Cast : Seventeen's member and others.

Genre : Romance, Humor.

Warn : Out of Character, typo(s).

.

Me Too

by cscvirus

.

"Soon, berhentilah!"

Soonyoung menghentikan gerakannya dan melirik Junhui dari kaca besar di depannya. Kemudian, dia berbalik, "Apa yang kau lakukan disini?" tanyanya.

Junhui menghela nafas melihat Soonyoung dengan nafas terengah beranjak mematikan musik yang terputar dengan volume keras. Dia segera melempar botol minuman yang baru dibelinya saat Soonyoung menatapnya.

"Aku tahu kompetisi dance-nya sudah semakin dekat, tapi kau juga harus mengistirahatkan tubuhmu," nasihat Junhui.

Soonyoung mengabaikannya, dia lebih memilih meminum air yang diberikan Junhui barusan.

"Dance-mu sudah bagus, Soon. Anggota lain protes, seharusnya kau mengajari mereka, bukannya berlatih sendiri terus-terusan seperti ini."

"Kau saja yang mengajari mereka," jawab Soonyoung ogah-ogahan setelah menghabiskan setengah botol air minum.

Junhui mendengus, "Baik, aku yang mengajari. Kau, pulang sana!"

Soonyoung mendecak kesal. Dia tahu maksud Junhui itu baik, tapi suasana hatinya sudah buruk sejak tiga hari yang lalu. Sejak Junhui menyuruhnya untuk sadar. Dia terus saja memikirkan Jihoon. Apakah lelaki mungil itu mencintainya atau tidak? Apakah lelaki mungil itu hanya terpaksa menjadi kekasihnya selama ini? Terlalu banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya dan itu membuatnya pusing.

"Junhui-hyung."

Sebuah suara khas terdengar. Junhui dan Soonyoung sama-sama mengalihkan pandangan ke pintu ruangan.

"Hao-ya, ada apa?" tanya Junhui sambil mendekati Minghao, kekasihnya.

Soonyoung mengabaikan pasangan kekasih itu dan melangkah ke tempat dimana tasnya berada, kemudian menyambarnya.

"Aku pulang, Wen," pamit Soonyoung datar. Dia bahkan tidak melirik sedikit pun ke arah Junhui dan Minghao.

"Sampai di rumah istirahatlah. Jangan latihan lagi."

.

.

Soonyoung menghentikan langkahnya. Dia menoleh ke ruang ekskul vokal yang terdengar ramai. Kemudian, dia membuka pintu ruang tersebut tanpa permisi.

Suasana menjadi hening seketika.

"Soonyoung-hyung mau memberikan air minum lagi?" tanya Seokmin memecah keheningan.

Youngjae menoleh ke arah Jihoon, "Untuk Jihoon? Tapi dia sudah dapat dari Seungcheol-hyung," katanya.

Soonyoung menatap lurus ke arah Jihoon, "Belum selesai?" tanyanya datar.

Jihoon meminum air yang tak jauh darinya sebelum menjawab, "Belum."

"Oke," sahut Soonyoung, lalu pintu kembali tertutup.

"Sudah? Hanya seperti itu? Pacarmu kenapa, Jihoon-ah?" tanya Jisoo bingung.

Jihoon hanya mengedikkan bahu, "Biarkan saja. Nanti juga seperti biasa lagi," jawabnya santai.

"Sepertinya Soonyoung-hyung cemburu," gumam Seokmin yang kemudian mendapat lirikan sekilas dari Jihoon.

"Kalian tidak pulang bersama beberapa hari terakhir ini. Kau tidak merindukannya Jihoon-ah?" tanya Youngjae.

Jihoon menghela nafas, "Tentu saja aku rindu," jawabnya pelan.

Youngjae dan Seokmin saling bertatapan. Mereka sudah akan tersenyum kalau saja Jihoon tidak bergumam setelahnya.

"Menjambaknya."


"Aku pulang!" Soonyoung berseru sambil membuka pintu rumahnya.

"Soonyoung-ah, selamat datang!"

Soonyoung segera menahan ibunya yang hendak memeluknya. "Aku berkeringat, Eomma. Bau," katanya.

Ibunya hanya tersenyum, lalu menepuk kedua pipinya. "Oke. Kalau begitu istirahatlah. Eomma sedang menyiapkan makan malam, kalau sudah selesai Eomma akan memanggilmu."

Soonyoung tersenyum lebar dan membuat tanda 'oke' dengan jarinya. Kemudian, dia segera berjalan ke kamarnya untuk mandi dan beristirahat.

Soonyoung menghela nafas, lalu menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Dia baru saja mandi setelah menghabiskan banyak waktunya dengan menari di sekolah. Lelah sekali.

"Ah, aku belum menghubungi Jihoon," gumamnya. Dia segera bangkit dan mengambil ponselnya.

Suasana hatinya sudah membaik. Dia sudah seperti Soonyoung yang biasanya. Soonyoung yang berisik, Soonyoung yang ceria, dan Soonyoung yang selalu dijambak Jihoon.

Soonyoung segera mencari kontak Jihoon di ponselnya dan meneleponnya.

'Halo?'

"Halo. Kau sudah di rumah, Ji?"

'Hm, sudah. Ada apa?'

Mendengar suara lelah milik kekasihnya, Soonyoung tidak berbasa-basi lebih lama lagi. "Besok jangan lupa datang ya."

'Datang? Datang kemana?'

Soonyoung mengernyit, apa dia belum memberi tahu jika kompetisi dance dilaksanakan besok?

