Disclaimer : Naruto - Masashi Kishimoto


LOVE CAREER

Chapter 15

Have a Nice Day


.

.

.

Teriakan nama Sasuke terlontar dari bibir Sakura. Orang-orang di sekitar sumber suara itu melirik kearah mereka. Sebentar saja walau sedikit bertanya dalam diri, dan kemudian mereka melanjutkan dunia malamnya. Tapi, berbeda dengan Ino dan Sai yang masih memandang lekat dua orang itu dengan mata terbelalak.

"Itu bukan Sasuke, kan? Atau, aku memang salah lihat karena terlalu banyak minum," lagi, Ino bertanya pada Sai.

Sai menggeleng pelan. "Kita tunggu di sini saja dulu," gumamnya sembari menggenggam tangan Ino. Sai dan Ino masih berdiri kaku memandang tingkah tak wajar itu. Mereka memilih membaca situasi terlebih dahulu.

Sementara itu, Sakura yang sudah terbelenggu dalam alkohol itu membiarkan tubuhnya memeluk orang yang dikiranya Sasuke. Dia masih membenamkan wajahnya di dada orang itu. Aromanya disematkan ke dalam parunya. Dia menggeleng pelan. Setengah menyakinkan dirinya kalau itu bukan aroma yang dikenal.

"Kau..." Ucap orang dipeluk Sakura. Dia tampak tak nyaman dengan tingkah Sakura.

"Hei, apa yang terjadi? Hah, Sakura, kan?" Tanya teman orang itu.

"Hei..." Panggilnya lagi dengan mendorong tubuh Sakura.

Sakura menyadari tubuhnya yang didorong sedikit menjauh. Tubuhnya sedikit menjauh walau tangannya masih menyanggah di pinggang orang itu. Dia menatap orang yang dipeluknya barusan itu dengan tatapan kosong. Alam sadarnya dilumpuhkan kebingungan. Cukup lama dia menatap orang itu tanpa kedipan hingga alisnya mulai berkerut.

"HUAAAAAAAA!" Teriakan Sakura membangkitkan kembali orang-orang untuk melongok perilakunya. Tubuhnya dihentakkan mundur ke belakang. Kedua tangannya pun ikut naik ke atas. Dia menoleh kesekitarnya. Wajahnya sudah penuh dengan warna merah, bola matanya terbelalak, lalu jarinya sibuk membungkam mulutnya. "Maafkan aku! Aku tidak sengaja dan aku pikir anda Sasuke-kun! Aku benar-benar mabuk. Aku mohon, maafkan aku!mohonnya dengan punggung yang sudah membungkuk-bungkuk.

"HAHAHAHA..." Gelak tawa teman si pria itu menggelegar. Perut sedikit membungkuknya sampai dipegangnya. "Jadi kau kira Itachi ini Sasuke. Mereka memang mirip sih. Hahaha... Hiburan singkat yang menarik!" Tawanya sambil menunjuk-nunjuk Itachi.

"Gaa-ra... HAH?!" Lagi, Sakura berteriak kaget. Dia bahkan tidak sadar jika yang disamping Itachi adalah Gaara. Bahkan dia tertawa terpingkal-pingkal tidak seperti biasanya yang hanya tertawa tertahan dengan wajah sok jaim-nya. Benar-benar malam yang buruk. Sepertinya rasa malunya sudah memukulnya bertubi-tubi.

"Aku kira kau sudah menjalin kasih dengan Sasuke. Jadi aku tidak pernah mengganggumu lagi. Tapi, melihatmu begini, hmmm... aku rasa tidak mungkin." Gaara menggidikkan bahunya. "Hei, Itachi. Jika kau tidak mau berkomentar apapun atas tingkah anehnya barusan, biar aku saja yang menasehatinya," lanjutnya diselingi seringai liciknya.

"Tidak. Gaara, kita lanjutkan pembahasan tadi lain waktu," ucap Itachi tanpa ekspresi. Dia mengambil jasnya yang tadinya tergantung di punggung sofa. Lensa hitamnya mengamati Sakura yang masih sibuk menggulung-gulung jemarinya. Cukup lama, hingga gadis itu salah tingkah. "Permohonan maafmu akan aku terima jika kau ikut denganku," ucapnya sembari berlalu meninggalkan Sakura dan Gaara.

Sakura mengangguk kecil. Matanya yang bingung mengekori punggung Itachi yang sudah berlalu. Bukannya mengatakan sesuatu, dia malah sibuk mengatur irama jantungnya yang berdetak kencang. Bagaimana tidak, Itachi pasti akan memarahinya. Begitu pikirnya. "Aa... Baik," akhirnya dia menjawab.

"Kau tahu, dia itu lebih menyeramkan dari Sasori. Jadi berhati-hatilah," seringai Gaara semakin buas.

"Benarkah? Doa kan aku baik-baik saja," gumam Sakura.

"Tentu saja, jika kita membuka lembar baru."

"Lanjutkan saja lembaranmu dengan Matsuri," tolak Sakura. Dia membalikkan tubuhnya. Menarik nafasnya dalam-dalam dan kemudian berlalu mengikuti Itachi. Sementara itu, Gaara masih menahan tawanya. Pandangannya terus mengejek hingga punggung Sakura menghilang.

Lima belas menit telah berlalu. Kini, Sakura sudah berada di dalam mobil bersama Itachi. Posisi duduknya kaku dan tidak menyandar. Jemarinya tak henti diutak-atik olehnya. Bola matanya sesekali menyudut kearah Itachi. Suasana semakin canggung tanpa alunan lagu atau penyiar radio.

"Aaa... Itachi-san. Maafkan ulahku tadi," ucap Sakura ragu.

"Kau sudah mengatakannya sebanyak tiga kali," kata Itachi tanpa menoleh kearah Sakura.

"Ah, kau benar. Tapi, itu membuatku sangat bersalah," Sakura menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal. Bibir bawahnya digigit pelan. Lalu, Tangannya dilabuhkan pada perutnya yang terasa tidak nyaman sejak dia masuk ke dalam mobil Itachi. Tapi, rasanya sekarang semakin menjadi-jadi. Dia mulai mengutuk perutnya yang tidak bisa diajak kompromi.

"Sasuke..." Gumam Itachi.

Sakura langsung menoleh kearah Itachi. Nama Sasuke sangat sensitif baginya. Dia diam. Mulutnya tak terbuka, telinganya bersigap mendengar lanjutan dari gumaman pria disampingnya. Bahkan, perutnya yang semula sakit langsung terhenti begitu mendengar nama pria yang membuatnya kalut.

Itachi menoleh singkat ke sebelahnya. Lalu, kembali pada jalanan dan tersenyum sangat tipis. "Kau mencarinya?" Tanyanya.

Sakura membalas pertanyaan Itachi melalui sirat matanya. Dia tidak mengangguk ataupun menggeleng. Benar, jika dia mencarinya dan sempat membuatnya sangat putus asa. Tapi, baginya sebuah jawaban 'ya' atau 'tidak' mungkin akan terlihat sama bagi Itachi.

"Dia sedang di Zurich."

Rasa tak percaya menggumpal pada benak Sakura. Dia tak menyangka Sasuke ada di Zurich. Sasuke tak pernah menyebutkan lokasi itu selama bersamanya. "Zu-rich?" Tanya Sakura sangat pelan. Bibirnya sedikit mengulum dan mulai berpikir disertai rasa penasaran yang tinggi.

Itachi mengangguk pelan, "Kakek kami mengalami masa kritis beberapa minggu yang lalu. Sasuke bilang dia tidak bisa kembali ke Tokyo jika kondisi kakek belum membaik. Ya, dia memang paling mengkhawatirkan kondisi kakek. Itu karena dia lebih banyak menghabiskan masa kecilnya bersama kakek. Aku mengerti perasaannya, tapi di sisi lain, aku juga mengkhawatirkan pekerjaannya jika terlalu lama berada disana."

