Boboiboy mengetukkan jarinya dengan gelisah di atas meja. Ia tak henti-hentinya memandang ke luar jendela, mengawasi setiap sosok yang berseliweran dan bertanya-tanya dalam hati siapakah orang yang akan ditemuinya hari ini. Siapakah gadis yang akan menjadi pasangan kencan buta pertamanya ini?

Salahkan sahabat landaknya, yang membuat Boboiboy berakhir di cafe kecil di sudut kota ini. Tanpa meminta persetujuannya, Fang mendaftarkan Bobobioy ke sebuah situs kencan online, dan yang lebih parahnya lagi, pemuda berkacamata itu langsung membuat janji dengan seorang gadis tak dikenal untuk sebuah kencan buta. Kalau saja membunuh itu tidak ilegal, Fang pasti sudah dihabisi dengan brutal oleh Boboiboy.

"Kau sudah terlalu lama menjomblo, Boboiboy. Dan sebagai sahabatmu, namaku jadi tercoreng karena punya sahabat seorang jones sepertimu."

Begitulah komentar Fang begitu Boboiboy memprotes tindakan —yang dianggap mulia oleh Fang— itu.

Yang benar saja, pikir Boboiboy kesal sembari jari-jarinya terus mengetuk meja. Ia kan belum se-menyedihkan itu sampai harus mencari seorang pasangan di situs kencan online. Apalagi ia tidak mengenal gadis itu, wajahnya saja tidak tahu. Satu-satunya informasi yang dimiliki Boboiboy tentang gadis pasangan kencannya adalah id-nya, 'Miss Strawberry'. Dari nama id-nya saja Boboiboy sudah bisa menduga seperti apa gadis yang akan ditemuinya. Pasti tipe gadis menyebalkan yang manja dan kekanak-kanakan.

Rintik-rintik hujan perlahan mulai berjatuhan dari langit yang memang sedari tadi digayuti awan kelabu tebal. Hujan perlahan mulai membasahi trotoar dan jalanan beraspal di luar, dan membuat para pejalan kaki mempercepat langkah mereka untuk sampai ke tempat tujuan.

Boboiboy menatap tetes-tetes air yang berjatuhan di luar. Mau tak mau ia jadi merasa sedikit bernostalgia. Café ini … dan juga hujan, membawa banyak kenangan yang sebenarnya tak ingin diingatnya. Kenangan tentang gadis yang pernah —tidak, yang masih— mengisi setiap ruang kosong di hatinya. Tentang si gadis merah jambu.

Salah satu alasan kenapa Boboiboy tidak menyetujui ide kencan buta ini adalah, karena tempat janjiannya adalah café ini. Ini bukan cuma sekedar café kecil biasa di pinggiran kota, yang diberitahukan Fang padanya. Tapi café ini menyimpan banyak kenangannya bersama seseorang yang dulu pernah jadi miliknya.

Ini adalah café tempat kencan pertamanya dengan dia, sang mantan kekasih.

Aroma kopi yang menguar di udara, ditambah pemandangan kelabu di jalanan di luar, otomatis membuat Boboiboy galau setengah mati. Ia setengah berharap gadis yang akan dikencaninya tak akan datang, sehingga ia bisa segera pergi dari tempat ini, dan menjauh dari semua kenangan yang —terlalu indah untuk dilupakan, tapi terlalu sedih untuk dikenang— memenuhi setiap sudut café kecil ini.

Kedua iris hazel Boboiboy menangkap sebuah sosok yang tengah berlari kecil menyeberangi jalan sambil memayungi kepalanya dengan tas tangan. Jantung Boboiboy berdegup cepat saat melihat sekilas warna merah muda yang sangat dikenalnya. Tapi Boboiboy buru-buru menyingkirkan pikiran itu dari benaknya. Tak mungkin ia ada di sini sekarang. Pasti Boboiboy cuma membayangkannya karena ia sedang memikirkan gadis itu. Lagipula, banyak gadis lain yang suka memakai warna merah muda, tak hanya dia.

Lalu Boboiboy teringat ucapan Fang tentang gadis pasangan kencan butanya. Gadis itu akan mengenakan pakaian merah muda, kata Fang. Mungkinkah dia …?

Seseorang melangkah masuk melewati pintu café, dan Boboiboy langsung mengumpat keras dalam hatinya begitu mengenali sosok pendatang baru itu. Ingin sekali ia segera pergi dari tempat ini, tapi mungkin sudah terlambat, karena gadis itu kini tengah melangkah ke arahnya.

.

.

.

'Blind Date'

Disclaimer : Boboiboy © Animonsta Studios

Warning : AU, BoboiboyxYaya, slight FangxYing, Teen!Boboiboy charas, typo(s)

.

.

.

Suara kliningan lonceng kecil di pintu masuk sebuah café bernuansa cokelat lembut terdengar, dan sesosok gadis berkerudung melangkah masuk. Ia sedikit mengusap tetes-tetes hujan di wajahnya, sebelum mengedarkan pandagannya ke seisi cafe dan akhirnya menemukan sosok yang —kelihatannya— dicarinya. Pemuda itu duduk sendirian di dekat jendela, dengan wajah tertutupi sepenuhnya oleh buku menu yang tengah serius dibacanya.

Yaya menghampiri orang itu dengan sedikit ragu, bertanya dalam hati apakah memang orang itu yang ingin ditemuinya. Tapi semua pengunjung lain kelihatannya sudah memiliki teman, hanya pemuda ini yang duduk sendirian dan terlihat tengah menunggu seseorang. Jadi, sudah pasti dia, kan?

