleh ku," dengan bibir mengerucut ia berkata.

Kiba menghela nafas, tak habis pikir dengan apa yang dilakukan sahabatnya yang senasib sepenanggungan itu.

"Apa kau tidak memikirkan perasaan Gaara?" tanya Kiba kemudian. Naruto menoleh tanpa melepaskan sedotan itu dari bibirnya.

"Kamu sadar kan kalau calon dokter itu naksir betul-betul pada mu?". Kiba tentu tahu tanpa harus bertanya pada pemuda merah itu. Naruto diam sejenak.

"Aku tidak yakin…" jawabnya ragu, sambil meneguk larutan susu itu ke kerongkongannya. Kiba menepuk wajahnya—facepalm.

"Benar-benar anak ini. Mengapa kau begitu bodoh, wahai kawan ku tersayang?" kata Kiba hiperbola. Dan mau tak mau mata Naruto ikut membola. Melotot—lebih tepatnya.

"Jangan panggil aku 'sayang'—jijik!" semburnya.

"Salah mu begitu menggemaskan—tapi kenapa ada orang sebodoh diri mu?" Naruto tidak mengerti Kiba itu bermaksud memuji atau mengejeknya. Namun yang jelas alisnya bertautan menahan gerutu.

"Rasanya aku menyesal bercerita pada mu!" Naruto berseru kesal. Ia bangkit berdiri, hendak melarikan diri dari Kiba dan mencari tempat lain untuk duduk.

Namun Kiba sudah menahan tangannya sebelum semua itu terjadi.

"Aku belum selesai, dasar bodoh," pemuda bertato itu berujar. Bibir Naruto manyun karena ada kata 'bodoh' yang menyertai kalimat pemuda tadi. "Lepas, bodoh!" balas Naruto sambil menghempaskan tangan Kiba. Ups, sayang sekali… Tidak lepas!

"Tidak mau," Kiba membalas seperti anak kecil. Oke, ini apa-apaan?

"Kiba bodoh! Lepas!" Naruto makin menjadi-jadi. "Tidak mau, Naru-bodoh!". Kata 'bodoh' pun terlempar-lempar.

Naruto kemudian memilih mengalah. Dewa… berilah aku kesabaran menghadapi bocah ini!

Ia kembali duduk dengan rasa kesal memuncak di ubun-ubun.

Kiba dengan santainya menjulurkan lidah meminta ampunan.

"Lalu… bagaimana perasaan mu kepada Gaara?" tanya Kiba kemudian. Pemuda pirang itu berhenti meneguk susu, menatap mata Kiba yang ganti mode jadi serius.

"Apa sama, dengan perasaan mu pada klien yang sudah membuat mu galau itu?".

Naruto mendadak berdebar.

Bagaimana… perasaan ku? Hati Naruto bicara sendiri.

Pemuda itu menunduk dan memegang kaus di bagian dadanya. Kiba yang melihat ini kemudian merasa bersalah. Begini-begini, ia cukup peka dengan perubahan suasana. Contohnya—ya ini.

"Hei-hei… Naruto, kalau kau tidak mau menjawabnya, ya su—".

"TIDAK! AKU AKAN MENJAWABNYA!" Pemuda itu mendadak bangkit dan nyaris membuat Kiba terjengkang dari kursi kantin—yang mana tak punya sandaran punggung.

Kiba cukup menyesal karena sudah merasa bersalah pada si pirang akibat perubahan aura yang ada. Padahal Naruto sudah melow-melow ala lagu Melly GoSlow! Sebal! Kenapa sih harus teriak-teriak begitu?

Pemuda anjing itu kemudian menarik nafas dan menghembuskannya kembali.

"Jadi…?".

Ganti Naruto yang tarik ulur nafas. "Perasaan ku pada Gaara, tak lebih dari sekedar teman," kata Naruto pelan. Kiba terhenyak.

"Dia memang baik—sangat baik malah. Tapi aku tidak bisa memandangnya lebih dari itu…". Bisa Kiba lihat kalau mata biru itu menyendu.