"Kompetisi dance, Ji. Kau sudah berjanji akan menontonku."

'Memangnya besok? Bukankah tiga hari lagi?'

Soonyoung mengernyit, lagi. Sepertinya dia sudah pernah memberitahu kalau kompetisi dance-nya diajukan beberapa hari. Apa Jihoon tidak mendengarkannya?

"Aku sudah pernah bilang padamu, Ji. Kompetisi dance-nya besok. Kau bisa datang, kan?"

'Jam?'

"Dua."

'Sepertinya aku agak telat. Ada yang harus dibicarakan dengan Cho Seonsaengnim. Tidak apa-apa?'

Kalau itu menyangkut Cho Seonsaengnim, guru seni di sekolahnya, berarti akan memakan waktu berjam-jam hanya untuk membahas lagu.

"Oke, tidak apa-apa. Asal kau datang," jawab Soonyoung. Dari nada bicaranya, dia terdengar kecewa.

'Oke.'

"Ah, kalau begitu istirahatlah. Kau pasti lelah."

'Hm.'

"Aku men—"

'Apa?'

"Aku menunggumu. Pastikan kau datang besok."

'Iya, aku datang.'

Soonyoung menghela, "Aku matikan panggilannya."

'Ya.'

Soonyoung menatap ponselnya. Dia benar-benar ingin mengatakan jika dirinya mencintai Jihoon, tapi dia juga tidak ingin mendengar jawaban Jihoon yang tidak sesuai dengan harapannya.

"Kapan aku bisa mendengar kata cinta darimu?"


"Kau sudah istirahat, kan?"

Sepasang tangan memijat bahu Soonyoung, kemudian menepuknya beberapa kali. Tanpa menoleh pun Soonyoung tahu jika itu Junhui.

"Sudah. Kenapa kau jadi khawatir sekali, sih denganku? Jangan bilang..." Soonyoung menghentikan kalimatnya dan menatap Junhui dengan horor.

Sebuah pukulan dilayangkan ke kepala Soonyoung. "Hentikan pikiran kotormu. Menjijikkan, Soon," protes Junhui.

Soonyoung mengusap kepalanya, "Pikiran kotor apa, sih? Kau yang berpikiran kotor. China sialan," umpatnya.

Junhui melirik Soonyoung sinis, "Memang kau akan bilang apa?"

"Jangan bilang kalau kau penggemar beratku," jawab Soonyoung. "Aku hanya ingin bilang seperti itu, kenapa kau memukulku?" lanjutnya sambil membalas pukulan Junhui.

"Sudah bertengkarnya?"

Soonyoung dan Junhui menoleh bersamaan ke arah suara. Mereka tersenyum canggung setelahnya. Lee Sonsaengnim berdiri di belakang mereka.

"Kami tidak bertengkar, kok, Seonsaengnim," elak Soonyoung.

"Benar, kami tidak bertengkar," Junhui ikut mengelak.

"Ada apa, Seonsaengnim?" tanya Soonyoung mengalihkan topik pembicaraan.

"Ada apa? Apa yang kalian lakukan disini? Cepat berkumpul! Soonyoung-ah, kau leader, pergi ambil nomor undiannya!"

"Ah, baik, Sonsaengnim," kata Soonyoung cepat. Dia menepuk punggung Junhui dengan keras sebelum berlalu dari sana.

Junhui hampir saja menyumpah kalau tidak ingat Lee Sonsaengnim masih berada di dekatnya. Dia tersenyum sedikit, "Saya berkumpul dulu, Sonsaengnim," pamitnya yang dibalas dengan anggukan Lee Sonsaengnim.

.

.

"Kita nomor 4. Pemanasan terlebih dulu!" seru Soonyoung yang berjalan ke arah anggotanya sambil memasang nomor undian di bajunya.

"Soonyoung-ah, kenapa nomor 4?"

"Memangnya tidak ada angka yang lebih besar?"

"Aku gugup. Bagaimana ini, hyung?"

Soonyoung menghela nafas mendengar protesan-protesan yang diterimanya. Dia dengan sabar menjawab, "Karena mendapat nomor 4 sudah takdir. Tentu saja ada angka yang lebih besar, tapi aku tidak mendapatkannya. Kalau gugup, bernafaslah dengan benar."

"Sepertinya nomor 4 membuatmu tidak bisa ditonton oleh Jihoon, Soon," ucap Junhui yang baru saja datang bersama Minghao.

Soonyoung membeku. Matanya membulat, "Aku lupa kalau Jihoon ada urusan dengan Cho Seonsaengnim. Aduh, bagaimana ini? Kenapa aku memilih nomor 4? Apa aku bisa menukarnya? Ah, sialan!"

Anggota dance yang lain hanya menatap Soonyoung dengan datar.

"Tadi menjawabnya dengan santai sekali."

"Dasar leader. Perasaannya masih terombang-ambing."

"Benar. Hanya karena Jihoon-sunbae bisa sampai seperti itu."

Junhui tertawa mendengar komentar-komentar tersebut. Dia melihat ke arah Minghao yang hanya menatap polos ke arah anggota dance.

"Soonyoung-hyung benar-benar mencintai Jihoon-sunbae, ya?" tanya Minghao.

Junhui hanya tersenyum.


"Jihoon belum datang juga? Apa urusannya dengan Cho Seonsaengnim belum selesai?"

Soonyoung mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Mencari kekasih mungilnya. Dia jadi iri pada Junhui, kekasihnya bahkan sudah bersama dia sejak berangkat ke tempat kompetisi dance-nya.