"Umm, maaf, apakah kau ..."

Mata Yaya terbelalak begitu melihat wajah si pemuda misterius yang sedari tadi berusaha keras bersmbunyi di balik buku menunya. Dan sekarang Yaya mengerti kenapa pemuda itu berusaha menutupi wajahnya.

"Boboiboy?" ucapnya tak percaya.

Pemuda bertopi jingga itu balas memandangnya dengan sama tercengangnya sambil meringis.

"Ternyata memang kau. Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Boboiboy sambil meletakkan kembali buku menunya.

"Oh, a-aku ..." Yaya memandang ke sekelilingnya dengan gugup, berharap ia melihat orang lain yang mungkin saja adalah orang yang ingin ditemuinya. Tapi hanya Boboiboy satu-satunya pengunjung yang duduk sendirian. "Kau … tidak mungkin 'OrangeBoy', kan?" tanya Yaya takut-takut.

Boboiboy ternganga. Kedua iris karamelnya melebar dalam keterkejutan. "Tak mungkin ... masa sih kau 'Miss Strawberry'?" tanyanya balik.

Dua pasang netra cokelat saling berpandangan, sama-sama tak mempercayai kenyataan di hadapan mereka. Lalu tanpa dapat dicegah, keduanya tertawa pada saat bersamaan.

"Jadi kau 'OrangeBoy'? Ya ampun, kupikir siapa yang punya nama senorak itu. Ternyata kau, pantas saja ..." kata Yaya di sela-sela tawanya.

"Kau sendiri? 'Miss Strawberry' … Nama macam apa itu?" balas Boboiboy sambil mengusap air mata tawanya.

Yaya kemudian melemparkan tasnya di meja dan menghempaskan dirinya di kursi yang berhadapan dengan Boboiboy. Tawa telah menghilang dari wajahnya. Kini ia tengah memandang pemuda di hadapannya sambil mengernyit.

"Oh, jadi begini kerjaanmu sekarang? Mencari pacar baru dengan ikut kencan buta di situs online? Sudah berapa banyak gadis yang kau kencani?" tanya Yaya galak.

"Hei, enak saja. Ini pertama kalinya aku ikut kencan buta, tau!" kata Boboiboy membela diri. "Justru aku yang seharusnya berkata begitu. Sejak kapan kau mau ikut acara kencan seperti ini? Jangan-jangan kau sudah sering melakukan ini sejak kita putus?"

"Jangan sembarangan! Ini juga pertama kalinya bagiku."

Keduanya saling mendelik satu sama lain, mencoba mencari kebohongan di mata masing-masing.

"Jadi," ucap Boboiboy setelah keheningan cukup panjang, "Apa kau mendaftar sendiri untuk kencan buta ini?"

"Tidak. Aku malah sama sekali tidak tau ada situs semacam itu. Ying mendaftarkanku tanpa memberitahuku. Dan tau-tau saja aku disuruh ikut kencan buta hari ini," kata Yaya sambil memberengut kesal.

"Oh, aku juga sama. Aku didaftarkan oleh Fang dan …"

Boboiboy dan Yaya kembali bertatapan, dan sebuah pemahaman muncul di benak mereka.

"Si duo kacamata itu ... pasti mereka sengaja mengerjai kita," kata Boboiboy geram sambil mengepalkan tangannya.

"Ya ampun, jadi kita dikerjai?" ucap Yaya tak percaya sahabat tercintanya tega mengkhianatinya seperti ini.

"Awas saja, aku akan memberi pelajaran pada Fang kalau bertemu dengannya nanti," kata Boboiboy, kesal setengah mati karena dikerjai oleh teman mata empatnya itu.

"Hei, kau tidak boleh berkelahi dengan teman sendiri," kata Yaya tiba-tiba galak.

Boboiboy menatap kedua mata cokelat Yaya, dan untuk sesaat ia seolah lupa tentang perpisahan mereka beberapa bulan lalu. Tapi saat kenyataan itu kembali menyusup ke kepalanya, Boboiboy seolah merasa jantungnya baru saja dihantam dengan palu.

Ini tidak benar, mereka sudah memutuskan untuk berpisah —atau setidaknya ia sudah memutuskan untuk berpisah dengan Yaya. Mereka tidak bisa duduk santai di sini, dan mengobrol seolah tak terjadi apa-apa. Ini tempat di mana mereka pertama kali berkencan, dan juga ada segudang kenangan lain yang mereka habiskan bersama di sini.

Boboiboy akhirnya berdeham pelan. "Nah, jadi sepertinya kau dan aku baru saja dikerjai oleh dua sahabat tercinta kita," ujarnya, berusaha tak memandang Yaya. "Jadi kurasa tak ada gunanya lagi kita terus duduk di sini. Karena itu aku akan ..."

Baru saja Boboiboy bangkit dari tempat duduknya, Yaya buru-buru menarik lengan jaketnya, menahannya agar tidak pergi.

"Tunggu dulu!" kata Yaya, sedikit labih keras dari yang dimaksudkannya. Beberapa pengunjung menoleh ke arah mereka dengan padangan ingin tahu, membuat wajah Yaya merona merah.

"Maksudku ... jangan pergi dulu," kata Yaya lagi, kali ini sedikit berbisik. "Ada yang ingin kubicarakan denganmu."

