Disclaimer : Masashi Kishimoto. Pairing NaruSaku slight SasuSaku. Rated : T. Genre : Romance & Drama. Warning : OOC. Typos. Boring cause mainatream theme '-')

Story by Hikari Cherry Blossom24


Falling In Love

Last Chap


Setelah lama berdiri di depan jendela, Naruto akhirnya memutuskan pergi. Ia mengenakan jas hitam yang tertnggal di sandaran bangku, lalu bergegas menghapiri pintu. Sebelum pergi Naruto menatap ke arah Sakura yang kini tengah tidur dengan pulas di tengah ranjang. Dia tampak hanyut dalam mimpi, serta selimut tebal menjadi penghangat tubuh mungilnya. Naruto tak habis fikir, bagaiaman bisa sekarang gadis manis itu patuh padanya. Setelah berminggu-minggu lalu terus membantah, akhirnya dia luluh juga. Buktinya saja semalam. Dia bahkan begitu penurut ketika disuruh bersembunyi, setelah itu mengikuti kemana ia membawanya pergi.

Sulit dipercaya, ternyata gadis keras kepala bisa juga patuh..

Sebelah sudut bibir Naruto tertarik ke atas saat melihat Sakura menggeliat di tengah terpejam. Manis sekali gadis itu. Buru-buru Naruto menggeleng— menyadarkan diri. Ia mau pergi, bukan mau mengamati Sakura tidur. Pria itu membuka gagang pintu, kemudian keluar dari kamar hotel tersebut. Ia percaya Sakura tak akan kabur walau tidak di ikat. Dia sudah menjadi gadis patuh sekarang.

Sakura menarik selimut semakin jauh ke lehernya. Pagi ini dingin sekali, padahal AC tak menyala, dan juga ia tidur dengan baju lengkap. Tapi tetap saja hawa dingin mampu menusuk-nusuk tulangnya, hingga menimbulkan rasa ngilu di setiap bagian sendi.

Belasan menit menempuh perjalanan menggunakan mobil, kini tibalah Naruto di tempat tujuan. Yaitu kediaman keluarganya. Niatnya datang ingin menemui sang Ibu, dan menjelaskan semuanya untuk menyelesaikan kesalah pahaman ini. Entah Kushina mau atau tidak menerima dirinya, ia tetap harus datang.

"Selamat datang Tuan.." Senyum tipis menjadi respons dari sapaan Kakashi, setelah itu Naruto melewati dirinya.

Naruto meniti anak tangga dengan tangan tersimpan dalam saku celana. Ia melangkah santai saat telah memasuki mansion megah tersebut. Menyusuri lorong mansion untuk mencari keberadaan sang Ibu, kemudian mendapati wanita itu kala penelusuran Naruto sampai ke lantai dua atas. Dia tampak sedang berdiri di teras atas sambil menghadap ke depan. Melihat itu Naruto segera menghampirinya.

Kushina sempat terkejut begitu menyadari kehadiran Naruto disebelahnya. Reponsnya hanya sesaat, selanjutnya ia menunjukan sikap dingin pada sang putra. Rasa kecewanya terhadap Naruto benar-benar dalam, tak semudah itu ia memaafkan Naruto. Melakukan penculikan sama halnya dengan tindakan kriminal, itulah yang Naruto lakukan pada seorang gadis yang tak bersalah mengenai kasus kematian Naruko.

"Maafkan aku, Ibu.." Naruto memecah keheningan. Kushina tak menanggapi, terus menikmati angin sepoi-sepoi yang menghembus mereka dengan lembut. Pria itu menatap sang Ibu. Tak ada senyum di bibir merah itu, datar seperti papan. Nyaris menggapai tangan Kushina, wanita itu lebih dulu membalik badan hingga niat Naruto terurung karenanya. Dia hendak pergi, namun sebelum itu sempat mengatakan hal yang membuat Naruto terdiam membatu ketika mendengarnya.

"Selama kau belum membebaskan gadis itu dan melupakan kejadian dimasa lalu, maka kau bukan putraku."

Pupil Naruto bergetar. Sungguh, inilah kali pertamanya ia membuat Kushina kecewa. Benar-benar tak terkira olehnya akan begini kejadiannya.

.

.

.

