Summary : Akashi Seijuurou. Penerus perusahaan Akashi Company dan juga calon kepala keluarga Akashi. Sejak kecil ia sudah dilatih sangat keras oleh ayahnya, dan hanya ibunya yang sering menemaninya dan memperkenalkannya dengan Basket. Ia tidak perlu belas kasihan, namun—bagaimanapun dingin dan dewasanya pemuda ini, ia hanyalah seorang anak laki-laki berusia 16 tahun. Tidak lebih. [AkaKaga Centric This Chapter]

.

.

"Akashi, kau masih bangun?"

"Ada apa Taiga? Apakah kau ingin menemani tunanganmu ini?"

"A—apanya yang tunangan!"

.

.

Ia sama sekali tidak butuh bantuan orang lain untuk mengatasi masalahnya. Sungguh, ia bisa menyelesaikannya sendiri. Asalkan tenang dan bisa membaca situasi, ia akan bisa menyelesaikannya dengan segera. Ia tidak butuh orang lain untuk berdiri didepannya dan melindunginya.

.

.

"Tidakkah kau merasa itu keterlaluan? Kau tidak tahu bagaimana kerasnya ia berusaha."

Akashi tidak pernah jatuh cinta seperti ini pada seseorang. Sungguh.

.

.

"Kau sama saja dengan dirimu yang lainnya. Aku pernah bertemu dengannya sebelum pertandingan melawan Jabberwock."

"Lalu?"

"Aku berpamitan dengannya dan…"

"Taiga?"

Akashi tidak pernah melihat wajah Kagami semerah itu sebelumnya.

.

.

Kiseki no Kagami

Genre : Romance/Humor (Friendship)

Pairing : GOM x Kagami Taiga

Warning : BrotherComplex!Himuro, Innocent!Kagami, Fujo!Alex+Satsuki, BL, Yaoi, Typo, OOC, sedikit OC yang tidak merusak pairing.

Kuroko no Basket © Fujimaki Tadatoshi; tidak ada keuntungan yang didapatkan dalam pembuatan ffic ini. Pembuatan ffic ini hanya diperuntukkan untuk kesenangan belaka.

Chapter 3 : The Day with Emperor

.

.

"Akashi-kun masih belum mau tidur?"

Kuroko yang tidur disampingnya tampak mengucek matanya dan melihat mantan kaptennya itu bukannya bersiap untuk tidur malam membuka laptop dan mengeluarkan beberapa kertas laporan disana. Akashi hanya tersenyum.

"Sebentar lagi, tidurlah Tetsuya. Taiga dan juga Kazunari sudah tidur sedaritadi," Akashi tampak menggelengkan kepalanya dan berjalan kearah meja kaki pendek yang ada di dekat jendela. Ia tidak mungkin menyalakan lampu saat semuanya sedang tidur. Saat Kagami sedang tidur.

Kuroko hanya menatapnya sejenak sebelum mengangguk dan tidur kembali.

Mungkin, bisa dikatakan yang paling serius harus berada di Amerika adalah Akashi. Kesampingkan Kise yang juga kemari karena pekerjaannya. Ia kemari untuk mengurusi perusahaan ayahnya yang ada di New York dan juga California, serta mencoba untuk mengurusi pertemuan dengan beberapa perusahaan.

Ia sudah berusia 16 tahun, bahkan 17 tahun desember nanti. Ayahnya sudah banyak memberikannya tugas untuk mengurusi perusahaan. Jadi, tidak akan heran jika ia harus menghabiskan waktu liburannya hanya untuk bekerja menggantikan ayahnya sementara.

*yawn*

Akashi mencoba untuk menahan kuapannya dan melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 2 pagi. Ia tidak sadar saat melihat beberapa laporan perusahaan yang dibawakan oleh pengawai kepercayaan ayahnya di Amerika bahwa ia sudah menghabiskan waktu hampir 4 jam untuk membaca laporan ini.

'Ah mungkin aku akan tidur saja sebentar…'

Ia mencoba memasang alarm 30 menit untuk membuatnya terbangun nanti. Ia tidak bisa tidur begitu saja, karena pertemuan yang akan berlangsung besok membutuhkan persiapan yang matang. Dan ia segera menjadikan lengannya yang terlipat di atas meja sebagai bantal untuk kepalanya.

.

.

Sreek

Sesuatu menyentuh punggungnya, membuat Akashi terbangun dan membuka matanya perlahan. Satu hal yang ia lihat adalah mata merah sepertinya yang tampak berada di samping wajahnya. Ia hampir saja melempar gunting yang siap sedia disampingnya kalau tidak menyadari siapa dan apa yang dilakukannya.

"Taiga?"

"Oh maaf, aku membangunkanmu?" Kagami yang tampak terbangun menggaruk kepala belakangnya dan menjauh darinya. Sepertinya masih malam, karena cahaya dari jendela masih berasal dari bulan. Jadi, kenapa pemuda ini terbangun? Dan—kenapa ada selimut di punggungnya?

"Aku terbangun karena ingin ke kamar kecil dan mengambil minum. Tetapi kulihat kau malah tertidur di meja dengan komputer menyala," Kagami menggaruk dagunya dengan telunjuknya, "kau akan sakit kalau tidur seperti itu kau tahu?"

"Aku tidak akan sakit hanya karena ini Taiga," Akashi tersenyum sebelum menoleh kearah laporan itu lagi. Ia menatap jam yang ada di handphonenya yang malah menunjukkan pukul 3 pagi. Sepertinya ia memang sedikit kelelahan hingga tidak mendengar alarm yang berbunyi, "sebaiknya kau tidur saja lagi. Karena besok kalian akan lanjut berjalan-jalan kan?"

"Oh begitulah…"

Entah kenapa Kagami tampaknya tidak begitu yakin ingin meninggalkan Akashi dan tidur. Ia berdiri dari tempatnya, dan keluar dari kamar. Akashi menyangka kalau pemuda itu akan ke kamar mandi dan juga mengambil minum seperti yang ia bilang.

Namun, saat segelas cocoa hangat ada di sampingnya—tentu itu adalah hal terakhir yang ia bayangkan akan dilakukan Kagami.

"Tidak akan baik kalau aku menyuguhkanmu kopi, jadi aku membuat cocoa hangat untukmu. Jangan paksakan dirimu Akashi," Kagami tersenyum lebar dan menepuk kepalanya. Sementara yang bersangkutan tampak terdiam dengan mata membulat.