Boboiboy mengangkat alisnya, menimbang selama beberapa saat sebelum akhirnya menghempaskan dirinya kembali ke kursi.

Yaya terlihat lega karena Boboiboy membatalkan niatnya untuk pergi. Ia kemudian memanggil pelayan untuk memesan makanan. Boboiboy baru ingat ia belum memesan apapun karena memilih untuk menunggu pasangan kencan butanya lebih dulu —yang ternyata adalah mantan kekasihnya sendiri.

"Kami pesan dua cangkir latte dan dua lemon cheesecake," kata Yaya pada pelayan yang kemudian mencatat pesanan mereka.

Setelah pelayan itu pergi untuk menyiapkan pesanan mereka, Yaya kembali menoleh ke arah Boboiboy dan menyadari pemuda itu tengah menatapnya dengan ekspresi aneh.

"Apa? Kau masih suka minum latte, kan? Atau sekarang kau lebih menyukai espresso?" tanya Yaya.

"Eww, kau tau aku benci yang pahit-pahit," kata Boboiboy sambil bergidik membayangkan minuman hitam pahit yang sering diminum oleh Fang dan Gopal.

"Cih, laki-laki lain kebanyakan lebih menyukai kopi pahit, tapi kau malah menyukai latte," cibir Yaya.

"Biarin. Hidupku sudah cukup pahit tanpa aku perlu menyukai makanan atau minuman pahit," kata Boboiboy masam.

Yaya sekali lagi mencibir, sebelum mengalihkan pandangannya ke luar jendela, di mana hujan yang kini turun cukup deras mengaburkan pemandangan di luar.

Tak ada yang berbicara di antara mereka. Keduanya sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing. Dengan alunan musik lembut dan juga suara tetesan hujan yang menjadi latar belakang.

Pelayan café akhirnya kembali dengan membawa dua cangkir latte dan juga dua piring berisi cheesecake. Tapi pelayan ini berbeda dengan pelayan yang tadi mencatat pesanan mereka. Wajah ini terlihat cukup familiar bagi keduanya. Dan saat pria paruh baya itu meletakkan pesanan mereka di meja, ia tersenyum ramah.

"Wah, saya sudah lama tidak melihat kalian berdua di sini," sapanya.

"Eh, oh, halo paman," kata Boboiboy sedikit canggung, saat mengenali pria itu sebagai manajer café yang sering ditemuinya.

"Sudah berapa lama paman tidak melihat kalian? Padahal dulu kalian hampir setiap minggu datang ke cafe ini."

Boboiboy hanya meringis sambil berusaha memaksakan senyum, sementara Yaya terlihat salah tingkah dan berpura-pura menghirup kopinya yang baru saja disajikan.

"Oh ya, kami sedikit sibuk akhir-akhir ini," dusta Boboiboy.

Pria itu tersenyum dan meletakkan dua buah piring berisi cheesecake di hadapan Boboiboy dan Yaya. Ia memandangi keduanya selama beberapa saat, membuat Boboiboy dan Yaya merasa semakin salah tingkah.

"Berapa kalipun dilihat, kalian tetap pasangan yang paling serasi menurut paman," ujarnya. Ia kemudian melemparkan senyum sekali lagi, sebelum berlalu kembali ke belakang.

Yaya terbatuk-batuk dan tak sengaja menumpahkan sedikit minuman ke bajunya saat sang manajer café telah menghilang ke belakang. Ia buru-buru mengeluarkan tisu basah dari tas kecilnya dan berusaha membersihkan noda kopi di pakaiannya.

Boboiboy berpura-pura tak melihat dan memilih menyibukkan diri dengan mulai memakan cheesecake-nya.

"Paman itu punya ingatan yang baik, ya," komentar Boboiboy sambil lalu.

"Ya, dia masih mengingat kita," balas Yaya yang masih sibuk membersihkan bajunya.

"Pasti karena kita terlalu sering datang ke café ini," kata Boboiboy sambil menerawang ke luar jendela. "Mungkin lain kali kita harus mencari cafe lain ..."

Sadar akan apa yang baru saja diucapkannya, wajah Boboiboy sontak merona. Ia berdeham pelan untuk mengusir rasa canggung yang diakibatkan oleh kata-katanya dan mulai menyesap latte-nya perlahan.

"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan denganku?" tanya Boboiboy. Lebih cepat mereka sampai ke inti permasalahan, semakin cepat ia bisa meninggalkan tempat ini.

"Oh, ya," Yaya berlama-lama membungkus tisu kotor yang baru digunakannya dan menyimpannya ke dalam tasnya. Setelah itu barulah ia mendongak dan menatap langsung kedua mata Boboiboy. "Aku ingin bertanya kenapa kau memutuskanku waktu itu."

Boboiboy tersedak mendengar pertanyaan Yaya yang terlalu mendadak —walau ia tak sepenuhnya terkejut Yaya menanyakan itu— dan ia menumpahkan kopi lebih banyak daripada yang ditumpahkan Yaya tadi.

"A-apa?" tanya Boboiboy sambil terbatuk-batuk.

"Aku tanya, kenapa kau memutuskanku dua bulan yang lalu," kata Yaya sambil melipat kedua lengan di depan dada dan menatap Boboiboy tanpa berkedip.

"Bukannya sudah jelas? Aku memutuskanmu untuk kebaikanmu sendiri."