"Kalau Uchiha-san… aku benar-benar bingung," katanya dengan bibir bergetar. "Sampai sekarang pun aku tidak bisa melupakannya… Aku merindukannya… Aku menginginkannya… Tapi—tapi kau tahu kan Kiba…" Naruto memutus sejenak perkataannya untuk mengambil nafas.

Ia menengadah dan memandang Kiba dengan mata berkaca. "Kalau dia sudah mengakhiri ikatan itu?".

"Dan lagi… aku tak bisa berbuat apa-apa," Naruto melanjutkan.

Sekarang Kiba kembali menyesal sudah bertanya. Dia paling tidak tega—sejak dulu—kalau melihat sahabatnya mengurai air mata.

"Tapi… Gaara, aku melihat kesungguhan di matanya. Aku mencobanya—aku ingin mencobanya (melupakan Uchiha dan hidup bersama Gaara). Tapi nyatanya…". Naruto berhenti sebentar.

"Aku…".

.

.

"Ternyata memang tidak bisa kan?" suara Gaara memecah hening saat mereka berdua berjalan bersisian di trotoar ditemani langit malam.

Naruto masih memeluk laptopnya erat, sambil sesekali buang muka ke jalanan yang tidak ramai. Kini kepalanya menoleh kearah Gaara yang membuka omongan.

"Eh—apanya?". Mereka baru saja selesai mengobrol dengan riang di kedai ramen Ichiraku, hasil traktiran Gaara yang katanya untuk membantunya melepas penat.

"Kita berdua memang tidak bisa, bukan begitu Naruto…?" suara Gaara terdengar getir di telinga si pemuda pirang. Terhenti mereka dekat tiang lampu jalanan.

Naruto memikirkan sejenak maksud perkataan Gaara. "Gaara, kau bicara apa, sih?" tapi Naruto belum menangkap arti dari kalimat pemuda yang jadi kekasihnya itu.

Gaara mengepalkan tangan kuat-kuat, berusaha menahan emosi yang meningkat.

"Kau—tidak bisa kalau bersama ku kan, Naruto?" katanya, dengan suara datar tanpa intonasi yang berlebihan.

Naruto mengerutkan alis. Bingung.

"Aku mendengarnya di kantin seminggu yang lalu. Kau dan Inuzuka itu bicara mengenai aku yang mendadak jadi pacar mu. Aku ada di sana, asal kau tau—sedang memesan makanan, dan kau berteriak dengan lantangnya kalau kita…yah—" Gaara terlihat meringis saat ingin melanjutkan kalimatnya.

Mata Naruto membola. Ia baru saja sadar pembicaraan ini mengarah kemana.

"Ga-Gaara… begini mak-maksud ku…" Naruto tiba-tiba gagu.

Pemuda berambut merah itu mendadak meraih tangan Naruto, membawa lengan tan itu untuk mendekap pinggangnya perlahan. Dengan lengan yang menganggur, Gaara memeluk punggung Naruto.

"Kau tidak perlu menjelaskannya lagi, karena aku sudah mendengar semuanya. Kalau kau—sama sekali tidak bisa dengan ku," pemuda merah itu benar-benar menghabiskan tenaga supaya tak mengeluarkan suara gemetar di depan Naruto.

"A—Ano—Gaara…" Naruto berusaha memanggil. Dilonggarkannya pelukan Gaara dan kemudian dipandangnya mata sang sahabat yang belum lama ini berganti status menjadi kekasih. "Aku minta ma—".

"Sstt…" Gaara dengan mudahnya menyentuh bibir Naruto untuk membuat pemuda pirang itu diam. Pemuda itu sedikit terkejut.

"Jangan minta maaf. Ini sama sekali bukan salah mu," ujar Gaara, masih dengan tangan menempel di punggung Naruto. Beruntunglah trotoar ini sepi, karena kalau tidak—para pejalan kaki akan berasumsi yang macam-macam.