Akhir dari kalimat Itachi secepatnya membuat Sakura menghembuskan nafasnya lega walau mulutnya sudah tertutupi oleh jemarinya. Rasa sesak mengikat di batinnya seolah mengendur perlahan. Dia yang sudah terlanjur mengumbarkan keputus-asannya sedikit mulai merontokkannya. Dia senang akhirnya mengetahui dimana Sasuke, setidaknya dia merasa usahanya waktu itu membuahkan hasil. Tapi, di satu sisi dia juga merasa sedih akan berita itu. Kondisi kakek Sasuke dan juga pertengkarannya dengan pria itu di London membuatnya merasa sangat tidak enak. Pasti Sasuke sangat terbebani waktu itu, pikirnya.

Sakura mulai menundukkan wajahnya. Dia masih menahan jemarinya di sekitar bibirnya. Satu tangannya yang semula di dadanya, mulai berpindah posisi pada perutnya.

"Maaf jika dia merepotkanmu," ucap Itachi.

Gadis itu menggeleng pelan. Wajahnya semakin menunduk. "Itachi-san... Aku..."

"Hn..."

"Ti...dak..." Nada bicara Sakura mulai sedikit aneh. "Aku... Aku- aku tidak tahan lagi!" Teriaknya cukup keras. Dia mencengkram kuat tangan Itachi yang sedang menyetir. Spontan saja Itachi langsung membanting setir mobilnya ke samping dan menginjak rem mobilnya cukup dalam. Dia terbelalak kaget begitu melihat Sakura yang tergesa-gesa turun dari mobilnya dan menutup keras pintu mobilnya.

"Hoeekk... Hooeekk... Uhuk... Uhuk..." Terdengar dari tepian jalanan suara Sakura yang sedang memuntahkan sesuatu yang menjijikkan dari mulutnya. Gadis itu berjongkok dengan sebagian rambut yang menutupi wajahnya. Tangannya sibuk menahan perutnya dan menggenggam rambutnya kembali ke belakang agar tidak terkena muntahannya. Ah, ternyata sejak tadi dia menahan perutnya yang terus mendesakkan isinya.

Itachi menggelengkan kepalanya pelan. Dia yang sedari tadi mengintip melalui spion mobilnya, akhirnya memilih turun menghampiri gadis itu. Kakinya menganyun cepat. Wajahnya mulai khawatir, walau tetap disembunyikannya. "Ini, ambillah," tawar Itachi. Dia menyodorkan beberapa lembar tisu untuk Sakura.

Sakura menggapai kertas tisu itu. Dia mengelap sisa-sisa muntahan di bibirnya dengan pelan. Lipstiknya tampak berantakkan. Wajahnya masih memerah. Bukan artinya dia sedang menahan perut mualnya, tapi hal berbeda. Sungguh, ini malam yang sangat memalukan baginya. Memeluk orang yang salah, ditambah lagi muntah dihadapan Itachi. Dunia rasanya mulai mengoloknya. "Terima kasih," ucapnya pelan pada Itachi.

"Kau sedang hamil?" Pertanyaan sindir Itachi mengacu pada Sakura.

"Mana mungkin! Ah, sungguh, Ini sangat memalukan," Sakura mengibaskan-ngibaskan kedua tangannya cepat. Dia membantah pemikiran Itachi.

"Hn," ucap pria itu sembari membalikkan tubuhnya, lalu berniat kembali ke dalam mobilnya.

"Itachi-san, Maaf merepotkanmu!" Sesal Sakura. Dia menundukkan punggungnya sekali lagi.

Itachi menghentikan langkahnya, tatapan tenangnya berbalik pada gadis di belakangnya. Tubuh membungkuk Sakura melekat pada pupilnya. Dia menghembuskan sedikit nafasnya. "Apa terjadi sesuatu antara kau dan Sasuke?" Tanya Itachi.

Angin bertiup ringan pada jarak mereka. Menunjukkan jedanya disaat Sakura menyangkutkan helai rambut di daun telinganya. Dia menaikkan punggungnya. Menatap bayangan Itachi yang mengarah padanya. Wajahnya tidak murung. Bibirnya mengulum dan tampak tenang.

"Jika jawabannya ya, ikutlah masuk ke dalam mobilku. Jika tidak, nikmati malammu di tepi jalan ini," tawar Itachi. Dia berjalan tenang menuju mobil hitamnya yang terus mengedipkan lampunya.

Sakura menaikkan punggungnya. Pupilnya membesar dengan pilihan Itachi. Dia langsung berlari mengejar langkah Itachi. Jawabannya tentu saja 'ya' dan dia menolak keras jika harus menambah malam sialnya di aspal dingin ini. Dia masuk ke dalam mobil itu dengan senyum anehnya. Dia tetap tidak menambahkan kalimat apapun untuk menyempurnakan lanjutan maksudnya. Itachi tentu saja mengerti, dia tersenyum sedikit sarkasme pada gadis itu.

Mereka melanjutkan perjalanan beriring udara yang semakin membeku. Lintas Tokyo tak mampu menyepi begitu dilewati mereka. Tak ada percakapan lebih lanjut setelah itu. Rahasia yang tersembunyi terhembus perlahan melalui bahasa tubuh keduanya. Tak sampai setengah jam, Itachi menghentikan mobilnya di sebuah gedung tinggi.

"Kenapa berhenti disini?" Tanya Sakura yang tak asing dengan lobi gedung itu. Dia mengamati sekelilingnya. Hanya sedikit orang-orang yang berkeliaran di dekat sana.

"Turunlah di sini. Aku harus pulang. Istriku sedang tidak enak badan saat ini," ucap Itachi sembari melemparkan satu buah kartu ke arah Sakura.

Sakura langsung menangkap kartu pemberian Itachi. Lensa matanya kelihatan sangat bingung. Bolak balik dia mengamati kartu dan wajah Itachi. Namun, dia menuruti saja perintah Itachi karena tidak mau merepotkannya lagi. "Terima kasih banyak. Sampaikan salamku kepada Izumi-san," ucap Sakura setelah menutup pintu mobil itu.

Itachi menurunkan kaca mobilnya. "Hn. Kau ingin mengembalikannya ponselnya, kan? Semoga harimu menyenangkan dan sampai jumpa," senyum Itachi mengakhiri tatapan mata mereka. Dia menekan pedal gas mobilnya dan meninggalkan gadis bingung itu.

Bola mata Sakura tak luput mengekori mobil hitam yang semakin menjauh itu. Dia masih bingung. Mungkin alkohol yang diminumnya tadi sangat banyak. "Ponselnya? Hmmm... Ponsel siapa ya?" Tanyanya linglung.

"HEEEEEHHH!" Dia berteriak kaget begitu menyadari maksud Itachi.

.

.

Irama degup jantung Sakura menghentak-hentak tak beraturan. Satu Telapak tangannya tak lepas berlabuh di dadanya. Berkali-kali dia menarik nafasnya. "Masuk, tidak, masuk, tidak..." Bisiknya menentukkan pilihannya melalui jari yang terus membuka dan menutup.

Kali ini dia menghembuskan nafasnya cukup keras. Dia berdoa kepada Tuhan agar hidupnya tak mengalami kesulitan lagi. Lalu, Dia menurunkan kenop pintu besi itu sangat pelan. Mendorong dan membuka kecil pintu tak bersuara. Kepalanya melongok masuk terlebih dahulu. "Per-misi..." Ucapnya sangat-sangat pelan.

Tak ada sambutan untuk kedatangannya. Ruangan itu tak bersuara. Semuanya hening. Hanya aroma pengharum ruangan yang menyerbak hidung gadis itu. Dia menutup pelan pintu masuk setelah menyalakan lampunya. Kaki sedikit berjinjit setelah membuka sepatu hak tingginya. Gerak tubuhnya seperti seorang maling. Bola matanya mengamati setiap rinci isi apartemen itu sebelum melangkah lebih jauh.

