disclaimer: SVT © Pledis Entertainment. I write this for the simple reason which is self-pleasure, thus it doesn't gain any moneys or whatsoever.


CHAPTER 3 – You Know It's Love When Your Heart Beats Faster

Datang disambut beberapa sorakan menyenangkan serta ucapan selamat pagi yang renyah. Loker penuh oleh banyak cokelat bingkisan dan surat penggemar. Membuat peluang rival. Menjadi pusat perhatian ketika melakukan aktivitas ringan. Serta semua hal tidak terduga yang menanti untuk jadi kejutan. Itu semua adalah cerminan kehidupan dari seorang pangeran sekolah.


chapter: 3/30
rating: teenager (pg-12)
lenght: multi-chapter (series)
genre(s): school-life, romance, friendship, hurt/comfort, slice-of-life
pairing: multi-pairing (final – ot3 seunghansoo, hozi, gyuwon, verkwan, seokjun, chanhao)
warning(s): alternate-universe; face-paced style; teenager-life; genderbender/genderswitch/sex-reverse; beware of much drama; complicated relationship; contain cheesy-lines, delicate chara and crack on the future chapter.


Mereka dengan titel ini biasanya merupakan pengidap sindrom Gary Stu. Mentok-mentok, yang wajahnya mirip Chun Li pendekar naga di drama Cina rating tinggi. Hal itu adalah alami; bisa ditemui di manapun kaumasuk instansi akademis.

Tapi tidak selamanya pangeran sekolah mesti yang berjenis kelamin laki-laki.

Adalah Moon Junhwi, siswi tingkat tiga yang memperoleh titel bergengsi ini. Dikatakan siswi pun, sebenarnya harus pikir dua kali karena tidak ada poin yang menyatakan dia geminin seperti putri salju. Junhwi anti memakai rok; lengan kemejanya digulung hingga pangkal; dan dia hobi mangkal di kantin, duduk mengangkang lebar dan tertawa menggelegar.

Entah siapa dedengkot yang memprakarsai terbentuknya klub penggemar bagi Junhwi. Yang jelas, dia sekarang punya pengikut perempuan, jumlahnya membludak dari hari ke hari seiring dia bertambah tenar. Junhwi senang-senang saja pada dasarnya, sebab dia bisa makan bekal enak dan tak perlu risau mencari subjek gombalan karena penggemarnya berbaris rapi siap untuk menghambakan diri.

Masalahnya adalah, ketika situasi seperti itu berkembang dan menyenggol privasinya.

Bukan cuma sekali dua kali Junhwi menjumpai siswi yang mengajaknya kencan—dalam artian tertentu. Junhwi memasok amunisi jawaban, tapi kian ke sini, yang berminat malah tambah banyak dan ekstrem. Pakaian gantinya pernah dicuri, dan pelakunya beralasan karena dia benar-benar cinta meski tidak bisa memiliki. (Dan Junhwi melepaskannya karena si pelaku sudah tingkat tiga saat itu, jika dia kena masalah, dia bakal punya cap jelek dan terancam gagal lulus.)

Terkadang, Junhwi ingin marah dan minta berhenti untuk diikuti. Tapi melihat surat-surat yang terselip di lokernya dia jadi lunak lagi. Pada akhirnya dia coba mengalah; karena dia tahu dia hanya terlalu dicintai.

Toh, sebanyak apapun penggemar yang mengagumi Junhwi, dia kokoh untuk menyukai satu siswa sejak pertama kali dia merasa bumi kehilangan gravitasi.

"Ah, nanti lagi ya, Princesses." Junhwi berkedip, "aku janji kalau kita ketemu di jam istirahat selanjutnya kita akan mengobrol lebih panjang lagi."

Kemudian dia merat ke pinggir lapangan. Menghampiri seseorang. Itu adalah laki-laki tinggi dengan senyum yang membekukan gadis-gadis sampai tidak berkutik lagi. Namanya Kim Mingyu. Sekarang masih tingkat satu dan dia ikut klub basket. Awalnya ditaruh sebagai starter, tapi sekarang resmi ditarik ke tim inti.