Mendengar itu, Naruto menunduk tak berani menatap mata Gaara.

"Aku yang meminta mu jadi pacar ku secara sepihak. Kalau kau bilang tidak bisa itu wajar-wajar saja," Gaara melanjutkan kalimatnya.

Kemudian dia menghela nafas, "Harusnya kau tolak saja permintaan ku waktu itu, Naruto," suaranya terdengar menyesal.

"Ta-Tapi kan, aku sudah berjanji untuk mengabulkan apapun permintaan mu!" balas Naruto mencari pembenaran.

Gaara mengulas senyum tipis. "Kau benar-benar orang yang baik, Naruto,".

Rasa panas akibat malu langsung menggerogoti pipi si pirang. "Kau berlebihan!".

"Tidak, kau memang begitu,". Gaara kemudian melepas pelukan dan menggenggam kedua tangan Naruto. "Makanya, sebelum kau memutuskan ku, aku akan memutuskan mu lebih dulu," dengan wajah setenang telaga ia berkata.

Mau tak mau pupil Naruto melebar mendengarnya.

"Kita akhiri saja hubungan kita ini ya, Naruto?" kata Gaara.

"Gaara—".

"Naruto, aku akan lebih sakit hati lagi kalau kita melanjutkan hubungan 'pacaran' ini," kata Gaara yang kini memegang bahu Naruto.

Pemuda pirang itu tampak syok namun lega secara bersamaan. "Apa itu tidak apa-apa?" Naruto bertanya. Gaara menggeleng. "Aku memang menyukai mu, tapi ternyata jadi sahabat mu sudah cukup bagi ku…".

"Aku minta maaf ya…" Gaara kemudian mengelus puncak rambut Naruto. "Harusnya aku yang minta maaf, Gaara! Duh—betapa bodohnya aku. Rupanya Kiba ada benarnya waktu itu," Naruto menyahut sambil merutuki dirinya sendiri. Gaara terkekeh kecil.

"Inuzuka itu bahkan lebih peka dari mu, dasar bodoh," Gaara tak tahan. Naruto mau tak mau ikut tertawa.

Mereka kembali berjalan, menyusuri trotoar ditemani lampu-lampu jalan.

"Naruto, aku mengantar mu sampai sini saja ya?" tepat di pertigaan Gaara bertanya. Naruto mengangguk pelan. "Ini sudah lebih dari cukup. Terima kasih," katanya.

Gaara kemudian mendekat lagi. "Kalau kau benar-benar ingin Uchiha itu kembali—kurasa kau harus menelponnya Naruto," kata Gaara serius. Naruto mengalihkan pandangan. "Aku tidak yakin bisa, Gaara…" balasnya.

"Yah, kalau tidak bisa, kau boleh kembali pada ku. Aku terbuka kapan saja untuk mu," dengan netra yang tenang serta lambaian tangan perpisahan, Gaara kemudian pergi meninggalkan Naruto sendirian di pertigaan.

Sungguh, kau telah menyia-nyiakan dia Naruto, terdengar suara kecil dari dalam kepalanya.

Hei pikiran bodoh. Kau tidak bisa lihat kalau jelas-jelas Naruto sudah jatuh hati pada Uchiha itu? Mana mungkin ia bisa ke pelukan Gaara sekarang? Balas suara hati sengit.

Justru kau yang bodoh. Apalagi harapan mu dengan si brengsek itu? Kau sudah gila ya? Pikiran Naruto menyahut ketus.

Naruto pun mengiyakan pikirannya. Bodohnya aku… batinnya.

Bisa-bisanya Gaara tersenyum sambil memutuskannya. Bukankah Naruto sudah menyakitinya?

Dan bisa-bisanya dia berharap kalau Uchiha itu kembali.

Namun bolehkah aku berharap kalau dia kembali?