Ya, itu ruang apartemen milik Sasuke.

Sakura mengabaikan panggilan sofa yang mengajaknya untuk merengkuh disana. Dia memilih bar kecil milik Sasuke. Mengambil segelas air putih dan meneguknya saat dia duduk. Dia tersenyum kecil walau rasa sakit di kepalanya mulai menyerang. Dia sedang memikirkan sesuatu agar kedatangannya tidak sia-sia di sini. Kalimat 'semoga harimu menyenangkan' dari Itachi terlintas begitu saja.

Tanpa sadar, dia melihat sebuah mug yang dibeli Sasuke sewaktu musim panas dulu. Dia tersenyum lemah. Lalu, dia mengambil ponsel Sasuke dan meletakkan disamping gelasnya. Dia masih merogoh isi tasnya, mengambil sebuah pena dan buku memo kecil.

Lensanya nampak serius bergerak kecil mengikuti arah tulisan tangannya. Semua perasaannya tertuang pada lembaran itu. Terkadang tersenyum, raut sedih dan sesal mengalir di likuk wajahnya. Menitnya berlalu dalam pikiran dan tulisan.

Sesekali dia meneguk air mineralnya. Dan, seketika semuanya buyar.

"Aaa, sial!" Keluhnya. Dia langsung berlari menuju kamar mandi sambil memegangi perutnya. Mungkin efek alkohol tadi masih memberontak isi lambungnya. "Hoeekkk... Hoeekkk..." Sekali lagi, dia muntah-muntah seperti ibu hamil.

Berbalut dress biru kegelapan yang tampak sedikit kusut, Sakura berjalan lunglai menuju ruangan yang berbeda. Dia meninggalkan tasnya, ponsel Sasuke dan tulisan yang belum berakhir tadi. Kakinya memilih sofa yang sedari tadi merayunya. Tubuhnya merebah pelan menghabiskan panjang dan lebarnya. Sisa-sisa aroma Sasuke masih tertinggal di sofa itu. Dia menyesapnya pelan. Bola matanya menerawang langit-langit putih sebelum akhirnya ditutupi oleh tangannya. Kelopak matanya mulai terpejam.

"Perutku benar-benar tidak nyaman. Sepertinya aku akan pulang setengah jam lagi," gumamnya.

Benar, sejak awal dia hanya berniat untuk mengembalikan ponsel Sasuke dan kembali ke rumahnya menggunakan taksi. Tapi, sepertinya alam sadarnya menunda itu. Waktu telah berputar melewati jangka perkiraannya. Dirinya tak kunjung terjaga. Mungkin alam mimpi terus menggodanya untuk tidak meninggalkannya.

Roda-roda hitam pada koper hitam berputar sejalur pada kaki majikannya. Lantai yang dilewati terasa dingin. Aroma menjelang musim dingin telah merambah pada lantai gedung itu. Malam yang indah tak terlihat dibalik tembok beton yang kokoh. Dia menaikkan tangannya. Melihat arah dimana jarum jamnya berlabuh.

Tokyo, 02.17 PM.

Kenop pintu besi berputar ke bawah. Cahaya sedikit demi sedikit meluncur keluar. Alisnya sedikit berkerut, bertanya pada ingatannya tentang kapan lampu apartemennya menyala. Sepasang sepatu berhak tinggi berwarna gelap sedikit mencerahkan tanda tanyanya. Dia menutup pintu apartemennya pelan. Langkahnya dibuat tak bersuara. Rasa ingin tahu siapa yang memasuki apartemennya tak terelakkan.

.

.

Pupilnya berhenti pada ruangan bercat putih itu. Sofa berwarna hitam menangkap pandangannya. Dia terkejut. Tubuhnya berdiri kaku. Hatinya sedikit berdebar. Tampak seorang gadis berwajah polos tergeletak diatas sofa itu.

Dia berjalan pelan mendekati gadis itu. Tanpa suara yang bisa membangunkannya. Dia mengamati lekuk wajah wanita yang menjadi beban pikirannya. Bola mata hitamnya mulai sendu. Lama dia terhanyut pada elok wajah si gadis, hingga akhirnya dia mengangkat perlahan tubuh gadis itu. Dia berencana memindahkannya ke kamarnya.

Tubuh wanita berbalut gaun navy itu diletakkan perlahan pada ranjangnya. Dia memperbaiki bawahan gaun gadis itu yang naik sampai ke pangkal pahanya. Begitu juga dengan kain bahunya yang turun ke lengan atasnya. Lalu, dia menyelimuti gadis itu. Menutupi hingga dadanya. Dia tidak langsung beranjak dari sana. Dia tak mampu melepaskan pesona wanita yang tertidur itu.

Tangannya membelai pelan pipi wanita itu dan merasakan kulitnya yang sedikit dingin. Dia menyalurkan hangat tubuhnya melalui telapak tangannya, "Wajahmu terlihat layu," bisiknya lemah.

Dia menutup pintu kamarnya. Arah langkahnya berubah menuju tempat lain. Dia melewati bar kecil miliknya. Secarik kertas dan sebuah ponsel yang tak asing menghentikan tubuhnya. Dia mengambil kertas itu, membacanya dibawah lampu yang tidak begitu terang. Perasaan emosional perlahan meluap berjalan dengan untaian kalimat per kalimat. Dia sedikit meremas ujung kertas itu.

Lalu, dia meninggalkan apartemennya.

.

.

Sakura membolak-balikkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Tubuhnya tampak meringkuk nyaman dan tangannya tak melepaskan selimut yang membungkus tubuhnya. Wajahnya begitu tenang, bahkan di saat tidurnya dia masih tersenyum tipis. Sepertinya dia melewati malam yang menyenangkan. Entah itu mimpi indah atau alas tidur yang empuk. Tak lama, tangannya meraba-raba sekitar posisi tidurnya. Kesal tak menemukan apa yang dicarinya, dia mulai membuka kelopak matanya. Menguceknya sepintas saja. Sayup-sayup dia mulai mengumpulkan nyawanya.

"Haaahhh!" Teriaknya. Dia sudah sepenuhnya bangun. Matanya mengamati sekelilingnya, terutama jam dinding yang berdetak. Rambutnya dikucek-kucek. "Kenapa aku ada di kamar? Apa ini sudah pagi? Rasanya aku kemarin berbaring di sofa. Apa aku tidur sambil berjalan?!" Dia mulai panik menyadari betapa menyeramkannya tidur sambil berjalan.

Sakura langsung bangkit dari tempat tidur itu, dia berlari kecil menuju kamar mandi dan mencuci mukanya ala kadarnya saja. Lalu, mengambil tasnya di bar milik Sasuke. Bahkan dia sudah lupa untuk tentang lembaran kertas dan ponsel yang sebelumnya ada di sana. Sekejap saja dia sudah keluar dari apartemen itu. Dia mengunci pintunya dan berjalan meninggalkan apartemen milik Sasuke.

Langkahnya tampak terburu-buru, tapi itu sebentar saja. Spontan, bola matanya terbelalak lebar saat melihat seseorang yang baru keluar dari pintu apartemen tak jauh dari milik Sasuke. "Sial, itu Ino, kan? Kenapa dia ada disini?" Batinnya. Penyakit panik langsung menyerang sekujur tubuhnya.

Gadis itu memperpanjang langkah kakinya dan menunduk sebisanya, bahkan wajahnya ditutupi tas tangannya. Entah dia bisa melihat jalan di depannya atau tidak. Jujur saja, kelihatannya dia tidak mau berurusan dengan Ino, terlebih lagi jika mengenai pertengkaran mereka kemarin malam. Mau menyapa rasanya sangat mustahil. Ini situasi yang benar-benar ganjil.

"Hei... Kau sakura, kan?!" Sahut wanita di belakangnya. Jelas saja itu suara Ino. Sakura langsung menaikkan tempo langkahnya. Semakin lama semakin kencang.