Senyum di bibir Sakura merekah lebar ketika suara ketukan pintu menyadarkannya dari lamun. Buru-buru ia bangkit meninggalkan sarapan demi membukakan pintu. Siapa lagi orang itu kalau bukan Naruto, karena cuma mereka berdua yang tahu tempat ini. Sakura memang sengaja mengunci pintu, berjaga-jaga jikalau ada orang yang menemukan keberadaanya. Bisa kacau kalau hal itu sampai terjadi.

Ceklekk!

Begitu pintu terbuka Naruto langsung menyelonong masuk tanpa menatap wajah Sakura. Gadis yang tengah menyambut kepulangannya itu tampak heran, tergambar jelas dari kerutan di dahi lebarnya. "Naruto, kau dari mana saja? Saat aku bangun kau menghilang begitu saja.." Ia menghampiri Naruto yang tengah membuka koper— tempat baju serta barang-barang mereka disimpan. Satu koper berdua, sisanya Sai yang akan membawakan nanti siang jika perkejaan di kantor selesai.

Kerutan di dahi Sakura kian menebal. Pria itu tak menjawab pertanyaan darinya, dia malah mengeluarkan barang-barang pribadinya sendiri. Alangkah terkejutnya Sakura ketika melihat ke arah pintu ia baru mendapati Sai di sana. Sejak tadi ia terlalu fokus pada Naruto, hingga tak menyadari bahwa ternyata Sai ikut bersama Naruto. Yang membuat Sakura heran ialah melihat Sai tak membawa apa-apa, dia datang hanya dengan tangan kosong.

"Hey, dimana sisa barang-barangku?" Pria itu hanya mengangkat bahu sebagai jawaban. Sakura mendengus kesal melihat sikap Sai.

Selesai dengan pekerjaannya, Naruto mengancing resleting koper hitam tersebut lalu menjinjingnya dan di bawa pada Sakura. Gadis itu bertanya-tanya, namun ia tetap diam menanti penjelasan. Sai masuk, kemudian mengambil koper hitam tersebut dari tangan Naruto. Sakura sadar yang ada di dalam koper itu hanya barang-barang miliknya sendiri, sedangkan milik Naruto telah habis dikeluarkan semua.

Naruto berdiri dihadapan Sakura. "Sai akan mengantarmu.."

Gadis itu memiringkan kepala— pertanda tak mengerti. "Tempat baru lagi? Dan kau akan menyusul belakangan?" Tudingnya dengan kalimat bertubi.

"Tidak ada lagi tempat baru.." Naruto melirik ke arah Sai, dan mengisyaratkan kepadanya untuk menunggu di luar. Tentunya lelaki berkukit pucat bak mayat itu paham. Naruto menyentuh pipi mulus Sakura, lalu mengelusnya dengan sentuhan lembut. "Kau akan menetap di satu rumah bersama keluargamu." Ia tersenyum tipis mendapati paras cantik itu mulai merubah raut wajahnya. "Tanpa aku.."

"A-apa maksudmu? Jangan bercanda, ini sama sekali tak lucu."

Naruto menggelengkan kepala— tak membenarkan hal tersebut. "Pergilah, Sai akan mengantarmu sampai ke rumah.."

Sakura menengadah dengan mata berkaca. "Kenapa?" Ia meremas tangan lebar Naruto. "Kenapa kau lakukan ini padaku?" Rasanya mau menangis, namun Sakura menahan liquidnya demi terlihat kuat di mata Naruto. Ia tak ingin Naruto melihat dirinya rapuh.

Naruto melepaskan pegangan Sakura, berbalik lalu berdiri di muka jendela. Ia membelakangi gadis itu. "Kembalilah pada keluargamu."

Cepat-cepat Sakura menyeka titikan air mata yang sempat menitik di pipinya. "Bodoh! Apa kau mengusirku?"

"..." Naruto menghiraukan. Tatapan tajamnya terus fokus pada pemandangan di bawah sana.

"Jahat!" Naruto meringis mendengarnya. Sakura memutar badan, kemudian membuka langkah. Naruto berbalik dan mendapati punggung ramping gadis itu. Sebelum benar-benar pergi satu keinginan menunda niat Sakura. Ia kembali berbalik ke arah Naruto, kali ini menunjukan tatapan penuh dendam, benci, sayang dan cinta, juga kecewa. Pria di sana balas menatapnya dengan mata mengerjap.

Naruto diam dan menunggu ketika Sakura melangkah ke arahnya. Dan, pada saat gadis itu tiba dihadapannya..