Naruto melangkah pelan menuju flat-nya. Ia ingin sekali memeluk kasurnya malam ini. Mungkin juga ia akan mengoceh panjang lebar pada bantal kesayangannya mengenai kejadian hari ini. Ya, ia akan melakukannya karena ia sudah gila.

Dan mungkin ia benar-benar gila. Karena—apa-apaan ini? Mengapa ada sosok Sasuke di depan pintu kamarnya?

Pria itu tengah duduk bersandar di sana, seolah menunggu pemiliknya pulang dari perjalanan yang jauh.

Jangan-jangan Naruto sedang mimpi?

Ditepuknya pipi dengan keras. "Awh!" rintihnya. Ternyata sakit.

Sosok Sasuke menoleh, sadar kalau ada suara di dekatnya. Suara yang ia duga sebagai pemilik kamar itu.

Pria itu segera berdiri, kemudian menghampiri Naruto yang masih mengelus pipinya yang memerah.

"Naruto," panggilnya pelan.

Pemuda pirang itu segera tanggap. Ia melangkah mundur. Takut.

Gila, imajinasinya liar sekali.

"Uchiha—san," balasnya lirih. Tak sampai dua langkah, Naruto memutuskan untuk berhenti mundur.

Tangan Sasuke berusaha untuk menggapai Naruto, namun pemuda itu seolah tidak membiarkannya.

"Ini pasti—hanya mimpi. Ya kan? Aku pasti mimpi!" teriak Naruto heboh.

Berdoa saja para tetangga tak menegurnya esok hari.

Sasuke termenung sejenak. Mimpi? Kemudian ia tersenyum geli. Apanya yang mimpi?

"Uchiha-san tidak mungkin datang kemari. Kau ini siapa? Uchiha palsu!" Naruto benar-benar ngelantur.

Tapi Sasuke sudah terlanjur datang dan bersumpah pada dirinya sendiri.

"Oi, Naruto," kini Sasuke memanggil Naruto dengan suaranya yang biasa. "Kau masih saja bodoh, seperti kita pertama kali bertemu," kata Sasuke lagi.

"E—eh?" Naruto memutuskan untuk mendengarkannya.

"Pembicaraan di telepon, pertemuan di café, menjemput mu di kampus, bertemu dengan Sakura, makan bento bersama, tidur seranjang—".

Pipi Naruto memerah.

"Kencan, main game, beli baju, belanja makanan, memasak berdua,".

Naruto makin tidak bisa menahan gejolak malu di tubuhnya.

"Pergi ke makam ibu ku, ke pernikahan Itachi, pegangan tangan, bahkan berciuman…".

Naruto benar-benar ingin menangis!

"Kau pikir Sasuke palsu bisa menjabarkan semua itu?" ia bertanya dengan nada tenang. Sasuke kemudian menghampiri Naruto yang masih setia memeluk laptop.

Apa aku percaya?

"Ini bukanlah mimpi. Ini adalah kenyataan,". Sambil mengeluarkan kalimat itu, Sasuke tersenyum. Dari hatinya, untuk pujaan hatinya.

Ini sungguhan?

Naruto takjub. Baru pertama kalinya—ini adalah pertama kalinya ia melihat senyum seorang Sasuke Uchiha.

Lupakan saja kalau ia pernah sakit hati karena ulah pria itu. Kalaupun Uchiha itu berniat untuk mempermainkannya lagi, ia hanya perlu membalasnya.

Untuk sekarang, ia menyerah. Ia kalah. Ia jatuh.

Dan ia percaya.

"Sasuke…" panggil Naruto pasrah. Ia putus asa. Ia benar-benar menginginkan Sasuke, begitu ingin sehingga ia membiarkan dirinya tenggelam dalam dekapan Sasuke.

Lengan pria itu merangkul leher juga pinggulnya, lalu meletakkan kepala pirangnya di dadanya. Ia juga ingin Naruto. Sangat ingin sehingga melepaskannya sedetik saja rasanya tak mampu.

Ah, aroma ini. Sasuke ternyata rindu.