Tentu saja perilaku Sakura membuat Ino semakin curiga. "Hei! Jangan lari, Sakura!" Teriak Ino ikut mengejar Sakura.

"Bukan. Kau salah orang!" Balas Sakura dengan suara yang dibuat-buat.

"Salah orang bagaimana! Aku akan membuat perhitungan denganmu!" Tolak Ino mentah-mentah.

Sakura berdecak kesal. Nafasnya memburu. "Ah, sial! Kenapa dia malah mengejarku!" Gumamnya.

Sepanjang isi lorong itu dipenuhi dengan derap keras kaki Sakura dan Ino. Mereka saling mengejar tanpa tahu sudah membuat keributan. Lontaran bantahan dan egois terus menyahut. Sebentar saja mereka sudah hampir mencapai pintu lift yang sedang terbuka. Beberapa orang di dalam kotak besar itu melihat dua orang yang berlarian itu dengan penasaran. Untung bagi Ino dan sial bagi Sakura, pintu itu langsung menutup rapat begitu langkah Sakura hanya kurang beberapa inchi.

Bruk!

Tubuh Sakura menabrak pintu lift itu karena tidak mampu menahan beban beratnya yang sangat miring tadi. "Auwwww!" Jeritnya kesakitan. Dia meringkuk dan memegang hidungnya yang ternyata sudah berdarah.

Ino berlari mendekati Sakura, "Kau baik-baik saja, kan?" Tanya Ino sedikit khawatir.

Sakura menghadapkan wajahnya pada Ino. Bibirnya mengerucut dan hidung berdarahnya dipamerkan. "Apanya yang baik?!" Bantahnya.

.

Dua buah roti panggang hangat tersaji dihadapan Sakura. Olesan dari paduan cokelat putih dan matcha bubuk melengkapi selera makan. Aroma nikmat mengusik-usik indera penciumannya yang masih cedera ringan. Selembar tisu masih menyangkut di lubang hidung sebelah kirinya. Satu tangan kanan yang malu mengambil roti itu dan melahapnya ragu. Bibir tertutupnya bergerak kesana kemari saat mengunyahnya. Bola matanya menatap sahabat didepannya berselimut aura canggung. Sama, sahabatnya juga seperti itu.

"Apa kita harus seperti ini?" Tanya Ino mulai gerah. Dia melepaskan celemek yang melekat ditubuhnya tadi. Lalu, mengambil roti di piring yang sama dengan Sakura.

Sakura menghembuskan nafasnya, "ini sangat canggung," komentarnya.

"Lalu?" Tanya Ino dengan memiringkan wajahnya.

Sakura berpikir sejenak. Memutar bola matanya dan menghabiskannya untuk mengamati benda-benda di sekitar Ini. "Kita kembalikan seperti malam sebelum kejadian itu," ucap Sakura.

"Semudah itu?" Ino berseringai kecil.

"Tentu saja," Sakura ikut membalas seringaian Ino. Dia melepaskan sandaran punggungnya dan memberikan jari kelingkingnya pada Ino.

"Berikan aku tas Givenchy terbaru dan aku akan menerima kelingkingmu," tawar Ino. Wajahnya dialihkan pada ruangan lain. Tingkah seperti anak kecil yang manja.

Sakura berdiri dan mendekati Ino. Dia memaksakan kelingkingnya berpautan dengan milik Ino. "Sepuluh tahun lagi," senyum Sakura melebar. Spontan saja ruang yang tadinya canggung itu penuh dengan tawa riang Sakura dan Ino. Mereka saling berpelukan dan bergelitikkan hingga berlarian di sekeliling ruang makan itu.

"Hahaha... Aku tidak tahan lagi. Hahaha... Lihat hidungku berdarah lagi," kata Sakura.

"Maaf, maaf," sesal Ino dengan memberikan selembar tisu. "Jadi apa pahammu sama seperti tadi malam?" Tanyanya.

Sakura menggeleng pelan, "hmm..."

"Tidak mungkin! Jangan-jangan kau langsung jatuh cinta pada kakak Sasuke. Oh, itu artinya kau baru saja tidur dengan kakak Sasuke tadi malam, kan? Kau baru saja keluar dari apartemennya, kan?! Ya, Tuhan!" Tebak Ino panik. Telapak tangannya ditepuk-tepukkan ke wajahnya.

Tak!

"Pikiranmu itu selalu negatif! Kakak Sasuke itu sudah menikah. Kau pikir aku wanita jalang," keluh Sakura usai menjitak kepala Ino. "Itu apartemen milik Sasuke. Beberapa hal terjadi begitu saja tadi malam. Aku hanya mengembalikan ponselnya. Ah, jangan salah paham. Disana tidak ada siapapun. Sebenarnya aku mau langsung pulang saja semalam. Tapi, perutku sakit sekali dan aku malah tertidur disana."

Ino mengangguk-angguk pelan. "Lalu?"

"Lalu? Ah, benar. Tentang pertanyaanmu tadi, ya. Aku tidak akan seegois itu. Percayalah, kali ini ucapanku sungguhan. Aku telah memikirkan bagaimana perasaan ibuku jika aku mempertahankan paham itu. Pasti sangat mengoyak hatinya. Jadi, aku akan membiarkannya. Semuanya akan berubah seiring waktu. Dan, aku harus selalu menanamkan energi hari yang menyenangkan mulai saat ini. Tentang kepahitan yang lalu, lupakan saja," ucap Sakura tersenyum lepas.

"Apa Kakak Sasuke yang merubahmu dalam sekejap?"

"Tidak. Bahkan, kami tidak banyak bicara kemarin. Dia hanya mengatakan 'semoga harimu menyenangkan'. Lalu, meninggalkanku begitu saja di lobi apartemen," Sakura menggidikkan bahunya. Dia diam sejenak, "Tapi, aku menyukai kata-katanya. Itu seperti semangat baru untukku," ucap Sakura tulus.

"Benarkah? Kau menggemaskan!" Ino mencubit pipi Sakura. "Kalau fotografer kemarin, apa kau mau?" Tawar Ino. Oh, seperti biasa, dia suka menawarkan teman-teman prianya kepada Sakura.

"Tidak. Bukan tipeku," Tolak Sakura. Tangannya dikibas-kibaskan mempertegas penolakannya. "Ah, aku melupakan sesuatu. Sejak kapan kau tinggal di sini?"

"Tidak. Ini apartemen Sai. Sudah sekitar tiga bulan dia tinggal di sini. Aku hanya sesekali saja menghabiskan malam disini, biasanya dia menginap di apartemenku. Tapi, akhir-akhir ini dia menolak untuk menginap di apartemenku. Selalu saja beralasan kalau ada sesuatu yang tidak bisa ditinggalkannya," keluh Ino. Bibirnya mengerucut sangat panjang dan tangannya mengepal geram.

"Apa karena dia?" Jari jempol Sakura mengacu pada makhluk hitam yang sedari tadi mengibas-ibaskan ekornya didekat lemari kaca.

"Apa kucing itu lebih menarik dariku? Padahal permainanku sudah paling bagus," Ino melipatkan kedua tangannya.

Sakura tersenyum kecil. Dia mengangkat kucing ras scottish fold itu kepangkuannya. Mengelus-elus bulunya yang halus dan pendek. "Siapa namanya?"

"Entahlah," Ino menggidikkan bahunya. Dia pura-pura tidak peduli.

"Sai pasti sangat menyanyangimu dibanding wanita pirang ini," puji Sakura sembari menggelitik perut si manis itu.

"Sakura!" Ino mengerucutkan bibirnya.

"Kau benar-benar pencemburu, ya?" Goda Sakura.

"Ah, lupakan. Ayo main kartu dan habiskan siang disini, sebelum Sai kembali nanti sore," ajak Ino.

.

.