"Kubilang juga apa. Nomor 4 tidak akan membuat Jihoon menontonmu," kata Junhui.

"Tidak usah mengomporiku. Junhui sialan," ketus Soonyoung.

Junhui tertawa, "Sudah, tenang saja. Aku sudah menyuruh Minghao merekam kita. Jadi, nanti Jihoon bisa menontonmu," ujarnya.

Soonyoung menghela nafas, kemudian mengangguk dan mengucapkan terima kasih dengan pelan.

"Nomor 4 bersiap-siap!"

"Kita sudah dipanggil. Ayo!" seru Soonyoung pada anggotanya.

Junhui diberikan gestur semangat oleh Minghao. Senyum pasangan itu lebar sekali dan Soonyoung masih sempat mencibir mereka.

Dance mereka dimulai dengan sangat baik. Semua berjalan lancar. Gerakan mereka kompak dan tak terlihat sedikit pun kesalahan. Namun, memasuki menit-menit terakhir, entah karena panggung yang licin, tali sepatu yang tak terikat sempurna, atau kehilangan keseimbangan, Soonyoung terjatuh. Beruntung dia masih bisa berdiri dan melanjutkan dance-nya sampai akhir.

"Kau tidak apa-apa, Soon?" tanya Junhui saat melihat Soonyoung berjalan keluar panggung dengan tertatih.

Soonyoung menghela nafas kasar dan berbalik, menatap anggota dance-nya satu persatu. "Maaf, aku mengacaukannya," gumamnya.

Junhui menepuk bahu Soonyoung, "Kau tidak mengacaukannya. Kita semua sudah berusaha sebaik mungkin," hiburnya.

Sayangnya, itu tidak berhasil membuat perasaan Soonyoung membaik. Soonyoung belum berhenti menggumamkan kata maaf.

"Soonyoung-hyung, kita semua melakukannya dengan baik."

"Jangan terus menyalahkan dirimu, leader."

"Tidak ada yang mengacaukan dance kita. Kita pasti terlihat keren."

Junhui merangkul bahu Soonyoung, "Dengar? Ayo, lebih baik kita duduk dan minum dulu. Ah, kita juga harus mengurus kakimu," katanya.

Mereka beristirahat di tempat yang sudah disediakan. Lee Sonsaengnim membagikan air minum kepada anak didiknya yang terlihat kelelahan.

"Kalian sudah berusaha keras. Soonyoung-ah, kakimu tidak apa-apa?" tanya Lee Sonsaengnim.

Soonyoung mengangguk dan tersenyum kecil, "Iya, tidak apa-apa, Sonsaengnim," jawabnya yang mendapat lirikan tajam dari Junhui.

"Akh!"

Junhui menatap sekitarnya santai setelah menendang kaki kanan Soonyoung dengan pelan, "Seperti itu tidak apa-apa, ya, Soon," sindirnya.

Soonyoung memukul kepala Junhui keras, "Sialan kau," umpatnya pelan.

"Perlu kupanggilkan dokter, Soonyoung-ah? Sepertinya kakimu terkilir," ujar Lee Sonsaengnim sambil berjongkok dan memeriksa kaki Soonyoung.

Soonyoung menggeleng, "Tidak perlu, Sonsaengnim. Saya akan mengobatinya nanti saja di rumah. Ini tidak parah, kok," katanya.

Lee Sonsaengnim menatap Soonyoung ragu, "Kau yakin?" tanyanya.

Soonyoung mengangguk pasti dan Lee Sonsaengnim hanya bisa menghela nafas. "Kalau begitu aku pergi dulu, ada yang harus diselesaikan," pamitnya.

"Iya, Sonsaengnim."

"Kemana Minghao?" tanya Soonyoung setelah Lee Sonsaengnim pergi.

"Sedang ke minimarket, katanya dia lapar," jawab Junhui.

"Oh iya, Jihoon-sunbae belum datang?"

Junhui segera menatap tajam yang mengajukan pertanyaan. "Kenapa kau mengingatkannya?" bisiknya kesal dan hanya dibalas dengan cengiran bersalah.

"Ah, benar juga. Jihoon belum datang, ya? Aku akan mencarinya dulu," kata Soonyoung sambil berdiri dan mengedarkan pandangannya ke arah bangku penonton.

"Eh, tidak, tidak! Jangan pergi kemana-mana. Aku akan meneleponnya saja," balas Junhui cepat sambil mengeluarkan ponselnya.

"Tidak perlu," ucap Soonyoung. Dingin. Matanya menatap tajam ke suatu tempat. "Aku sudah menemukannya," lanjutnya dan kembali mendudukkan dirinya.

Junhui mengernyit. Dia mengikuti arah pandang Soonyoung dan menyipitkan matanya. Ada Jihoon dan Seungcheol yang sedang berdiri berhadapan. Mereka tertawa bersama dan diakhiri dengan tepukan ringan di kepala Jihoon oleh Seungcheol.

Soonyoung menghela nafas kasar dan meminum minumannya dengan cepat. Berusaha mendinginkan apapun yang ada dalam dirinya yang mulai memanas.

"Kalian sudah tampil? Maaf, urusanku dengan Cho Sonsaengnim baru selesai."

Soonyoung memejamkan matanya mendengar suara barusan. Dia meletakkan botol minumnya dan berdiri, "Aku ke toilet dulu," katanya.

Hari ini benar-benar sial. Dia mengacaukan penampilan dance timnya, kakinya terkilir, melihat kekasihnya sedang berdua bersama mantannya, dan sekarang dia harus pergi ke toilet dengan tertatih.

