.
.
Author: svtAlien
Rate: T
Cast: Lee Jihoon, Kwon Soonyoung, etc.
Pairing: SoonHoon/HoZi
Disclaimer: Cerita milik saya dan karakter dari Tuhan YME
.
.
Kau seharusnya tidak membuat janji yang tidak dapat kau tepati, Kwon Soonyoung.
.
.
Kwon Soonyoung itu dekat dengan Jihoon (Iyalah, Jihoon kan pacarnya). Soonyoung juga dekat dengan kakak sepupu Jihoon, Yoongi. Tidak dekat-dekat amat sih, yang jelas Soonyoung tidak ragu untuk bermanja dengan Jihoon di depan Yoongi, bahkan di depan pacar Yoongi, Jimin.
Contohnya saja seperti suatu malam dimana pengumuman Universitas Kyunghee sudah ada dan hasilnya; Soonyoung dan Jihoon diterima di jurusan yang sama.
"Soonyoung, jangan dekat-dekat. Rasanya tidak nyaman!"
"Habisnya aku kan senang bisa bersama lagi denganmu, Ji!"
Yoongi dan Jimin sedang berada di sofa. Kepala Yoongi yang sedang berbaring berada di atas paha Jimin yang sedang menonton TV dengan sebungkus snack di tangannya. Soonyoung dan Jihoon duduk di atas lantai beralaskan karpet. Tangan kanan Jihoon menopang kepalanya dengan siku yang diletakan di atas meja kecil sedangkan Soonyoung duduk di samping Jihoon dengan kepala yang ia sandarkan pada pundak Jihoon. Double date? Sepertinya bukan, Jimin hanya datang untuk menemani pacarnya di rumah keluarga Lee, sebab Tuan dan Nyonya Lee sedang pergi ke luar kota sedangkan Soonyoung datang tanpa alasan yang jelas. Pemuda bermata sipit itu sedang ingin berada di dekat Jihoon katanya.
"Senang apanya. Aku justru merasa bosan harus melihat mukamu terus."
"Bosan-bosan begitu kau juga suka kan? Dasar tidak jujur."
Jihoon memukul kepala Soonyoung.
Soonyoung mengaduh, "Ji, jangan pukul kepalaku. Nanti kalau aku gegar otak, kau malah menangis meraung-raung."
Kesal. Jihoon kembali memukul kepala Soonyoung.
"Jimin hyung! Aku butuh saranmu menangani pacar tukang pukul seperti Jihoon!"
Jihoon lagi-lagi memukul kepala Soonyoung.
"Maaf, Soonyoung. Yoongi hyung memang tsundere tapi dia bukan tukang pukul."
Yoongi langsung memukul dada Jimin.
.
.
Pulang kuliah. Menaiki bis di jam ramai itu sebenarnya melelahkan.
"Jihoon, kau tidak apa?" Jihoon mengangguk.
Jujur saja ia juga ingin duduk seperti Soonyoung. Ia lelah, tapi tidak ada lagi tempat duduk yang kosong. Hal itu memaksanya untuk berdiri di dekat Soonyoung seperti ini. Ia juga tidak mungkin memaksa kekasihnya untuk berdiri sementara ia duduk. Ia tahu Soonyoung lebih lelah darinya setelah kegiatan dan jam kuliah yang padat.
"Yakin? Aku bisa membiarkanmu duduk kalau kau mau."
Jihoon menggeleng.
"Yakin bisa tahan berdiri terus?"
Jihoon mengangguk lagi.
Soonyoung diam. Tidak menanyakan apapun lagi. Tangannya lalu tergerak menarik tangan Jihoon. Tubuh yang lebih kecil kini berada dalam pelukan yang lebih besar.
"Yak! Kwon Soonyoung!" seru Jihoon dengan suara pelan. Ia tidak sebodoh itu hingga berteriak dengan suara besar di tempat ramai seperti ini.
"Sudahlah, Jihoon. Tenang saja."
"Tenang saja katamu?"
Bagaimana mungkin Jihoon bisa tenang jika ia duduk di atas pangkuan Soonyoung seperti ini? Ini memalukan.
"Tenang saja. Tidak akan ada yang memperhatikan, kok." Soonyoung memeluk tubuh Jihoon dengan kedua tangannya. Jihoon sebenarnya ingin pasrah saja, tapi ia tidak bisa.