Pria berperawakan tinggi menyandarkan berat punggungnya pada tembok kokoh di belakangnya. Rambut hitamnya tampak berkilau terpapar cahaya matahari musim gugur. Bola matanya bermain mengikuti arah kemana anjing di depannya berlari-lari. Lalu, hewan berbulu emas itu menghampirnya. Bola matanya yang besar mengedip-ngedip saat memberikan piringan pada orang yang bukan tuannya. Pria itu melemparkan kembali piringan kuning yang baru saja diberikan anjing berbulu emas itu. Anjing itu menggonggong riang. Ekornya yang mengibas-ngibas puas itu berlari menjauh menuju gerak piringan.

Pria itu mengambil ponsel dalam sakunya. Menekan nomor yang ditujunya. "Apa kau di apartemen? Aku ingin menjemputnya sebentar lagi," tanyanya. Dia mendengarkan suara dari sambungan telepon itu. Lalu, dia mengangguk pelan, "baiklah jika begitu."

Sambungan telepon diakhirinya.

Derap langkah terdengar mendekati pria berkemeja putih itu. Dia menyipitkan kelopak matanya kesamping. Bibirnya menutup rapat. Wajahnya sedikit tak hangat. Tangan melipat angkuh di dadanya. "Apa aku menyuruhmu memberikan kartu apartemenku padanya?"

Itachi tidak tersenyum. Dia melirik ponsel yang sedang dimasukkan Sasuke ke saku celananya, "Syukurlah jika ponselmu sudah kembali," jawabnya ringan.

"Bukan itu jawaban yang kumau," katanya dengan wajah dingin.

"Nadamu tidak hangat, Sasuke. Bukankah itu lebih baik?" balas Itachi.

"Aku bisa melakukannya sendiri tanpa bantuanmu."

"Aku tidak membantumu. Aku membantunya. Dia tidak dalam kondisi baik tadi malam," bantah Itachi. Seringai tipis mengukir di likuk wajahnya. Dia bukan orang suka basa basi.

Sebuah nafas berat berhembus dari diri Sasuke. Sirat matanya sedikit melunak. Kepalanya menengadah ke atas. Lensanya menerawang langit biru tanpa awan. "Aku tahu itu," ucapnya.

"Jika kau kembali ke apartemenmu, kenapa kau tidak menyelesaikannya?"

"Tidak. Aku menghabiskan malamku dengan pekerjaan kantor yang sempat terabaikan."

"Masih saja. Kau menghindarinya," sindir Itachi.

"Bukan, Aku memulainya," ucap Sasuke. Dia membalas telak sindiran Itachi. Bola matanya berkilat hitam. Keyakinan dan percaya diri memenuhi bulatnya. Auranya terasa berbeda.

Terpaku. Itachi sempat menghentikan geraknya. Lalu, bibirnya tertarik ke atas sedikit. "Lakukan sesukamu."

"Hn," ucap Sasuke. Lalu, Dia berjongkok dan menerima kembali piringan yang disodorkan oleh anjing berkalung merah itu. Tangannya mengelus-elus hangat kepala anjing ras golden retriver itu sebagai hadiah karena sudah mengambil piringan dalam kondisi yang baik.

"Dia bahkan lebih menyukaimu daripada aku," kata Itachi. Dia ikut berjongkok memanjakan hewan peliharaannya. "Bagaimana di Zurich?"

"Kondisi kakek sudah membaik. Ada sesuatu yang aku sampaikan padanya, karena itu aku baru bisa pulang ke sini kemarin," kata Sasuke.

"Aku mengerti. Kau selalu melakukan itu, kan," Itachi mengangguk dan akhirnya menatap Sasuke kembali. "Apa kau akan langsung pergi? Tidak mau menikmati makan siang buatanku?" Tawarnya.

Sasuke menggeleng pelan. Mengelus kembali kepala anjing itu. Lalu, dia berdiri dan menyembunyikan kedua telapak tangannya pada saku celananya. "Sampaikan salamku pada Izumi. Aku harus menjemput Toto yang aku dititipkan pada temanku."

"Malam itu ada seorang gadis yang tiba-tiba memelukku, dia beraroma alkohol dan memanggil nama adikku," ucap Itachi. Ada setitik seringai mengemban di sudut bibirnya.

Ucapan Kakaknya itu menghentikan langkah kepergian Sasuke. Dia melirik ke belakang, "apa maksudmu?"

"Hanya basa basi," ucap Itachi.

.

.

Sakura merebahkan tubuhnya ke belakang. Kakinya masih melipat. Bulu lembut karpet berwarna merah hati menerima pelampiasannya. Kalimat keluhan meluncur mulus dari bibirnya. Beruntung tidak ada kata-kata kotor yang ikut menyelip. Dia tengah mengutuk batinnya yang sangat lemah dalam berfirasat. Nikmat kemenangannya di awal tadi berakhir buruk setelah dua jam bermain kartu.

"Sial!" Kesalnya lagi. Punggungnya kembali tegak. Rambutnya tampak acak-acak.

"Pahlawan selalu menang di menit akhir, kan?" Seringai kemenangan memenuhi wajah licik Ino.

Sakura memutar matanya. Tingkah sombong Ino membuatnya malas, "itu tidak akan lama. Ayo main lagi!" Semangat Sakura mulai membara kembali.

"Tunggu dulu!" Ino mengacungkan jari telunjuknya. Lalu, digoyangkannya ke kanan ke kiri. Otak jahilnya terlihat mewakili itu. "Apa yang harus dilepas ya, kau masih punya bra dan celana dalam. Jika celana dalam rasanya terlalu aneh. Aku pilih bramu saja," pintanya sambil tertawa.

Sakura mendengus kesal. Sejak sejam yang lalu, dia kalah berturut-turut. Akibatnya dia harus melakukan apapun yang diperintah oleh Ino, dan sialnya teman pirangnya itu terus-terusan memberikan hukuman yang mesum. "Baiklah," pasrah Sakura sambil melepaskan kaitan bra-nya. Benda berwarna hitam itu kini sudah terlepas.

Ino menutup mulutnya dengan jarinya. Suara cekikikan tertahan menyeruak dari bibirnya. Dia tidak menyangka Sakura akan pasrah begitu saja melakukan perintahnya.

"Kenapa wajahmu seperti itu? Ejek saja sepuasmu!" Rona merah memenuhi wajah Sakura. Dia menundukkan wajahnya dan menyusun kartu yang berserakan di hadapannya. Sebisanya dia bersikap acuh tak acuh atas sikap Ino yang mungkin saja sudah menyiapkan jebakan jahil untuknya, seperti biasa. Mulai detik ini, otaknya harus bekerja keras demi menyiapkan strategi permainan untuk membungkam mulut Ino.

"Payudaramu semakin membaik," goda Ino. Tangannya menyentil sedikit sisi payudara sahabatnya.

Sekilatnya telapak tangan Sakura menyingkirkan jari mesum Ino, "Ya, berkat saran konyolmu itu."

"Apa Sasuke sering memegangnya dulu?" Goda Ino.

"Oh ayolah, aku harus memenangkan permainan ini," kata Sakura acuh. Tidak ada waktu untuk melayani kekonyolan Ino. Dia membagikan kartu secara acak untuknya dan Ino yang masih terkekeh aneh dalam jumlah yang sama.

Baru saja permainan akan dimulai, Ino malah beranjak dari posisi duduknya. Satu tangannya menyanggah perut kirinya, "sepertinya aku terlalu banyak makan macaron. Aku ke toilet dulu sebentar."

"Rasakan itu! Makanya jangan menertawaiku terus," Timpal Sakura sambil cekikikan.

"Jangan curang! Hukumanmu tetap berjalan," sanggah Ino. Langkahnya tergesa-gesa meninggalkan Sakura yang masih menertawainya.