Siswi-siswi yang mengerubuti Junhwi punya sampingan jadi pemasok gosip paling hits seantero Pledis. Maka, tidak heran jika mereka sekarang membentuk setengah lingkaran, dengan mulut mengoceh. Yang memulai ialah siswi dengan rambut berpita, bernama Deena.

"... Apa mereka pacaran?"

"Kupikir begitu. Tidakkah kauperhatikan bagaimana cara mereka berkomunikasi? Kurasa mereka itu sudah resmi, tinggal tunggu terbongkar kapan."

Bukan rahasia umum lagi kalau mereka tahu, Junhwi menaruh perasaan khusus terhadap Mingyu. Mingyu juga mungkin sudah dengar dari kelas sebelah. Gosip melaju lebih cepat daripada kereta shinkanses di jam padat.

Fan anarkis Junhwi sempat demo di kantin, dan beruntung mereka mampu dihentikan setelah Junhwi turun tangan dan mengirim ciuman jarak jauh lewat udara. Beberapa yang masih bersikeras, meneror Junhwi dengan tangkai-tangkai mawar hitam. Tapi berkat aksi heroik Lee Seokmin, keadaan balik tenteram terkendali.

(Sayang sekali Junhwi lupa berterimakasih pada Seokmin sebab dia terlalu banyak memandang Mingyu.)

"Mingyu itu manis, apalagi kalau senyum. Dan Junhwi juga tampak senang jika sedang bersamanya. Mereka serasi, bukannya?"

"Serasi, sih. Mana yang lebih menyenangkan untuk tahu bahwa idolamu berpasangan dengan prang yang sama-sama kaukagumi. Mungkin tidak ada."

"Yosh. Mulai hari ini aku dukung Mingyu-Junhwi. Kita harus buat artikel kampus." (Dan ketika mereka bicara soal artikel, sebenarnya yang dimaksud hanya jurnal curhat, bebas diakses selama itu siswa Pledis dan mereka memiliki akun terdaftar.)

"Tapi ..."

"Apa?"

"Apa kalian diam saja menerima ini?"

"Bagaimana maksudmu Ryubin-ah?"

"Yang kukatakan adalah ..., aku sedikit simpati pada Seokminnie."

"Eh?"

"Kenapa malah eh?"

"Kenapa juga obrolannya sampai sebut-sebut Lee Seokmin, duh."

"... Memangnya kau belum tahu? Oh, aku sudah duga. Kau kan bebal. Tapi, yang jelas, Junhwi sudah lama ditaksir Seokmin."

"Yah. Aku patah hati."

"Mari berkabung untuk kandasnya perasaan kita."

"Kok terdengar melas, ya?"


Mingyu melempar senyum saat si kakak kelas menghampirinya dengan sepotong handuk.

Barusan, tim inti mengadakan sesi latihan singkat sebelum perlombaan tahunan tingkat SMA diadakan. Rekan timnya pamit ke kelas dan ada juga yang belok ke kantin karena itu jam istirahat. Mingyu tertinggal sebab dia kebagian piket di saat yang kurang menguntungkan.

"Latihan sukses?"

"Noona!"

Junhwi terkekeh, berjalan ke hadapan Mingyu dan menyruh laki-laki itu menunduk sedikit. "Memangnya kaupikir siapa lagi." ujarnya, tangan bekerja melap peluh di wajah Mingyu.

Mingyu menangkap tangan Junhwi. Mereka diam sebentar, lalu pipi Junhwi merah dan mereka sama-sama salah tingkah. "A-aku bisa sendiri, Noona."

Junhwi memberikan handuknya, "Mm."

Agak lama Mingyu menyibukkan diri dengan kegiatannya sampai dia bicara, lebih seperti pengalihan isu. "Apa yang Noona lakukan di sini? Bukankah sekarang waktunya istirahat?"

"Haruskah aku ijin dulu untuk pergi menemuimu? Aku kangen."

"Kita satu sekolah dan bertemu di klub basket, Noona. Kau lucu juga."

"Aku tidak bercanda, Gyu."