"…bukankah kau bilang ingin ke kamar mandi Taiga?"

"Ah benar juga!" Kagami yang sepertinya melupakan satu hal itu segera berdiri dan berlari mencoba untuk tidak bersuara agar Takao dan juga Kuroko tidak terbangun. Akashi sendiri tampak menatap pintu yang tertutup, sebelum memegang bagian yang ditepuk oleh pemuda itu.

'Ia benar-benar…'

.

.

"Kau tidak akan mengantuk kalau ada yang menemani. Jadi, aku akan menemanimu sampai kau tidur."

Kagami yang baru saja selesai dari kamar mandi kembali dengan gelas lain berisi cocoa untuknya. Duduk di depan salah satu sisi meja, ia menikmati cocoa itu dan tidak bergeming seolah apa yang ia lakukan itu biasa untuknya. Akashi menatap pemuda berambut merah bata itu sejenak.

"Kau tidak perlu menungguku Taiga, tidurlah—" Akashi tampak menghela napas dan melihat pemuda itu yang tampak tidak bergeming sambil memiringkan kepalanya, 'jangan bersikap imut seperti itu. Kau minta diserang?'

"Tidak, lagipula semenjak pertandingan itu kau benar-benar sendirian kan? Apakah kau tidak merasa kesepian?"

Akashi membulatkan matanya, menatap kearah Kagami yang memiringkan kepalanya lagi. Tidak ada yang mengatakan hal itu padanya selama ini, dan apa yang dikatakan oleh Kagami benar. Ia sendiri. Benar-benar sendirian setelah pertandingan melawan Jaggerwod saat itu—ketika dirinya yang lain menghilang dari kehidupannya.

Biasanya dirinya yang satu yang akan menggantikannya saat ada tugas yang mengharuskannya untuk terjaga hingga malam, biasanya akan ada 'seseorang' yang menemaninya hingga malam agar ia tetap terjaga dan tidak kesepian.

…kesepian?

"Akashi?" Akashi tersenyum dan menatap kearah pemuda berambut merah itu.

"Apakah kau sebegitunya ingin menemani tunanganmu ini Taiga?" Wajah Kagami seketika merah padam saat mendengar perkataan Akashi. Setelah teriakan dari semua orang yang membuatnya bingung tadi malam, Takao dan Satsuki dengan senang hati menjelaskan alasan kenapa semuanya berteriak seperti itu.

Yang sukses membuatnya tidak kalah kaget. Mungkin lebih kaget daripada yang lainnya.

"H—hei, itu hanya ibuku yang seenaknya membuat janji bodoh saat kecil!" Akashi tertawa pelan, benar-benar tertarik melihat reaksi dari Kagami Taiga yang ia tunjukkan sekarang. Benar-benar manis, dan sebenarnya iapun tidak keberatan jika memang orang tuanya menjodohkannya dengan Kagami Taiga.

Pemuda ini orang yang menarik.

"Baiklah, dan jangan paksakan dirimu Taiga, aku sudah biasa terjaga hingga jam segini," Akashi kembali pada laporannya dan membiarkan Kagami untuk menemaninya. Kagami hanya mengangguk dan kembali berkutat dengan cocoa hangatnya yang sekarang ada di tangannya dan memutuskan untuk mengambil sebuah majalah basket yang ada di rak bukunya.

.

.

'Kurasa sudah cukup dengan laporan-laporan ini,' Akashi tampak merenggangkan tangannya, menatap kearah laporan yang ada di tangannya yang selesai ia baca. Membenahinya, sebelum akhirnya menutup laptopnya dan menatap kearah Kagami yang ada di dekatnya, "Taiga—"

Dan Kagami tertidur.

Dengan posisi duduk dan majalah yang masih ada di pangkuannya. Akashi terdiam, menatap pemuda yang lebih tinggi darinya itu sebelum menghela napas dan tersenyum. Kagami Taiga adalah pria yang baik, sungguh. Sifatnya yang peduli pada orang lain dibalik setiap tindakannya yang sedikit terbawa emosi mungkin yang menjadi daya tarik Kagami yang dilihat oleh Akashi.

"Sudah kubilang untuk tidak memaksakan diri bukan…?"

Akashi menutup majalah yang ada di pangkuan Kagami, dan menggunakan selimut kecil yang ada di punggungnya untuk menyelimuti pemuda berambut merah itu, 'aku ingin menaruhnya lagi di tempat tidur. Masalahnya, aku tidak akan bisa mengangkat tubuhnya yang lebih tinggi dariku…'

Akashi tidak beranjak dari tempatnya berdiri, hanya menatap bahu bidang pemuda itu yang tampak terlihat lebih menarik ketimbang kasur empuk yang disiapkan oleh ibu Kagami.

'Hanya sebentar saja…'

Akashi berucap, segera menempatkan dirinya di samping Kagami dan menyelip dibalik selimut dan menyenderkan kepalanya pada bahu Kagami. Yah, tidak buruk Akashi terantuk, matanya berat. Sebenarnya ia sudah berada di ambang batas kesadaran, hingga kepalanya naik turun,

—dan akhirnya tertidur.

.

.

Kuroko yang terbangun pertama kali.

Saat mengucek matanya dan melihat kearah kasur yang ada di sampingnya, tidak ada Akashi disana. Dan ia mengira jika Akashi masih berkutat dengan laporan yang ia lihat semalam. Itu yang ia kira, sebelum ia bangkit dan masih dengan rambutnya yang acak-acakan karena baru terbangun melihat kearah dua orang yang ada di dekat sana.

Yang membuatnya membatu seketika.

Akashi dan Kagami yang tidur dalam posisi duduk, dengan Akashi menyender pada bahu Kagami, dan Kagami yang sepertinya bergerak saat tidur dan tangannya malah merangkul bahu Akashi.

! #$%^&!

Inginnya berteriak, namun karena diduga akan terlalu OOC, Kuroko hanya bisa diam dan menatap dengan tatapan tajam. Ia benar-benar ingin membangunkan Kagami, atau Akashi. Tetapi Akashi terlalu menyeramkan terutama saat bangun tidur. Dan Kagami—

'Uwaaaa, Kagami-kun benar-benar manis saat tidur…!'

—Kuroko tidak akan tega untuk membangunkannya.

