Seungchol meruntuki kebodohannya saat sepasang telinganya mendengar kata-kata Jeonghan untuk menjaga jarak dengan namja manis itu. Jujur saja, ia menyesal dimana kejadian malam itu. Namun, ia juga tidak bisa berbohong jika ia juga sangat menyukai bagaimana bibir Jeonghan bertemu dengan bibirnya dan lumatan-lumatan itu, selalu membuatnya gila jika ia terus membayangkannya. Seungchol mengacak surainya kasar.

"Kau baik-baik saja hyung?" tanya Mingyu menghampiri Seungchol yang duduk di sofa di ruang tengah. Seongchol hampir terlonjak karena kedatangan Mingyu yang tiba-tiba. "Kau terlihat kacau sekali!" Mingyu memperhatikan Seungchol dari atas sampai bawah. "Dan, kenapa kau disini, hyung? Semua member sedang bersiap, sedangkan kau? Apa yang kau lakukan disini dengan wajah tertekuk begitu? Sudahlah, hyung—tidak masalah jika kita dipecah! Tak perlu kau pikirkan lagi!"

"Siapa juga yang memikirkannya, Kim babo?" kesal Seungchol.

"Yak! Hyung, kau ini sebenarnya ada apa? Kenapa kau malah mengataiku? Aku rasa sekarang kau sedang melampiaskan amarahmu padaku, benarkan?" tebak Mingyu. Seungchol menghela nafasnya.

"Sudahlah, kau siap-siap saja sana! Tidak ada untungnya jika kau berada disini!" usir Seungchol pada Mingyu. Mingyu menggerutu namun, ia tetap beranjak dari duduknya di samping Seungchol.

"Padahal aku mau bertanya kenapa Jeonghan hyung menangis!"

"Mwoya?" sontak Seungchol saat masih mendengar gerutuan Mingyu yang masih berada tak jauh darinya. Mingyu berbalik dan menatap Seungchol dengan pandangan kesal.

"Apa hyung?" tanyanya sinis.

"Kau tadi bilang apa?" tanya Seungchol sabar.

"Aku? Kenapa kau peduli?" jawab Mingyu yang justru lebih meyerupai pertanyaan. Ia berbalik tak peduli jika nanti leader-nya itu sebentar lagi akan memenggal kepalanya karena telah menguji kesabarannya.

"Kau selamat, Kim Mingyu!" geram Seungchol benar-benar kesal.

.

"Minghao?" panggil Jeonghan saat ia tak sengaja melewati kamar Minghao, Soonyoung, Mingyu, dan Seokmin. Jeonghan memasuki kamar yang berantakan itu.

"Jeonghan hyung?" Minghao tersentak saat tiba-tiba Jeonghan mendekatinya dan duduk di sampingnya yang kini berada di atas ranjangnya.

"Ada apa? Apa ada yang mengganggu pikiranmu?" tanya Jeonghan lembut. Minghao tersenyum, lebih tepatnya sebuah senyum paksaan.

"Hyung—aku tidak yakin, bisa melawati ini semua!" Minghao menundukkan kepalanya, menyembunyikan kesedihannya.

"Eh, waeyo? Kenapa kau berfikiran seperti itu?" tanya Jeonghan menatap Minghao, yang ditatap justru kembali menatap lurus sebuah koper di depannya yang sudah ia kemas dengan rapi.

"Bukankah, kau tahu hyung jika aku yang paling lemah disini?" tanya Minghao. Jeonghan tersenyum manis.

"Kau tahu, terkadang tidak semua manusia dilahirkan memiliki batin yang kuat! Tanpa kau tahu, semua orang disini—semuanya lemah, Minghao! Hanya saja, mereka menyembunyikan kesedihan mereka untuk menguatkan satu sama lain. Seperti apa yang kau lakukan saat ini. Mereka mencoba untuk kuat, tapi—batin mereka tidak bisa terus menahannya sehingga mereka harus menangis pada akhirnya. Kau pasti bisa Minghao! Tak ada yang perlu di takutkan selagi kita masih utuh bersama!"

"Hyung—bolehkah aku bertanya sesuatu?" Jeonghan hanya mengangguk.

"Bagaimana jika saat kita kembali nanti justru kita benar-benar tidak bisa bersama?" tanya Minghao. Jeonghan menatap kedua manik indah Minghao, ia benar-benar tidak menyangka jika Minghao akan bertanya seperti ini padanya. Anak ini memang benar-benar cerdas. "Hyung kenapa kau diam saja?"