Tuhan benar-benar memberkati hidupnya.


Weekend sudah tiba. Soonyoung sudah mem-booking satu hari milik Jihoon untuk berkencan. Jihoon menyetujuinya, dengan berbagai bujuk rayu menjijikkan dari Soonyoung.

Bertemu di taman kota pukul 3 sore.

Seperti itulah perjanjiannya. Soonyoung sudah merencanakan akan kemana saja mereka berkencan. Dia pastikan kencan kali ini menyenangkan. Ngomong-ngomong, ini kencan sebagai hadiah atas kemenangan tim Soonyoung saat kompetisi dance saat itu. Mereka menjadi juara 2.

Lupakan momen Seungcheol-Jihoon saat itu. Soonyoung bahkan sudah bersusah-payah menerapkan sugesti positif dalam pikirannya hingga dia bisa melupakan kejadian itu.

Soonyoung melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 2. Dia bergegas mengambil handuk dan mandi. 20 menit dia habiskan di kamar mandi. Setelahnya, dia mulai memilih baju yang akan dipakai untuk kencan.

"Selesai. Aku sudah terlihat tampan," gumam Soonyoung di depan cermin.

"Mau kemana, Soonyoung-ah?"

Soonyoung menghentikan langkahnya, lalu menoleh dan mendapati ayahnya yang sedang menatapnya. "Aku? Mau pergi," jawabnya.

"Kencan?"

Soonyoung tersenyum dimanis-maniskan, "Tahu saja," katanya.

Sang ayah menggelengkan kepalanya, kemudian mengambil kunci di atas meja dan melemparkannya ke arah Soonyoung. "Pakai motor sekali-sekali. Kakimu juga belum terlalu baik, kan?"

Soonyoung menatap kunci motor di tangannya dengan pandangan takjub. Ayahnya jarang sekali mau meminjamkan motor. "Kakiku, sih sudah tidak apa-apa, tapi kalau Appa memaksa, aku juga tidak menolak," ucapnya.

Ayahnya berdecak, "Kau memang menginginkannya. Sudah sana, berangkat!"

Soonyoung terkekeh, "Iya, Appa. Aku berangkat."

"Hati-hati."

Soonyoung membuat tanda 'oke' dengan jarinya, lalu pergi mengeluarkan motor dari garasi. Akhirnya, dia bisa kencan tanpa kaki pegal saat pulang.

Soonyoung memarkirkan motor di tempat yang tak jauh dari taman. Dia sampai lebih awal dari perkiraannya, tentu saja. Maka dari itu, dia pergi ke kafe terdekat dan membeli segelas cappuccino untuk menemaninya menunggu Jihoon.

Soonyoung duduk di salah satu bangku taman. Cappuccino yang dibeli diletakkan di sampingnya. Dia sudah mengirim pesan pada Jihoon kalau dia sudah sampai di taman. Ditunggu belasan menit, belum ada balasan.

Soonyoung melirik jam tangannya. Pukul 3.21.

"Mungkin Jihoon masih di jalan. Dari rumahnya kesini, kan, lumayan jauh," gumam Soonyoung, positive thinking.

Soonyoung melirik jam tangannya lagi. Pukul 3.45 dan langit mulai menggelap. Sepertinya sebentar lagi akan hujan.

"Masa Jihoon lupa? Padahal baru kuajak kemarin," monolog Soonyoung. Saking lamanya menunggu, yang tersisa di gelas cappuccino-nya sekarang hanya udara.

Dia mengeluarkan ponselnya dan kembali mengirimi Jihoon pesan. Tepat setelah dia menyimpan ponselnya, rintik hujan mulai turun.

Soonyoung menengadahkan tangannya, merasakan hujan yang jatuh. "Masih gerimis, aku akan menunggu lebih lama lagi," gumamnya sambil menutup kepala dengan hoodie jaketnya.

Jam tangan kembali dilirik. Pukul 4.10. Serius, dimana Jihoon sekarang? Meski hanya gerimis, bajunya sudah basah sampai ke dalam.

"Soonyoung-ah!"

Soonyoung segera mendongak ketika namanya diserukan. Itu Jisoo. Berdiri tak jauh dari tempatnya duduk dengan payung dalam genggamannya. Samar-samar, dia bisa mendengar Jisoo berbicara 'Kubilang juga apa, itu Soonyoung!' dengan seseorang di sampingnya.

Senyum Soonyoung mengembang ketika melihat seseorang yang bersama Jisoo adalah kekasihnya, Jihoon. "Kau datang," katanya

Jihoon mendekat, memayungi Soonyoung meski percuma. "Datang apanya? Apa yang kau lakukan disini?" tanyanya.

Soonyoung kehabisan kata-kata. Senyumnya perlahan menghilang dan dia hanya bisa menatap Jihoon lelah. "Kenapa tidak membalas pesanku?" tanyanya.

Jihoon mengernyit, "Ponselku tertinggal di rumah. Ada apa, sih? Kenapa juga kau hujan-hujanan? Niat sekali sakit," katanya.

Soonyoung tersenyum miris, "Kau melupakan kencan kita," ujarnya. "Aku menunggumu dari tadi," lanjutnya.

Jihoon terdiam. Matanya sedikit membulat ketika bujuk rayu Soonyoung tadi malam melintas di pikirannya. "Maaf—"

"Kau mengiyakan ajakanku. Kau bilang kau tak ada kegiatan apapun hari ini," tukas Soonyoung cepat.

Jisoo yang sedari tadi diam dan hanya melihat pasangan kekasih di depannya, melangkah mundur saat merasakan aura di sekitarnya tak begitu baik.