Mingyu melingkarkan handuk Junhwi di bahunya, kemudian balik bertanya sebagai klarifikasi. "Kukira aku dengar Noona kangen itu mungkin cuma bercanda," katanya sedikit ragu.

"... Mungkin aku memang suka umbar-umbar rayuan, tapi kalau aku serius, aku akan jadi lebih serius dari siapapun."

"Jadi ...," Mingyu memainkan kakinya karena dia merasa tak nyaman. Junhwi menunduk, seperti menolak memandang dan Mingyu bertanya-tanya ada apa. Dia takut menyakiti Junhwi tanpa disadari.

"Mingyu, apa aku boleh mengatakan sesuatu?" Junhwi bertanya, ketika mereka mulai dikelilingi canggung tak kasat mata.

Keringat dingin mengalir di tengkuk Mingyu. Apa yang akan Junhwi ungkapkan adalah pertanyaan yang paling besar porsinya di kepala. Ini yang paling dia antisipasi saat bergaul dengan perempuan—sebab mereka terlalu peka dan Mingyu kerap dipesankan ibunya untuk jangan menyakiti mereka, apapun caranya.

Jadi, Mingyu hanya mengangguk ragu, "Aku akan mendengarkanmu."

"... Aku minta dua menit saja."

"Ya, Noona."

Junhwi menggigit bibir sebelum kata-kata lahir dari mulutnya, tanpa bisa dicegah. Emosinya tmpah. Dan dia tidak tahu kenapa dia emosional.

"Noona ...?"

Jersey depan Mingyu diremas Junhwi. Perempuan itu diam, kepalanya menunduk dalam. Mingyu beku di tempat tidak tahu mesti membalas apa.

"Aku menyukaimu." Junhwi mengungkapkan. "Aku suka padamu, Mingyu."

"Aku juga ... Aku juga suka Noona!" Mingyu membalas yakin.

Junhwi menggeleng, "Sukaku berbeda dari yang kaupahami. Bukan suka yang seperti itu. Aku melihatmu sebagai laki-laki." Bersamaan dengan pernyataan itu, ada dering keras, dari lonceng yang dibunyikan depan pengeras suara. Bel pergantian jam. Mereka harus segera kembali ke kelas karena sesi istirahat pertama sudah usai.

"Maaf, Noona. Aku tidak bisa mendengar apa yang kaukatakan barusan. Belnya keras sekali."

Seperti sadar, Junhwi tiba-tiba mundur dan gelagapan dengan yang belum lama dia lakukan. "Mingyu?"

"Kenapa, Noona?"

"A-aku tiba-tiba lupa mau bilang apa, he he." Dia beralasan.

Mingyu mengesah. "Nah. Bisa kaulakukan lain kali," dia berkedip.

Junhwi merona, karena Mingyu mencuri hatinya lagi dan lagi.

"..."

"Noona, aku harus segera ganti baju lalu masuk kelas. Kamu masih mau di sini? Haruskah kutemani lebih lama?"

"Mingyu-ah." Junhwi memanggil, mengabaikan pertanyaan laki-laki itu, "aku penasaran. Kamu baik sekali, bukannya?"

Mingyu tidak terlalu paham kenapa Junhwi berkata seperti itu, jadi dia hanya mengacak rambut si perempuan dan menyengir dengan sengiran khasnya.

(Seokmin bermaksud belok ke kantin tapi dia kebelet buang air jadi setelah rampung dengan urusannya, dia ambil jalan pintas supaya cepat sampai. Letak toilet bersebelahan dengan lapangan luar, dan semuanya bisa terlihat jelas sepanjang kau bukan pengguna kacamata. Hari itu Seokmin melepas kacamata, dan dia seketika menyesal karena sudah memakai lensa kontak Chan tanpa ijin. Dia makan karma. Tapi rasanya timpang sekali, sebab lensa itu membuat semua hal makin jelas terlihat.

(Lima meter dari tempatnya berdiri, dia melihat pipi Junhwi merona, dan perempuan itu tersenyum sangat bahagia di depan seorang laki-laki yang bukan dirinya.)