'Tetapi setidaknya aku akan membangunkan Akashi-kun,' bahkan Authorpun cukup kaget melihat keberanian Kuroko untuk melawan Akashi hanya untuk melihat Kagami tetap tertidur namun kokoronya tidak kuat melihat kedekatan sepasang anak manusia ini.

Kuroko ga bisa diginiin…

Tangannya mendekat, mencoba untuk menyentuh Akashi—

"Mencoba memindahkanku, walaupun itu kau Tetsuya—aku tidak akan segan-segan," suara itu membuat Kuroko terdiam. Walaupun dengan mata yang tertutup, sepertinya Akashi sudah terbangun dan memilih untuk tetap dalam posisinya. Terutama saat ia menyadari tangan Kagami merangkul bahunya.

'LICIK!'

"Tidak Tetsuya, aku hanya memanfaatkan kesempatan."

'Ia benar-benar membaca pikiranku,' Kuroko sweatdrop dan tidak bisa mengatakan apapun.

.

.

"Aaaaah…"

Kagami merenggangkan tangannya, terbangun beberapa saat kemudian dan melihat Akashi yang masih menyenderkan kepalanya di bahunya. Kagami terdiam sejenak, lebih tepatnya membatu saat menyadari posisi mereka dan bagaimana Kuroko tampak terdiam hanya beberapa meter jaraknya dari mereka.

"Pagi Taiga," suara itu membuat Kagami menoleh dan menemukan Akashi yang memutuskan untuk bergerak dari posisinya karena Kagami yang terbangun.

"Huh? Sepertinya tadi malam posisi tidur kita tidak seperti ini," Kagami tampaknya belum sadar jika Akashi yang mencoba untuk mendekatinya. Atau lebih tepatnya ia melupakan kejadian semalam. Oh, ini terdengar ambigu, tetapi sepertinya memang begitu, "kau tidak apa-apa Akashi? Seharusnya kau tidur di kasurmu daripada menyender padaku, tubuhmu bisa sakit semua."

"Tidak masalah, lagipula aku tertidur saat mencoba beristirahat dari laporanku sejenak," Akashi tampak berdiri dari tempatnya begitu juga dengan Kagami.

"Ada apa dengan Kuroko?"

"Mungkin serangan pagi," Akashi tampak menutupi kemungkinan ia mencoba untuk mengancam Kuroko. Oh ayolah, seharusnya Kuroko juga mengetahui jika ia yang berada dalam posisi ini, ia sendiri tidak akan mau dipindahkan.

"Kuroko, kau tidak apa-apa?" Kagami menepuk pelan wajah Kuroko, dan Kuroko segera tersadar saat ia menyadari wajah Kagami cukup dekat untuk ia menciumnya saat ini, "Kuroko?"

"Ka—Kagami-kun…"

"Wajahmu merah, kau sakit?"

Kali ini Kuroko lebih terlihat memerah saat Kagami mencoba untuk menyentuhkan dahinya pada pemuda itu. Namun dengan segera sebuah punggung tangan menyentuh dahi Kuroko seolah mengecek panasnya.

"Sepertinya Tetsuya tidak demam, jangan dipikirkan Taiga—hari ini kau tidak memasakkan sarapan?"

"Oh tidak, sebenarnya biasanya ibuku yang memasakkan. Kemarin karena ibuku sudah lama tidak memasak masakan Jepang dan ia harus terburu-buru ke kantor, makanya aku yang memasak," Kagami berdiri dari tempatnya dan menuju kearah Takao yang tidur di ranjang tempat tidurnya, "Takao, sudah pagi—bangunlah!"

"Ngg… iya, aku akan bangun sebentar lagi Kagami…"

Sementara Akashi memutuskan untuk bersiap dengan pakaian resminya dan Kagami mencoba membangunkan Takao, Kuroko yang mematung tampak pundung di tempat dengan aura gloomy disekelilingnya.

'Akashi-kuuun… padahal sedikit lagi.'

T_T

.

.

"Eh kenapa makanan luar semua?"

Kagami yang tampak berada di dapur untuk membantu ibunya cukup terkejut saat mengetahui yang ada didepannya semua adalah makanan yang diantarkan dari rumah makan. Ngomong-ngomong, di ruang makan sudah ada Midorima, Aomine, dan juga Murasakibara serta Satsuki.

*cough* *cough*

"Sebenarnya Taiga-kun," suara parau itu terdengar membuat Kagami menoleh dan menemukan ibunya yang masih memakai pakaian rumahnya dan tampak kurang sehat, "sepertinya aku kelelahan dan masuk angin. Kurasa aku tidak bisa mengikuti pertemuan itu."

"Eh?"

"Aku sudah memberitahu pada ayahmu, kau bisa menggantikanku menemani ayahmu?"

Kalau dipikir-pikir, rasanya Kagami tidak pernah diajak untuk pergi ke dunia kerja ayah dan ibunya. Orang tua Kagami memberikan keluasan untuknya memilih pekerjaan yang ia inginkan, dan tentu saja bermain basketpun juga sama, jadi Kagami sama sekali tidak menyangka jika permintaan tadi akan meluncur begitu saja.

"Aku tidak pernah mengurusi hal seperti itu lagi!"

"Huh? Dulu saat kau SMP dan saat Sekolah Dasar juga sering bukan menemani ayahmu untuk pergi ke tempat kerjanya? Bahkan ayahmu sangat senang dan terlihat begitu bersemangat untuk memperkenalkanmu dengan rekan kerjanya," ibu Kagami tampak menjelaskan dengan menunjukkan foto Kagami saat kecil yang lengkap menggunakan pakaian jas dan juga kemeja serta dasi kupu-kupu.

Sukses membuat paa anggota Kisedai berkerumun layaknya lebah yang mengerumuni madu.

"EEEEEH! Kagami-cchi kawai yoo~"

'Manisnya…'

"Kagami-chin kau sama manisnya dengan Maibou yang kumakan hanya dengan melihatmu saja, aku jadi ingin mencicipimu."

"Y—yah ternyata jika kau gunakan pakaian yang lebih bagus penampilanmu lumayan juga…"

"Kau terlihat manis dengan pakaian itu—nanodayo," ini Takao yang menerjemahkan perkataan Midorima diatas. Sebagai informasi saja.