"Kau mau pulang? Kuantar?" tanya Soonyoung cepat. Dia tidak membiarkan Jihoon mengucapkan satu kata pun.

"Aku... Iya... Tapi, Jisoo-hyung..."

Soonyoung tersenyum kecil, lalu berdiri. "Kalau begitu aku pulang dulu," pamitnya. Tangannya yang dingin dan basah bergerak mengusak surai Jihoon.

"Jisoo-hyung, tolong jaga pacarku, ya," ujarnya saat melewati Jisoo.

Jihoon hanya menatap punggung Soonyoung yang semakin menjauh dengan perasaan bersalah. Dia juga masih bisa mendengar suara kekasihnya yang berucap 'Kenapa dingin sekali?' dari tempatnya berdiri.

"Ayo pulang, Jihoon-ah," kata Jisoo setelah Soonyoung tak berada dalam pandangan mereka.

Sementara Soonyoung, dia sudah berada dimana motornya diparkirkan. Dia duduk di atas motor dan diam. Hanya diam. Dia terlihat memikirkan sesuatu sampai tiba-tiba tangannya terangkat untuk mengacak rambutnya dengan kasar.

Apa aku sebegitu mudahnya untuk dilupakan, Ji?


Soonyoung segera meletakkan kepalanya di meja dan memejamkan mata setelah bel istirahat berbunyi. Junhui juga tidak beranjak dari duduknya. Dia memainkan game di ponselnya.

"Kau tidak ke kantin?"

Junhui melirik Soonyoung yang baru saja melemparkan pertanyaan. "Aku harus mengurus bayi besar yang baru saja sembuh, Kwon," jawabnya.

Soonyoung berdecak, "Sialan, kau," umpatnya.

Setelah pulang dari kencan yang gagal saat itu, Soonyoung jatuh sakit. Ayahnya juga malah terus menggodanya. 'Kenapa pulang cepat?' 'Pacarmu tidak senang berdua denganmu?' 'Atau kau diputuskan?'. Yang lebih menyedihkan, Jihoon sama sekali tidak menjenguknya selama dia sakit.

Soonyoung menghembuskan nafas lelah. Dia mendengar namanya dipanggil, tapi samar-samar. Jadi, dia memilih untuk tidak peduli.

Junhui menoleh ke arah pintu kelas saat mendengar Soonyoung dipanggil. Itu Jihoon. Kepalanya menyembul sedikit dari pintu kelas. Dia segera menepuk bahu Soonyoung pelan saat sahabatnya itu tak bereaksi.

Soonyoung menegakkan tubuhnya, lalu mengerjap. Dia melihat Jihoon berjalan mendekat.

Jihoon berhenti di depan meja Soonyoung. Tangannya terulur untuk meletakkan punggung tangannya di dahi Soonyoung. "Kau sudah makan? Ayo, ke kantin!"

Fokus Junhui segera berpindah ke pasangan di depannya. Soonyoung hanya menatap Jihoon, sementara Jihoon yang kesabarannya mulai menipis, mendengus kesal dan segera menarik tangan Soonyoung.

Pandangan mata Junhui terus mengikuti Soonyoung-Jihoon. Dia menggumam 'wow' saat melihat Jihoon menggandeng Soonyoung keluar kelas. Namun, mereka berdua tiba-tiba berhenti.

Jihoon menoleh, "Kau mau ikut tidak?"

"Hah? Oh, aku diajak?" tanya Junhui.

Jihoon memutar bola matanya malas, lalu kembali berjalan menuju kantin bersama Soonyoung. Junhui segera berlari menyusul mereka.

"Aku tidak sempat ke rumahmu. Cho Seonsaengnim menyuruhku membuat lagu lagi," kata Jihoon.

Mereka sudah duduk di bangku kantin dengan makanan di hadapan. Rupanya Wonwoo sudah menunggu, bahkan makanan sudah dipesankan.

Soonyoung tersenyum, "Tidak apa-apa, Ji," katanya.

Junhui tersenyum sarkasme, "Kata seseorang yang kemarin terus merengek minta ditemani kekasihnya," ujarnya. Kemudian, dia mengaduh setelah mendapat injakan dari Soonyoung.

"Jihoon-ah," panggil Soonyoung.

Jihoon menghentikan acara makannya dan mendongak, lalu menaikkan sebelah alis.

"Coba senyum padaku."

Jihoon diam. Tidak tersenyum, hanya menatap Soonyoung.

"Seperti ini?" tanya Wonwoo yang berhasil menarik kedua pipi Jihoon, memaksakan sebuah senyuman.

Jihoon menampik tangan Wonwoo, lalu meliriknya dengan tajam. "Jangan pernah menyalin tugas rumahku lagi," katanya.

Wonwoo hanya tertawa, "Aku masih bisa minta bantuan yang lain. Lagipula, apa susahnya tersenyum pada kekasihmu sendiri?"

Junhui mengangguk setuju, "Wonwoo-ya. Eomji cheok," katanya sambil menunjukkan ibu jarinya.

Wonwoo ikut mengangguk, lalu mereka berdua melakukan high-five. Soonyoung hanya tersenyum kecil, sementara Jihoon mendengus kesal.

Keadaan menjadi hening setelah Wonwoo pergi. Mingyu menemuinya dan berkata jika ingin membicarakan sesuatu, ngomong-ngomong.

"Kau memperhatikan siapa, sih, dari tadi?" tanya Soonyoung, memecah keheningan yang ada.