Dunia ini bekerja dengan prinsip kausalitas. Respon timbul dari rangsangan yang diberikan. Reaksi merupakan kelanjutan dari aksi yang lebih dulu tercipta.

Kembali ke hari penerimaan siswa baru. Kejadiannya tergolong singkat dan nonlogis. Tidak istimewa karena tanpa efek bunga-bunga dan tidak ada tone sarat perasaan seperti komik yang dibaca para gadis remaja.

Sudah sejak dulu Junhwi menjadi idola sekolah; disukai dan dikirimi hadiah. Apa yang dia lakukan sebenarnya mudah saja. Saat itu dia hanya ingin berlari karena dia bosan dikuntit ke mana-mana meskipun tanpa melakukan apapun; dan hari itu cukup menguras energi sebab tak peduli di mana dia menyembunyikan diri, dia selalu ditemukan lagi.

Ketika dia mencari tempat yang tak terpikirkan untuk didatangi seseorang, kakinya membawanya ke semak di lapangan belakang. Para penggemarnya berlari mengejar ke sisi barat, berlawanan arah, dan dia banyak bersyukur mereka tidak mengejarnya ke situ. Bagaimanapun, Junhwi kehabisan napas hingga dia tidak bisa menyeimbangkan diri.

Lengan Junhwi ditarik sampai dia terjungkang menimpa tubuh seseorang. Buru-buru bangun, Junhwi menjadi salah tingkah, kakinya terbelit dan dia kembali jatuh. "A-aaah. Soriii. Soriii. Aku tak sengaja, sumpah!"

"Sudahlah. Tidak apa-apa." kata orang di depannya. "Kurasa mereka sudah pergi jauh, tidak akan sadar kau sedang di sini." Dia tersenyum kemudian.

Napas Junhwi tercekat. Senyum orang di depannya terlalu manis hingga dia lupa berkedip. Menyadari dia terlalu lama menatap, Junhwi mencari distraksi ke sembarang arah. Dia bangun, menepuk celana dan menggosok tengkuk.

"Apa kau baik-baik saja, Nona?" tanyanya.

"N-Nona?" Junhwi merasa telinganya salah dengar, jadi dia memasukkan kelingking ke liang telinganya, "Apa barusan kaubilang aku Nona?"

"Oh, tidak boleh ya. Kalau begitu, Noona?"

Junhwi makin gelagapan. "T-tapi aku pakai celana, hei?"

Lawannya sekarang yang jadi tidak mengerti, "... Sebentar. Aku takut salah kira. Tapi ... kau perempuan, bukannya?"

Junhwi memalingkan wajah, lalu bergumam kecil, "Ya."

Lawannya mengerling. "Syukurlah. Aku pikir kau laki-laki makanya tidak terima dibilang Nona, he he."

"Banyak orang bilang aku memang laki-laki yang terkurung di badan perempuan."

"Kurasa itu tidak sepenuhnya benar."

"Hah?" Junhwi heran.

Orang di depannya mengirim kerlingan. "Mungkin orang lain berkata kau mirip laki-laki tapi aku tidak bisa dibohongi karena aku tahu."

"Kau tidak pernah mengenalku sebelumnya, kan?" Junhwi bertanya.

"Kita akan sering bertemu." Lawannya menunduk dalam, begitu sopan dan manis untuk seukuran anak-anak yang tumbuh di era digital. "Mulai sekarang aku siswa baru di sini, mohon bantuannya."

Junhwi terperangah untuk beberapa detik. Pantas saja dia terpana. Laki-laki itu tidak pernah dia lihat dan datang sebagai adik kelasnya. "Kalau kau siswa baru, kenapa tidak ikut upacara penerimaan di lapangan depan?" Dia melirik jam tangan sekilas, "Acaranya sudah mulai sejak setengah jam lalu. Apa yang kaulakukan di sini?"

"Aku baru di sini, dan aku mencoba banyak jalan untuk sampai ke mari. Jadi, bisa dibilang aku terlambat."

Junhwi menghela napas; karena laki-laki itu punya terlalu banyak kejutan meski mereka baru saja bertemu. "Oke, kuantar kau ke lapangan tapi kau yang jelaskan alasan kenapa bisa terlambat."

