Cheers!

Bonus Chapter


Cast(s): Jeon Jungkook / Kim Taehyung


Rating: M

BUT please put your expectation at the lowest level because I am innocent.


Happy reading.


"Jungkook, aku akan menemuinya," katanya disertai sikutan di tulang rusuk kekasihnya pelan. Lalu reaksi spontan yang diterima Taehyung adalah rangkulan di pinggang yang semakin mengetat tanpa jawaban verbal sedikitpun. Ia jelas mengharapkan persetujuan, bukan bahasa tubuh yang berintensi samar seperti ini. Sepasang obsidiannya kemudian melirik sang responden hanya untuk memastikan. Mendapati manusia yang diajaknya bicara sedang memalingkan wajah pada lautan penonton di deretan bangku tribun.

"Setidaknya aku harus mengatakan keputusanku padanya, kan?" Tanyanya kali ini, masih berusaha bersikap persuasif dan membiarkan protesnya tak tersampaikan. Volume suaranya statis karena Taehyung cukup yakin, Jungkook hanya tengah berpura-pura tidak mendengar. Pemuda itu melempar senyum pada puluhan kamera juga mungkin ratusan orang yang masih begitu riuh, tampaknya. Dan Taehyung hanya memperhatikannya dengan bibir terkatup untuk beberapa sekon. Decak tipisnya sudah pasti tenggelam oleh keramaian suasana gedung —karena Taehyung memang tidak ingin merusak mood Jungkook saat ini— namun pemuda di sebelahnya itu justru merespon dengan menoleh telak. Wajahnya begitu dekat. Terlalu dekat bagi Taehyung untuk tidak kaget dan mundur secara refleks.

"Jangan menatapku seperti itu. Nanti kau cepat tua," Taehyung menutup mata Jungkook dengan telapak tangannya sekaligus mendorong wajahnya supaya sedikit lebih berjarak. Usaha menstabilkan detak jantungnya ketika sebenarnya yang ingin ia lakukan adalah meraih bibir penuh Jungkook sekali lagi.

"Bagaimana kalau kau ambil pialamu dan biarkan aku pergi," usulnya dengan sedikit gusar karena tak kunjung mendapat jawaban selain ekspresi tidak tertebak di wajah Jungkook. Mungkin tidak, mungkin iya bersyarat. Pemuda bernomor punggung 20 itu tak lantas bergerak dan Taehyung masih pula nyaman menumpu sebagian berat badannya pada dada bidangnya. Matanya bersitatap dalam diam sampai seseorang memukul kepala Jungkook dari belakang.

"Jangan pacaran terus, Capt. Ada segerombolan wartawan yang menunggumu," Yoongi menyampirkan kaos merah di bahu Jungkook sambil berlalu, tanpa rasa bersalah sedikitpun. Ia sendiri sudah mengenakan kaos yang sama, bertuliskan Champion di punggung bagian atas. Ia berjalan ke arah Jimin yang sedang sibuk dengan smartphonenya di pinggir lapangan, lalu memeluknya dari belakang tanya banyak bicara. Segaris senyuman tipis muncul tatkala ia menyandarkan kepalanya di bahu Jimin.

Jungkook menghela napas beserta kata-kata kasar yang begitu spontan. Ia kembali menoleh ke sebelah ketika merasakan tangan hangat mengusap tempurung oksipitalnya yang masih sedikit berdenyut. "No skinship, okay?" Celetuknya lebih terdengar seperti perintah penuh peringatan, masih menyisakan sedikit kejengkelan yang salah sasaran. Satu kecupan di pipi sebagai tanda persetujuan sebelum Jungkook berlari kecil ke kawanan timnya.

Taehyung sendiri berjalan ke arah berlawanan, menuju area tempat duduk VIP sambil membersihkan serpihan-serpihan konfeti yang menempel pada rambut serta pahanya. "Maaf membuatmu menunggu lama," katanya sopan setelah membungkuk dan memberi salam pada orang yang menunggunya —mungkin— dengan sangat lama.

"Tidak masalah. Namaku Hoseok. Jung Hoseok." Pria itu bangkit berdiri dan sedikit merapikan kaos putih polos serta suit yang tak dikancing. Ia mengenakan slim fit jeans segelap suitnya juga sepasang sneakers putih, seolah semakin memperjelas sifatnya yang santai dan ramah. Taehyung menerima uluran tangannya yang sedemikian kasual dan menjabatnya sambil tersenyum simpul. Diam-diam melirik pacarnya yang berada di sisi lapangan yang lain; Jungkook sedang sibuk bersama beberapa wartawan juga juru kamera dari beberapa stasiun televisi sekaligus, jadi syukurlah.