Pandangan mata Jihoon segera beralih pada Soonyoung. "Bukan siapa-siapa," jawabnya.

Junhui menyiku lengan Soonyoung, lalu menunjuk sesuatu dengan ekor matanya. Soonyoung menoleh, hanya untuk menatap Junhui dengan pandangan kesal.

Di sebuah meja yang tak jauh dari meja yang ditempatinya, berkumpulah beberapa kakak kelas. Ada Jisoo, Seungcheol, Minhyun, Jimin, dan Taehyung. Tentu saja jelas siapa yang Jihoon perhatikan. Siapa lagi kalau bukan mantan kekasihnya, Choi Seungcheol?

"Kau masih menyukai Seungcheol-hyung?"

Junhui menatap Soonyoung tidak percaya, "Wah, tanpa basa-basi?" takjubnya.

Jihoon menatap Soonyoung sebentar, "Tentu saja. Aku masih menyukainya," jawabnya santai.

Soonyoung mendengus tak percaya. Namun, belum sempat dia berkomentar, seseorang sudah bersuara terlebih dulu.

"Jihoon-ah."

"Oh? Seungcheol-hyung? Ada apa?"

Soonyoung bahkan tidak melihat wajahnya, hanya mendengar namanya dipanggil. Namun, entah apa yang membuat emosinya memuncak. Dia merasa ingin mengeluarkan apapun yang pernah dipelajarinya di kelas taekwondo dulu.

"Ah, habiskan makananmu dulu."

"Tidak, tidak. Aku sudah selesai."

"Ada yang ingin kubicarakan padamu, tapi hanya berdua. Bisa?"

"Tentu saja bisa. Sekarang?"

"Yap, sekarang."

"Oke."

Soonyoung terus memperhatikan Jihoon dan Seungcheol yang mulai menjauh dari kantin. Dia ingin mengumpat, tapi semua yang ingin ia keluarkan berhenti di tenggorokan.

"Ya!— Wah."

Soonyoung beralih menatap Junhui yang juga menatapnya. "Mereka bahkan tidak meminta izin dariku untuk pergi berdua? Ya, apa aku benar-benar pacar Jihoon?"

Junhui menghela nafas, "Karena itulah aku berusaha menyadarkanmu, Kwon Soonyoung," ujarnya.

Soonyoung memijat kepalanya yang tiba-tiba berdenyut. Kalau menyangkut masalah 'sadar-menyadarkan', bisa-bisa sakitnya kambuh lagi.

"Seharusnya kau tidak usah berusaha menyadarkanku, Junhui-ya," ucap Soonyoung, lelah.

"Kau selalu mengatakan seperti itu. Ini demi kebaikanmu, Soon," sahut Junhui.

"Tak perlu terlalu baik sampai mau menyadarkanku masalah Jihoon. Seharusnya kau biarkan saja aku. Seharusnya kau biarkan aku dengan pikiranku yang dulu, yang berpikir bahwa Jihoon mencintaiku. Itu akan lebih baik."

Junhui menatap sahabatnya simpati, "Kau benar-benar jatuh terlalu dalam, Soon. Terlalu dalam sampai kau tak bisa kembali lagi."


"Kau benar-benar ingin mengakhiri semuanya?"

Soonyoung mengangguk atas pertanyaan Junhui barusan.

"Kau sudah lelah?"

Soonyoung kembali mengangguk, "Sangat."

"Jangan menyesal dengan apapun yang akan terjadi nanti."

Soonyoung menghela nafas, "Oke, tidak akan."

Junhui menepuk bahu Soonyoung, "Kalau begitu, semangat! Duluan, aku mau jemput Minghao," katanya.

Soonyoung hanya mengangguk, lalu mengibaskan tangannya. Menyuruh Junhui untuk cepat pergi. Dia hanya terdiam di kelas setelah Junhui pergi.

"Apa aku bisa melakukannya?" monolognya.

Soonyoung menghembuskan nafasnya, "Ayo selesaikan ini, Kwon Soonyoung," semangatnya pada diri sendiri. Dia segera pergi keluar kelas menuju kelas Jihoon. Semoga saja lelaki mungil itu masih disana.

Setiap langkah yang Soonyoung ambil, entah mengapa terasa begitu berat. Dia sudah berkali-kali menghela nafas selama perjalanan menuju kelas Jihoon.

Soonyoung mengernyit ketika melihat pintu kelas Jihoon terbuka sedikit. Dia mengintip dan segera berdecak setelah mengetahui siapa yang berada di dalam kelas. Dengan rasa jahil yang tiba-tiba muncul, dia membuka pintu dengan menggebraknya keras.

"Kalian sudah resmi kenapa tidak bilang-bilang?" tanya Soonyoung, bersandar pada pintu dengan tangan menyilang.

"Sialan, kau, Soonyoung-ah!"

"Serius, Soonyoung-hyung! Aku hampir saja mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas."

Soonyoung menampilkan senyum tak berdosanya pada Mingyu dan Wonwoo yang masih berada di kelas ini. "Salah kalian berduaan di kelas saat semua siswa sudah pulang. Apalagi posisinya mencurigakan," katanya.

"Mencurigakan apa?" gumam Wonwoo kesal.

Soonyoung segera teringat tujuannya datang ke kelas ini. "Jihoon dimana, Wonwoo-ya?" tanyanya.

"Ekskul vokal."

"Kalau begitu aku pergi dulu. Lanjutkan saja kegiatan kalian tadi. Terima kasih, Wonwoo-ya!" kata Soonyoung, kemudian menutup pintu kelas.