Waktu itu, perjalanan di bis tersebut terasa lebih lama dari yang seharusnya.
.
.
Hari Sabtu di bulan Maret di sebuah Kafe. Soonyoung dan Jihoon sedang makan berdua.
"Jihoon, kenapa mukamu terlihat beda sekali di sini?"
Jihoon melirik Soonyoung yang duduk di sebelahnya. Soonyoung sedang memegang ponsel Jihoon yang menampakan foto Jihoon dan Seungcheol yang sedang selfie berdua.
"Apanya yang beda?"
"Kau tersenyum manis sekali di sini, Jihoon-ie. Bukan hanya di foto yang ini saja. Di foto-foto yang lain juga. Pokoknya kau selalu tersenyum di semua foto yang ada di ponselmu."
"Memangnya kenapa? Wajar kalau aku tersenyum."
"Wajar, tapi kalau dibandingkan dengan foto-fotomu yang ada di ponselku itu sama sekali tidak wajar."
Jihoon kembali fokus dengan makanannya, "Salah sendiri mengambil fotoku dengan paksa."
"Aku kan hanya ingin punya fotomu untuk disimpan, tapi kau selalu menolak saat kuajak foto berdua.."
Suram. Jihoon paling tidak suka kalau Soonyoung sudah menunjukan wajah murung seperti itu.
"Baiklah, apa maumu?"
Cerah. Jihoon dapat melihat senyuman di wajah Soonyoung.
"Aku ingin foto berdua denganmu menggunakan ponselku."
"Ya sudah."
Soonyoung lalu dengan cepat mengatur kamera depan ponselnya. Memposisikannya di depan wajahnya dan Jihoon lalu mengambil beberapa foto. Soonyoung tersenyum puas, sedangkan Jihoon kembali fokus dengan makanannya, berusaha mengabaikan Soonyoung yang kini mengeluarkan beberapa kata seperti "Manis" dan "Lucu" atau kalimat "Manisnya pacarku" yang sebenarnya membuat Jihoon ingin memukul Soonyoung.
Beberapa menit berlalu. Sunyi. Jihoon menoleh ke arah Soonyoung.
"Apa yang kau lakukan?" seru Jihoon. Ia langsung mengambil paksa ponsel Soonyoung yang tadinya digunakan Soonyoung untuk memotretnya diam-diam. Sang pelaku hanya cengengesan.
"Tenang saja, Jihoon. Kau terlihat manis di foto-foto yang kuambil. Lagipula, kau tidak pernah terlihat jelek."
Uh, inilah alasan kenapa Jihoon tidak suka Soonyoung memotretnya.
.
.
Awal bulan Juli itu masih termasuk musim hujan. Jihoon turun dari bus yang ia tumpangi dengan sekantong plastik belanjaan berisikan beberapa barang untuk seseorang yang sedang sakit, Kwon Soonyoung.
Ya, Soonyoung sedang sakit sekarang. Si Bodoh itu dengan percaya dirinya pulang dari rumah Jihoon tadi malam sambil menaiki motornya. Langit sudah mulai rintik saat itu, tapi Soonyoung menolak tawaran Jihoon yang ingin meminjami jaket tahan air. Alhasil, ketika hujan semakin deras saat Soonyoung masih dalam perjalanan pulang, ia pun langsung sakit keesokan harinya.
Jihoon pun menjenguk Soonyoung sesegera mungkin setelah ia pulang kuliah. Jihoon semakin bergegas ketika ia tahu Park Jungsoo, paman Soonyoung yang tinggal serumah dengan Soonyoung di Seoul sedang punya urusan penting yang tidak bisa ditinggal di tempat kerjanya. Karena itulah, Jihoon tadi juga sempat mampir di tempat kerja Jungsoo untuk mengambil kunci rumah.
Jihoon membuka pintu rumah itu perlahan. Ia tidak ingin mengganggu Soonyoung yang kemungkinan besar sedang beristirahat sekarang. Selesai meletakan kantong plastik yang ia bawa di dapur, Jihoon berjalan ke kamar Soonyoung.