"Aku melihatmu perform bersama timku," kata Hoseok kembali menarik perhatian serta pandangan mata Taehyung lagi. "Aku pelatih tim All Star."

Tidak tau apa yang perlu dikatakannya, Taehyung hanya mengangguk pelan.

"Aku seperti pernah melihatmu sebelumnya. Apa kau tergabung dengan tim cheers lain?"

"Tidak pernah sama sekali," katanya begitu cepat seraya menggelengkan kepala. "Tadi itu benar-benar pengalaman pertamaku."

"Benarkah?" Hoseok mengangkat sepasang alisnya, terkejut. Ekspresi wajahnya begitu natural, mewakili kalimat-kalimat berikutnya. Memuji Taehyung dengan tidak tanggung-tanggung dan mengatakan betapa terkesannya ia.

"Uh, terimakasih?" Taehyung tertawa canggung. Entah mengapa ia lupa caranya merespon sebuah pujian. Padahal ia bukanlah tipe orang yang sulit membangun suasana nyaman dengan orang lain. Mungkin Taehyung sadar ada sepasang mata yang memperhatikannya kelewat seksama. "Jadi... Bagaimana?" Tanyanya langsung, berusaha menghentikan basa-basi karena ia seolah merasakan tatapan tajam di balik tengkuknya.

"Jadi, aku ingin mengajakmu bergabung dengan timku. Kau akan langsung tergabung dengan tim inti. Sudah tau, kan, salah satu flyer kami baru saja mengalami kecelakaan. Aku tidak berharap apa-apa kecuali kau mau menggantikan posisinya," Hoseok menepuk-nepuk pundaknya dengan tatapan penuh harap. "Well, bukan berarti kalau dia sudah pulih kau akan tersingkir," ia tertawa riang. "Ada banyak kompetisi yang diadakan sepanjang tahun. Aku akan pastikan kau mengikuti. Semuanya."

"Waw," kali ini Taehyung yang menaikkan alisnya. Ia bukan seorang yang aktif dalam dunia olahraga, tapi ia cukup tau bahwa menjadi anggota tim inti dari klub All Star bukanlah hal yang sepele. Taehyung sering mendengar kabarnya, baik dari perbincangan dengan teman-temannya, dari media cetak, internet, bahkan ketika ia tidak sengaja mendengar gosip anak-anak SMA di halte bus. All Star adalah klub yang langganan menyabet juara dalam berbagai kompetisi bergengsi; mulai dari tingkat provinsi, nasional, bahkan sebagian besar anggotanya juga tergabung dalam tim nasional yang mewakili Korea di ajang cheerleader regional dan internasional. Bukan hanya gengsi dan prestasi, bonus yang diberikan pada setiap individu pun katanya sangat, sangat menggiurkan. Taehyung tidak benar-benar tertarik untuk mengetahui nominalnya sebelumnya, namun kali ini dia jadi sedikit lebih penasaran.

"Kami tidak akan memforsirmu, tenang saja. Aku yakin kau akan bersenang-senang, Taehyung."

"Um..." Taehyung menoleh ke arah Jungkook yang sedang menatapnya dari kejauhan dengan pandangan penuh selidik. Ia tersenyum tipis, berusaha mengaburkan tanda-tanda dilema dari raut wajahnya. "Aku... sepertinya tidak—"

"Tidak?"

"Uh... aku tidak bisa menjawabnya sekarang. Aku perlu merundingkannya dengan keluargaku terlebih dahulu," Taehyung meremas jemarinya. 'Dan merayu pacarku,' batinnya. Ia merasa tidak enak jika harus menolak tawaran Hoseok, terlebih karena ia juga sebenarnya tertarik. Calon pelatihnya —kalau Jungkook setuju— itu memiliki energi positif yang sangat menyenangkan. Ramah dan menyenangkan, dan mungkin tidak terlalu galak.

"Tentu," Hoseok mengambil secarik kertas dari saku belakang celananya. "Ini kartu namaku. Hubungi kapan saja kau mau, oke?"

"Trims," Taehyung menerimanya dengan senang hati.