"Kebaikanku? Yang benar saja. Kau tau apa yang terjadi setelah kita putus?"

Boboiboy tidak menjawab. Ia hanya memandang wajah Yaya yang terang-terangan menunjukkan ekspresi kemarahan, dan sedikit rasa bersalah menyusup di hatinya saat mengingat kejadian dua bulan yang lalu, saat ia memutuskan hubungannya dengan Yaya.

.

.

.

Flashback

"Kau sudah dengar? Katanya Yaya mendapat beasiswa untuk melanjutkan kuliah di Boston!"

"Yang benar? Ah, aku iri sekali padanya. Hidupnya benar-benar sempurna. Punya pacar tampan, otak cemerlang, dan masa depannya juga terjamin! Andai saja kau bisa menjadi seperti Yaya ..."

Boboiboy menyeruput jus jeruknya dengan ekspresi masam. Gadis-gadis yang berkasak-kusuk di belakang kursinya benar-benar menganggunya. Bukan karena suara cempreng mereka yang berisik, tapi karena topik yang mereka bicarakan adalah mengenai kekasihnya.

Fang yang tengah menghabiskan donat jatah makan siangnya memandang geli ekspresi Boboiboy yang duduk di hadapannya.

"Cih, 'pacar yang tampan'? Kurasa mata mereka perlu diperiksa, sejak kapan kau jadi tampan? Gantengan juga aku," kata Fang dengan percaya dirinya.

Boboiboy memberengut. "Aku sedang tidak mood bercanda, Fang," ujarnya.

"Oooh, ada yang sedang ngambek karena pacarnya tersayang mau pergi jauh," kata Gopal sambil cekikikan.

"Di sana kan cowoknya jauh lebih tampan dan tinggi, kurasa kau harus menyiapkan hati Boboiboy. Yaya bisa saja terjerat oleh salah satu bule keren di sana," timpal Fang.

Gopal dan Fang kemudian tertawa puas karena berhasil menggoda sahabat mereka. Sementara Boboiboy, yang bibirnya semakin lama semakin manyun ke depan, hanya bisa menatap mereka dengan kesal tanpa bisa membalas. Kata-kata Fang dan Gopal semakin lama semakin membuatnya sebal, hingga ia akhirnya beranjak dari kursinya dan pergi meninggalkan kantin dengan marah, meninggalkan kedua sahabatnya yang masih terus tertawa setelah puas mengerjainya.

Boboiboy menggerutu pelan di sepanjang koridor yang dipenuhi para mahasiswa yang tengah mengobrol. Ia sudah uring-uringan sejak beberapa hari lalu, setelah Yaya mengabarkan padanya bahwa ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah di luar negeri.

Yang benar saja, Boboiboy sudah bersusah payah belajar- mati-matian agar bisa diterima di universitas —dan juga fakultas— yang sama dengan Yaya, walau jurusan mereka berbeda. Tapi sekarang gadis itu malah akan pergi meninggalkannya? Apa-apaan itu? Kalau begitu sia-sia saja perjuangannya selama ini untuk tetap bisa berada di dekat Yaya.

Bukannya ia tidak senang Yaya mendapat beasiswa itu. Tentu saja ia juga senang mendengarnya, bahkan ia sangat bangga karena gadis itu adalah kekasihnya. Tapi ayolah, Boston itu tidak dekat. Bukan perjalanan yang bisa ditempuh dalam waktu satu atau dua jam. Bagaimana bisa Boboiboy tahan berada sejauh itu dari Yaya?

Kalau saja ia bisa membujuk ayahnya untuk menguliahkannya di luar negeri juga …

Kaki Boboiboy berhenti melangkah saat kedua netranya menangkap sesuatu di dalam kelas yang baru saja dilewatinya. Ia kembali mundur beberapa langkah dan mengintip dengan hati-hati melalui jendela ke dalam sebuah kelas kosong, yang tidak sepenuhnya kosong. Ada dua orang yang tengah bercakap-cakap di dalam. Boboiboy mengenali salah satu dosen di fakultasnya, dan sosok yang satu lagi adalah gadis yang sedari tadi dipikirkannya, Yaya.

"Kau yakin dengan keputusanmu ini, Yaya?"

Boboiboy mendengar suara sang dosen yang tengah berbicara pada Yaya begitu ia menempelkan telinganya di daun pintu.

"Ya, saya yakin seratus persen, bu," jawab Yaya.

"Tapi Yaya, sayang sekali kalau kau menyia-nyiakan kesempatan ini. Jarang lho, ada tawaran untuk beasiswa penuh ke luar negeri seperti ini."

"Tidak apa-apa, bu. Mungkin lain kali saya punya kesempatan lain yang jauh lebih baik."

"Yah, baiklah kalau itu memang keputusanmu. Tapi coba pikirkan sekali lagi, masih ada beberapa hari sebelum pendaftarannya ditutup."

"Baik, bu. Terima kasih banyak."

Boboiboy buru-buru menyingkir dari depan pintu dan bersembunyi di balik salah satu pilar tak jauh dari situ. Ia mengawasi saat sang dosen pergi meninggalkan kelas kosong itu, diikuti oleh Yaya tak lama kemudian.

"Yaya, tunggu," kata Bobobioy, mencegat Yaya.

"Oh, Boboiboy. Aku baru saja mau menemuimu," kata Yaya ceria. "Dengar, aku tidak jadi …"

"Kenapa kau batal ikut beasiswa itu?"