Jdukkk!

Kedua mata Naruto sukses melotot. Sakura menendang lututnya, lalu pergi setelah cukup puas menyakitinya. Naruto merintih pelan sambil memegang bagian lututnya yang terasa nyeri akibat di tendang. Setelah memastikan Sakura benar-benar pergi, barulah Naruto menampakan rasa sakit yang ia derita. Pria itu mengangkat kaki, dan mengelusnya untuk mengurangi rasa ngilu. Ia bahkan tak bisa merasakan kakinya gara-gara tendangan super tadi.

"Shit, tendangannya kuat sekali.."

.

.

.

Sai menghentikan mobil kala mereka tiba di depan gerbang, tempat kediaman Haruno. Begitu memutar kepala ke arah belakang, seketika ia dibuat terperangah saat mendapati wajah Sakura basah oleh air mata. Sungguh, ia benar-benar tidak tahu gadis itu menangis disepanjang jalan. Pantas sejak tadi dia diam saja, tak banyak omong seperti biasanya. Berminggu-minggu banyak menghabiskan waktu bersama, lalu bagaimana bisa Sai tak mengenal sifat Sakura. Yah, walau hanya sifat luarnya saja yang Sai ketahui. Seperti yang orang tahu, Sakura adalah gadis cerewet dan bawel.

"Nona, kita sudah sampai.."

Sakura menghapus air matanya dengan kesal, lalu ia segera turun dari mobil tersebut. Sai berjengit ketika Sakura menutup pintu mobil dalam sekali hempasan keras. Ia keluar, dan mengambilkan koper Sakura dari dalam bagasi.

"Mari Nona, saya an—"

"Tidak usah! Aku bisa sendiri." Sai terdiam. Sakura merampas gagang koper dari tangannya dengan kasar, kemudian dia berjalan menjauh darinya. "Oh ya, sampaikan ucapan selamat tinggal dariku untuk si pirang bodoh itu." Dan ia melanjutkan lagi langkahnya yang sempat terhenti sesaat. Gadis itu meninggalkan Sai yang sedang tercengang akan sikapnya. Bukannya bahagia karena bebas, dia malah kelihatan sedih hingga menjadi kesal.

"Baiklah, Nona.."

Tak lagi mengubris, Sakura melenggang pergi. Ia melangkah tanpa henti menangis, bahkan hingga sesegukan. Sai yang mendengarnya terheran melihat sikap Sakura yang benar-benar aneh menurutnya. Sejak tadi dia terus menangis, bahkan setelah tiba sekali pun tangisannya tak kunjung reda. Malah semakin parah.

Ting Tong!

Beberapa saat menunggu di depan pintu yang terutup rapat, seseorang membuka pintu tersebut. Kedua matanya tampak sembab, sama halnya dengan kondisi Sakura saat ini. Wanita pirang itu mengangkat kepala, dan menatap ke arahnya. Seketika dia terkejut, bahkan sampai terdiam membatu. Kehadiran dirinya yang secara tiba-tiba itu mengejutkan Mebuki. Dia tampak shock, antara percaya dan tak percaya.

Sakura menjatuhkan koper dari tangannya, lalu menubruk Mebuki dengan pelukan erat. "Ibu.." Tak cukup sampai disitu, tangis Sakura malah semakin menjadi-jadi. Menangis karena sangat merindukan keluarganya, serta berpisah jauh dari Naruto. Sakura akan merasakan sesak dan sakit ketika Naruto terbayang dalam benakanya, seperti saat ini. Dengan terlarangnya ia memikirkan lelaki yang telah menggagalkan acara pernikahannya. Penjahat yang menculik dan menyekapnya di dalam kamar sampai berminggu-minggu.

Kedua tangan Mebuki memeluk erat punggung ramping putri yang sangat ia rindukan. Sungguh, ia benar-benar merindukan Sakura. sangat merindukan gadis manisnya itu.

.

.

.

Dahi tanpa alis Gaara menyerngit saat tak menemukan sosok gadis yang tengah ia cari-cari sejak tiba tadi. Ia yakin kemarin salah satu anak buah Naruto mengatakan Sakura masih bersama mereka walau sudah beberapa kali pindah tempat, dan sekaranglah ia baru punya kesempatan datang ke Konoho gara-gara pekerjaan kantor di kota Tsuna yang benar-benar menyita waktunya.