Kalau biasanya Soonyoung akan membuka pintu ruang ekskul vokal tanpa permisi, kali ini dia hanya mengintip sebentar dan memutuskan untuk menunggu di luar.

Hampir 30 menit Soonyoung menunggu di luar. Sesekali dia akan mengintip, lalu duduk di lantai saat lelah berdiri, bahkan dia hampir tertidur karena lama menunggu. Tak lama, dia mendengar suara pintu terbuka, disusul dengan canda dan tawa.

"Loh? Soonyoung?"

Soonyoung tak mengindahkan tatapan bingung yang diberikan Jisoo. Dia segera menarik tangan Jihoon begitu lelaki mungil itu berada dalam pandangannya.

"Mau kemana, Kwon?" tanya Jihoon.

"Diam saja, Lee," balas Soonyoung singkat.

Soonyoung melepaskan genggaman tangannya saat mereka sampai di tempat tujuan. Lapangan basket indoor.

Dia berbalik menatap Jihoon sebentar sebelum melepaskan tas miliknya dan Jihoon, kemudian meletakkannya di lantai. Setelah itu, diambilnya bola basket yang tergeletak di pinggir lapangan dan men-dribble bola tersebut menuju Jihoon.

"Sebenarnya apa maumu, Kwon Soonyoung?" tanya Jihoon.

"Mauku? Ayo main basket. Kalau aku menang, kau harus melakukan apapun yang kuucapkan. Kalau aku kalah, aku akan menuruti semua yang kau mau," jawab Soonyoung.

Jihoon mengernyit. Kejadian ini membuat ingatannya kembali pada saat Soonyoung menyatakan cintanya.

"Untuk apa melakukan ini?"

Soonyoung menghela, "Kau akan tahu nanti. Jadi, kita mulai saja sekarang."

20 menit berlalu. Jihoon sudah berusaha keras, selalu berusaha keras malah. Namun, pada akhirnya dia akan kelelahan dan jatuh, kemudian mengumpat dengan sepenuh hati pada Soonyoung.

Jihoon melemparkan bola basket di tangannya frustrasi, lalu mendudukkan dirinya di lantai lapangan.

"Untuk apa memainkan ini? Kau tahu kalau pada akhirnya aku akan kalah! Katakan saja apa maumu, aku akan melakukan semuanya! Tak perlu melakukan hal melelahkan ini!"

Soonyoung menatap Jihoon yang sedang kembali mengisi paru-parunya dengan udara.

"Aku minta kau untuk tersenyum saja kau tidak melakukannya. Apalagi yang lebih," perkataan Soonyoung telak membuat Jihoon bungkam.

Soonyoung mendekati Jihoon, lalu mengulurkan tangannya, "Bangun," suruhnya.

"Aku lelah, Soonyoung!"

Soonyoung berdecak, "Lihat? Aku hanya menyuruhmu bangun, Jihoon-ah," katanya.

Jihoon menghela nafas kasar, kemudian meraih uluran tangan Soonyoung dan berdiri dengan susah payah. "Sudah. Apalagi yang kau mau?"

"Jawab pertanyaanku sejujur-jujurnya."

"Baiklah."

Sepasang kekasih itu saling bertatapan.

"Kau masih menyukai Seungcheol-hyung?"

Jihoon menghembuskan nafas, "Kau pernah menanyakan hal ini, bukan? Ya, aku masih menyukai Seungcheol-hyung," jawabnya.

Soonyoung bisa merasakan hatinya berdenyut sakit. "Kau belum bisa melupakan Seungcheol-hyung?" pertanyaan kedua yang dilontarkannya.

Jihoon menatap ke arah lain, "Belum," jawabnya pelan.

Soonyoung mengepalkan tangannya, kemudian mengatur nafas menahan amarah yang meluap. "Kalau begitu, kau masih mencintainya?" tanyanya.

Jihoon kembali menatap Soonyoung, lalu menjawab dengan yakin, "Tidak."

"Eoh? Kau sudah tidak mencintai Seungcheol-hyung?" tanya Soonyoung memastikan.

Jihoon mengangguk pasti.

Soonyoung menahan senyuman. Amarah yang ditahannya tiba-tiba lenyap. Dia kembali mengajukan pertanyaan.

"Lalu... kau mau menjadi kekasihku karena terpaksa?"

Jihoon tertawa sinis, "Pertanyaan macam apa itu? Memang kau yang memaksaku sejak awal. Apa aku pernah bilang 'ya, aku mau jadi pacarmu' saat itu?"

Sesuatu yang menyakitkan kembali. Soonyoung menggigit bibir bawahnya. Rasanya seperti kau diangkat tinggi-tinggi, lalu dihempaskan begitu saja.

"Jika kau memang terpaksa, kenapa kau tidak mengakhiri hubungan kita saja? Satu jam setelahnya, sehari setelahnya, semingu setelahnya. Kau bisa, kan? Kenapa tidak melakukannya?"

Jihoon diam. "Karena... karena aku tidak bisa," jawabnya.

Setelah itu keheningan mengisi lapangan basket indoor ini. Soonyoung masih menatap Jihoon, sementara lelaki mungil itu mengalihkan pandangannya. Tak mau menatap kekasihnya.

Soonyoung menata pikirannya, lalu bersuara tidak lama kemudian.

"Jadi, kau sudah tidak mencintai Seungcheol-hyung meski kau belum bisa melupakannya. Lalu, kau menerimaku dengan terpaksa, tapi tidak bisa mengakhiri hubungan kita. Kalau begitu, apa kau mencintaiku?"

Jihoon terdiam lama. Soonyoung terus menunggu.