"Eh?"

"Kenapa kau membatalkan tawaran beasiswamu?" ulang Boboiboy tak sabar.

"Oh, dari mana kau tau?" Yaya menyipitkan mata curiga. "Jangan bilang kau barusan menguping?"

"Yah, aku cuma sedang lewat sini dan tak sengaja mendengar," kata Bobobioy sambil menggaruk pipinya. "Oke, jadi ... kenapa?"

Yaya menghembuskan nafas panjang. Ia melipat kedua tangannya di depan dada dan memandang kedua mata Boboiboy yang menuntut jawaban.

"Karena aku lebih suka di sini."

"Hah?"

"Aku tidak jadi ikut beasiswa itu karena terlalu jauh. Boston sama sekali tidak dekat, kan? Aku tidak yakin apa aku bisa hidup sendirian sejauh itu. Lagipula, aku memang jauh lebih suka berada di sini."

Boboiboy memandang Yaya dengan tatapan tak percaya. "Itu alasanmu? Kau membuang kesempatan mendapatkan beasiswa cuma karena itu? Bukannya kau selalu bilang kalau mendapat beasiswa ke luar negeri adalah impianmu?"

Yaya mengernyitkan dahinya tak suka. "Memangnya kenapa kalau alasanku cuma itu? Lagipula itu alasan yang penting buatku," ujarnya.

"Tapi, Yaya ..."

"Kau ini kenapa, sih? Bukannya kau sendiri yang beberapa hari ini selalu uring-uringan karena aku akan pergi jauh? Sekarang setelah aku memutuskan untuk tetap tinggal, kenapa kau malah protes?"

"Aku bukannya tidak suka kalau kau tetap di sini, tapi aku juga tidak mau kau menyia-nyiakan kesempatan berharga seperti itu begitu saja."

"Aku akan punya banyak kesempatan lain nanti."

"Kenapa kau yakin sekali? Bagaimana kalau tidak ada kesempatan lain?"

Yaya kini mulai mengerang frustasi. Ia sedikit menghentakkan kakinya tak sabar dan menatap marah kepada Bobobioy. "Kenapa kau tidak bisa mengerti sih? Aku memutuskan untuk tetap di sini karena kau! Kau bilang tidak ingin jauh dariku, kan? Nah, aku telah memikirkannya dan ternyata aku juga tidak ingin jauh darimu!"

Wajah Yaya benar-benar merah sekarang, campuran antara malu dan juga kesal.

Ekspresi kesal yang sedari tadi ditunjukkan Bobobioy berganti dengan wajah tercengang. Ia mengedipkan mata beberapa kali, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

"Kau ... membatalkan beasiswamu karena aku?" tanya Boboiboy masih tak percaya.

"Ya, Boboiboy, ya. Masa begitu saja kau tidak mengerti, sih?" kata Yaya gemas.

"Ta-tapi …" Boboiboy tak tahu harus berkata apa. Ia hanya bisa memandangi Yaya dengan campuran rasa haru dan senang. Ternyata bukan hanya dirinya yang ingin selalu berada di dekat Yaya, gadis itu juga tidak ingin pergi jauh darinya.

Tapi sebuah pikiran lain hinggap di benak Boboiboy. Tidak, ini tidak benar. Yaya tidak boleh membuang mimpinya begitu saja hanya karena dirinya. Boboiboy tidak ingin Yaya merasa menyesal di kemudian hari karena menyia-nyiakan kesempatan di depan mata, hanya demi seseorang sepertinya.

"Tidak, Yaya. Kau tidak boleh membatalkan beasiswamu."

Yaya terkejut mendengar perkataan Boboiboy, terutama perubahan nadanya yang kini terdengar dingin. Ia membelalak tak mengerti.

"Apa maksudmu?"

"Aku tidak mau kau membuang beasiswamu begitu saja, cuma karena aku."

Wajah Yaya kembali merona. "A-aku tidak melakukannya hanya karena dirimu! Tapi, yah, memang itu alasan terbesarnya …" gumamnya malu.

"Yaya, aku tau dari dulu kau selalu bermimpi ingin melanjutkan pendidikan di luar negeri. Nah, sekarang kau sudah mendapatkan kesempatan itu. Jadi, tak perlu khawatirkan aku dan pergi saja mengejar mimpimu, oke?" ujar Boboiboy.

"Tapi, Boboiboy, aku benar-benar ingin tetap di sini. Aku tidak ingin pergi ke mana pun. Aku sudah tidak bermimpi ingin kuliah di luar negeri lagi," kata Yaya putus asa mencoba membuat kekasihnya itu mengerti.

Boboiboy tiba-tiba memegang erat kedua bahu Yaya dan memaksa gadis itu menatap matanya, tapi Yaya berusaha sekuat tenaga untuk menghindar. "Tatap aku dan bilang kalau kau memang sudah tidak bermimpi ingin kuliah di luar negeri lagi," pintanya tegas.

Yaya tak bisa menyanggupi permintaan Boboiboy. Ia hanya menunduk menatap sepatunya dan tidak berkata apa-apa.

"Yaya ... kau memang masih memimpikan hal itu. Jadi kenapa kau harus membuangnya?"

"Kenapa kau tidak juga mengerti? Sudah kubilang aku melakukan ini karena aku tidak ingin jauh darimu. Kalau aku pergi, siapa yang tau apa yang akan kau lakukan di sini tanpaku? Ada banyak gadis-gadis penggemarmu yang pasti siap merebutmu begitu aku sudah tidak ada. Dan aku tidak akan pernah rela menyerahkanmu pada mereka."