Naruto tidak kuat untuk menahan air mata. Bukan lagi kesedihan yang mengalir, melainkan kebahagiaan yang meluap-luap.

"Hei Naruto…" tegur Sasuke sambil mengelus rambut Naruto pelan.

"Awal kita bertemu memang konyol," katanya.

Naruto pun mau tak mau tersenyum, bahkan sekarang ia tertawa kecil. "Kau benar…".

"Pacar sewaan? Yang menciptakan web itu pasti sudah tidak waras," sahut Sasuke. Naruto mengangguk mengiyakan.

"Hubungan kita main-main dan berlandaskan uang serta nafsu semata,".

Benar. Sasuke benar sekali. Ia mau Sasuke karena uangnya. Tapi itu dulu, sebelum ia jatuh ke perangkap cinta yang ia buat bersama pria berambut gelap itu.

"Bagaimana kalau sekarang kita pacaran sungguhan?" tanya Sasuke dengan nada bercanda.

Naruto tertawa. "Kita harus ulang dari awal lagi?" balasnya geli.

Sasuke kembali mendekap Naruto. "Melanjutkan juga bukan masalah,".

"Aku sih… tidak keberatan," Naruto menjawab dengan senyuman.


Angin sejuk bertiup.

Awan bergerak pelan.

Matahari yang bersinar.

Guguran daun yang terbang.

Cuaca hari ini sungguh indah.

"Naruto!" seorang pemuda berambut coklat menyapa kawannya yang tengah duduk di bangku taman.

Naruto menoleh lalu menyahut, "Yo, Kiba! Lama tidak jumpa!".

Kiba pun menghampiri Naruto, kemudian duduk disebelahnya. "Bagaimana sidang mu?" tanyanya.

"Sidangnya?". Kiba memperhatikan raut Naruto yang datar. Heh—jangan bilang kalau…

"Aku lulus tanpa syarat!" jawab Naruto sambil menunjukkan surat keterangan kalau ia lulus dan akan wisuda sebentar lagi.

Kiba menghela nafas, lalu tertawa kesal. "Hah, sia-sia aku khawatir pada mu! Dasar menyebalkan!" Kiba mengacak-acak rambut Naruto kasar. Biar saja!

"Kiba sendiri bagaimana?" tanya Naruto balik. Kiba diam sejenak. "Aku belum berniat meninggalkan kampus," katanya.

Naruto bingung. "Hah? Apa-apaan itu? Cepatlah lulus lalu kita cari kerja bersama!".

Kiba melirik Naruto jahil. "Untuk mengisi kantong kita yang kering? Jadi pacar sewaan lagi bagaimana, hm?" goda Kiba.

Pemuda bertato itu langsung kena tampar. "Aku tidak mau melakukannya lagi!".

"Duh…" Kiba masih mengelus-ngelus pipinya yang nyut-nyutan. "Oh iya, aku lupa. Kau kan sudah dikontrak selamanya oleh Uchiha itu ya…" balas Kiba santai.

Pipi Naruto bersemu. "U-uh kau diam saja, Kiba!".

Inuzuka itu tertawa melihat sikap sahabatnya yang mendadak malu-malu. "Kau lucu sekali," Kiba masih tertawa, kali ini sambil pegang-pegang perut yang mulai kesakitan.

Naruto masih merengut kesal karena ulah sahabatnya ini. Tapi ia tidak marah.

Ia bahagia. Sahabatnya ada di sisinya. Gaara memaafkannya. Ia lulus dari kuliahnya.

Dan,

"Naruto,".

Pria ini miliknya!

"Oh—Sasuke," sahut Naruto. Ia berdiri lalu berjalan kearah Sasuke.

"Bagaimana?" tanya pria itu. Naruto tak dapat menahan senyumnya. "Lulus!" sambil memamerkan kertas tanda kalau ia berhasil melewati sidang dengan lancar.

Sasuke pun tersenyum tipis. "Baguslah. Selamat ya, Naruto," katanya.