"Minghao, hyung—"

"Ternyata kalian disini!" seru Seungkwan mengagetkan keduanya. Jeonghan mengelus dadanya lega karena kedatangan Seungkwan yang tak diundang itu menyelamatkannya dari pertanyaan Minghao yang entah bagaimana ia harus menjawabnya. "Semua member sudah bersiap untuk ke bandara!" lirih Seungkwan. Jeonghan dan Minghao menatapnya.

"Gwenchana, Seungkwan-ah! Semuanya pasti akan baik-baik saja!" Jeonghan memeluk Seungkwan dan menenangkannya. Seungkwan mengangguk dan membalas pelukan Jeonghan. "Hey! Kenapa kau menangis?" tanya Jeonghan yang merasakan punggung Seungkwan bergetar di dalam dekapannya.

"Hiks—hyung!" Jeonghan mengelus punggung Seungkwan yang tangisannya semakin terdengar menyedihkan.

Di belakang, Minghao menatap interaksi keduanya.

"Seharusnya, aku berusaha untuk menguatkan mereka!" batin Minghao kalut.

"Sebaiknya, kita segera berkumpul bersama dengan yang lain! Kajja!" ajak Jeonghan. Seungkwan hanya mengangguk dan menghapus air matanya. Sekilas Jeonghan menatap Minghao. Minghao tersenyum dan menganggukkan kepalanya seolah ia mengerti apa yang Jeonghan isyaratkan.

Jeonghan, Minghao, dan Seungkwan segera bergegas ke ruang tengah dimana semua member berada saat ini. Tak ada suara sedikitpun yang mereka keluarkan. Mereka semua hanya kalut dengan pemikiran mereka masing-masing tentang kehidupan mereka yang menanti di luar sana.

Seungchol mendongak saat melihat kehadiran yang sedari tadi mereka tunggu.

"Apa kita akan pergi sekarang, hyung?" tanya Chan dengan mata berkaca-kaca membuat semua hyungdeul menatapnya iba. "Bagaimana dengan sekolah Chan-ie?" lirih Chan yang membuat mereka semua ingat sesuatu. Bahkan, Seungchol menepuk pundaknya keras. Bagaimana bisa dia lupa jika Seungkwan, Hansol, dan Chan masih bersekolah di bangku menengah atas? Belum lagi, Seungkwan dan Hansol yang sudah menduduki kelas tiga.

"Nde, hyung! Aku dan Seungkwan juga akan ujian sebentar lagi!" timpal Hansol.

"Apa tidak lebih baik, jika Seungkwan, Hansol, dan Chan tetap tinggal disini? Bagaimanapun juga pendidikan mereka lebih penting." Ujar Jisoo. Mereka semua menatap leader mereka menunggu keputusan yang keluar dari belah bibirnya.

"Aniya—aku tidak mau!" seru Seungkwan yang masih berdiri di samping Jeonghan.

"Apa yang kau bicarakan Seungkwan?" tanya Jeonghan menatapnya.

"Aku ingin tetap bersama kalian hyung—ani! Maksudku, pergi ke pulau apa itu dan dimana itu! Aku dan Hansol bisa saja mengejar pelajaran yang tertinggal! Iyakan, Hansol?" Seungkwan menatap Hansol, yang ditatap berfikir sejenak menimang antara pergi atau tidak.

"Aku rasa, apa yang dikatakan Seungkwan ada benarnya juga! Lagi pula—aku dan Seungkwan juga termasuk murid yang pandai. Bukankah kalian tahu itu hyung?" jawab Hansol yang mendapatkan beberapa kekehan dari mereka semua.

"Jadi, bagaimana hyung?" tanya Wonwoo pada Seungchol yang duduk di sampingnya. Seungchol menghela nafas beratnya.

"Sebaiknya kalian bertiga tetap tinggal disini!" ucap Seungchol memutuskan.

"Yak! Hyung! Aku benar-benar tidak mau tinggal disini! Hyung—jebal!" mohon Seungkwan yang sudah mulai berlinang air mata.

"Tidakkah kalian tahu kita akan pergi berapa lama?" tanya Seungchol keras, ia kembali menarik nafasnya rasanya akhir-akhir ini ia sulit sekali bernafas dengan tenang. "Enam bulan! Bukankah, itu waktu yang cukup lama? Pendidikan lebih penting untuk kalian saat ini!" lanjut Seungchol, ia menompang dagu kesal.