Boboiboy memijit kepalanya sambil menggeleng tak percaya. Kenapa gadisnya ini bisa punya pikiran seperti itu, sih? Memangnya ia terlihat seperti laki-laki playboy yang suka berselingkuh di belakang kekasihnya? Lagipula, bukannya ia yang justru terancam Yaya akan direbut oleh para bule-bule tampan di luar sana?

"Oke, baiklah kalau itu keputusanmu," kata Boboiboy akhirnya. Ia menelan ludah dengan pahit dan menguatkan hatinya untuk mengucapkan kata-kata selanjutnya. "Kalau kau tetap berpikiran seperti itu, lebih baik kita putus."

Yaya membelalakkan matanya lebar. Ia tercengang menatap Boboiboy, tak percaya dengan apa yang baru saja keluar dari mulut pemuda itu.

"A-apa?"

"Kita putus," kata Boboiboy mutlak. "Aku tidak ingin punya pacar yang memiliki pikiran dangkal sepertimu. Lebih baik aku mencari gadis lain yang pikirannya jauh lebih waras dirimu."

Boboiboy melihat kedua mata cokelat Yaya digenangi air mata dan merasakan tikaman di ulu hatinya karena telah membuat gadis yang sangat disayanginya menangis. Tapi ia tidak boleh menarik kembali kata-katanya. Ini yang terbaik untuk Yaya. Ia tidak ingin gadis itu membuang impiannya hanya karena dirinya.

Tak tahan dengan kebisuan Yaya, Boboiboy akhirnya berbalik dan melangkah meninggalkan gadis itu. Setiap langkah terasa menyakitkan baginya, dan ia berulang kali menahan diri untuk tidak berbalik. Tapi Boboiboy terus meyakinkan hatinya bahwa ini memang yang terbaik. Biarlah ia harus berpisah dengan Yaya, yang penting gadis itu bisa meraih impiannya.

Boboiboy tiba-tiba merasakan sebuah benda keras menimpuk kepalanya, membuatnya mengaduh kesakitan.

Saat Boboiboy berbalik, ia melihat Yaya telah melangkah pergi dengan marah. Dan sebuah sepatu merah muda cerah tergeletak tak jauh dari tempatnya berdiri.

.

.

.

"Nah?"

Boboiboy tersentak kembali ke alam nyata. Ia memandang Yaya yang duduk di hadapannya, dan merasa seolah kejadian yang tadi melintas kembali di pikirannya baru saja terjadi kemarin.

"Jadi, kau mau menjelaskan alasanmu memutuskanku atau tidak?" kata Yaya sambil mengacungkan garpunya dengan sedikit mengancam.

Boboiboy mendesah pelan. "Sudah jelas, kan? Aku memutuskanmu karena ingin kau tetap meneruskan mimpimu tanpa mempedulikan aku," katanya.

"Cih, aku tidak mau menerima alasan seperti itu. Justru gara-gara kau aku jadi kehilangan mimpiku," tukas Yaya.

"Ya, ya, aku tau," ujar Boboiboy.

Ia memang sudah banyak mendengar tentang Yaya setelah mereka putus. Ying yang berkuliah di jurusan yang sama dengan Yaya menjadi informan tetap Boboiboy, yang memberinya laporan lengkap setiap hari tentang keadaan gadis berkerudung iu.

Yaya memang akhirnya memutuskan untuk kembali mengikuti tes beasiswanya, tapi ia gagal—dengan cukup menyedihkan sebenarnya. Dan Ying memberitahu Boboiboy —dengan berapi-api— bagaimana Yaya menjadi depresi sejak putus darinya. Tidak hanya kehilangan beasiswanya, semua nilainya juga merosot dan ia berulang kali diminta untuk menghadap dosen walinya.

"Nah, kalau kau tau, kau seharusnya sekarang berlutut meminta maaf padaku," kata Yaya kejam.

"Jangan bercanda, masa aku harus berlutut di depanmu?" kata Boboiboy sambil memutar bola mata menghadapi sikap kekasih—ralat, mantan—nya ini yang ia rasa terlalu hiperbola. Tapi melihat ekspresi sangar yang ditunjukkan Yaya, mau tak mau Boboiboy merasa nyalinya sedikit ciut.

"Oke, oke, aku minta maaf. Aku menyesal, sangat menyesal sudah memutuskanmu seperti itu," kata Boboiboy. "Saat itu aku berpikir keputusan itu adalah yang terbaik untukmu. Aku melakukannya untuk kebaikanmu, percayalah. Aku hanya tidak mengira semuanya akan menjadi sekacau ini."

Yaya menghela nafas panjang. Ia akhirnya berhenti memandang galak ke arah Boboiboy—yang membuat pemuda itu menghembuskan nafas lega— dan menunduk menatap cheesecake yang tanpa sadar sedari tadi terus ditusuknya dengan brutal menggunakan garpu.

"Aku membencimu, kau tau itu? Aku sangat, sangat membencimu," kata Yaya.

"Ya, aku tau. Kau memang pantas membenciku," ucap Boboiboy penuh penyesalan. "Aku akan melakukan apa pun untuk menebus kesalahanku."

