Semenjak makan malam itu Kim Jongin semakin sering datang ke restoran dengan tema makan-siang-seperti-biasa, dia tidak pernah melewatkan memanggil Sehun dengan judul ingin-memuji-si-chef-yang-luar-biasa. Kali ini Sehun tidak lagi menolaknya, ia dengan patuh memenuhi setiap panggilannya dan menemaninya makan siang selama dua puluh menit—Sehun memberi syarat bahwa ia hanya bisa selama itu sebab ia harus kembali beroperasi di dapur—.

Tiga hari bertahan hanya dengan percakapan dua puluh menit, esoknya Kim Jongin datang dua kali di waktu makan siang dan pada waktu restoran tutup. Sehun dengan wajah terkejutnya di ambang pintu, karena tidak terbiasa melihatnya dua kali dalam sehari hanya bisa pasrah ketika CEO itu memaksa mengantarnya pulang. Sejak itu ia menjadi terbiasa pulang bersama Jongin. Dan terbiasa menerima ciumannya juga.

Itu adalah hari ke 46 semenjak Sehun memutuskan untuk membiarkan hal-hal yang terjadi padanya dengan Jongin. Makan siang-antar-dan ciuman. Selama itu pula Jongdae tidak berhenti menggodanya di ruang ganti maupun di dapur.

"Heeey what's up, baby?" Jongdae menjeblak terbuka pintu ruang ganti sambil tersenyum idiot. "Malam yang indah bukan?"

Sehun memandang Jongdae seolah ada seekor kecoa di hidungnya. "Kau sudah gila?"

Jongdae tidak mengindahkan sindiran Sehun, ia menyandar ke mulut pintu masih dengan senyum yang sama. "Tebak apa? Aku melihat hal yang sama setiap hari tapi aku masih juga belum terbiasa. Kenapa ya?"

Sehun mengganti seragam kerjanya dengan kemeja biasa dan celana jeans biru. "Tidak tahu."

Jongdae menggelengkan kepala secara dramatis dengan jari telunjuk teracung di depan wajahnya. "Tidak, kau tahu kenapa. Mungkin kalau kau mengakui hubunganmu dengan CEO hot itu aku akan jadi terbiasa dan tenang di alamku."

"Kau akhirnya jadi gila." Sahut Sehun.

"Ayolaaaah. Toh kau hanya tinggal mengaku padaku, apa susahnya?" Jongdae menghampirinya dan berdiri di samping loker Sehun. "Lagipula kita berteman dekat jadi bukan masalah."

Sehun menutup pintu lokernya. "Baiklah. Aku mengaku. Bahwa aku tidak punya hubungan apa-apa dengannya. Puas, Jongdae?"

"Aishh... hubungan kalian pasti lebih dari itu ya kan? Wajah CEO itu menunjukkan segalanya!"

"Aku bisa pastikan Jongdae, kalau kami tidak seperti yang kau pikirkan."

Jongdae tidak mendengarkan. "Kau pembohong yang beruntung."

"Dan kau pengkhayal yang tidak mendengarkan."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.


Everytime

(Every Single Time to Think of You)

Based on EXO Chen ft. Punch – Everytime lirick

Pairing; KaiHun

Lenght; Threeshot

Genre; Romance yang bikin muntah, hehe. Muntah pelangi maksudnya.

Rating; Biasa aja. Sehat untuk umur 11 ke atas.

© Orikarunori 2016

.

.

.

Keping 2:

Don't leave me.


.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Sehun."

Sehun melihat Jongin mendekatinya. Ia melemparkan tatapan menyesal karena membuat CEO itu menunggu. "Maafkan aku. Pembantu dapur kami harus pulang lebih awal karena anaknya sedang sakit. Aku tidak bisa meninggalkan bahan-bahan dapur begitu saja, aku akan segera menyelesaikannya."

"Tidak apa-apa. Ambil waktu yang kau perlukan."

Sehun melemparkan senyum menyesalnya sekali lagi dan kembali berkutat pada bahan-bahan yang harus siap pada makan siang besok.

Jongin memperhatikan dengan tenang, menyandar pada tempat dimana biasanya Sehun berdiri dan mengumumkan menu yang harus dikerjakan. Melihat wajah serius Sehun saat mengerjakan pekerjaannya membuat sudut bibir Jongin terangkat dan dadanya menjadi hangat. Sehun selalu bisa membuatnya merasa tidak menentu kadang-kadang.