Jihoon melangkah masuk ke dalam kamar Soonyoung dengan perlahan. Sosok yang sedang tidur di atas tempat tidur itu terlihat tenang. Jihoon lalu memindahkan sebuah kursi di dalam kamar itu sehingga ia bisa duduk di dekat ranjang Soonyoung.
Jihoon memandang wajah pemuda yang sedang sakit itu, "Soonyoung-ie.."
Soonyoung tiba-tiba membuka matanya, membuat tatapan kedua pemuda itu bertemu.
"Ah, maaf membangunkanmu." Jihoon dengan cepat mengalihkan pandangannya.
Soonyoung mengerjapkan matanya beberapa saat sebelum akhirnya tersenyum jahil.
"Memperhatikan wajah orang yang sedang tidur secara diam-diam itu tidak baik, Jihoon-ie."
"Berisik.. Aku tidak memperhatikan wajahmu."
"Berbohong juga tidak baik."
"…"
"Tapi karena kau yang melakukannya, kurasa tidak apa-apa!"
Jihoon melirik Soonyoung dengan tatapan 'Apa maksudmu, bodoh.'.
"Jihoon-ie, mungkin kalau aku sedang tidak sakit sekarang, sudah dari tadi aku mencium bibirmu."
Jihoon merasa Soonyoung yang sedang sakit dan yang sedang sehat itu sebenarnya sama saja.
.
.
Sebuah pagi yang cerah di bulan September. Jihoon membuka matanya perlahan lalu mengerjapkan kelopak matanya beberapa kali. Membalikkan badannya, ia lalu melihat Soonyoung yang baru saja keluar dari kamar mandi sambil menggunakan celana pendek dengan handuk di pundaknya. Di sinilah Jihoon, di atas kasur Soonyoung tanpa pakaian dengan selimut membungkus badannya serta beberapa bagian badan yang terasa sakit akibat kegiatan mereka semalam.
"Pagi, Jihoon." Soonyoung tersenyum. Jihoon diam, tidak punya mood untuk membalas sapaan Soonyoung.
"Kau tidak ingin mandi?"
"Aku lapar. Ambilkan aku makanan, Soonyoung."
"Kau harus mandi dulu, Jihoon. Ini sudah jam 9."
"…" Jihoon membalikkan badannya, membuat Soonyoung dapat melihat punggung pemuda itu.
"Ji, kau tidak ingin mandi?" tanya Soonyoung sambil mengelus rambut Jihoon perlahan. Jihoon sama sekali tidak merespon Soonyoung.
"Tumben Jihoon jorok."
Mendengar itu, Jihoon membalikkan badannya lalu menatap Soonyoung tidak terima.
"Bukan begitu."
"Lalu?"
"Aku mau, tapi.."
"Tapi?"
Soonyoung mengangkat alisnya.
Jihoon diam sejenak memandang wajah Soonyoung kemudian menarik napas, "Tapi aku tidak yakin bisa berdiri."
Diam. Hening beberapa saat sebelum Jihoon dapat melihat senyuman di wajah Soonyoung.
"Tiba-tiba aku ingin mandi lagi."
Jihoon terkejut. Badannya tiba-tiba diangkat oleh Soonyoung, meninggalkan selimut yang tergeletak berantakan di atas kasur. Jihoon refleks memeluk leher Soonyoung. Ia tidak ingin jatuh saat Soonyoung dengan tiba-tiba menggendongnya ala bridal style.
"Kalau begini tidak apa kan?"
Jihoon mengangguk. Wajahnya memerah. Ia tahu hal seperti ini tidak seharusnya membuatnya memerah, mengingat mereka telah melakukan banyak hal yang seharusnya—bagi Jihoon—lebih memalukan daripada ini. Tapi tetap saja, Soonyoung selalu berhasil membuat pipinya memerah dengan melakukan hal-hal seperti ini.
Soonyoung tersenyum. Ia lalu berjalan ke arah kamar mandi.
Saat itu, Jihoon merasa agak terkejut karena Soonyoung tiba-tiba melumat bibirnya pelan
.
.
22 November. Hari ini Jihoon ulang tahun. Teman-temannya ramai mengucapkan ucapan selamat ulang tahun dan beberapa memberikannya kado. Yoongi hyung mengajaknya ke pusat perbelanjaan untuk membeli barang yang ia inginkan. Ayahnya pulang cepat untuk ikut merayakan ulang tahunnya. Ibunya memasakan makanan kesukaannya. Jihoon sebenarnya sangat senang, namun tanpa kehadiran pemuda berisik bermata sipit itu, rasanya ada yang kurang.