"Ayayay, Kapten!"

Mendengus, Junhwi memimpin jalan dan si siswa baru mengekor di belakang seperti anak bebek.

"Kalau boleh kutanya, siapa namamu?" tanya Junhwi.

"Kim Mingyu."

Junhwi mendengung paham dan menunggu. Beberapa lama tapi tak ada tanda-tanda Mingyu bicara atau menanyainya balik sebagai respon. Dia agak kesal juga jadi dia berkata menyindir, "Kau tidak penasaran dan bertanya balik siapa aku?"

"Kau kakak kelas yang menawan. Tidak perlu tahu nama, kupanggil kau Noona, saja, ya."

Wajah Junhwi serupa kepiting rebus hanya dalam kalimat pendek yang ditutur Mingyu. "A-apa, sih."

Mingyu tertawa, dan dunia Junhwi lenyap, membaur dalam tawanya yang renyah dan menyenangkan. "Kupikir semua kakak kelas akan judes pada siswa baru, dan ternyata selama ini aku salah."

"Kau terlalu banyak menonton teve."

"Mungkin saja," Mingyu mengangkat bahu.

Mereka tiba di pinggir lapangan. Junhwi berhenti berjalan yang otomatis membuat Mingyu juga mengikutinya. "Kau tinggal jalan ke sana, hampiri salah satu dari orang-orang yang memakai tag nama, dan bilang kau terlambat datang."

Mingyu mengangguk paham.

"Nah, sekarang aku harus pergi. Jaga dirimu, Bocah."

Junhwi ambil langkah untuk masuk ke ruang AV karena sebenarnya dia sedang ditugaskan mengecek peralatan yang dipakai komite senat berkomunikasi satu sama lain. Tapi telapak tangannya digenggam, dan dia berbalik, mendapati Mingyu tersenyum sangat lebar. Jantung Junhwi berhenti berdetak untuk beberapa detik yang terasa cepat.

"A..apa yang kaulakukan. Semakin lama kau di sini, kau akan semakin terlambat." ucap Junhwi tergagap.

"Terima kasih banyak. Kuharap setelah ini kita bisa menjadi teman, Noona."

Junhwi salah tingkah, melepas taut tangan Mingyu buru-buru dan berlari tergesa hingga nyaris tersandung.

"Oh, dan kau sangat cantik walau pakai celana!"

Ada yang salah dengannya saat ini. Mengapa hanya dengan sentuhan kecil seperti tangan saling bergenggaman dapat membuat Junhwi menggila dengan napas yang habis meski dia sedang tak lelah?

Kemudian Junhwi paham; mungkin ini yang sering disebut para penggemarnya tentang cinta.

Cinta melibatkan hukum kimiawi karena siapapun tidak bisa kembali ke titik mula setelah jatuh pada seseorang.

Katakan itu cinta pandangan pertama sebab sejak insiden hari itu, Junhwi tak bisa beralih atensi setelah bertukar tatap dengan pemuda yang menawan hati.


つづく(to-be-continued)


zula's note:

aku selalu merasa bersalah kalau ingat sudah lama banget sejak chapter terakhir dan aku terkesan mengabaikan. tapi ga sesimpel itu. tbh gamau sih buat buat alasan ..., tapi ya mc-ku bukan cuma satu dan semuanya butuh dilanjut. saking panas otak dan lama ninggal my baby lappie di rumah aku baru kesempetan nyentuh lagi. maaf kalau chapter ini kurang asik, aku janji bawa chapter depan lebih panjang dan lebih punya alur. yg penting tokoh baru kita aka mingguuu sudah muncul yeay! mana shiper minjun? (?) #oey.

sori juga aku nggak bisa balas review kalian dulu ..., tp kuharap walaupun ini lama datangnya, pada masih semangat buat ninggalin sepatah dua patah kata ihi. somehow, aku lumayan mlz lanjutin mc kalau reviewnya dikit dan pendek waqaqaq. heem akukan emang jujur~~

udah ah, pokoknya i dont terima sider di sini bubye~~mumu