"Yaampun kau manis sekali. Seperti adikku di Gwangju," puji Hoseok tulus dan begitu akrab, mengundang tawa renyah serta gumaman 'terimakasih' dari Taehyung. "Oh, dan satu lagi. Ada open recruitment bulan depan. Kalau kau tidak sibuk—"

Sebuah dehaman rendah menginterupsi percakapan keduanya. Ia yang entah sejak kapan sudah berada di belakang Taehyung, tangannya mengalung di bahu Taehyung seraya menarik tangan Taehyung untuk melingkari pinggangnya. "Hai," sapanya ringan. "Boleh, kan, aku bergabung?"

"Hai juga," senyum dan sapa Hoseok tidak berubah sama sekali sementara Taehyung diam di sisi Jungkook dengan pipi sedikit memerah. Ia menggigit bagian dalam pipinya, ingin rasanya menjewer telinga manusia di sebelahnya karena ya, ampun, Jungkook tidak sopan dan memalukan. Tapi Hoseok tampak tidak masalah dengannya sehingga Taehyung mengurungkan niatnya sejenak. Mereka berbasa-basi beberapa saat hingga Hoseok akhirnya mengundurkan diri tanpa sedikitpun indikasi tidak suka pada perilaku Jungkook barusan. Menurut Taehyung, itu mencengangkan.


"Sudah?" Tanya Jungkook segera setelah Hoseok berjalan melewati lorong menuju pintu keluar dan hilang dari pandangan mata.

"Kau perlu mengambil kursus sopan santun," Taehyung hendak menjitak kepalanya namun Jungkook terlebih dahulu menangkap pergelangan tangannya.

"Aku bilang no skinship, kan?"

"Iya, tapi, kan—" Taehyung mencoba menjitak Jungkook sekali lagi dengan tangannya yang bebas. "Jungkook," rengeknya. Kedua tangannya kini terbelenggu dalam telapak tangan laki-laki yang lebih muda darinya. Sekilas, tampak kecil di dalam genggaman kokoh Jungkook. Ia mencoba menariknya kembali tapi Jungkook memegangnya begitu erat bahkan hingga Taehyung tidak dapat memutarnya barang beberapa derajat. Tidak menyakitkan, namun kuncian yang terlampau ampuh hingga sesaat ia merasa begitu inferior. "Lepas," Taehyung memelototinya sementara Jungkook menatapnya dengan sorot mata terhibur.

"Kulepas tapi jangan pergi."

"Brengsek," sertaknya. Suaranya terdengar jauh lebih tidak berdaya daripada yang ia harapkan.

Jungkook tertawa riang. 'Brengsek' baginya artinya sama dengan 'iya', kalau Taehyung sedang marah. Oleh karena itu, Jungkook menautkan jemarinya dengan milik Taehyung, menuntunnya ke ruang ganti, meninggalkan lapangan yang mulai reda dari hiruk-pikuknya beberapa saat lalu.


Gaduh, sesak, dan juga berantakan; adalah apa yang sempat Taehyung pikirkan tentang penggambaran sebuah ruang ganti seusai pertandingan. Mungkin seharusnya ada pembicaraan mengenai jalannya pertandingan yang sedemikian seru. Sedikit kericuhan karena berebut foto dengan piala perdana mereka setelah sekian tahun vakum menjadi juara. Beberapa botol sparkling wine dan aroma khasnya yang mengudara, kesukaan Taehyung. Mungkin juga banyak alat olahraga yang tak ia kenali namanya bertebaran di sana dan di sini. Mungkin.

Tapi ketika ia masuk ke ruangan yang kira-kira ukurannya 8x8 itu, tidak ada apapun selain loker tertutup rapi, beberapa bangku panjang, dan deretan kabin shower terbuka lebar. Hanya tetesan air di bilik terujung yang terdengar sangat rintik sementara Taehyung mencerna kejanggalan di sekitarnya. Sepi, rapi, dan tidak tersentuh apapun. Ia baru hendak bertanya ke mana semua orang ketika indera pendengarnya menangkap bunyi klik kunci pintu.

Tubuhnya buru-buru memutar dan berbalik. Melihat Jungkook menjatuhkan kunci seolah meninggalkan sampah lalu menendangnya menjauh dengan entengnya. Taehyung tidak punya ide apa yang akan terjadi atau apa yang harus ia lakukan. Binar di mata Jungkook begitu keruh dan tak tertebak sehingga kakinya hanya refleks mundur beriringan dengan langkah mendekat Jungkook.