"Pfft kau seperti anak kucing kehujanan saja. Kalian tidak melihat kalau ia terlihat ingin menangis di foto ini? Dan ini sangat—" Aomine yang terlihat menikmati ejekannya memperkecil suaranya saat menyadari bagaimana, "—kau yakin kau laki-laki Bakagami?"

Intinya, Aomine menganggap itu terlalu manis.

"Benar! Ini adalah foto yang diambil ayah Taiga saat pesta pertamanya yang diikuti Taiga-kun, ia benar-benar tidak ingin pergi dan selalu merengek pulang agar bisa bermain dengan Tatsuya," ibu Kagami sepertinya menikmati reaksi dari teman-temannya.

"Su—sudah kubilang kalau jangan tunjukkan foto memalukanku kaa-san! Dan apa-apaan pertanyaanmu itu Ahomine! Memangnya kau ingin aku menunjukkan buktinya?!" Perkataan ambigu dari Kagami yang begitu saja meluncur membuat suasana ramai itu begitu saja hening dan semua mata tertuju padanya.

"Aku juga ingin melihatnya Kagami-kun…"

"H—hah, apa yang kau katakan Kuroko?!"

"Kagami-cchi, kau tidak boleh menunjukkannya pada Aominecchi! Bagaimana kalau kau buktikan padaku saja?"

"K—kau juga Kise?!"

"Bu—bukan berarti aku ingin melihat, tetapi aku juga tidak begitu percaya," Midorima membenahi kacamatanya yang tampak merosot saat mendengar perkataan dari Kagami tadi.

"Hei apa maksudmu?!"

"Kagami-chin, aku juga mau…"

"Mau apanya?!"

Dan Aomine sendirian yang tampak hanya diam sambil menutup wajahnya yang merah dengan sebelah tangan. Ia seperti terkena senjata makan tuan yang membuatnya sedikit… horny membayangkannya.

"Aku permisi ke kamar mandi…"

"HAH?!"

Kagami tampak kebingungan dengan reaksi macam-macam yang diberikan oleh semua orang disana, dan ibunya yang mencoba menahan tawa bersama Satsuki dan juga Takao hanya bisa memegangi perutnya dan berada di pojokan, "DAN KUKIRA KAU SEDANG SAKIT KAA-SAN?!"

"Ah benar juga, aku memang sedang sakit Taiga—uhuk! Uhuk!"

"Okaa-san—" Kagami benar-benar kesal dengan ibunya yang tampak begitu saja berubah ekspresi seperti orang yang benar-benar sakit, "—lagipula, aku tidak ingin otou-san mendapatkan masalah karena didampingi orang yang berpengalaman. Apa yang akan dikatakan oleh klien perusahaan kalau sampai ia melihatku yang masih SMA…"

"Tenang saja, lagipula klien yang dimaksud itu tidak asing kok~"

"Apa maksud kaa-san?"

"Kenapa suara kalian berisik sekali hingga ke kamar Tetsuya?" Akashi yang baru saja turun dari lantai dua tampak sudah mengenakan jas lengkap berwarna hitam dengan kemeja merah bata yang dipadukan dengan dasi hitam.

"Pagi Sei-kun, hari ini mohon bantuannya untuk suami dan anakku yang bodoh ini," Rinka tampak mengusap kuat kepala Kagami yang membuat Akashi menatapnya bingung. Bukan karena permintaan bantuannya, namun karena nama Kagami yang disebut.

"Oh?"

"Aku sedang tidak enak badan. Jadi, yang akan menggantikanku adalah Taiga nanti yang menemani ayahnya," Rinka tampak tersenyum puas, bahkan tidak mendengar protesan dari seorang Kagami.

"Oh? Bisakah kalau aku menganggap ini juga sebagai kencan, Rinka-san? Lagipula Taiga adalah tunanganku bukan?"

'JANGAN SELALU MENGATAKAN IA ADALAH TUNANGANMU!' Semua anggota Kisedai tampak ingin berteriak pada Akashi, namun tentu saja mengingat yang mereka hadapi adalah Akashi, keinginan itu tertahankan. Akashi tampak tersenyum seperti biasa, namun hanya anggota Kisedai dan juga Takao serta Satsuki yang mengetahui jika pemuda itu melayangkan senyuman penuh kemenangan.

"Su—sudah kubilang kalau itu hanya keisengan ibuku saja, jangan mengulangi lagi Akashi!"

"Berani menyuruhku Taiga?" Kali ini tampak Kagami yang sedikit mundur mentalnya saat melihat senyuman dengan aura gelap disekeliling Akashi. Oke, sepertinya pemuda ini bercanda, namun tetap tidak ingin mendengar seseorang menyuruhnya.

"Jadi… klien yang akan ditemui hari ini…"

"Dari perusahaan Akashi Company yang akan mendatangkan calon penerus perusahaan mereka. Nah, karena ada Sei-kun, bukan hanya kau yang menjadi anak SMA satu-satunya disana bukan? Temanilah ayahmu," ibunya tampak tertawa senang dan menepuk kedua pundak Kagami yang sudah tidak bisa mengatakan apapun lagi.

"Mohon bantuannya, Taiga," Kagami tidak akan bisa lagi menolak saat Akashi yang mengatakan itu.

Sementara yang lainnya, tampak hanya bisa diam dan tidak mengatakan apapun. Padahal hari ini mereka benar-benar sudah membayangkan hari tanpa satu orang saingan yang akan membuat mereka semakin memiliki kesempatan.

Apalagi yang tidak ada itu Akashi Seijuurou—mereka akan benar-benar memiliki kesempatan besar untuk mendekati pemuda itu. Tetapi yang terjadi, Akashi malah mendapatkan waktu berdua saja dengan Kagami.

Aku iri…

T_T

.

.

"Aku benar-benar tidak suka menggunakan pakaian seperti ini."

Tentu berada di pertemuan resmi perusahaan ayahnya akan membuat Kagami harus tampil dengan rapid an terkesan resmi. Seperti saat ini, ketika ia mengenakan jas hitam yang disetelkan dengan kemeja putih dan juga dasi berwarna merah. Beberapa kali ia mencoba untuk melonggarkan dasinya.

Sungguh, Kagami Taiga jauh lebih menyukai kaus oblong ataupun seragam basketnya.

