Padam Asa

Ashita no Nadja is not Mine

.

.

.

Keith terus berlari tanpa arah tujuan, menuruti kedua kaki jenjangnya menyusuri padang rumput nan luas itu. berkali ia mengusap air mata yang membentuk jejak-jejak samar di pipinya. Dadanya begitu sesak kala tahu yang dicintainya justru menaruh hati pada yang lain. Sakit.

Ia terjatuh tak lama berlari. Ia tak sanggup bangkit lagi. Hanya dapat berbaring di hamparan rumput hijau yang disinari terik mentari.

Nadja.

Ya. Nadja.

Gadis mentari yang selama ini mengisi ruang dihatinya. Membantunya menghirup puing-puing udara yang memberi volume di dadanya. Kenyataan begitu pahit saat ia tahu Nadja ternyata mencintai Francis. Tanpa sadar kedua kakinya membawanya kemari, berbaring sendiri. Hanya bertemankan angin dan terik mentari yang membakar kulit.

Kedua tangannya mencoba menggapai angin. Jemarinya sontak terhenti di udara. Setelahnya teronggok lemas dikedua sisi tubuhnya. Sulit baginya mengucap terimakasih karena berhasil membuatnya jatuh cinta. Karena akhirnya ia tahu bahwa kebahagiaan itu bersyarat. Karena ada dia yang melengkapinya meski hatinya bukan untuk Keith.

Salahkah jika ia berharap? Haruskah ia tak lagi berharap dan menyimpan asanya atau menitipkan asa itu pada ang lain?

Keith takut.

Ya. Takut.

Takut untuk mengulang rasa pada orang yang sama. Takut menyimpan asa pada orang yang sama.

Masikah boleh ia ungkapkan sebuah pesan bahwa cinta itu peristiwa di dalam roh. Tak dapat didefinisikan namun dapat ia rasakan. Meski hatinya kecewa dan terluka merajuk duka dan lara. Berisikan mimpi yang tak terwujud antara mereka berdua.

Haruskah ...

Haruskah ia padamkan asanya untuk terus mencintai dan mengharap kembali perasaan Nadja padanya?