Lalu sudut bibir Jungkook tertarik naik selagi jarak di antara mereka konstan untuk beberapa saat. Ia maju selangkah dan Taehyung menyeret langkahnya mundur. Entah kenapa raut bingung dan waspadanya tampak begitu menghibur bagi Jungkook. "Oops," senyuman Jungkook semakin lebar; usil namun juga penuh siasat ketika tumit kekasihnya menubruk dinding yang kokoh dan tidak ada jalan mundur lagi.

Taehyung menjilat bibir bawahnya yang mengering tanpa sadar. Menyangkali aliran darahnya yang menderas dan rasa paniknya, ia mendengus dan cemberut. "Apa, sih, Jungkook," celetuknya sok kasual. Ia berniat memungut kunci pintu dan keluar. Mendorong mundur atlet di hadapannya lalu berjalan melewatinya begitu saja, pada kenyataannya tidak akan pernah semudah itu.

"Mau ke mana, Tae?" Jungkook menahan pinggangnya. Menggiringnya kembali dalam perangkapnya tanpa mendapat penolakan yang cukup berarti. "We have something to discuss," kalimat tenangnya.

Dan entah berapa tahun Taehyung sudah mengencani pemuda yang terlalu dekat itu, ia masih belum bisa memastikan apakah ia membenci situasi semacam ini atau justru berpikiran bahwa Jungkook terlihat sangat seksi dengan seringainya juga tatapannya yang menajam. Ada desir aneh di mana degup jantungnya menyesakkan rongga dada. Entah karena luapan adrenalin yang deras atau sirine bahaya di benaknya yang mengaung keras. Ia berulang kali menepis kungkungannya, meminta diri untuk lepas dengan sedikit gusar, hanya untuk dipatri kembali dalam satu sentakan pasti.

"Apa?" Tanyanya dengan bibir separuh terkatup. Berharap kegelisahannya tidak cukup kentara untuk bisa tertangkap reseptor Jungkook. Taehyung setengah menebak-nebak apa yang ada dalam otak kekasihnya, kalau ia hanya ingin membuatnya merasa sedemikian submisif maka Taehyung tidak akan sudi membiarkannya jadi begitu dominan. Ia bersusah payah menegakkan kepalanya meski netranya kini enggan menatap sepasang mata yang begitu dekat dengannya. Kedua lengannya menyilang di depan dada defensif sehingga ia bisa sedikit saja punya ruang untuk merasa tenang.

Jungkook terkekeh ketika tangannya perlahan mengurai lipatan tangan Taehyung. Kepalanya tertunduk mengamati jemari mereka yang dijalinnya perlahan-lahan. Taehyung punya waktu untuk diam-diam menelan ludahnya hingga Jungkook mematri lengannya di kedua sisi kepalanya sesaat setelahnya. "Jadi, Hyung," mulainya dengan suara sedikit merendah. "Aku ingin memastikan kau menolak tawaran Hoseok."

"Aku belum menolaknya."

"Kenapa?"

"Aku... sepertinya tertarik?"

"Pada Hoseok?"

"Jungkook," Taehyung tertawa sengau. Pergelangan tangannya mulai sakit dan ia sekali lagi berusaha untuk melepaskannya. "Aku—"

"I thought I said it clear enough. Aku tidak suka kau disentuh orang lain, bukankah sudah kukatakan demikian?"

Taehyung merasa bahunya merosot seketika. Meski nada bicara Jungkook tidak meninggi namun stres dalam setiap katanya begitu ampuh meremas nyalinya untuk melawan barang satu suku kata sekalipun. Ia kehilangan seluruh argumen defensif yang sedari tadi dibangunnya sedemikian payah. Tidak bisa memutus kesunyian yang mencekik kerongkongannya dan hanya berakhir merendahkan pandangannya, Taehyung meringis nyeri sekali lagi.

"You're a huge temptation, Tae," bisik Jungkook tepat bersebelahan dengan telinga Taehyung.

Taehyung menghirup napas dalam, hanya untuk membuat dirinya semakin menyesak. Ia berusaha menciptakan celah baginya untuk berpikir sementara Jungkook terus memangkas jarak di antaranya. Kepalanya sudah menekan tembok dan nyaris tidak ada ruang gerak lagi begitu Jungkook membenamkan wajahnya di ceruk leher Taehyung. Tubuh Jungkook yang masih sedikit berkeringat juga colognenya yang terlalu banyak mengisi lobus paru-paru Taehyung karena radius sekecil ini, menyergap pusat sarafnya hingga kepalanya terasa pening. Hembusan napas panas di permukaan kulitnya juga serentetan kalimat penjelas darinya tidak bisa dikelola otaknya lagi. Taehyung membeku dalam bekukannya.