Kiba yang terlupakan sejenak akhirnya bangkit. "Naruto, aku akan pergi,". Naruto menoleh, "Eh—mau kemana?".

Pemuda coklat itu kemudian berbalik. "Kau ingin aku cepat lulus kan? Biarkan aku bergaul sedikit dengan buku-buku itu. Oke?" ucap Kiba sambil memberikan kedipan sebelah mata.

Naruto tersanjung dengan perkataan kawan dekatnya itu. Ia pun menghadiahkan dua jempol untuk Kiba.

"Ayo pulang, Naruto," ujar Sasuke kemudian. Dengan riang, Naruto menyahut dan mengikuti langkah Sasuke yang berjalan kearah mobilnya yang terparkir.

"Hei, yang tadi itu siapa?" tanya Sasuke sambil memasang sabuk pengaman. "Hah? Memangnya aku belum pernah cerita ya? Dia itu Inuzuka Kiba! Kawan ku sejak dulu sekali," jawab Naruto dengan nada dilebih-lebihkan.

"Dia yang menyarankan ku untuk mencoba menjadi pacar sewaan," lanjut Naruto sambil tersipu. Sasuke meliriknya sejenak sebelum menyalakan mobil. "Begitukah?".

Naruto mengangguk, lalu Sasuke menyalakan mobil. "Sepertinya aku harus berterima kasih padanya suatu hari," kata Sasuke. Naruto pikir juga ada benarnya. Karena saran Kiba ia mencoba, dan karena mencobanya, ia bertemu dengan Sasuke.

Pria itu membenarkan letak spion lalu menarik tuas mundur. Ia menekan pedal gas dan minggat dari kampus.

Tapi eh tapi, selang beberapa meter dari gerbang, Sasuke menepi dan berhenti.

"Lho, Sasuke?". Bingung melanda si pemuda.

Naruto malah dilempar sesuatu. Untung saja ia sigap menangkapnya.

"Apa—ini?". Kubus. Hitam. Kecil.

"Buat mu. Kau harus memakainya," kata Sasuke tegas.

Naruto membukanya.

Berkilau, mungil, dan melingkar.

"I-I-Ini…ci-cincin?" ia tidak percaya akan memakai benda itu secepat ini! (Tapi ia lebih tidak percaya kalau ia mendapatkannya dari seorang pria).

"Hanya memastikan kalau kau tidak akan kemana-mana," jawab Sasuke ringan. "Memangnya kau pikir aku akan pergi kemana, bodoh!" Naruto kesal.

Hei-hei-hei! Apa ia sedang dilamar di sini?

"Sama sekali tidak romantis!" akhirnya, kalimat yang harusnya ia ucapkan dulu itu terucap juga. "Maaf saja, tapi aku tidak akan berlutut pada mu. Kau kan bisa memakainya sendiri," balas Sasuke sengit.

Naruto baru saja ingin protes, tapi Sasuke membuka mulut lebih cepat dari dugaannya.

"Menikahlah dengan ku Naruto," Sasuke Uchiha, dengan ini memberi perintah pada Naruto Uzumaki untuk menjadi pasangan hidupnya selamanya.

Naruto masih loading. Belum bisa menjawab apa-apa.

Menikah! Menikah! Selamat ya Naruto! Hati kecilnya berteriak kegirangan. Ia sudah melempar segala jenis kembang kesana kemari saking girangnya.

Hei, bangun bodoh. Mau sampai kapan kau melamun? Kau ini—saking bahagianya jadi bodoh ya? Kepalanya ikut komentar.

"HAAAH?! KAU SERIUS?" Naruto yang baru nyambung tidak tahan untuk berteriak.

Sasuke membuang nafas lalu melajukan mobilnya kembali.

"Kalau kau tidak mau, aku akan memaksa orang tua mu agar menjadikan mu milik ku,".

"Kau pikir aku ini barang?! Dan kau! Seperti kau tahu saja dimana orang tua ku tinggal!" Naruto membalas galak.