Soonyoung pergi ke Namyangju sejak tiga hari yang lalu. Ibu Soonyoung sakit. Jihoon tidak mungkin melarang Soonyoung pergi, ia tahu seberapa sayangnya Soonyoung dengan ibunya. Selama beberapa hari ini, Soonyoung hanya menghubungi Jihoon sekitar dua-tiga kali. Jihoon sebenarnya ingin sekali menghubungi Soonyoung, namun ia merasa tidak enak, ia tidak ingin merepotkan Soonyoung dengan panggilan-panggilannya. Jihoon mengirimi Soonyoung beberapa SMS dan Soonyoung sama sekali tidak membalas satupun SMSnya.
Jam di meja kamar Jihoon telah menunjukan pukul 11.26 dan Jihoon belum menerima panggilan dari Soonyoung sama sekali hari ini, SMS pun tidak.
Menghela nafas panjang. Pukul sebelas lewat dua puluh tujuh menit.
Mungkin ia sedang sibuk.
Jihoon memutuskan untuk tidur.
.
.
Baru saja Jihoon berusaha untuk tidur, ponselnya tiba-tiba bergetar. Jihoon meraih ponselnya, merasa senang ketika melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Kwon Soonyoung. Ia cepat-cepat menerima panggilan tersebut.
"Halo?"
"Halo, Jihoon-ie. Apa aku membangunkanmu?"
"Aku baru saja berusaha untuk tidur saat kau meneleponku, Soonyoung-ie."
"Eum, apa kau bisa keluar sebentar? Aku ada di depan pagar."
Jihoon langsung beranjak keluar dengan langkah hati-hati karena takut membangunkan anggota keluarganya yang lain. Saat ia membuka pintu depan, ia hanya melihat pagar rumah tanpa adanya keberadaan berjalan cepat hingga ke depan pagar. Ia bersumpah akan membunuh Soonyoung kalau Soonyoung melakukan ini untuk mengerjainya.
"Kau lama, Jihoon."
Jihoon menoleh ke arah sumber suara. Ia lalu mendapati Soonyoung yang sedang berjongkok sambil bersandar di depan tembok dengan papan nama keluarga Lee di atas kepalanya.
Soonyoung berdiri, membuat ransel di pundaknya juga ikut terangkat. Jihoon merasa Soonyoung terlihat kedinginan sekarang, meskipun Soonyoung mengenakan pakaian yang terlapiskan dengan mantel dan syal di leher serta celana panjang yang harusnya cukup untuk menghangatkan diri.
"Sudah berapa lama kau di sini?"
"Menurutmu?" Soonyoung meletakan kedua telapak tangannya di pipi Jihoon.
Dingin. Jihoon meraih kedua tangan Soonyoung, "Ayo masuk ke dalam."
.
.
Soonyoung dan Jihoon sekarang sedang berada di ruang makan. Keduanya duduk di meja makan keluarga Lee dengan dua gelas berisikan teh hangat berada di depan mereka berdua. Soonyoung meraih gelas tersebut, meminum teh di dalamnya kemudian menengok ke arah jam dinding yang ada di ruangan itu. Sebelas lewat lima puluh menit.
"Selamat ulang tahun, Jihoon-ie."
"…"
"Aku tahu ini lambat sekali. Sebenarnya aku bisa saja mengucapkannya lewat SNS, SMS, ataupun telepon; tapi aku benar-benar ingin menyampaikannya langsung kepadamu."
"Tadinya kupikir kau mungkin melupakan hari ini hari ulang tahunku."
Soonyoung terkekeh pelan, "Kau tahu itu tidak mungkin." ujarnya, "Aku juga ingin menemuimu lebih cepat, tapi taksi yang kutumpangi dari bandara tadi bergerak dengan lambat gara-gara kemacetan. Aku bahkan berpikir untuk turun dan berlari sampai ke rumahmu."
"Lalu kenapa kau tidak melakukannya?"
"Siapa bilang aku tidak melakukannya?"
"Benarkah? Aku tidak percaya."