.

..

...

Geudae nareul barabol ttae nareul bomyeo miso jil ttae

Nan simjangi meomchul geot gatayo nan

Geudaen eotteongayo nan jeongmal gamdanghagi himdeungeol

Onjongil geudae saenggakhae

...

..

.

Jongin tidak bisa hanya menyaksikan dengan tenang lagi. Dia menghampiri Sehun dengan langkah lebar, meraih lehernya dan menekan bibirnya. Dia bisa merasakan Sehun terkesiap, tapi tidak melakukan apa-apa untuk menolaknya.

Jongin melepaskan Sehun dengan sedikit rasa kecewa. Dia tahu Sehun belum bisa menerimanya walau dengan semua yang dia lakukan selama ini. Tapi mungkin dia bisa mengubah perasaan Sehun dengan...

Jongin meremas jemari Sehun selagi menatapnya dengan pandangan memohon. "Sehun, bisakah kita... aku mohon, Sehun..."

Raut wajah Sehun melembut melihat kekacauan yang ada pada diri Jongin. Atau mungkin pada hati CEO itu. "Aku..."

"Kau bahkan tidak pernah memanggil dengan namaku, sekalipun..."

Melihat Jongin yang biasanya angkuh dan suka memerintah, menjadi seperti ini membuatnya tidak enak hati. Dia memperlihatkan kelemahannya hanya padanya. Ia tidak bisa menerima sebanyak itu. Tapi ia juga tidak bisa hanya mengabaikannya. "Kita bisa berjalan dengan perlahan-lahan..." ia harus mengumpulkan keberanian karena ini. "...Jongin."

Jongin berdiri dihadapannya, mematung. Panas di wajah Sehun tidak bisa ia hindari saat ia melepaskan tangannya dari genggaman Jongin dan perlahan-lahan naik menjalar melewati dada pria itu, berhenti tepat di antara leher dan pipinya. Mereka saling bertatapan untuk beberapa menit karena Jongin terlalu bingung dengan apa yang Sehun lakukan pada bibirnya setelah itu.

Sehun menciumnya dengan pelan dan amatir. Seharusnya Jongin tidak membutuhkan hal-hal yang amatir dan langsung menyingkirkannya. Tapi ini Sehun. Ini Sehun yang menutup mata dan bergerak diatas bibirnya. Ini Sehun yang menciumnya. Dia merasa jantungnya membelah terbuka sehingga confetti keluar dari dalamnya. Intinya dia tidak lagi bisa merasakan debaran menggila yang selalu dia rasakan saat bersama Sehun karena debarannya kini meningkat sepuluh kali lipat dan jantungnya menjadi rusak. Dia tidak peduli.

Sehun tidak siap manakala Jongin merengkuhnya erat dan mencium secara membabi buta. Tapi dengan sabar ia mengikuti manuver Jongin dan membalas sebisanya walaupun tidak ada kesempatan baginya karena Jongin terlalu mendominasi. Sehun mengelus kepala Jongin diantara rambutnya memberitahu dia agar lebih lembut. Bibir Jongin bergerak menjadi lebih lembut, bergerak lebih pelan, dan akhirnya melepaskannya. Sehun tersenyum karena ia tahu Jongin tidak ingin melepaskannya.

"Kau harus bisa menjadi peduli pada orang lain juga, Jongin."

"Well, aku bisa menciummu selamanya." Kilat di matanya menandakan betapa bahagia dia karena apa yang terjadi barusan tetapi itu segera luntur setelah melihat ke sekeliling Sehun. Tatapannya berubah menyesal.

"Ada apa?" Sehun bertanya khawatir. Apa ia melakukan kesalahan?

Jongin menyentuh lengannya dan membantunya berdiri dengan tegak. Ia melihat ke sekeliling dan bahan-bahan yang sedang dikerjakannya beberapa saat lalu berserakan di lantai. Bahkan beberapa terinjak sepatu Jongin. Dan ia baru tersadar bahwa ia tadinya bersandar diatas meja, dengan beberapa kancing kemeja yang terbuka.

"Maafkan aku, Sehun. Aku tahu aku telah melakukan kesalahan. Kau bilang ingin berjalan dengan perlahan tapi aku," Jongin membuang nafasnya kasar. "Aku hanya tidak bisa menahannya. Aku tidak bisa memberitahu diriku untuk berhenti."