"Aku tinggal bertanya pada mu,". "Seperti aku mau jawab saja!" jawab Naruto ketus.

"Aku akan memaksa mu,".

"Coba saja!".

Mobil itu tiba-tiba berhenti lagi.

"Kau ini—benar-benar menguras kesabaran ku ya…" Sasuke berucap dengan nada rendah. Auranya menggelap. Tangan Sasuke kemudian mendarat di pipi Naruto—dengan sangat cepat. Dan kemudian mengelusnya lembut.

Lalu…

"A-AAAAUUWW!" Sasuke tanpa belas kasihan mencubit pipi Naruto dengan gemas. Bayangkan saja kalau kau memelintir kawat. Ya, mirip-mirip lah.

"SASUKE! LEPAS! SAKIT! SAKIT TEME!" Teriak Naruto kesakitan. Gila, pipinya bisa sobek kalau begini!

Tapi Sasuke malah menjadi-jadi. Pipi kanan dicubit, pipi kiri ditarik.

Naruto tak bisa lagi bicara. "Kau sudah mau mengatakannya?".

Bagaimana cara ku mengatakannya kalau pipi ku dibeginikan dasar sial! Naruto hanya bisa mengumpat.

Pemuda pirang itu hanya bisa mengaduh-ngaduh. Sasuke lama-lama jadi kasihan.

Akhirnya ia melepasnya. "IH! SAKIT TAU!" Naruto mengusap-usap pipinya yang merah sekali. Benar-benar merah nyaris menyaingi bunga mawar di kebun sana.

Dan itulah salah satu hal yang Sasuke suka dari Naruto.

"Sakit ya?" goda Sasuke. Kampret ini masih berani tanya?! Batin Naruto geram.

Pria itu kemudian menaruh kedua telapaknya di atas telapak tangan Naruto.

"Maafkan aku,". Dan,

CUP. Sasuke memberikan kecupan di bibirnya. Begitu hangat dan tulus—itulah yang Naruto rasakan.

"Kau curang," Naruto menyuarakan protes.

"Menyebalkan! Aku jadi harus memaafkan mu!" pemuda pirang itu makin malu.

Sasuke terkekeh—ia menang.

"Jadi dimana rumah orang tua mu?" Sasuke kembali ke topik. "Di Suna,".

"Kau berasal dari sana?".

"Begitulah. Aku ini anak rantau, kau tahu?" jelas Naruto kemudian.

Sasuke berpikir sejenak sambil kembali melajukan mobil. Tak sampai semenit, ia pun mengambil jalan yang Naruto rasa janggal.

"Sasuke, kita mau kemana?" tolong jangan buat Naruto berpikir kalau ini dugaan penculikan (lagi). Please, walau dia milik Sasuke—tidak seperti ini juga dong!

"Ke bandara," jawab Sasuke singkat. Naruto menekukkan alis. "Untuk apa?" ia bingung setengah mampus. Sasuke mau cuci mata lihat-lihat pramugari yang baru mendarat? Cih, apa dia yang seperti ini masih kurang? (Eeeh…).

"Tentu saja ke Suna,".

Naruto tidak tahu harus pasang ekspresi apa. Sepertinya Naruto sedikit paham. "Setidaknya biarkan aku membawa beberapa baju! Aku juga belum menelpon orang tua ku!" menyerah dengan kelakuan pria di sampingnya.

"Tidak perlu. Itu kan rumah mu. Untuk apa membawa baju?" sambung Sasuke santai.

"Lalu kau bagaimana?" Naruto balik bertanya. "Tinggal beli saja,".

Dasar Direktur Sombong!

Naruto memilih pasang ekspresi 'diem aja dah gua' sepanjang perjalanan. Tapi diamnya Naruto tidak bertahan lama ketika Sasuke kembali berkoar.

Hei, kenapa Sasuke bacot sekali akhir-akhir ini? Penulis sendiri juga tak paham, saudara sekalian.

"Naruto…" panggil Sasuke.