Namun yang lainnya tidak berpendapat demikian, terutama saat pemuda itu baru saja selesai dipaksa menggunakan setelah jas resmi dan akan turun dari lantai dua, seolah dada mereka masing-masing tertombak panah asmara.

'Kagami-kun… cocok dengan pakaian itu…'

Kuroko merekam setiap langkah dari Kagami yang sudah menuruni tangga.

'Kalau sampai dia berdandan seperti ini dan datang ke tempat kerjaku, Kagamicchi benar-benar akan ditarik oleh manajerku!' Kise menahan diri untuk tidak berfanboying melihat Kagami.

KREK!

Suara bingkai kacamata yang tampak kali ini bukan hanya retak namun benar-benar pecah. Sepertinya Midorima bahkan tidak bisa memikirkan apapun selain merekam setiap inci dari tubuh Kagami saat itu di otaknya.

"Midocchi terlihat lezat," Murasakibara sendiri tampak terang-terangan mengatakan itu, namun Kagami hanya bisa menatapnya bingung. Aomine? Hanya bisa diam membuat Satsuki sedikit banyak ingin menggodanya.

"Nee, nee, Kagamin benar-benar terlihat keren dengan itu ya?" Satsuki tampak menowel pipi Aomine yang tampak membatu dengan wajah memerah, "bukankah itu membuatmu ingin membawanya ke kamar dan membuka pakaiannya?"

"Gh—S—Satsuki, apa yang kau katakan?!"

"Bayangkan saja kalau Kagamin datang," Satsuki membisikkannya di telinga Aomine, "lalu ia melonggarkan dasinya di depanmu dan melepaskan setiap satu kancing dan satu kancing lainnya. Lalu kau akan—"

"GAAAAH! JANGAN MEMBUATKU MEMBAYANGKANNYA SATSUKI!" Aomine tampak menoleh pada Kagami yang tampak menatapnya heran karena berteriak, "Pa—PAKAIANMU SANGAT TIDAK COCOK BAKAGAMI!"

"Kau cari ribut ya?!"

"Kalau melihatmu seperti ini," tidak mengindahkan pertengkaran AoKaga yang akan terjadi, Akashi tampak berjalan dan menatap kearah Kagami sambil memegang tangannya, "rasanya aku bisa mengesampingkan pekerjaan dan menculikmu ke gereja."

'A—apa yang kau katakan Akashi/Akashi-kun/Akacchi/Aka-chin!'

Akashi tidak menghiraukan pandangan menusuk dari semuanya dan menunggu reaksi langsung dari Kagami yang menatapnya bingung.

"Tetapi aku…"

"Hm?"

"Agamaku Shinto bukan Kristen Akashi. Kalau kau ingin aku menemanimu ke gereja tentu tidak bisa."

Dan semua orang tampak sweatdrop mendengar jawaban polos dari Kagami, dimana Takao tampak sudah tertawa diujung sana. Sepertinya sudah tidak bisa menahan lagi urat tawanya yang sedaritadi ingin meledak.

'Yah setidaknya Kagami tidak sadar kalau Akashi/Akashi-kun/Akacchi/Aka-chin sedang melamarnya…'

Semua anggota Kisedai selain Akashi tampak menghela napas lega. Yah, karena pada akhirnya tidak ada banyak waktu untuk bersenda gurau lagi, keduanya segera berangkat diantarkan oleh supir dari keluarga Kagami yang akan membawa mereka ke perusahaan tempat ayah Kagami bekerja.

"Nah," Rinka yang seolah tidak sakit lagi tampak menepuk kedua tangannya dan berbalik kearah para anggota Kisedai yang masih tersisa disana bersama dengan Takao dan juga Satsuki, "Kazu-kun dan juga Satsuki -chan sudah menceritakan tentang kalian. Tetapi aku ingin bertanya langsung pada kalian…"

.

.

"Kenapa kalian menyukai Taiga-kun?"

Dan dimulailah sesi Tanya jawab anggota Kisedai dengan seorang Kagami Rinka.

.

.

Pertemuan akan dilakukan di perusahaan milik keluarga Akashi—dimana beberapa orang dari perusahaan lain juga akan datang untuk mengawasi. Saat pintu mobil terbuka dan Akashi turun, beberapa pegawai yang menyadari dan mengenalnya tampak segera membungkuk dan membiarkan mereka lewat.

Kagami bukan seperti Akashi yang terbiasa dengan semua ini. Ia sedikit canggung dan tampak menoleh kekiri dan kekanan untuk mencari tahu keberadaan ayahnya. Dan tentu saja Akashi sendiri juga sesekali menatap Kagami disampingnya.

"Taiga," Kagami menoleh kearah Akashi yang memanggilnya dengan segera, "—bisakah kau sedikit tenang?"

Akashi tersenyum, namun Kagami tahu bahwa jika ia tidak tenang, akan ada gunting yang melayang kearahnya. Dan Kagami hanya mengangguk sambil mencoba untuk tenang. Iya, mencoba. Walaupun pada akhirnya ia tetap terlihat tegang walaupun lebih tersembunyi.

Dan Akashi? Sebenarnya ia hanya ingin melihat wajah panik dan pucat Kagami saat ia mengancamnya. Menurutnya, wajah Kagami saat itu terlihat lebih manis. Oke, semua wajah Kagami sebenarnya membuatnya tertarik untuk melihatnya terus menerus.

Dasar Sado.

"Ayahmu ada di ruang pertemuan bersama dengan bossnya Taiga, kau tidak perlu mencarinya disini," Akashi menoleh pada Kagami yang tampak sedikit lega mendengar informasi itu, "—kau benar-benar tidak pernah berada di kondisi seperti ini ya?"

"Mau bagaimana lagi, aku tidak suka keadaan mencekik yang selalu dipenuhi oleh pria-pria yang haus akan uang," Kagami memalingkan wajahnya saat pemuda yang lebih pendek tampak seolah bisa membaca pikirannya, "aku bahkan tidak mengerti kenapa kau terbiasa menghadapi seperti ini."

"Itu karena aku sudah terbiasa. Lagipula, ini harus kulakukan karena sudah menjadi keputusan ayahku sejak aku masih kecil."

Dan tidak ada pembicaraan lainnya yang terjadi.

.

.

"Disini."

Akashi tampak melihat ruang pertemuan didepan mereka yang tampak masih sepi dengan hanya ada dua orang disana. Satu orang pria yang tampak memiliki warna rambut yang familiar—dan satu lagi tampak seseorang yang sedang berbicara dengannya.