Penyesalan benar-benar terbentuk di wajah Jongin. Sehun mendekat dan memeluknya. "Aku memberitahumu untuk berjalan dengan perlahan, itu artinya setelah ini. Aku yang lebih dulu menciummu jadi katakan saja ini ulahku."

Jongin bernafas dengan lega. Lengannya memeluk Sehun seakan dia tidak akan pernah melepaskannya lagi. "Kau akan bahagia bersamaku, Sehun."

.

..

...

Jogeum meolli uri dorawattjiman

Jigeumirado nan gwaenchanha

...

..

.

Ada yang berubah dari Jongin. Dia tidak pernah menahan diri lagi dihadapannya. Dulu ketika ia mendapati Jongin memandang ke arahnya saat makan siang dia pasti akan menyembunyikannya dengan bersikap angkuh dan bossy, sekarang ketika ia menyadari tatapannya dan menoleh, dia tersenyum lebar, seolah dia menunggunya untuk menoleh. Kadang-kadang ia akan melamun tanpa ia sendiri sadari ditengah-tengah perjalanan Jongin mengantarnya pulang, dan berakhir menemukan Jongin memandang ke arahnya dengan siku menyandar pada setir dan tangan yang menyanggah dagu, tersenyum kepadanya.

"Kita sudah sampai." Jongin tersenyum geli melihat Sehun tergagap saat melihat ke sekeliling.

"Benarkah? Maaf, aku melamu—" Sehun berhenti saat memfokuskan matanya melihat ke rumah besar dengan dua tiang raksasa yang menyanggah dibagian depan. Ia mengernyit saat ia tidak mengenali rumah itu. "Tunggu, dimana ini?"

"Rumahku."

"Kenapa aku berada di depan rumahmu bukannya di depan gedung apartemenku?"

"Tinggallah di rumahku hanya semalam."

"Tinggal berarti tinggal, atau tinggal berarti tidur?"

"Keduanya. Tinggal dan tidurlah di rumahku, malam ini saja." Jongin memohon.

"Tinggal dan tidur dalam arti yang sebenarnya. Baiklah."

Sehun tidak memiliki pilihan lain selain mengabulkan permintaan Jongin. Karena entah mulai sejak kapan, menuruti apa pun yang diminta Jongin dan melihatnya merasa senang, membuatnya senang juga. Padahal salah satu yang tidak disukainya dari Jongin adalah sikap bossy yang dimilikinya dan keharusan menuruti perintahnya. Dasar CEO brengsek.

Setelah pintu rumah Jongin terbuka, ia segera diserang oleh pemandangan serba elit nan mewah yang berkilau. Rumah Jongin tipikal besar, dan luas, dan tinggi, dan oh... apapun! Sangat mengagumkan!

"Jongin, ini..." Sehun bergumam dengan masih menulusuri dengan kagum keindahan dari rumah Jongin. Sehun seakan tidak pernah ingin keluar dari rumah ini. Sehun menggeleng. Mengembalikan pikirannya pada tempatnya. Bagaimanapun, dirinya tetap harus keluar dari rumah ini besok pagi. Itu tadi bukan dirinya yang mengatakan hal-hal konyol.

Jongin memandang Sehun dengan geli yang tengah terpesona pada rumahnya. Dia sudah lama merancang rumah ini agar suatu saat nanti dapat dia tunjukkan pada seseorang yang istimewa baginya. Dan suatu saat itu adalah hari ini.

Jongin merangkul bahu Sehun yang tampak tidak ingin lepas dari perasaan kagumnya. Dia menciumnya di pipi agar mendapat perhatian. "Aku tahu ini sangat indah, kenapa kau tidak masuk dan melihat lebih dekat dan memuaskan rasa kagummu?"

Sehun menoleh sehingga jarak diantara mereka nyaris tidak ada. "Bolehkah aku melihat dapurmu?"

"Tentu saja."

Sehun kelihatan senang dengan jawabannya sehingga dengan cepat melepaskan diri dari rangkulan Jongin tanpa menyadari efek apa yang baru saja ditimbulkannya terhadap Jongin. Ia bahkan tidak mengetahui apa-apa ketika Jongin tiba-tiba menariknya kembali ke dalam pelukannya dan menekan bibir mereka. Sehun menjalankan jari-jarinya pada punggung Jongin selagi menerima manuver dari ciuman Jongin.