Melihat Naruto keluar dari kamar Gaara pun bergegas mendatanginya. "Dimana dia?" Lelaki pirang itu sempat tersentak sebelum menoleh ke arahnya. Dia tampak mengerutkan dahi, mungkin karena melihat kehadirannya yang terkesan mendadak dan mengejutkan.

"Kapan kau datang ke Konoha?" Naruto malah balik bertanya.

"Tadi malam.." Naruto hanya memutar mata. "Dimana kau menyembunyikan gadis itu?"

"Dia bersama keluarganya.."

"Apa maksudmu? Apa kau membebaskan dia setelah apa yang mereka lakukan pada Naruko?"

Naruto melempar tatapan tajam pada Gaara. "Berhentilah ikut campur dalam masalahku. Kau tidak ada hubungan apa-apa dengan kami, termasuk Naruko." Gaara mengepalkan tangan mendengar kata-kata tersebut. Sangat menyakitkan. "Kalian batal tunangan, dan itu sudah cukup menjadikan bukti bahwa kau bukan lagi siapa-siapa di dalam keluargaku." Naruto menatap tak suka pada Gaara, terlebih dulu dia pernah 'hampir' menodai Sakura.

"Aku mencintai dia.." Naruto mengalihkan atensi ke arah lain, asal jangan bertemu dengan wajah Gaara. "Bahkan sampai sekarang pun aku masih mencintai Naruko sebagaimana dulu aku mencintai dia." Dahi Naruto menyerngit, merasa tak suka dengan Gaara yang tak pernah bisa melupakan sosok Naruko. Padahal sudah 2 tahun lalu dia meninggal setelah kecelakaan maut itu.

"Terserah, aku tak peduli lagi. Bahkan dengan masa lalu." Kemudian Naruto berlalu meninggalkan Gaara, namun sebelum itu ia sempat meninggalkan pesan singkat. "Kau bisa menginap di apartement ku sesuka hatimu, aku mau pulang untuk menyelesaikan masalahku bersama Ibu. Mungkin akan lama." Pria di sina diam tak menanggapi, hanya balas menatapnya dari kejauhan. Naruto acuh lalu melenggang. "Terserah."

.

.

.

Gadis itu berbaring meringkuk di ranjang queen size miliknya. Tak hanya sekedar berbaring, dia tampak sedang memeluk erat sehelai kemeja loreng dengan belang blaster. Hanya sehelai kain itu yang Sakura miliki setelah dua hari berpisah dari Naruto. Sejujurnya, saat ini ia benar-benar sangat merindukan Naruto. Sosoknya tak pernah hilang dari fikiran Sakura, bahkan sedetik pun. Pria itu berhasil mengacaukan hidupnya, yang membuatnya tak bisa tenang sepanjang hari. Tak sedetik pun Sakura berhenti memikirkan Naruto, seperti saat ini.

Dahi lebar Sakura menyerngit ketika lagi-lagi bayangan sosok Naruto menghantui pikirannya. Saat merindukan wangi tubuh Naruto, Sakura hanya bisa menyesap wangi khas Naruto melalui kemeja yang ia miliki. Benda satu-satunya yang ikut terbawa di dalam koper— tempat barang-barangnya. Rasa rindunya terhadap Naruto benar-benar menyiksa batin, terlebih mereka seperti telah terikat dalam ikatan batin. Seolah saat mereka masih bersama Sakura bisa merasakan penderitaan Naruto atas kepergian kakak nya.

Gara-gara terpisah dari Naruto, selama dua hari ini Sakura terus mengurung diri di dalam kamar. Tidak ada selera makan, yang ia inginkan hanyalah Naruto, lain dari Naruto hatinya berkeras menolak. Bahkan Sasuke sekali pun. Baru tadi pagi Sasuke datang lagi menjenguknya, dan Sakura menanggapi mantan calon Suaminya itu dengan sikap agak dingin. Sasuke memakluminya sebagai rasa trauma.

Kedua mata Sakura terkatup begitu panggilan Mebuki mengusik malamnya yang suram. Ia menghebuskan nafas. Lagi-lagi panggilan mengajak makan, padahal sudah jelas dan berulang kali ia memperingati untuk tak mengganggunya saat ini. Ia terpukul atas perpisahannya dari Naruto.