"Aku tidak ingin alasan lainnya. Rencana yang kubuat sudah bagus, dan aku ingin pastikan bahwa kita mendapatkan kerja sama yang kita inginkan itu."

Yang diajak berbicara tampak mengangguk dan berbalik sebelum membungkuk pada Akashi dan Kagami yang segera menghampiri pria berambut merah bata itu.

"Ossan…"

Kagami yang tampak tidak begitu niat memanggil ayahnya membuat yang bersangkutan menoleh dan wajah garangnya tadi berubah menjadi sebuah senyuman lebar yang mengingatkan Akashi pada Kagami.

"Tai-chaaaan~"

"GAAH!" Pria berambut merah itu tampak segera menerjang dan memeluk erat pemuda berambut merah dengan gradasi hitam di belakang Akashi. Meninggalkan Akashi yang tampak menatap mereka berdua dengan tatapan bingung, "LEPASKAN AKU OSSAN!"

"Hidoiiii, Otou-san sudah lama tidak bertemu denganmu. Dan karena pekerjaan di New York kemarin aku bahkan tidak bisa menyambutmu dengan meriah di bandara," Akashi semakin berpikir siapa yang lebih parah untuk dilihat. Kise yang hype ataukah pria separuh baya yang memeluk Kagami sekarang. Kalau tidak ingat pria ini adalah ayah dari pemuda itu, mungkin gunting sudah menancap di dahi pria itu.

"Lebih baik kau tidak menjemputku! Aku yakin kau akan menyambut dengan norak!"

"A—aku hanya menyediakan spanduk untuk kedatanganmu kok," yang lebih tua tampak menatap dengan mata berkaca-kaca sambil menatap Kagami yang menatapnya kesal. Namun, sebelum nostalgia itu dilanjutkan, sang pria menoleh kearah Akashi yang segera membungkuk pelan, "oh jadi kau anak satu-satunya dari Shuzoku?"

"Akashi… Seijuurou," pemuda itu baru pertama kali bertemu dengan ayah Kagami, dan tentu saja yang harus ia lakukan adalah bersikap sopan seperti saat sedang menghadapi kolega bisnis ayahnya, "salam kenal Kagami-san."

"Ternyata benar-benar seumur dengan Tai-chan, bagaimana ia bisa lebih dewasa daripada kau?" Ayah Kagami tampak menatap kearah Kagami sambil menunjuk kearah Akashi, "yah tetapi Reika-chan menyuruhku untuk membebaskanmu untuk melakukan apapun sejak kecil sih, dank au memilih menjadi pemain basket, tidaklah pilihan yang buruk."

"Berhentilah memanggil nama kaa-san seperti kalian masih berpacaran. Ingat umur ossan," dan sebuah injakan di kaki Kagami muda segera membungkamnya dan ayah Kagami tampak tertawa sambil menatap kearah Akashi.

"Yah, kau lihat sendiri bagaimana sikapnya. Kalau ia merepotkanmu, jangan sungkan-sungkan untuk mengatakannya."

"Tidak juga, Taiga memiliki cara sendiri untuk menarik perhatian orang lain."

Akashi tersenyum dan ayah Kagami tampak menghela napas sebelum pintu terbuka dan menunjukkan beberapa orang bule yang salah satunya segera menatap kearah ayah Kagami.

"Mungkin akan lebih susah menghadapi kolega ayahmu yang ada disini. Tetapi kurasa aku tidak perlu khawatir melihat kesiapanmu," ayah Kagami menepuk kepala Akashi sebelum berjalan melewatinya dan menghampiri salah satu pria disana yang sepertinya merupakan boss dari ayah Kagami.

"Maaf kalau ayahku sedikit aneh," Kagami menggaruk kepala belakangnya, dan Akashi hanya tersenyum sambil mendengus pelan.

"Tidak apa-apa, aku bisa melihat kesamaanmu dengan ayahmu," dan Akashi berlalu meninggalkan Kagami yang tampak terdiam sejenak sebelum wajahnya menunjukkan tatapan horror kearah Akashi.

"Aku tidak ingin disamakan dengan sifat aneh ayahku…"

.

.

Kagami duduk di samping ayahnya sambil menoleh kearah depan, dimana sebuah laptop dan juga layar putih yang memunculkan isi laptop dari proyektor itu menyala. Akashi tampak berada disana, baru saja berjalan sebelum berhenti didepan podium.

"Namaku adalah Akashi Seijuurou, dan ayahku—Akashi Shuzoku memintaku untuk menggantikannya melakukan penilaian tentang perusahaan ini untuk juga ditunjukkan pada beberapa perusahaan yang bekerja sama dengan ayahku," suara Akashi tampaknya menarik perhatian semua orang yang semula tidak menyangka kalau ayahnya akan mengirimnya.

"Direktur utama meminta pemuda semuda ini untuk menilai?"

"Kurasa kita perlu meragukan penilaiannya."

"Apakah kau pikir ia bahkan bisa mengerti tentang system disini?"

"Walaupun ia adalah penerus perusahaan ini, tetapi tetap saja—"

Suara itu walaupun berbisik tentu terdengar oleh Akashi. Entah kerena mereka tidak sengaja berbicara tidak sadar volume ataukah karena mereka ingin Akashi sengaja mendengarnya. Namun jujur, ia memang baru kali pertama mengurus hal seperti ini di Amerika. Namun, ia sudah biasa seperti ini saat harus menghadapi cabang perusahaan di tempat lainnya.

Ia sudah terlalu biasa hingga tidak berniat untuk melemparkan gunting kearah mereka. Lagipula, ayah Kagami mempercayainya akan menghadapi semua ini.

Ia hanya tinggal diam dan menunjukkan. Tidak lebih dari itu.

"Tidakkah kalian terlalu berisik?"

Baik Akashi maupun semua orang yang ada disana menoleh pada Kagami yang duduk disamping ayahnya dan mendengar perkataan mereka, "—kalian tidak perlu berbicara seperti itu sebelum melihatnya. Kalian bahkan tidak tahu bagaimana kerasnya ia berusaha."

Baik orang-orang yang berbicara di belakang tadi ataupun Akashi tampak hanya menatap dengan mata membulat. Sebelum mereka panik dan kembali memperhatikan. Sementara Akashi masih cukup shock dengan apa yang dikatakan oleh Kagami.