"Jangan melakukan ini lagi. Ingat? Kita sedang berjalan perlahan-lahan." Sehun mengingatkan. Kedua tangannya menangkup sisi wajah Jongin yang belum kembali dari efek berciuman dengan Sehun. Mata yang berkilat menunjukkan bahwa itu adalah pertanda bagi Sehun untuk segera menjauh dari Jongin. Jika rencana berjalan perlahan mereka masih ingin dilanjutkan.

Sehun meninggalkan Jongin menuju dapur di bagian belakang rumah itu. Ia sedikit tersesat saat menelusuri rumah itu namun masih dapat menemukan jalan yang tepat untuk kembali. Seperti yang diharapkan dapur Jongin sangat sempurna bagi seorang koki seperti Sehun. Koki mana pun pasti akan melakukan apa saja demi mendapatkan dapur seperti ini di rumah atau di tempat kerja mereka.

"Aku menyiapkanmu pakaian. Mandilah." Jongin berbisik di telinganya sementara tangannya menjalar ke pinggang Sehun.

Sehun menoleh, menempatkan ciuman pada pipi Jongin. "Lalu kau?"

"Setelahmu."

Sehun mengangguk. "Biarkan aku memasak makan malam, ya? Jongin, ya?"

Tingkahnya yang memohon itu membuat Jongin berada dalam kesulitan. Semua salah Sehun. Dia tidak ingin menahan perasaannya lagi.

"Biarkan aku menciummu sesukaku kalau begitu." Tapi tetap, Jongin perlu meminta izin lebih dulu. Dia tidak ingin membuat Sehun lari darinya.

"Jongin?"

"Aku akan membiarkanmu melakukan apa saja padaku dan rumahku, dan begitu pula sebaliknya aku bebas melakukan apa saja padamu."

"'Apa saja' apa?" raut wajah Sehun seketika berubah. Nada bicaranya pun terasa tertekan.

Melihat itu Jongin segera mengubah kalimat yang sudah akan dikeluarkannya jika saja dia berani melihat Sehun menjauhinya kembali. "Apa saja itu berarti kau melakukan apa pun yang kau mau dengan izinku dan aku melakukan apa pun yang aku mau dengan izinmu. Kita perlu membuat kesepakatan."

Untung saja dia cerdas dalam membual.

Jongin melihat raut wajah Sehun berangsur-angsur kembali normal dan dia bisa bernafas lega karena itu. Mulut brengseknya kadang-kadang harus dihajar.

"Oh. Ya. Aku setuju."

.

.

.

Sehun mandi di dalam kamar mandi yang berada dalam kamar Jongin. Ia sudah meminta untuk mandi di kamar mandi tamu saja tapi Jongin memaksa harus di dalam kamar CEO itu. Jongin bilang kamar mandi tamu ya untuk tamu. Sedangkan Sehun bukanlah tamu di rumahnya. Ia sedikit merasa senang hanya karena ucapan kecil Jongin itu.

Ia membuat karee untuk mereka berdua dan menatanya di meja sementara ia duduk menunggu Jongin selesai mandi di sofa, menyalakan tv. Setelah menghabiskan beberapa menit dengan mengganti-ganti chanel dan memutuskan berhenti di acara star king, ia mengambil ponselnya, mengecek apakah Jongdae mencarinya saat ini.

Dan ternyata benar.

From: Kim Jongdae

Mon 21-03-2016, 08:43 PM

Kau brengsek. Apa kau ingin melihatku mati karena mencemaskanmu? Setidaknya kabari aku kalau kau baik-baik saja! Dimana kau? Di tempat CEO? Aku menunggu cerita lengkapmu besok pagi di dapur dan aku masih menuntut pengakuan darimu, kau tahu? Sehun, kau bajingan kurus yang beruntung! Selamat.

"Apa sih yang dia pikirkan?" Sehun bergumam selagi menekan opsi untuk menghapus pesan tersebut. Tetapi ponsel itu segera direbut darinya.

"Dari siapa?" Jongin duduk disebelahnya, menggunakan kaus hitam biasa dengan handuk kecil menggantung di lehernya. Wajahnya menghadap ke arah layar ponsel Sehun dengan rasa ingin tahu.

"Bukan siapa-siapa, kemarikan!" Sehun berusaha merebut kembali ponselnya tetapi Jongin menghalangi.

"Kim Jongdae, siapa dia?"