Lalu ia tidak bisa membedakan apakah rasa mual ataukah gairah yang mengobrak-abrik rongga perut ketika kelopak bibir Jungkook mulai menyusuri rahangnya dengan halus namun juga penuh ketegasan. Perlahan-lahan memainkan nalarnya di ujung kewarasan. Membawa segenap emosinya yang tertahan lalu menumpahkan seluruhnya pada belah bibir Taehyung dalam ciuman panjang yang menuntut dan merampas seluruh cadangan napasnya. Jungkook mencengkeram pinggangnya dengan erat dan Taehyung tidak berpikir lagi untuk meremas pangkal rambutnya dengan tangan yang telah terbebas.

"Sepuluh menit," ujar Jungkook di sela-sela respiratorinya yang jauh lebih tertata dengan baik dibandingkan Taehyung. Ia meraih dagu kekasihnya dengan halus, merinci setiap kekacauan yang dibuatnya, lalu mengusap bibirnya yang kemerahan karena bengkak. "Sebelum yang lainnya kembali ke ruang ganti." Maksudnya tidak dimengerti Taehyung hingga tangannya menyusup di bawah rok tanpa izin. Meremas bokongnya kemudian menerobos otot sfinkternya tanpa aba-aba dengan ujung jari telunjuk.

Jari-jari kurus Taehyung meremas bahu kokoh Jungkook refleks. Belah bibirnya terkuak syok, air mata menggenang dalam bendungan pelupuk matanya hingga pandangannya mengabur. Ia tidak mengerti reaksi tubuhnya sendiri ketika Jungkook tertawa renyah di samping telinganya, memujanya dengan kalimat manis sekaligus menghukumnya dengan tenang. Membiarkan akalnya termakan hasrat yang terlampau kacau.

Ia mengira rasionalitasnya sudah berserakan namun Jungkook masih saja mengetuknya hingga menyerpih begitu halus. Desahan yang tertahan resahnya melebur dalam atmosfir yang rumit. Bahkan dirinya nyaris lupa akan gravitasi ketika digit demi digit bergesekan dengan otot dan ujung sarafnya yang sensitif, mendekati titik puncaknya perlahan lalu menyentak kegamangan dalam sekejap setelahnya.

"Hukumanmu, Tae."

Taehyung membelalakkan matanya tidak percaya begitu Jungkook menarik diri begitu saja. Mendapati sorot puas sebelum ia berbalik dan berjalan menjauhinya.

"Kau bisa menunggu sampai kita kembali ke apartment atau tidak sama sekali," ujarnya enteng sembari mengambil barang-barang di lokernya.

Taehyung masih tidak tau apa yang harus dikatakannya. Tidak pula beranjak dari tempatnya hingga Jungkook kembali menghampirinya, memagut bibirnya main-main selagi mengikatkan jaket kulitnya di pinggang pemuda kurus itu. Ia masih limbung hingga Jungkook perlu menariknya dengan setengah menyeret.

Taehyung mencuri pandang pada selangkangan Jungkook yang tampak masif dan menyakitkan. Lalu Jungkook terlebih dahulu menyahut sebelum ia sempat berkomentar apa-apa.

"Khawatirkan saja dirimu, Sayang. Urusan kita belum selesai."


But the chapter's officially finished.


Yeay. It's been months. I miss you so much, reader(s)-nim. I'm sorry for being gone and then coming back with low quality fiction. My life is quite tough lately, so yeah, pardon me, please. It's totally rubbish, duh.

Aku sudah terlanjur berjanji menaikkan rating, untuk author sekaligus kakak sekaligus reviewer tercinta, ichizenkaze. Maafkan daku, kak. Aku masih polos untuk bisa sekedar menggodamu saja. Mari kita bayangkan apa yang akan mereka lakukan setelahnya.

Kalau boleh jujur, ini direvisi belasan kali dalam kurun waktu nyaris dua bulan hingga rasanya ingin menangis dan berkata kasar. Jadi, bagaimana? Kecewa? Kangen? You may hit me at the review box because just as much as I love reading and writing fiction, I love reading all of your reviews and feedback(s). RnR as always juseyo~

Additional notes: Skeleton In The Closet chapter 4 is on the next project. Be patient. XOXO.