Tapi Yaya seolah tidak mendengarkan ucapan Boboiboy. Ia terus menusuk-nusuk cheesecake-nya dan tak hentinya bergumam 'aku membencimu, aku membencimu', sementara Boboiboy hanya bisa menatapnya nanar.

Setelah puas melampiaskan kekesalannya pada kue tak berdosa —yang kini sudah tak berbentuk lagi—, Yaya akhirnya mengangkat kembali wajahnya dan menatap lurus ke arah Boboiboy.

"Aku minta maaf," ucapnya tiba-tiba.

Boboiboy yang sedari tadi tak pernah mengalihkan tatapannya dari gadis itu, melebarkan matanya kaget. "Hah?" ucapnya tak mengerti.

"Aku … minta maaf," ulang Yaya dengan suara pelan.

"Er… minta maaf kenapa?" tanya Boboiboy sambil menggaruk pipinya bingung. Kenapa malah Yaya yang minta maaf? Bukannya gadis itu sedari tadi terus menyalahkan Boboiboy?

"Karena pikiran bodohku waktu itu," gumam Yaya. Wajahnya kembali merona dan ia menunduk sambil memaminkan jari-jarinya. "Aku sudah memikirkannya, tentang keputusanku waktu itu. Dan ternyata itu memang keputusan yang bodoh. Aku membuang kesempatan berharga begitu saja, cuma karena alasan sepele. Yah, tidak sepele juga sih sebenarnya, aku kan memang tak ingin jauh darimu ..." Yaya merasa wajanya bisa saja mengeluarkan asap sekarang, saking malunya ia dengan apa yang baru saja diucapkannya. Tapi ia berusaha menguatkan diri untuk tetap melanjutkan kata-katanya.

"Aku sudah introspeksi diri. Dan aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak pernah membuat keputusan tanpa berpikir panjang seperti itu lagi. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan berharga lain yang diberikan padaku, jika itu memang penting untuk masa depanku."

Yaya mendongakkan kepalanya, menatap kedua iris karamel Boboiboy. "Jadi, aku ingin minta maaf karena pernah punya pikiran sedangkal itu. Dan ... aku juga ingin berterima kasih karena kau telah membantu menyadarkanku ..."

Bibir Boboiboy tertarik ke samping, menyunggingkan sebuah senyum lebar. "Aku juga minta maaf … karena sudah berbuat buruk padamu dan membuat hidupmu, er … sulit, beberapa waktu belakangan ini," ujarnya, lagi-lagi menggaruk pipinya.

Mata Yaya kembali memancarkan amarah. "Ya, benar! Kau sudah membuat hidupku susah beberapa waktu ini. Kau seharusnya tidak memutuskanku dengan seenaknya! Kau seharusnya mencari cara lain untuk menyadarkanku, bukannya mencampakkanku begitu saja tanpa penjelasan apa pun!" serunya berapi-api.

"Oke, oke, aku minta maaf, aku tidak akan mengulanginya lagi," kata Boboiboy, sedikit gemetar. Ia melirik ke sekellingingnya dan melihat beberapa pengunjung kini tengah menatap mereka dengan ekspresi aneh. "Tenanglah, Yaya. Kau membuat semua orang jadi memperhatikan kita," bisiknya kemudian.

Yaya baru menyadari ia terlalu terbawa suasana dan lupa bahwa mereka sedang berada di tempat umum. Wajahnya memerah seperti kepiting rebus dan ia berusaha menutupinya dengan kedua tangannya.

Boboiboy tertawa kecil melihat Yaya. Tangannya bergerak menyentuh puncak kepala Yaya dan mengelusnya pelan. "Gadisku memang manis sekali kalau sedang malu," katanya sambil tersenyum.

"Jangan panggil aku 'gadismu'! Kita sudah putus!" desis Yaya galak.

"Oh, benar juga," kata Boboiboy. senyum perlahan memudar dari wajahnya, namun tak berlangsung lama. Karena beberapa saat kemudian ia telah kembali tersenyum lebih lebar. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita pacaran lagi?" ujar Boboiboy sambil mengedipkan sebelah matanya.

"Tidak mau."

JLEB!

Sebuah panah imajiner melesat dan langsung menusuk Boboiboy tepat di jantungnya, membuatnya terkapar di atas meja. Oke, Boboiboy sepertinya mulai tertular sedikit virus hiperbola dari Yaya.

"Ke-kenapa?" tanya Boboiboy dengan ekspresi terluka.

"Kalau kita pacaran lagi, nanti kau pasti akan memutuskanku lagi. Aku tidak mau depresi dua kali cuma karena kau," kata Yaya ketus.

"Ya ampun, Yaya, kan sudah kubilang aku tidak akan mengulangi hal itu lagi. Waktu itu aku khilaf, khilaf! Aku cuma ingin memberikan yang terbaik untukmu," kata Boboiboy.

"Mulai deh, dasar Drama-King!" cibir Yaya.

"Kau sendiri juga Drama-Queen kan?" balas Bobobioy tak terima.

"Enak saja, aku bukan Drama-Queen!"

"Tapi menurutku kau memang Drama-Queen. Dan kau tau, King dan Queen itu ditakdirkan untuk bersama," kata Boboiboy sambil menyeringai.

"Cih, norak," Yaya kembali mencibir sambil menyesap kopinya yang mulai mendingin.

"Oh, ayolah, Miss Strawberry …" Yaya mendelik saat Boboiboy memanggilnya dengan id dari situs online jahanam yang didaftarkan Ying untuknya. "Ini kencan buta pertama kita kan? Jadi, berikan aku kesempatan sekali lagi untuk jadi pacarmu, ya?"