Sehun berhenti berusaha dan duduk menyandar pada sofa dengan bantal di pangkuan. "Dia satu-satunya koki yang selalu kau suruh untuk memanggilku menemuimu."

"Oh dia." Jongin mengangguk dan terlihat menekan-nekan layar ponsel Sehun pada sesuatu. "Apa ini? Kau cuma punya tiga kontak di ponselmu?"

"Kau melihat-lihat isi ponselku?"

"Apartemen, Bos, Kim Jongdae... bahkan kau tidak menyimpan nomorku."

"Aku tidak punya nomormu."

"Well, sekarang kau punya."

"Apa yang kau lakukan?" ia melihat Jongin tersenyum setelah mengetik sesuatu pada ponselnya. Dia lalu menghadapkan layar ponsel pada Sehun. Disana ada nomor kontak dengan nama 'Sayangku'. Sehun melotot. "Apa yang kau lakukan?!"

Jongin kembali menjauhkan ponselnya dari Sehun ketika ia mencoba merebutnya. "Ini tentang kesepakatan yang aku katakan itu. Jadi mari kita lakukan sekarang."

"Oke, apa itu?"

"Pertama, menyimpan nomor menggunakan panggilan khusus pada ponsel masing-masing. Dan terapkan pada panggilan cepat nomor satu. Dalam hal ini, kau sudah lulus pada kesepakatan pertama. Jangan mengganti nama kontakku, Sehun."

"Apa? Aku tidak bisa menyimpan nomormu dengan nama itu!"

"Ini kesepakatan pertama, Sehun."

"Kesepakatan tidak harus semua darimu, aku juga perlu menyetujuinya!" protes Sehun.

"Baik. Apa keluhanmu?"

"Ganti nama kontakmu dengan hanya namamu, itu saja dan aku setuju."

Jongin menggeleng. "Kubilang panggilan khusus."

"Kalau begitu cukup dengan 'Jongin' saja."

"Bagaimana dengan 'Love'?"

"Jongin saja, oke?"

"Atau 'Hot CEO', aku suka itu."

"Jongin lebih baik."

"Atau kita berdua bisa menggunakan 'Mine'."

"Jangan menyimpan nomor masing-masing kalau begitu." Sehun menyilangkan tangan di depan dada, mata menyipit ke arah Jongin.

"Baiklah. Jongin. Ya itu juga khusus." Kata Jongin dengan nada robot.

Walaupun sebenarnya tidak ada niatan Jongin untuk membuat kesepakatan konyol ini mengingat mulutnya hampir saja mengacaukan semuanya, dia tidak punya ide lain selain meneruskan membuat kesepakatan. Demi agar Sehun percaya padanya.

Kesepakatan lainnya adalah bebas saling mengunjungi rumah/apartemen atau tempat kerja masing-masing. Mereka sempat berdebat karena ide mengunjungi apartemen Sehun itu tidak dapat diterima oleh Sehun, lalu Jongin yang menerapkan kewajiban Sehun yang harus mengunjungi kantornya di akhir minggu ini. Hasil perdebatan itu berakhir dengan sebuah kata 'Ya' terpaksa dari Sehun.

Bebas mengeluarkan atau menunjukkan perasaan masing-masing termasuk dalam kesepakatan. Dalam hal ini maksud Jongin adalah perasaan cemburu. Dia adalah pribadi yang cemburuan dan Sehun lebih baik tidak membuatnya merasakan perasaan tersebut.

"Juga, aku selalu ingin menciummu. Biarkan aku saat aku ingin."

"Kapan itu saat kau ingin?"

"Mungkin setiap hari. Atau bisa juga tiga sampai lima kali sehari."

Bayangan mengenai Jongin yang menciumnya sampai lima kali setiap harinya membuat sesuatu di lehernya meremang. "Aku membiarkanmu jika itu tiga kali seminggu."

"Tujuh kali."

"Empat."

"Delapan."

"Baik. Tujuh. Deal." Sehun menghela nafas. Ia tidak percaya ia membahas hal-hal seperti itu dengan Jongin. "Hentikan dulu tentang kesepakatan ini. Aku lapar."

Jongin melempar ponsel Sehun ke belakang di sudut sofa sementara dia melompat dan menghentikan Sehun dari meraih karee di meja. Punggungnya kembali disandarkan pada sofa dengan tangan yang digenggam Jongin. Jongin di hadapannya, mengurung Sehun terhimpit di sofa, wajahnya berada dekat dengan wajah Jongin. Sehun sama sekali tidak siap untuk itu.