"Baiklah, bisa kita lanjutkan—Sei?" Kali ini Akashi menoleh pada ayah Kagami yang mencoba untuk sedikit mencairkan suasana sebelum ia mengangguk dan mengatur napasnya. Yang ia harus lakukan sekarang hanyalah untuk tidak mengecewakan mereka yang sudah mempercayainya.

.

.

"Tai-chan, kau tidak tahu bagaimana bangganya otou-san mendengar apa yang kau katakan tadi!"

Rapat selesai dengan sempurna, dan apa saja yang dinilai dan dijelaskan oleh Akashi sepertinya jauh melebihi perspeksi dari mereka dan tidak sedikit yang meminta maaf dan memberikan pujian. Kagami yang mendapati ayahnya akan melakukan 'serangan' lagi, tampak dengan segera menghindar.

"Kau benar-benar dingin… ah tetapi kau tetap membuatku bangga," ayahnya tampak tertawa dan menepuk pundaknya, "kau benar-benar tidak ingin mencoba pekerjaan seperti ayahmu ini?"

"…kau serius memintaku untuk berada di situasi seperti tadi lagi? Beruntung aku masih menahan diri," ayahnya tampak tertawa canggung. Kagami dan juga sikapnya yang terkadang temperamental namun memiliki alasan yang kuat dibalik itu.

"Taiga?" Kagami menoleh kearah Akashi yang sepertinya baru selesai menemui beberapa orang berkaitan dengan apa yang ia presentasikan dan apa yang harus dilakukan oleh para pegawai disana untuk kedepannya, "maaf lama menunggu."

"Ah tidak apa-apa, sudah selesai?"

"Begitulah, setelah ini aku harus membereskan beberapa masalah jadi mungkin aku akan lebih lama disini. Kalau kau ingin pulang duluan aku tidak masalah," lagipula Kagami kemari hanya untuk menggantikan ibunya yang menjadi asisten ayah Kagami. Tidak ada lagi tugas untuknya dan ia tidak akan membiarkan pemuda itu kelelahan karena menemaninya.

"Akashi," Akashi menoleh saat Kagami kembali memanggil, namun kali ini sepasang tangan tampak memegang kedua pipinya, dan wajah pemuda itu tampak sangat dekat seolah pemuda itu ingin menciumnya.

'Huh?' secara refleks Akashi tampak mengeluarkan gunting dan menyerang Kagami membuat yang bersangkutan tampak menghindar dengan segera, "apa yang kau lakukan Taiga…"

Sebenarnya ia melakukan itu karena kaget. Tentu ia tidak ingin sampai melukai Kagami apapun alasannya.

"Sudah kuduga kalau kau sedikit demam. Jangan terlalu memaksakan dirimu," Akashi tidak mengerti sampai kapan pemuda itu akan membuatnya tidak bergeming dengan semua omongannya. Ia tidak mengerti kenapa Kagami Taiga melakukan itu padanya.

Bahkan ia tidak percaya bahwa ia bisa jatuh cinta seperti ini padanya.

"Walaupun ayahku tidak mewajibkanku untuk datang ke cabang New York tetapi—"

"Istirahatlah, kau sudah melakukan banyak hal hari ini," Kagami menatapnya dengan tatapan khawatir, "aku akan menemanimu istirahat jika kau tidak mau sendirian."

STAB!

Dan kokoro Akashi sudah cukup ditombak habis-habisan oleh Kagami.

.

.

"Ayahmu tidak ikut?"

Kagami dan juga Akashi yang berhasil dibujuk untuk beristirahat sejenak tampak berada di dalam mobil yang akan menuju ke kediaman keluarga Kagami lagi. Hanya Akashi, Kagami, dan satu supir dari keluarga Akashi.

"Ia masih harus mengurus laporan pada bossnya. Mungkin besok ayahku akan kembali ke rumah," Kagami menggaruk kepala belakangnya, sepertinya tidak begitu nyaman karena pembicaraan tentang ayahnya, "—ngomong-ngomong aku benar-benar minta maaf karena hal tadi."

"Tadi?"

"Aku malah mengganggu ditengah presentasimu. Habisnya mereka menyebalkan, berbicara seolah mereka tahu saja apa yang kau kerjakan. Kalau aku jadi kau, tentu saja aku akan marah dengan perkataan seperti itu setelah kau berusaha keras," Kagami tampak menggerutu kesal dan menatap kearah jendela.

Ia terlihat kesal seolah apa yang terjadi tadi tampaknya adalah masalahnya.

"Aku tidak masalah," ia malah merasa berterima kasih. Rasanya, setelah dirinya yang satu menghilang, tidak ada yang mencemaskannya. Ayahnya sama sekali tidak memperhatikannya dan tentu saja semua orang hanya menganggap dirinya mengerikan, "apa yang mereka katakan benar. Jika dibandingkan dengan mereka tentu saja aku tidak ada apa-apanya. Yang bisa kulakukan hanyalah menunjukkan pada mereka saja."

"Ah," Kagami menoleh kearah jendela tiba-tiba. Akashi menoleh kearah asal suara, dan mendapati sebuah lapangan basket disana yang tampak ramai dengan orang-orang. Mata berbinar-binar seolah anak kecil yang mendapati toko mainan didepannya membuat Akashi menahan tawanya. Sungguh, Kagami Taiga tidak pernah membuatnya bosan.

"Bisakah kami turun disini sebentar?"

Akashi memberitahu sang supir dan membuka pintu disampingnya membuat Kagami terkejut dan menatap pemuda itu.

"Akashi, apa yang kau lakukan? Kau tadi sedang demam kan?"

"Aku akan baikan saat bermain basket. Lebih banyak bergerak dan berkeringat akan lebih mudah sembuh bukan?" Akashi tampak membuka bagasi mobil, tampak sebuah bola basket sudah berada disana, "lagipula, kau sudah melakukan banyak hal untuk—k—kami. Jadi, bermain sebentar setelah melihatmu seperti ingin melahap pemandangan didepanmu tadi cukup adil."

"Ugh, aku hanya sedikit merindukan permainan basket kok."

"Kau baru 2 hari tidak menyentuh lapangan dan bola Taiga."