"Hm?" Naruto rupanya fotokopi gaya pria disampingnya.

"Kau belum bilang kalau kau mencintai ku. Apa kau mencintai ku?". Pertanyaan sederhana Sasuke benar-benar terdengar rumit bagi Naruto.

"Ke-Kenapa tiba-tiba tanya?!" Naruto mendadak malu.

"Aku ingin tahu,".

"Ka-Kau sendiri?!".

"Aku mengajak mu menikah. Mana mungkin aku tidak mencintai mu?" pernyataan (atau pertanyaan?) Sasuke benar-benar membuat Naruto terlalu bahagia.

"Aku mencintai mu, Naruto," kali ini, Sasuke memelankan mobilnya supaya ia bisa melirik Naruto barang sedetik. Dan Naruto beruntung, bisa melihat netra hitam milik pria yang sudah membuat hidupnya porak-poranda hanya dalam waktu kurang dari satu tahun.

"Ng—a—aku…" Naruto gugup. Ia tahu ia suka. Ia sayang. Ia cinta. Ia sudah menyerah pada hatinya. Ia telah memilih Sasuke Uchiha.

Apa-apaan ini kalau menyatakan perasaan saja tidak bisa, dasar Naruto-baka!

"Hmm?" Sasuke menunggu-nunggu apa yang akan Naruto katakan.

Ditatapnya Naruto, sesekali melihat kearah jalanan yang tidak begitu ramai. Sasuke meminggirkan kendaraannya ke kiri, tanda kalau ia ingin melambat.

Bibir Naruto merengut. "Uuh—iya—iya! Aku—aku mencintai mu!" sehabis melakukannya, Naruto langsung buang muka ke jendela. Ia ingin pemandangan di luar sana menelan rasa malunya.

"Kok seperti terpaksa ya?" balasan Sasuke terdengar menyebalkan.

"Apa kata mu?" Naruto berbalik lagi. Sasuke masih diam sambil memandang jalan.

Naruto menghela nafas. Kemudian ia berpikir—mengenai sesuatu.

CUP.

Satu kecupan ringan di pipi pucat sang Uchiha (yang sekarang ganti warna jadi merah muda).

"Dengan begini, a-apa kau puas?". Pemuda pirang itu benar-benar tidak sanggup menatap Sasuke sekarang.

Dewa tolong tenggelamkan saja aku! Naruto rasanya ingin menangos. Eh salah, mengangis maksudnya.

"Hm… tidak,". Sasuke menjawabnya dengan tegas.

Naruto meliriknya tidak percaya. "Ha—ah?".

Masih dalam perjalanan ke bandara, Sasuke kemudian mengalihkan mobilnya ke jalur cepat. "Kita lanjutkan di Suna ya, Naruto," Sasuke berkata dengan nada santai luar biasa. Tapi jauh dalam dirinya—ia tak mampu menahan semuanya. (Ingin rasanya cepat-cepat terbang ke Suna lalu melanjutkan kegiatan yang tertunda).

Tapi, Naruto tidak bisa. Naruto tidak bisa!

Pemuda pirang itu hanya bisa merengut malu sambil memunggungi sang pria yang tengah mengemudi. Dengan rona merah hingga telinga, Naruto hanya bisa merapal doa.

Ya Dewa, semoga aku akan baik-baik saja!


Tamat~


Akhirnya selesai juga, minna! Akhirnya selesaiii~ Ao sangat bahagia *nangis*

Haah, Ao lega sekali dan puas dengan endingnya. Bagaimana dengan kalian?

Komen-komen di review yaa! Ao selalu nunggu lhoo! Terimakasih atas dukungannya. Nggak kerasa, Ao bikin ini hampir setahun! (lama banget -_-)

Selamat tahun baru 2017! (telat woy telat) Oke, jangan lupa review! (cot banget si)

Nantikan cerita selanjutnya yaa. Oh ya, boleh kok usul/tanya-tanya. PM or review it's okay!

Sankyuu

AkaiLoveAoi