"Kesepakatan baru dibuat beberapa saat lalu, jadi aku ingin ciumanku hari ini." Jongin tertawa saat raut wajah Sehun berubah kaget.

"Itu tidak adil!"

"Satu ciuman untuk sehari juga tidak adil untukku."

Dengan itu Jongin menciumnya lagi.

.

.

.

Tv dan karee terlupakan begitu saja. Rasa lapar yang Sehun rasakan beberapa saat lalu menguap begitu saja. Ia tidak bisa memikirkan untuk mengisi perutnya kalau Jongin terus bersikap seperti ini.

Jongin menciumnya lama. Saaangat lama. Dia tidak berhenti bahkan saat Sehun menarik diri untuk mengambil nafas. Jongin membiarkan Sehun bernafas hanya untuk beberapa detik sebelum dia kembali mengejar bibir Sehun yang bahkan belum cukup merasakan udara. Tapi anehnya Sehun tidak memprotes. Ia hanya membiarkannya. Keajaiban bukan?

Sepertinya kesepakatan itu benar-benar merasuk ke dalam diri Sehun sehingga mengubah total pikiran tentang dorong-jauh-jauh-Jongin-mesum-itu-atau-kalau-tidak-rencana-berjalan-perlahan-lenyap-sudah. Konsep untuk tidak pernah percaya pada orang lain yang ia bangun sampai sekarang tetap tertanam dalam dirinya. Atau itu yang ia pikir? Dan sebenarnya tanpa ia sadari konsep itu telah hancur perlahan-lahan bersama dengan kesepakatan yang telah ia buat bersama Jongin? Benarkah?

Sehun membuka matanya, entah sudah berapa lama ia dan Jongin bergumul di sofa saling menempel dengan bibir yang tidak terpisahkan. Atensinya langsung menangkap kegelapan disekitarnya. Rumah Jongin menjadi gelap. Lampu padam.

Sehun menarik diri dari Jongin yang menggeram, protes karena Sehun mengganggu permainannya. "Jongin, lampunya—"

Jongin tidak mendengar. Dia semakin membungkus Sehun ke dalam pelukannya, memiringkan kepala dan memperdalam ciumannya. Sehun membeku saat itu. Sekilas bayangan di masa lalu menampar kepalanya.

Ini terasa familiar. Kegelapan, pelukan, ciuman... Sehun memaksa menutup kedua matanya berharap bayangan yang menyiksa itu menghilang dari kepalanya. Namun tangannya masih ingin mencari tahu. Tangannya perlahan menjalar ke lengan Jongin, merabanya, mencoba mencengkeramnya kuat. Dan perasaan itu kembali lagi. Bahkan lengan itu terasa sama. Lengan itu... lengan yang sama. Saat dirinya sepuluh tahun lalu, mencengkeram lengan pria yang menyetubuhinya, karena tidak tahu lagi dimana harus melampiaskan rasa sakit yang diterimanya.

Sehun memaksa mendorong Jongin. Melihat dia yang kebingungan sambil menatap pada Sehun, kesadarannya kembali pulih. Dia segera menangkup wajah Sehun.

"Sehun, maaf—"

BUGH!

Tangan Sehun menjadi gemetaran. Leher dan pelipisnya berkeringat. Kemarahan dan ketakutan bercampur sekarang.

Saat itu lampu di rumah Jongin kembali menyala. Memperlihatkan semuanya dengan jelas. Sehun kini berada diatas Jongin yang telentang di atas sofa, sementara Jongin menatap tidak percaya pada Sehun.

"Sehun?"

Tangannya yang gemetaran dipaksa mencengkeram kaus leher Jongin. Ia menatap marah ke dalam mata Jongin. "Kau... kau..." suaranya pecah. Ia bahkan tidak dapat mengontrol apa yang akan diucapkannya. "Kau... malam itu..."

Jongin terus menatapnya, bingung.

"Di gudang. Kau... pria itu..."

Saat ia mengatakannya, raut kebingungan Jongin memudar tergantikan wajah kerasnya. Dia memaksa bangun dan mencengkeram kedua lengan Sehun saat dia melihatnya ingin menjauh. Dia tatap Sehun tajam.

"Kau tidak bisa pergi, Sehun!"