"Sakura, bangun dan turunlah! Keluarga Sasuke-kun sedang menunggu di bawah untuk makan malam bersama."

Bergeming di tempatnya, Sakura malah semakin meringkukan badan kurusnya tanpa sedikit pun melepas kemeja milik Naruto dari dekapan eratnya. Rasa ingin menangis, namun air matanya tak mampu lagi mengucur. Semuanya telah habis terkuras karena Naruto.

Lagi-lagi tak mendapat respons. Menghembuskan nafas, kemudian Mebuki meninggalkan kamar Sakura dan kembali turun. Ia tahu putrinya itu masih agak trauma, tapi tak seharusnya dia mengurung diri di kamar tanpa makan apapun. Tak hanya ia yang diacuhkan, tapi juga Sasuke. Setelah kejadian itu sikap Sakura menjadi dingin, dia bahkan tak menganggap keberadaan mereka. Terus mengurung diri di kamar dan terkadang menangis sampai cukup lama.

Sasuke bangkit dari duduknya setelah mendengar penyampaian dari Mebuki. "Aku akan membujuknya." Begitu mendapat persetujuan, Sasuke pun meninggalkan ruang makan sembari memaksakan senyum. Itachi mengelus punggung Mikoto, lalu tersenyum kala sang Ibunda menoleh ke arahnya. Mikoto turut tersenyum, dan menggenggam tangan kokoh Itachi dengan lembut.

Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu Sasuke masuk begitu saja lalu menghampiri Sakura yang tampak sedang berbaring meringkuk— membelakanginya. Setibanya di sana, ia duduk di tepi ranjang. Telapak lebarnya mengusap kepala Sakura. Gadis itu tersentak, lalu menoleh ke asal sentuhan tersebut.

"Sasuke!?" Pria itu tersenyum. Buru-buru Sakura menyembunyikan kemeja dalam pelukannya ke dalam selimut, kemudian ia bangun dan duduk dihadapan Sasuke.

"Kenapa tak turun dan ikut makan bersama kami?" Tanya lelaki emo itu sembari mengelus-elus dagu lancip sang gadis.

Sakura menggeleng pertanda menolak. "Aku sedang tak berselera." Sasuke memejamkan mata, hanya sesaat sebelum kemudian ia menarik Sakura ke dalam dekapannya. Ia memeluk gadis itu, mengelus pucuk kepalanya sembari mengecupinya sesekali.

"Aku bahagia kau kembali.." Sakura mengatupkan mata, mencoba menikmati sandaran hangat tersebut. Tapi tetap saja rasanya berbeda dari pelukan Naruto. "Kumohon jangan pergi lagi, tetaplah di sini bersamaku." Pelukan Sasuke semakin erat. Semakin mencoba semakin pula hati Sakura menolak keras. Pelukan ini benar-benar berbeda dari yang pernah Sakura rasakan sebelumnya.

Kerutan tebal tercipta di dahi Sasuke. Sakura mendorongnya, melepaskan pelukan darinya. Gadis itu menundukan kepala— menyembunyikan raut bersalahnya dari Sasuke.

"Ada apa?" Sasuke menyentuh punggung tangan Sakura. "Kau butuh waktu untuk sendiri?" Dan benar saja, pertanyaannya direspons dengan anggukan kepala. Menghembuskan nafas, lalu Sasuke beranjak. Rasa cintanya terhadap Sakura membuatnya dapat mengerti apa yang Sakura rasakan dan inginkan. "Baiklah, aku pergi sekarang." Ia mengecup puncak kepala Sakura sebelum pergi.

"Maaf.." Cicit gadis merah muda itu, dan Sasuke memakluminya sebagai trauma.

"Aku mengerti." Kepala Sakura terangkat ketika pucuk kepalanya mendapat sentuhan dari telapak lebar. Sedetik kemudian ia turut tersenyum melihat Sasuke tersenyum padanya. Namun bukan senyum tulus, melainkan senyum terpaksa.

"Terimakasih.."

.

.

.

Kushina yang sedang duduk disofa tampak diam sambil mendengarkan Naruto. Jari-jemari lentik miliknya mengelus surai blonde tersebut dengan lembut. "Ibu, aku sudah melakukannya untukmu. Kumohon jangan marah lagi padaku." Pria itu menadahkan kepala, dan menatapnya dari bawah. Kushina tersenyum lembut, lalu menangkup kedua sisi wajah Naruto. Dia tampak menikmati belaian manja darinya.