"Tetapi rasanya lama," Kagami pada akhirnya menyerah. Melepaskan jas hitam yang ia kenakan dan melonggarkan dasi sambil melepaskan dua buah kancing kemejanya, membuat Akashi segera memalingkan wajahnya.

'Ia benar-benar ingin minta diserang…'

"Baiklah, tetapi kalau kau merasa tidak enak badan, kita berhenti oke?"

"Kau berani memerintahkanku Taiga?"

Dan pembicaraan mereka berhenti sampai sana ketika Akashi mendribble bola basket itu sambil menatap dengan tatapan tajam kearah Kagami yang mengangguk.

.

.

"Aaaaah… Emperor Eyesmu yang sekarang lebih merepotkan!"

Pada akhirnya mereka bermain one on one hingga lupa waktu dan tentu saja melupakan kenyataan jika Akashi sedang demam (walaupun tidak terlalu tinggi). Kagami mencoba mengatur napas, permainan mereka sepertinya lebih melelahkan daripada yang diduga.

"Tetapi kau bisa memasukkan beberapa angka dariku. Kurasa kau juga sudah banyak berkembang dari terakhir kali kita bermain Taiga," Akashi tampak tersenyum dan menghela napas.

"Baiklah kita sama-sama berkembang," Kagami tertawa dan tampak melihat kearah langit yang sudah mulai berwarna orange menandakan jika waktu sudah sore. Sepertinya mereka terlalu asik hingga tidak mengenal waktu, "oh iya, bagaimana dengan demammu?!"

"Kalau kau berkata seperti itu, rasanya daritadi—" Kagami menatap Akashi yang tidak bergerak dari tempatnya, dan perlahan tampak jatuh dari tempatnya berdiri.

"Akashi!"

.

.

"Apanya yang tidak apa-apa bermain basket. Kau sudah kukatakan kalau kau sedang demam dan tidak perlu dipaksakan," Kagami tampak duduk di salah satu bench dengan Akashi yang masih menolak pulang dan memutuskan untuk duduk sambil menyender pada bahu Kagami, "bagaimana kalau kita pulang?"

"Taiga," bukannya menjawab, Akashi tampak memanggilnya. Dan sebelum Kagami bisa menjawabnya, Akashi sudah menempatkan dirinya di paha Kagami yang ia gunakan sebagai bantal dan memutuskan untuk memposisikan dirinya dalam posisi tidur, "tetapi disana."

"H—huh? Tetapi kau bisa tambah sakit jika—" dan sebuah gunting tampak meluncur hampir mengenai pipi Kagami.

"Melawan?" Akashi tersenyum. Kagami benar-benar tidak tahu apakah kepribadian lama Akashi masih ada atau tidak. Rasanya, ia sendiri tidak mengerti apa perbedaan diantara mereka. Dan mengingat itu, entah kenapa malah membuat pemuda itu tertawa, "—apa yang lucu Taiga?"

"Tidak, aku hanya ingat kalau pernah melakukan ini dengan'mu' sebelum ini."

"Hm?"

"Oh, mungkin kau tidak tahu. Kalau tidak salah itu saat terakhir sebelum pertandingan melawan Jabberwock. Beberapa minggu setelah winter cup aku harus menemani ibuku yang datang berlibur ke Jepang dan ingin pergi ke Kyoto. Dan saat sedang menunggunya berbelanja, aku melihatmu yang sedang berlatih sendirian di salah satu lapangan basket jalanan. Err kurasa waktu itu bukan kau," Akashi mengerti apa yang dikatakan oleh Kagami. Yang ditemuinya adalah 'Bokushi', dan ia tidak selamanya mengetahui apa yang dilakukan olehnya.

"Ia terlihat tidak sehat, makanya aku memutuskan untuk menemaninya sebentar dan berbincang beberapa hal," Akashi tampak mendengarkan sambil menatap kearah Kagami, "ia banyak memujimu, dan mengatakan kalau masih banyak hal yang tidak diketahui olehmu."

"Benarkah? Apa yang ia katakan?"

"Aku… tidak bisa mengatakannya sekarang," Kagami tampak memikirkannya sambil menggaruk kepala belakangnya, "—walaupun kau mencoba untuk mengancamku dengan gunting Akashi!" Kagami tampak sedikit panik karena takut jika Akashi akan melancarkan serangan guntingnya.

"Hm begitu…"

Akashi tampak tidak begitu peduli dan menggerakkan tubuhnya hingga menyamping dan melihat jalanan didepannya.

"Tetapi ia selalu memujimu dengan caranya, dan sedikit kekerasan… yah, kurasa ia lebih mengerikan darimu yang sekarang," entah kenapa Kagami tampak memucat dan ketakutan hanya karena mengingat hal itu, "—lalu setelah itu ibuku memanggil, dan aku memastikan kalau ia baik-baik saja dan…"

"Dan?" Akashi kembali berbalik saat Kagami tidak mengatakan apapun lagi. Namun, mata merahnya segera membulat saat melihat wajah Kagami yang benar-benar merah padam. Hingga ke telinganya, "…Taiga?"

"L—lupakan, a—aku hanya berpamitan dengannya dan ia tidak melakukan apapun lagi! Ah kita harus kembali sekarang, lihat sudah jam berapa ini!" Kagami tampak mencoba untuk tertawa, dan berdiri sebelum berjalan keluar meninggalkan Akashi yang masih terdiam melihat tingkah laku aneh dari Kagami."

.

.

"Tunggu, reaksi apa tadi?"

.

.

To Be Continue

.

.

Oke, jujur voting suara yang ada #ceileh banyak yang minta MidoKaga. Tapi terakhir kali saya cek review adalah saat saya udah selesaiin 80% AkaKaga. Maklum belum gajian jadi quota habis ga bisa ngapa2in :( Jadi maaf yang pilih MidoKaga :( setelah ini saya akan buatkan. AkaKaga disini humornya memang lebih sedikit karena saya lebih bisa bayangin mereka berdua ngefluff sedikit serius tapi ga angsa juga. Daripada humor romance kaya AoKaga :(

Dan ada yang mau extra story antara Kagami sama Bokushi yang diceritain sama dia diakhir cerita? XD tentu jadinya BokuKaga sementara yang ini OreKaga :D

.

.

Oke, karena kesalahan teknis saya melihat review, setelah ini saya akan buat MidoKaga :) atau mungkin mau BokuKaga dulu baru MidoKaga?