Sakura meletakkan kartu-kartunya dalam posisi tertutup. Dia memilih mengalihkan tubuhnya dari alas bulu itu menuju sofa hitam di belakangnya. Sebuah piring berisi French macaroon warna warni tak luput diajaknya. Giginya mengunyah pelan kue kesukaannya. Sepertinya dia akan sangat bosan jika menunggu Ino tanpa melakukan apapun. Ya, temannya itu bisa menghabiskan waktunya berjam-jam di dalam toilet. Entah apa yang dinikmatinya di dalam ruang kecil itu. Apa mungkin aroma air besarnya seperti wangi parfum merek ternama. Entahlah.

Tubuh Sakura hampir telanjang. Tangannya mengambil sebuah kontroler game. Suara ibu jarinya yang menekan-nekan tombol memecahkan keheningan. Sebuah game tentang petualangan dipilihnya. Dia melanjutkan game yang belum diselesaikan Sai tersebut. Pandangannya sangat terpaku pada layar besar dihadapannya, bahkan dia tidak melanjutkan mengunyah macaron-nya.

Lima belas menit berlalu, Ino tak juga menyelesaikan urusan buang air besarnya. Sakura masih sangat serius mengalahkan musuh-musuh tersulit. Makhluk berbulu hitam lebat melompat menuju sofa yang diduduki Sakura. Gadis itu merasakan bulu ekor kucing mengibas pelan di pundaknya, hingga menjalarkannya pada wajah Sakura. Telinganya mendengar bisikan berupa sapaan manja. Bahunya menggidik keatas. Tawa tertahan ingin meluncur dari bibirnya.

"Hahaha... Itu geli!" Sakura tak mampu menekan rasa geli. Dia menunda permainannya. Tangannya yang sudah tak tahan, mengacak-acak bulu halus meong itu. Dia meletakkannya di atas paha telanjangnya. Punggungnya membungkuk. Wajahnya mencumbu gemas hidung si kucing. Kepalanya bergoyang-goyang pelan. "Apa kau lapar?" Tanya Sakura.

Kucing itu menjawab pelan. Matanya bulat berbinar manja. Itu, semakin membuat Sakura gemas.

Suara pintu yang terbuka dan tertutup mengayun lembut. Derap langkahnya terdengar tidak keras dan terburu. Sakura mendengarnya tanpa menoleh, karena merasa itu pasti Ino. Sesaat, kucing yang dipeluknya langsung melompat menjauhinya.

"Hei-"

"To-"

Dua suara yang bersamaan. Sontak langsung berhenti serentak. Dua pasang bola mata yang saling menatap tak percaya. Membesar dan membulat penuh. Jantung yang berdebar laju, seketika. Tubuh yang tampak kaku dan canggung terbenam hening yang membungkam sisi mereka.

Dia, bukan Ino.

Sakura tak berkutik. Mulutnya membuka tak percaya. Kepalanya tak memutar dari posisi kanannya. Satu lilitan tisu masih menyangkut di hidungnya. Tubuh atas yang polos tanpa selehai benang terbiarkan. Likuk dan kulitnya terlihat indah menurut pria yang berdiri tak jauh darinya. Pria itu tak bisa mengucapkan pujian atas molek tubuhnya. Semuanya tertahan.

"Meong," suara kucing yang melompat pada tubuh si pria menggugurkan hampa dua insan itu.

"GYAAAAAAAAAA!" Teriak histeris Sakura memekak ruang hening.

Bruk! Bruk! Bruk! Bantal-bantal sofa dilemparkan Sakura sekuatnya pada si tamu. Pria itu menangkis serangan Sakura dan melindungi kucingnya yang tampak kaget. Tubuhnya mundur bersamaan kucingnya yang mulai risau dan mencakar dadanya. Ringisan kecil menggumam darinya. Teriakan Sakura terus melengking. Tak terhenti. Dia terkejut sejadinya. Wajahnya merah padam. Dia menutupi dadanya. Memundurkan tubuhnya pada pojok tembok. Lalu, berlari sekencangnya menuju pintu yang terlihat dari pelupuk matanya.

BLAM!

Sakura berjongkok. Tubuhnya menyandar pada pintu kayu yang dihempaskan sekerasnya tadi. Dadanya naik turun tak beraturan. Nafasnya memburu kencang. "Memalukan! Memalukan! Memalukan! Apa itu benar-benar dia?! Ya, Tuhan!" Kepalanya menggeleng-gelang. Tangannya mengacak-acak rambutnya. Terapi syok siang ini sangat luar biasa.

"Sakura! Sakura! Sakura! Kau dimana? Apa ada maling?" Suara Ino menembus ruang kamar yang dimasuki Sakura. Tampaknya dia mencari-cari Sakura. Sementara yang dicari tak menjawab ataupun menyahut. "Apa kau didalam? Buka pintunya," panggil Ino sambil mengetuk-ngetuk pintu itu.

"Apa dia masih ada disana? Atau mungkin di pintu masuk?" Tanya Sakura pelan.

"Tidak ada siapapun. Bukalah pintunya!"

"Kau yakin?"

"Gantung aku jika aku bohong," jawab Ino meyakinkan sahabatnya.

Sekilatnya Sakura beranjak dari tepi pintu itu. Dia mengambil topi dan jaket yang tergantung didekatnya. Lalu, membuka pintunya. Tampak dihadapannya Ino yang siaga sambil menenteng sebuah tongkat baseball. Mungkin dia siap melayangkan tongkat mematikan itu kepada orang tadi.

"Kau baik-baik saja? Aku akan menghubungi pihak keamanan apartemen," Ino sangat khawatir. Dia mengguncang-guncang tubuh Sakura.

"Kenapa dia bisa masuk? Kau tahu itu siapa? Aku benar-benar syok! Itu sangat memalukan!" Kata Sakura panik.

"Apa mungkin Sai sudah pulang?"

"Bukan! Dia itu Sasuke! Sasuke yang masuk kesini tadi! Dan kucing itu miliknya, kan? Kenapa kau tidak mengatakan apapun!"

Ino menutup mulutnya tak percaya, "Hah! Aku benar-benar tidak tahu! Kenapa dia bisa masuk ke sini? Apa dia sedang ada perlu dengan Sai. Eh, Tapi, tunggu dulu! Bukankah itu kesempatan emasmu untuk berbicara padanya! Kenapa kau malah berteriak seperti orang gila! Dasar bodoh!" Omelnya.

"Dia melihatku hanya memakai celana dalam! Kau pikir aku bisa bicara dengannya dalam keadaan seperti itu? Aku malah kelihatan seperti penari tiang! Mau ditaruh dimana mukaku?! Aku akan pulang sekarang!" Sakura bergegas mengambil bajunya dan memasangnya secepat kilat.

"Kenapa kau malah menundanya, bodoh!" Sahut Ino.

"Rasa maluku tidak bisa ditunda, tahu. Aku benar-benar tidak siap mental," jawab Sakura. Dia memakai topi dan jaket yang diambilnya tadi. Topinya diturunkan kebawah hingga wajahnya tertutup. Lalu, rambutnya ditutupi jaket itu. Dia terburu-buru menuju pintu keluar. Kepalanya terlebih dahulu melongok ke kanan ke kiri memastikan kondisi diluar, lalu dia melambaikan tangannya. Kalimat sampai jumpa tak luput terlontar darinya.

"Sakura-" sanggah Ino.

Blam! Pintu itu memisahkan nada bicara keduanya.

.

.

Sakura menghempaskan tubuhnya pada ranjang berukuran besar. Bantalnya mengikuti loncantan kecil akibat ulahnya. Sepanjang siang yang cerah di hari minggu ini, dia tetap bersungut-sungut mengutuk dirinya. Beberapa kali kepalanya dibenturkan pada setir mobilnya. Rasa malu yang menumpah itu terus menerus menerornya. Rasanya dia ingin menonjok saja wajahnya dan membuangnya di pinggir jalan tol. Bagaimana mungkin hari yang sudah dipatenkan menjadi hari yang menyenangkan malah berujung suram. Bayangkan saja dirinya yang sedang bermasalah komunikasi dengan Sasuke malah harus bertemu dengan pria itu dalam keadaan hampir telanjang bulat. Jangankan memikirkan untuk bisa menyapanya dengan hangat, menatapnya saja sudah membuatnya seperti orang gila. Sungguh, dia tak siap bertemu dengan Sasuke dalam keadaan tadi.