Sehun menolak disentuh oleh Jongin. Dia adalah pria itu. Jongin adalah orangnya.

"Sehun!" Jongin berteriak padanya. Lengan Sehun sudah memerah dan dia tidak ingin melukai Sehun, tapi dia juga tidak bisa membiarkan Sehun pergi.

"Lepaskan aku!" teriak Sehun marah. Ia memandang Jongin jijik. "Itu kau kan? Malam itu... kau orangnya kan?"

Jongin menghela nafas. Menerima tatapan kemarahan dari Sehun. "Benar."

"Kenapa kau..." suara Sehun tercekat. "Kenapa kau bisa... kupikir pria brengsek itu..."

"Aku orangnya. Aku yang melakukannya, Sehun. Sekarang kau tahu tapi kau akan memaafkanku."

"Kau memaksaku!" air mata lolos membentuk garis di pipinya. Semua kesakitan dan ketakutan yang menghantuinya seketika muncul, dan sekarang setelah mengetahui pelakunya adalah orang yang selama ini sengaja mendekatinya, rasa sakit di dadanya sangat tak tertahankan. Memukul Jongin tidaklah cukup. "Aku tidak akan memaafkanmu, Jongin! Tidak akan pernah!"

"Kau harus memaafkanku, Sehun. Aku akan menjagamu."

"Kenapa kau melakukannya? Kenapa kau... pada anak kecil?"

Wajah Jongin sangat tersiksa oleh perasaan menyesal. Ketakutan bahwa dia akan kehilangan Sehun jika dia melepaskan cengkeraman tangannya pada Sehun. "Aku harus melakukannya, Sehun. Aku tidak punya pilihan. Aku harus pergi sehingga... aku tidak mau pergi sebenarnya, Sehun, tapi aku harus! Kalau tidak, aku tidak akan mampu menjagamu. Jadi kumohon, Sehun..."

"Lepaskan aku dulu." Jongin menggeleng. Rasa cemas di matanya terlihat jelas. "Ini sakit sekali."

Jongin segera melepaskan tangan Sehun melihat raut kesakitan darinya. Tapi sedetik kemudian raut kesakitan itu berubah menjadi kemarahan lagi, Sehun melayangkan tinju untuk kedua kalinya pada wajah Jongin. Jongin terbanting cukup keras ke lantai marmer, Sehun tidak merasa simpati sama sekali melihat itu.

Sehun bahkan menerima dan melalui lebih banyak penderitaan dari sekedar pukulan yang diterima Jongin. Ia tidak bisa memaafkannya.

Trauma masa kecil, dan teror dari bayangan masa lalunya ternyata berasal dari Jongin. Ia memang tidak mengetahui bagaimana bisa Jongin melakukan itu, atau bagaimana Jongin mengenalnya saat ia berumur 11. Sehun tidak peduli. Yang ia yakini sekarang, bahwa tidak seharusnya ia percaya pada siapa pun. Inilah akibatnya ketika ia mulai menghilangkan benteng dari dalam dirinya. Begitu sulitnya ia membangun benteng tersebut, tetapi Jongin datang mengusiknya dan berhasil menerobos masuk. Tetapi kemudian ia menemukan bahwa dia pula yang menjadi penyebab dirinya harus membangun benteng itu sedari awal. Ia sungguh bodoh berpikir bahwa ia akan mendapatkan kebahagiaan setelah malam itu sepuluh tahun yang lalu.

"Sehun... jangan tinggalkan aku."

Jongin mengejarnya keluar dari gerbang rumahnya. Sehun berhasil mengambil ponselnya dari sofa sebelum keluar dan menyetop taksi. Jongin memukul-mukul kaca jendela di dekat Sehun, memanggil-manggil namanya dengan frustasi. Ia tidak melihat ke arah Jongin bahkan setelah taksi melaju meninggalkan Jongin dibelakang.

.

.

.

Sehun menyandarkan sisi tubuhnya pada pintu taksi, pandangannya tertuju keluar jendela. Ia tidak benar-benar memperhatikan pemandangan malam itu, ia justru merasa kacau. Ia ingin membuat pikirannya teralihkan selain dari pemikiran tentang siapa Jongin sebenarnya.

Jadi itu sebabnya Jongin mendekatinya selama ini. Karena dia merasa menyesal.

Menyesal saja tidak cukup! Dia tidak tahu bagaimana rasanya!