"Tapi aku melakukannya, Jihoon-ie. Aku turun dari taksi itu dan berlari. Kalau aku tidak melakukannya, mungkin aku belum sampai di rumahmu sekarang."
"Lelah?"
"Tidak terlalu. Kebetulan jaraknya sudah tidak terlalu jauh saat aku memutuskan berlari. Lagipula apapun yang kulakukan, itu tidak akan membuatku lelah selama itu kulakukan untukmu."
"Gombal." Jihoon memutar matanya.
"Kalau begitu biarkan aku mengatakan sesuatu yang tidak terdengar seperti gombalan." Soonyoung tersenyum, "Selamat ulang tahun, Lee Jihoon. Terima kasih karena sudah terlahir di dunia ini. Terima kasih karena sudah menjadi bagian penting dalam hidupku. Aku bersyukur karena telah bertemu dan mencintaimu. Sekarang dan selamanya, aku akan selalu mencintaimu." Jihoon dapat melihat keseriusan di mata Soonyoung, "Apa itu terdengar seperti gombalan?"
"Mungkin."
Soonyoung lalu mencium bibir pemuda manis di sampingnya.
Dalam hati, Jihoon berharap Soonyoung benar-benar menepati janjinya yang ia ucapkan saat itu.
.
.
Jihoon mencintai Soonyoung. Ia ingin selalu berada di sisi pemuda itu. Ia ingin selalu menjadi bagian penting dalam hidup Soonyoung. Ia tidak ingin Soonyoung pergi dari sisinya. Soonyung sangat berharga baginya. Ia tidak ingin kehilangan Soonyoung.
.
.
Sulit bagi Jihoon untuk membayangkan apa yang terjadi jika Soonyoung tidak pernah hadir dalam hidupnya
.
.
Jihoon benar-benar takut kehilangan Soonyoung
.
.
Ia takut
.
.
Benar-benar
.
.
Takut
.
.
Suatu malam di Kota Seoul. Jihoon dan Soonyoung telah selesai kuliah. Sekarang mereka tengah berada dalam perjalanan pulang. Soonyoung mengendarai motor sambil membonceng Jihoon.
Lampu lalu lintas menunjukan warna merah. Soonyoung memberhentikan motornya.
"Jihoon."
"Hem?"
Jihoon mendekatkan dirinya ke Soonyoung. Susah untuk mendengar dengan baik saat memakai helm seperti ini.
"Aku mencintaimu."
Jihoon blank sejenak. Ia bingung kenapa pacarnya tiba-tiba mengatakan hal seperti itu. Jihoon lalu tersenyum.
"Aku tahu."
"Apa kau mencintaiku?"
"Eh.. Kenapa kau tiba-tiba menanyakan hal seperti itu?"
Jihoon mendengar suara kekehan pelan dari Soonyoung.
"Entahlah, aku hanya ingin saja."
Dasar aneh.
"Jadi, apa kau juga mencintaiku?"
"Eum, aku mencintaimu."
"Syukurlah."
Lampu hijau.
Soonyoung melajukan motornya.
.
.
.
Tiba-tiba, semuanya terlihat gelap.
.
.
Halo. Makasih udah baca chapter kali ini. Makasih juga sudah R&R chapter sebelumnya.
[1] Maaf karena akhir-akhir ini lagi nggak aktif nulis. Saya kehilangan mood untuk menulis SoonHoon karena banyaknya moment SeokSoon :') Sebenarnya nggak apa-apa sih, tapi sedih aja liatnya.
[2] Ikut Challenge TAKABUR yuk~ Bukan takabur yang artinya sombong, tapi takabur dengan kepanjangan "Tantangan Kolaborasi Buta Ramai-ramai". Jadi nantinya peserta ditantang untuk saling melanjutkan potongan fanfiksi yang sudah dibuat peserta lain. Menarik kan? Kekeke. Untuk lebih jelas, baca penjelasannya di grup FFn yang ada di FB ya~ Aku juga ikut :V tapi baru daftar dengan fandom "Seventeen" sih. Hehe.
[3] Udah liat MV barunya EXO? Sorry, tapi menurutku ada beberapa bagian yang lucu hingga bikin ketawa :v Kakaka.
Heum heum. Kritik, saran, dan respon anda sangat berarti untuk saya. Review juseyooo~