Gadis merah muda itu mengguling-gulingkan tubuhnya ke sana kemari. Lalu, duduk bersila, mengacak rambutnya frustasi dan kembali merebahkan tubuhnya. "Kenapa aku harus bertemu dengannya dalam keadaan seperti itu? Seandainya saja..." Sesalnya. Dia menutup wajahnya cukup kuat dengan bantal berwarna mint-nya. Ah, kisahnya kali ini tak setenang warna pastel itu.

Brak!

Sakura meloncat kaget ke atas tempat tidurnya begitu mendengar suara pintu yang terbanting keras. Dia memasang kuda-kudanya, sedangkan satu tangannya sigap melemparkan bantal mint-nya. "Ah, sial! Dasar Karin! Aku pikir siapa?!" Sakura menghembuskan nafasnya sangat-sangat lega.

"Pose macam apa itu?" Ejek Karin. Dia melemparkan sebuah bingkisan ke arah Sakura.

Sakura menangkap bingkisan itu, "pose bela diri," ucapnya asal. Dia membuka plastik bingkisan putih itu. Dua buah batang cokelat yang dikemas rapi mengoyakkan selera lidah.

Karin mendekati puluhan koleksi busana Sakura yang tergantung rapi di dekat jendela kamarnya. Tangannya tampak memilih-memilih yang terbaik, "Wajahmu merah sekali, apa kau benar-benar serius berlatih bela diri?" Tanya Karin.

"Apa aku benar-benar terlihat seperti itu?" Tanya Sakura. Jari-jarinya menepuk-nepuk pipinya. Rasanya dia ingin berbagi cerita dengan Karin agar merasa lebih baik. Tapi, itu ditolak mentah -mentah oleh lidahnya. Tentu saja tidak bisa, Karin adalah penggemar Sasuke nomor satu. Ternyata efek di apartemen Sai tadi masih tak pudar.

Karin mengangguk pelan. "Ah, aku mau pakai yang ini untuk acara Tokyo Awards bulan depan," pintanya. Bola matanya tak mau lepas dari gaun panjang merah yang belum selesai di manekin Sakura. Sementara itu, si perancang gaun itu hanya mengangguk-angguk tak pasti. Pikirannya melayang entah kemana. Padahal Karin sedang mengoceh tentang gaun itu tanpa henti.

"Sakura," sebuah suara seorang pria beriring ketukan pintu merubah arah pandangan Sakura dan Karin.

"HUAAA!" Sakura tersentak kaget.

"Ya Tuhan, bisakah kau berhenti berteriak?" Keluh Karin.

"Ternyata kau, Naruto. Kau membuatku jantungan," omelnya. Dia menghembuskan nafasnya sangat panjang. Tampaknya Sakura sedang alergi suara pintu dan pria. Bagaimana mungkin suara Naruto terdengar seperti suara Sasuke baginya. Padahal itu jauh-jauh berbeda. Suara Naruto lebih riang dan milik Sasuke lebih dingin. Dia seharusnya bisa membedakan itu.

"Kau latah sekali," ucap Naruto. Tangannya melipat di dada sok keren. Dia tidak melanjutkan langkahnya memasuki ruang kamar Sakura. Karin ikut mengangguk membenarkan kalimat Naruto. "Besok malam, aku akan mengadakan makan malam istimewa di rumahku. Pastikan kau tidak pulang telat besok," ajak pria berambut jabrik itu.

"Istimewa?" Tanya Sakura.

"Ya, karena aku berhasil melamar Hinata beberapa minggu yang lalu," jawab Naruto sambil mengedipkan satu kelopak matanya.

"HEEEEEHHH!" Pemilik kamar itu kembali berteriak, "Kenapa kau tidak memberitahuku?!" Protes Sakura.

"Berhentilah berteriak Sakura!" Timpal Karin.

"Bagaimana mungkin aku memberitahumu kalau kau saja menangis berhari-hari," jawab Naruto sedikit remeh.

"Sakura bisa menangis berhari-hari? Apa alasannya?" Tanya Karin sangat bersemangat. Dia mungkin menjadikan jawaban Naruto sebagai bahan ejekannya untuk Sakura.

"Kau tahu, dia patah hati karena bertengkar dengan Sasuke ketika di London wa-" belum saja Naruto menyelesaikan kalimatnya. Sebuah bantal sudah melayang di wajahnya.

"NARUTO! Apa yang kau katakan, dasar bodoh!" Telinga Sakura benar-benar panas mendengar kalimat Naruto. Bagaimana mungkin Naruto dengan mudah mengucapkan kata Sasuke yang sangat tabu bagi Karin.

"Heh?! Kalian bertemu di London? Sakura, aku butuh penjelasanmu! Jadi... Jadi selama ini kau menjadi kura-kura dalam grup kita, sementara itu, kau menertawai kami yang menggilai Sasuke, benar, kan? Aku tidak menyangka kau menjafi penghianat," Tuduh Karin. Mungkin saja telinganya jauh lebih panas dari milik Sakura.

"Oh ayolah, Karin. Semuanya terjadi begitu saja. Bagaimana mungkin aku sejahat itu menertawai kalian. Dan, kau juga sudah punya kekasih, kan?" bela Sakura.

"Tapi sama saja, kan. Kau menyakiti hati kami yang polos ini. Kau tahu bagaimana rasa sakitnya, kan? Terlebih lagi aku adalah pendiri grupnya... Itu sangat-sangat menusuk paruh ragaku..." ucap Karin sambil menitikkan air mata. Dia menahan dadanya, seperti biasa selalu bersikap berlebih.

Sakura memutar bola matanya. Menggeleng pelan, dan menghembuskan nafasnya sangat panjang. Dia tidak punya waktu untuk meladeni sikap berlebihan milik Karin. Lalu, dia menatap sinis Naruto yang bertingkah tak bersalah. Pria jabrik itu malah menyengir seperti semua masalah sudah terselesaikan. Benar-benar teman yang tidak bisa menjaga mulutnya.

Sakura beranjak dari tempat tidur itu. Dia harus keluar dari kamar yang suram ini. Dia tidak tahan. Jujur saja, hari ini benar-benar seperti roller coaster. "Naruto, tanggungjawab atas ucapanmu! Dan, Karin, berhentilah bersikap berlebihan!" ucap Sakura tegas sambil menunjuk masing-masing wajah mereka. Lalu, dia membalikkan badannya dan meninggalkan tetangganya itu.

Pergi keluar sebagai pilihan yang lebih baik daripada semakin frustasi berada diantara mereka. Dia harus menemukan ketenangan di tempat lain.

.

.

Anak tangga yang kokoh satu persatu di pijaknya. Jalanan beralas pola petak yang tersusun rapi dilandasinya. Rambutnya berayun dibawa angin sore. Suara kapal-kapal mengucapkan salam padanya. Telapak tangannya masuk dalam satu kantong bajunya. Dia meneguk minuman soda yang belinya melalui mesin minuman. Alisnya berkerut pelan, rasa asam yang mengalir ditenggorokkannya tidak seperti biasa. Lalu, dia berjalan mengikuti jarum kompas yang tergantung di lehernya. Arah barat menarik firasatnya. Dia berjalan pelan. Temponya tidak cepat.

Akhirnya, dia menyandar di tepi pagar pembatas. Dia tersenyum kecil. Kelopak matanya menutup dan kembali membuka. Aroma sore menyesap dalam pelupuk parunya. Dia terus memuji sore yang indah ini. Ah, akhirnya dia menemukan ketenangan.

Sungai Sumida, menjadi tempat favoritnya sejak saat itu.