Sehun menggeleng, memejamkan matanya saat dirasa getaran pada ponsel di pangkuannya. Belum sempat Sehun melihat siapa yang meneleponnya, getaran itu lebih dulu berhenti. Sehun melirik ke layar, dari nomor asing. Siapa?

Memutuskan tidak peduli, Sehun kembali memejamkan mata. Bagaimana pun ia tidak sedang dalam mood yang bagus untuk menelepon kembali dan mencari tahu siapa sang penelepon tersebut.

Ponselnya kembali bergetar. Kali ini yang masuk adalah sebuah pesan. Dari nomor yang sama. Sehun mengusap layar untuk membuka kunci dan membaca pesan tersebut.

From: 010-866-5xxx

Mon 21-03-2016, 09:05 PM

Sehun-ah, ini aku. Bisakah kita bertemu?

Park Chanyeol.

Sehun mematung dengan tatapan yang tertancap pada nama pengirim dari pesan tersebut. Ia mengalihkan pandangannya dari layar ponsel keluar ke kaca jendela, hanya untuk memaku kembali pandangannya pada layar ponsel. Ia berusaha keras agar jemari tangannya tidak gemetaran, ia merasa sesuatu muncul dan mengganjal di tenggorokannya.

Ini dia pria brengsek itu.

Atau hanya pria itu. Dia tidak brengsek. Jongin yang brengsek.

Tapi tetap saja, pria itu juga pernah hampir mencoba melakukannya.

Sehun gelisah, tidak tahu harus bagaimana. Di dalam pikirannya bertanya-tanya mengapa pria dari masa lalunya ingin bertemu? Atau mengapa pria itu bisa menemukan nomor kontaknya?

Memandang ke layar sekali lagi, mencoba memilih diantara keputusannya. Mungkin dengan ini ia bisa melupakan masa lalunya, dengan bertemu pria itu. Ia butuh penjelasan dan kebenaran dari pria itu.

Dari Chanyeol.

Menarik nafas, ia mengetikkan balasannya.

To: 010-866-5xxx

Mon 21-03-2016, 09:10 PM

Dimana kita bisa bertemu?

.

.

.

Sehun berjalan dengan lunglai. Pikirannya kosong atau tidak benar-benar kosong saat sebuah kalimat dari pria yang baru saja ia temui melintas ke dalam pikirannya.

"Sehun-ah? Kau... kau sudah dewasa." Dia mengatakannya dengan senyuman lembut. "Kau tumbuh dengan baik."

Sehun mengguncangkan kepalanya dengan keras. Ia tidak percaya pada dirinya sendiri, bahwa ia masih saja terpesona pada pria itu. Bahkan setelah apa yang pernah dilakukannya... kenapa ia pernah mencintainya, sih?

Perasaan itu masih ada. Masih tertinggal pada Sehun bahkan setelah mendoktrin dirinya sendiri selama bertahun-tahun untuk membencinya, ia tidak bisa setelah bertemu kembali dengannya. Sulit untuk membencinya, sulit rasanya untuk melupakannya. Kenangan bahagianya dulu tidak pernah benar-benar bisa dilupakan begitu saja. Ia tidak bisa melupakannya karena tidak ada lagi kebahagiaan yang pernah terjadi dalam hidupnya selain sebelas tahun itu.

Ia mengingat-ingat lagi bagaimana rupa Chanyeol setelah sepuluh tahun. Pria itu menua. Garis-garis kehidupan di wajahnya terlihat saat pria itu tersenyum. Sekarang kalau diperkirakan, umur Chanyeol pasti sudah masuk 38. Tapi pria itu tetap tampan. Entah mengapa dia bisa terlihat tampan seperti itu.

Ia berhenti berjalan saat ponselnya kembali bergetar untuk yang kesekian kalinya. Ia melirik ke layar meskipun sudah tahu siapa peneleponnya. Itu Jongin. Ia sudah mengabaikan teleponnya semenjak ia bertemu dengan Chanyeol di kafe. Ponsel itu berhenti bergetar. Nama Jongin menghilang digantikan layarnya yang menampilkan angka dari panggilan tak terjawab. 51 panggilan. Ia sudah mengabaikan 51 panggilan dari Jongin.

Menekan tombol daya, ia mematikan ponselnya. Ia benar-benar butuh memikirkan semuanya tanpa gangguan, tanpa Jongin.