"Jangan begitu, Ibu melakukan ini juga untuk kebaikan dirimu.." Kushina menarik Naruto, membawanya beranjak dari bawah sofa. "Bagaimana kalau mereka tidak sabar, lalu menyakitimu tanpa belas kasihan? Apa yang bisa Ibu lakukan jika hal itu benar-benar terjadi padamu?" Kepala Naruto tertunduk sambil menyimak ucapan Kushina. "Naruto, Ibu sangat menyayangimu lebih dari apapun. Ibu mohon jangan melakukan tindakan yang bisa membahayakan dirimu sendiri. Sudah cukup Ibu kehilangan kakakmu, dan Ibu tidak ingin sampai kehilangan dirimu juga. Mengertilah sayang."

Naruto patuh kala Kushina membawa pandangannya ke depan. "Ibu.." Wanita cantik itu menunjukan senyum, kali ini lebih lebar. Naruto langsung memeluknya, dan menyembunyikan wajah tampannya dilekukan leher sang Ibu. "Maafkan aku." Setetes luquid menitik disudut mata Naruto. Tidak! Bukan air mata sedih, tapi air mata haru. Ia bahagia sekaligus terharu saat mengingat betapa sangat beruntung dirinya memiliki sosok Ibu sebaik Kushina. Naruto bangga pada Ibunda tercintanya.

Pria muda itu semakin mengeratkan pelukannya terhadap pinggang Kushina. "Aku sayang Ibu.." Sang Ibu mengecup pucuk kepalanya, kemudian mengelus-elus punggung lebarnya.

Sepasang kaki berbalut sepatu kulit bewarna kecoklatan mendarat tepat di depan pintu mansion. Lelaki itu membuka kacamata hitam miliknya, lalu melangkah masuk— menuju ruang tamu. Begitu tiba di tempat tujuan, bibir tipis miliknya tertarik ke atas saat menadapati keluarga kecilnya tengah berpeluk hangat disofa. Ia sangat merindukan mereka berdua, satu lagi yang kini telah berada di surga dan tak akan pernah kembali.

Minato berdeham pelan, sebelum kemudian mengucapkan kalimat yang ia tahan sejak kemarin.

"Aku pulang.."

Sukses, keduanya melepas pelukan lalu menoleh ke asal suara tersebut. "Ayah!" Naruto yang lebih dulu membuka suara, sementara Kushina bergegas menyambut kepulangan sang Suami.

Kushina melepas pelukan mereka, dan menadah untuk menatap wajah tampan yang sejak lama ia rindukan. "Sayang, selamat datang.." Ucapnya kemudian, Minato langsung mendaratkan kecupan lembut di keningnya. Naruto tersenyum melihat kemesraan kedua orang tuanya.

Dibalik itu semua, ada sesuatu yang hilang dari dalam diri Naruto, sama halnya dengan apa yang Sakura alami.

.

.

.

Sepasang tumit high-heels tersebut menapaki lantai koridor dengan langkah anggun. Empunya mengenakan dress pendek di atas lutut tanpa lengan, serta sling bag hitam tampak tertanggal manis di pergelangan kecilnya. Gadis sempurna, di tambah melihat surai merah muda nya yang di gerai, membiarkan ujungnya menyentuh pinggang belakang. Tak lupa, wangi buah strawberry menguar lembut ketika dia lewat, beberapa orang dibuat mabuk olehnya. Wangi tubuh yang sangat menggoda.

Sedikit membungkuk, Sai merentangkan tangan— memberi jalan untuk Sakura lewat. "Silahkan Nona." Dia tersenyum tipis, kemudian meninggalkan lift kotak. Sai mengikuti langkahnya dari belakang. Gadis itu tadi menemuinya di markas, dan memintanya untuk memberi tahukan alamat Naruto. Gadis itu nekat ingin menemui Big Boss mereka. Terlihat jelas bawah dia memiliki obsesi.

Naruto menanggalkan kemeja miliknya di dalam lemari, kemudian menutupnya kembali. Ia berjalan keluar meninggalkan kamar dalam keadaan setengah telanjang, memerkan tubuh roti sobeknya. Kala berada di ruang tamu, Naruto mengambil remote lalu menyalakan telivisi. Baru hendak menghempaskan bokong berisinya disofa, suara ketukan pintu menunda niatnya. Ia menyerngit sambil menatap ke arah pintu.