Cinta atau romantis. Ya, dia tak perlu mengkhawatirkan itu lagi. Semuanya akan berjalan sesuai takdirnya. Kata baik, tidak kalah, tidak panik dan tidak akan menyerah membungkus dalam batinnya. Semuanya akan baik-baik saja, karena sampai saat ini dia bisa hidup.

Keping per keping kejadian semalam dan hari ini sangat tak diduganya. Dia tertawa kecil begitu mengingatnya. Mulai dari aksi bertengkar dengan Ino, bertemu Itachi, kejar-kejaran, berbaikan, hingga pertemuan dengan Sasuke yang sangat diluar dugaan. Dia bersyukur. Ya, akhirnya bisa melihat wajahnya lagi, sekilas. Wajah yang jauh lebih baik dari saat terakhir saling memunggungi dan sirat mata yang lebih murni dari waktu itu.

Tuhan, pasti memiliki jalan terbaik untuknya.

Sakura tersadar. Ah, benar. Dia belum menyelesaikan isi surat yang ditulis untuk Sasuke. Lalu, dia mengambil ponselnya dari tas cokelatnya. Ibu jarinya berhenti pada sebuah kontak. Hatinya sudah siap. Dia akan menghubungi Sasuke, untuk melanjutkan kalimat yang tertunda. Ponselnya sudah berada ditelinga kirinya. Masih belum ada suara sambungan. Dia mengubah posisi berdirinya. Kepalanya bergerak ke kiri.

Sesuatu diluar dugaan menghentikan detiknya. Jarak sepuluh langkah memompa jantungnya sangat kencang. Bola matanya tak mampu menyingkir. Bulat dan membesar. Sambungan ponselnya belum berakhir. Nada 'tut' masih bernyanyi di daun telinganya. Dia tak bergetar, tidak panik, dan tidak membalikkan tubuhnya seperti sebelumnya. Dia tidak akan mengutamakan kata malu yang sempat diucapkan tadi. Jemarinya meremas erat kompas miliknya. Ukir senyum sangat tipis muncul di wajahnya.

Pria itu, Sasuke.

Lelaki itu melakukan hal yang sama dengan Sakura. Bola matanya tampak terkejut. Ponselnya juga berada ditelinganya. Suara nada sambungan terakhir tak terdengar, detik percakapan menggantinya. "Tidak membalikkan punggungmu?" Tanyanya menjawab sambungan telepon yang masuk.

Sakura menggeleng lemah, "tidak."

"Aku ingin tahu lanjutan suratmu," bisiknya melalui ponsel itu.

"Aku akan menjawabnya," jawab Sakura pelan. Dia tak bisa menahannya, bibirnya mulai gemetar. Matanya sedikit memerah. Rasanya dia ingin menumpahkannya.

Dia tidak bisa menggerakkan otot kakinya.

"Kau tahu berapa banyak bunga anyelir yang kau terima malam itu?" Satu langkah Sasuke mengayun.

Sakura mengangguk pelan, "enam belas..."

"Jumlah yang sama dengan tanggal saat pertama kali kita bertemu, tanggal saat pertama kali kita berada disini dan hari ini," kata Sasuke.

Sakura menutup bibirnya tak percaya, matanya mulai berair, "malam itu..."

"Aku tidak ingat malam itu," sanggah suara dari ponsel itu.

"Apa..." Sakura menarik nafasnya dalam. "Apa kau masih marah padaku?" Tanyanya bergetar. Dia menunduk. Bola matanya terpejam, dia takut akan jawabannya. Derap langkah kaki yang mendekatinya semakin menakutkan. Takut jawabannya akan berakhir disini.

Dua insan dalam posisi yang sangat dekat. Tubuh mereka bermandi matahari sore. Bayangan mereka pada arah yang sama. Mereka membisu. Pria yang menyiapkan kalimatnya dan wanita yang gugup menunggu jawaban. Tapi, angin terus mendorong mereka untuk lebih terbuka.

"Lihat aku, Sakura," pinta Sasuke. Jarinya menaikkan dagu Sakura dengan lembut. Bola mata hitam dan hijau perlahan bertemu. Makna yang mendalam tanpa tersiratkan. Mereka lepaskan pada tatapan ini. Rasa rindu, senang, sesal dan sedih bercampur dalam lingkup mereka.

"Ma-"

Sasuke menggeleng pelan. Dia tahu apa yang ingin dikatakan Sakura. Bukan. Bukan itu yang diinginkannya, "Sakura, aku ingin memajukan hubungan kita. jadi, katakan kalimat yang tak tertulis itu," pintanya.

"Aku..." Bibir Sakura tertahan. Kupu-kupu seketika menari-nari di perutnya. Air matanya seakan membendung pelupuk matanya. Dia menahan wajahnya, tidak ingin memisahkan dari jerat lensa Sasuke, "Aku mencintaimu," bisiknya pelan seiring air mata yang ikut mengalir.

Sasuke tersenyum, bibirnya membalas ucapan romansa itu, "aku juga mencintaimu."

Tubuh yang menyatukan tak terelakkan usai pengakuan itu. Jarak terhapus oleh kecupan di bibir keduanya. Menempel dalam keadaan malu. Lalu, waktu mendorong menjadi kelembutan. Melumat, memagut, dan menahan. Berulang dan mengulang penuh keberanian. Mereka menikmati kecupan bersiram warna jingga. Tidak ada jarak pembatas mereka, tidak ada Tokyo dan Zurich lagi. Hari kelam dan kerapuhan terhapus dalam memori mereka. Mereka sudah lupa hari yang menyakitkan malam itu.

Detik merayu untuk terus merangkul, berpelukan, dan menyesap dalam sunyi sore. Mereka berdua belajar mengungkapkan perasaan-perasaan lebih dalam. Disini, tepat di tepi sungai Sumida semuanya mengalir.

Wajah yang mulai menjauh, berhenti dan mendalami satu sama lainnya. Senyum yang sempat mengukir dibibir Sasuke menghilang perlahan. "Maafkan aku," ucap Sasuke penuh penyesalan. Tangannya perlahan meluncur melintasi lekukan punggung Sakura. Merangkulnya kembali dan memeluknya sangat erat. Dia memejamkan matanya, mencium aroma tubuh gadisnya, dan kembali tersenyum.

"Maafkan keegoisanku," balas Sakura.

.

Benar kan, Sakura? Hari ini benar-benar menyenangkan.

.

.

.

Sasuke-kun,

Kau ingat sore di awal musim panas waktu itu. Kau berkemeja jeans biru dan berkaus putih. Sedangkan, aku berkemeja putih garis biru. Hei, Bukankah kita memakai warna yang sama?

Aku senang saat kita mengalungkan dua kompas yang sama. Jarum kita mengarah pada tujuan yang sama.

Saat kau mengajakku ke tepi sungai Sumida malam itu, aku sangat senang. Walau sebenarnya aku tidak mengerti ucapanmu. Tapi, kau sudah mengajarkanku untuk menjadi lebih dewasa.

Namun, tak selamanya semua berjalan sesuai egoku. kedua jarum kompas kita sekarang sudah berlawanan arah sejak musim gugur. Aku tidak tahu dimana arahmu. Aku kehilangan senyummu yang tipis. Sekarang, Aku diluapkan oleh emosiku. Aku mencoba menyembunyikan setiap waktunya. Melakukan hal-hal yang membuat orang lain mengkhawatirkanku. Merokok dan terlalu banyak minum alkohol. Rasanya bukan diriku.

Tapi, tenang saja, aku baik-baik saja dan aku tidak melakukan itu lagi. Aku janji.

Sasuke-kun, terima kasih untuk hari-hari yang indah. Maaf atas keegoisanku. Aku tidak pernah bisa mengatakannya padamu. Aku hanya sedikit takut, karena sebenarnya aku...

.

Aku mencintaimu.

.

.

.

To be continued

.

.

.