"Tidak, OrangeBoy, aku tidak mau jadi pacarmu lagi," kata Yaya sambil menggoyang-goyangkan jarinya dengan menyebalkan di depan wajah Boboiboy.

"Kalau begitu, bagaimana kalau jadi calon istriku?"

Kali ini, kopi yang diminum Yaya tersembur ke arah Boboiboy, membuat wajah pemuda itu langsung basah dengan cairan cokelat gelap yang menetes-netes pelan.

"Ma-maaf!" kata Yaya, merasa bersalah namun juga ingin tertawa melihat ekspresi Boboiboy. "Biar kubersihkan."

"Tidak apa, aku bisa membersihkannya sendiri," kata Boboiboy sambil mengambil tisu yang baru saja dikeluarkan Yaya dari tasnya.

"Tapi …" Yaya merasa tidak enak hati saat melihat Boboiboy yang tengah mengelap wajahnya yang terkena semburan kopinya.

"Oh, ya. Karena kau sudah menodai wajah tampanku, berarti kau harus bertanggung jawab," kata Boboiboy tiba-tiba. Yaya memutar bola matanya, tidak jadi merasa tidak enak karena menyemburkan kopinya ke wajah pemuda itu.

"Ya, ya. Apa yang harus kulakukan?" tanyanya malas.

"Kau harus jadi calon istriku. Kalau kau tidak mau …"

"Ya, baiklah."

Boboiboy mengerjap-ngerjapkan matanya, mengira ia salah dengar. Tapi melihat ekspresi wajah Yaya yang campuran antara geli dan juga menyesal, ia menyadari bahwa yang barusan didengarnya memang nyata.

"Kau mau?" ulangnya tak percaya.

"Ya, kenapa? Kalau kau tidak suka, aku bisa menariknya kembali …"

"Tidak, tidak, tidak. Tentu saja aku suka. Aku sangat senang!" Boboiboy benar-benar melompat bangun dari kursinya dan berniat memeluk yaya, tapi segera dihadang oleh garpu dan pisau yang diacungkan gadis itu.

"Awas saja kalau kau berani mendekat," ancam Yaya.

Boboiboy hanya bisa nyengir lebar sambil menggaruk pipinya malu. Ia kemudian meneguk latte-nya yang telah dingin sampai habis, sebelum kembali menatap Yaya.

"Nah, Miss Strawberry, berarti sekarang kita baikan, kan?" ujarnya sambil tersenyum lebar.

"Ya, OrangeBoy, kita baikan," balas Yaya sambil tersenyum tak kalah lebar.

"Kalau begitu, sekarang aku harus mulai cari kerja," kata Boboiboy.

"Hah? Untuk apa?"

"Untuk membelikanmu cincin dan melamarmu secara resmi. Kau sekarang sudah jadi calon istriku, kan? Jadi kau harus memiliki bukti supaya tidak ada laki-laki lain yang berani merebutmu dariku."

"Huh, kau memang benar-benar seorang Drama-King, Boboiboy."

"Yah, selama kau yang menjadi Queen-nya, aku akan selalu menjadi King untukmu," kata Boboiboy sambil nyengir.

Yaya memutar bola matanya, sebelum akhirnya tertawa geli. Yah, walaupun Boboiboy terkadang norak dan menyebalkan, tapi yang terpenting bagi Yaya, pemuda itu adalah miliknya seorang. Dan Yaya akan selalu menjadi milik Boboiboy.

"Oh, iya," ucap Boboiboy, seolah baru teringat sesuatu. Ia menelan sesuap cheesecake dan memandang ke arah gadis di depannya. "Bagaimana dengan Ying dan Fang yang sudah mengerjai kita? Tidakkah menurutmu kita harus melakukan sesuatu?"

Yaya memutar-mutar garpunya perlahan sambil berpikir, sebelum akhirnya menyeringai kecil. "Yah, sepertinya balas dendam sedikit tak apa-apa."

.

.

.

Sementara itu, di seberang jalan tak jauh dari café kecil tempat Boboiboy dan Yaya berada, ada satu pasangan lain yang kelihatan tengah menikmati waktu mereka—ditambah seorang pemuda bertubuh gempal yang menjadi obat nyamuk di latar belakang. Mereka berdiri berhimpitan di balik salah satu rak buku di depan etalase sebuah toko buku yang terletak persis di seberang café tempat Boboiboy dan Yaya berada.

"Kelihatannya rencana kita berjalan sukses," kata Ying sambil terkikik kecil, mencoba memandang ke seberang melalui kaca yang memburam karena hujan.

"Bagus, deh kalau sukses. Jadi aku tidak harus melihat Boboiboy bergalau ria lagi setiap harinya," kata Fang, ikut nyengir.

Sementara itu Gopal yang berdiri di balik punggung kedua sahabat berkacamatanya, hanya bisa memandang nanar ke seberang jalan.

"Yah, sekarang aku jomblo sendirian lagi deh," ucapnya sedih.

.

.

.

Fin

A/N :

Sekali-kali nyoba bikin fanfic Boboiboy-Yaya yang happy ending, tapi kok rasanya nggak sreg ya? Mereka lebih enak kalau disiksa sih /digebuk/

Makasih yang udah menyempatkan diri membaca!

Berkenan memberikan review?