"Ayo, katakan kalau kau mencintaiku."

Jihoon menghela nafas. Sepertinya mengucapkan kalimat seperti itu sangat sulit baginya.

"Aku..."

Jihoon menggantungkan kalimatnya, sementara Soonyoung dengan sabarnya menunggu.

"Aku..."

Jihoon lagi-lagi tak melanjutkan kalimatnya. Kemudian dia menghela nafas. Soonyoung bahkan ikut menghela nafas.

"Oke, kau tidak mencintaiku. Kau bisa mengakhiri hubungan ini sekarang atau mungkin besok. Berpikirlah sebanyak yang kau bisa. Sampai jumpa lagi."

Soonyoung akhirnya angkat bicara. Setelah mengatakan hal itu, dia segera menyambar tasnya dan berjalan keluar dari lapangan basket.

"Kwon Soonyoung, berhenti!"

Namun, Soonyoung tidak berhenti. Dia tetap berjalan, menoleh pun tidak.

"Soonyoung!" seru Jihoon lagi. Dia segera mengambil bola basket lain yang berada di pinggir lapangan dan melemparnya ke arah Soonyoung. Tepat mengenai bahunya.

Tetap saja Soonyoung tidak berhenti.

Jihoon berdecak kesal. Dia menyerukan nama kekasihnya sekali lagi sebelum berlari ke arah Soonyoung, kemudian menjambak rambut coklat milik Soonyoung dengan sepenuh hati.

"Kubilang berhenti! Kenapa tidak mau berhenti?" protes Jihoon.

"Lepas, Lee Jihoon," kata Soonyoung sambil memegangi tangan Jihoon yang masih berada di rambutnya.

"Aku mencintaimu, Kwon Soonyoung. Puas kau?!"

Soonyoung membeku. Dia sudah membersihkan telinganya. Jadi, dia tidak mungkin salah dengar, kan?

"Kau bilang apa?"

Jihoon berdecak. Dia semakin semangat menjambak rambut Soonyoung. "Aku mencintaimu. Kau tuli?"

Soonyoung ingin berteriak senang, sebenarnya. Namun, dia mencoba menahannya dan bertanya, "Kau mengatakannya dari hatimu, kan?"

Jihoon melepaskan jambakannya dengan kasar, "Apa kau bilang? Kau yang menyuruhku, kan, tadi?"

Raut wajah Soonyoung berubah murung. "Benar juga," gumamnya.

Jihoon tertawa pelan melihat wajah kekasihnya. "Aku bahkan belum pernah mengatakan 'aku mencintaimu' pada Seungcheol-hyung," ucapnya.

"Jadi... kau mengatakannya dari hatimu, kan?" tanya Soonyoung, dia sudah tidak bisa menahan senyumnya lagi.

Jihoon tersenyum, manis sekali. "Menurutmu?"

Teriakan 'yeah' milik Soonyoung memenuhi lapangan basket indoor. Raut senang tak bisa disembunyikan lagi. Dia bahkan sudah memeluk Jihoon sangat erat.

"Masa bodoh kau mengatakannya dari hati atau tidak. Yang penting aku mencintaimu," kata Soonyoung.

Jihoon membalas pelukan Soonyoung. "Aku juga..."

Soonyoung melepas pelukannya dengan tiba-tiba, "Lanjutannya? Kata selanjutnya?" tanyanya tak sabar.

Jihoon tidak menjawab, dia malah menarik pinggang Soonyoung untuk kembali dipeluk. "...mencintaimu," bisiknya.

Senyum lebar Soonyoung tak bisa ditahan, matanya bahkan tinggal segaris. Dia membalas pelukan Jihoon dengan erat.

Lihat? Aku tidak menyesal sama sekali melakukan ini, Wen Junhui!

.

.

"Jadi, kenapa akhir-akhir ini kau kembali dekat dengan Seungcheol-hyung?"

Saat ini, Soonyoung dan Jihoon berada di halte bus. Mereka berdua duduk berdampingan. Lengan Soonyoung merangkul bahu Jihoon dan kepala Jihoon bersandar di bahu Soonyoung.

Pemandangan yang manis sekali.

"Aku harus mengatakannya padamu?"

"Harus."

"Dia minta dijodohkan dengan Jisoo-hyung."

"Hah?"

.

End


a/n :

Maaf baru bisa update. Aku harus melewati banyak rintangan buat ngetik chapter ini :3

Oke, ending macam apa itu? Aku tahu itu tidak sesuai harapan. Gaya bahasaku jadi acak-acakan dan momen-momen dimana seharusnya menyedihkan/menyakitkan malah jadi... semacam itu. Apa Soonyoung sudah cukup tersiksa? Ekstrim banget ya perubahan sifat Jihoon-nya?

Terima kasih kepada : namusaurus, Jang Taeyoung, Scoupstatu, cxnnamonroll, Uhee, afifys03, svtvisual, feiihwang, simingyu, blackcottoncandy, wind, adore96, Shiro-nyan, newtrie12, aqizakura, Kasdu, Guest, mongyu0604, shmnlv, oomuoMingyu, A Y P, Firda473, Kwon, jihooneys, RGaniaa, mulfan cheesy, EXOST Panda, Ardilla428, Sonewbamin, dan voxxm. Ayo review lagi :3

Btw, get well soon Wonu{}. Hampa banget gak ada kamu di stage.

.

Mohon maaf apabila ada salah kata, terima kasih sudah membaca dan dipersilakan review.

Sekian dan sampai bertemu di ff lainnya.

cscvirus