"Hm!?" Terheran sesaat, namun akhirnya Naruto menghampiri letak pintu. Mungkin ada hal penting yang ingin Sai sampaikan, dan tak bisa dibicarakan melalui sabungan telfon.

Cklekk!

Baru membuka pintu, dan Naruto langsung dikejutkan dengan sosok dihadapannya. Sakura tersenyum haru begitu melihat sosok pria dihadapannya. Seseorang yang sangat ia rinduka dan ia cintai lebih dari apapun. Bahkan nyawanya sendiri.

Naruto menatap bertanya pada Sai, sedangkan lelaki berkulit pucat itu hanya mengangkat bahu sebagai jawaban. Toh, dia memang tidak tahu apa-apa. Tadi tba-tiba saja Sakura mendatangi markasnya, lalu meminta tolong untuk memberitahukan alamat Naruto. Secara, Big Boss nya itu memang tak pernah membawa Sakura bersembunyi di apartemen nya, terlalu terbuka katanya. Sebagai ketua dalam gengster Naruto, maka Sai akan melakukan apa yang menurutnya benar. Seperti mengatarkan Sakura ke tempat tujuan.

"Sakura, apa kau sudah gil—"

Grephh!

Sakura menyela kalimat frontal Naruto dengan pelukan erat. Ia bahkan tak memberi kesempatan kepada lelaki pirang itu untuk menuntaskan kalimatnya. Naruto menatap Sai yang masih setia berdiri dibelakang Sakura, lalu ia pun mengisyaratkannya untuk pergi meninggalkan mereka berdua. Dia patuh, dan bergegas meninggalkan mereka.

Gadis itu menyembunyikan hidung lancipnya di dada bidang Naruto, dan semakin mengeratkan pelukannya terhadap pinggang kokoh pria itu. "Naruto, aku sangat merindukanmu." Mendengarnya membuat Naruto cengo, bahkan mengerjap tanpa henti.

Naruto ragu untuk menyentuh punggung Sakura, sampai akhirnya ia memberanikan diri melakukannya. "H-hey!" Bodoh, ia malah mengelus punggung mungil tersebut. Gerakannya agak kaku.

Sakura menadahkan kepala, dan menatap wajah tampan yang ia rindukan dari bawah. Tiga hari ia lalui tanpa melihat Naruto rasanya benar-benar menyiksa batin. Lebih sakit daripada saat pernikahannya gagal. "Aku menyerahkan segala yang ada dalam diriku kepadamu." Naruto menelan ludah. "Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Yang aku inginkan hanya dirimu, bukan yang lain.."

Naruto tak dapat berbuat apa-apa, bahkan ketika Sakura kembali memeluk tubuh telanjangnya. Gadis itu tampak kenyamanan. "Sakura.." Ia merunduk, menatap Sakura yang kini tengah menikmati pelukan pada tubuh polosnya. Dan akhirnya, lambat laun hati Naruto tergerak— ingin menyentuh kepala pink itu dan mengusap rambutnya dengan lembut. Sejujurnya, ia tak kalah rindu pada gadis suci ini, hanya saja ia enggan mengakuinya.

"Jdikan aku milikmu seorang." Lama-lama Naruto dapat merasakan perubahan dalam pelukan Sakura terhadapnya. Hawa panas ini meningkatkan birahinya. "Aku mencintaimu, Naruto.." Dan benar saja, gadis itu jatuh cinta padanya. Dia memiliki rasa terhadap orang yang telah merusak hidup dan impian indahnya.

Sungguh bodoh. Sakura jatuh cinta padanya, sama halnya dengan dirinya sendiri. Intinya, mereka saling jatuh cinta tanpa peduli apapun.

Naruto membawa Sakura masuk, lalu menutup pintu dan menguncinya setelah itu. Berakhir sudah semuanya, termasuk kisah cinta Sakura. Percaya atau tidak, gadis itu malah jatuh cinta 'lagi' kepada pria lain. Ialah pria yang telah menghancurkan hidupnya, termasuk cintanya. Toh, tak ada yang bisa di sesali bila perasaan suci itu hadir dengan sendirinya.


THE END


No no, ini masih belum berakhir, akan ada epilog yg menanti..

Publish setelah lebaran...