"Lebih baik—kalian bertiga tetap tinggal!" Jeonghan bersuara dan mencoba untuk menenangkan Seungkwan. Seungkwan menggeleng dengan keras.

"Ani, hyung! Apa karena kita paling muda dan masih bersekolah kalian tidak mengijinkan kami untuk ikut berjuang bersama kalian? Kalian menderita di luar sana—sementara kami?" tanya Seungkwan emosinya memuncak. Perlahan mereka semua berlinang air mata. Sebelumnya, mereka menyakinkan diri mereka bahwa ini bukan perpisahan. Mereka akan bertemu di waktu dimana mereka benar-benar menjadi manusia yang berbeda dengan saat ini. Manja, banyak mengeluh, dan mudah putus asa. Bahkan, sekarang mereka tidak menyangka jika seorang Seungkwan yang biasanya hanya suka bermain-main dan terkadang berbuat kurang ajar pada hyungnya justru memikirkan mereka semua.

"Bukankah kita harus berjuang bersama saat ini? Soonyoung hyung saja bisa menyelesaikan masalah kontraknya dengan orang itu. Tapi—kenapa kami tidak?" tanya Chan. Soonyoung yang namanya disebut mendongak dan menatap Chan spontan. Jujur saja, mengingat kejadian kemarin yang ia lakukan benar-benar membuat Soonyoung malu bukan main.

"Sekolah kalian itu bukanlah masalah—anak-anak!" Seungchol mengusap wajahnya sabar.

"Bukan masalah bagi kalian—tapi masalah bagi kami!" seru Seungkwan.

"Nde—hyung! Ijinkan kami-nde!" pinta Hansol lagi. Seungchol menarik nafasnya.

"Kenapa aku seolah-olah akan menculik anak sekolah dan membawanya kabur ke pulau asing itu?" batin Seungchol putus asa.

"Arra—arra! Aku akan hubungi manajer Han untuk mengijinkan kalian di sekolah nanti dan tentu saja—ijin pada orang tua kalian!" putus Seungchol akhirnya. Tidak ada yang bersorak senang seperti biasanya, hanya perlu senyum simpul untuk kembali bersama mereka.

"Kalau begitu—kajja! Kita berangkat sekarang!" ajak Jeonghan memecah keheningan sebelumnya. Mereka mengangguk dan menyeret koper bawaan mereka masing-masing. batin Seungchol putus asa.

"Arra—arra! Aku akan hubungi manajer Han untuk mengijinkan kalian di sekolah nanti dan tentu saja—ijin pada orang tua kalian!" putus Seungchol akhirnya. Tidak ada yang bersorak senang seperti biasanya, hanya perlu senyum simpul untuk kembali bersama mereka.

"Kalau begitu—kajja! Kita berangkat sekarang!" ajak Jeonghan memecah keheningan sebelumnya. Mereka mengangguk dan menyeret koper bawaan mereka masing-masing.

.

.

.

.

.

.

"Anak-anakku, kalian sudah datang!" CEO Kang menyambut mereka yang sudah tiba di bandara International Seoul. Tidak ada satupun dari mereka yang menyambut dengan gembira senyuman dari CEO yang selalu mereka umpat namanya. Mereka hanya mencoba untuk sabar menahan emosi di depan orang yang bagaimanapun juga masih sedikit mereka hormati hingga saat ini. "Kalian semua sudah siap?" dan sekali lagi tidak ada yang menanggapinya. "Arraseo—arraseo mungkin kalian sudah tidak sabar untuk segera menempati tempat tinggal baru kalian!"

Seungchol mengepalkan kedua tangannya saat mendengar ucapan iblis yang menjelma menjadi manusia itu, bahkan kini ia tidak bisa mengendalikan dirinya dan hendak menghantam orang yang pastinya lebih tua darinya.

"Hyung—hyung—hyung!" seru mereka semua mencoba untuk menahan Seungchol yang lepas kontrol.

"Mwoya? Apa kau ingin memukulku—leader Choi Seungchol?" remeh CEO Kang tersenyum penuh kemenangan.

Sungguh, jika bukan karena dongsaeng-dongsaengnya Seungchol sudah menghajar habis pria brengsek itu tanpa ampun.

"Aku sudah menyewa rumah disana! Kebutuhan kalian—dan semuanya! Jadi, kalian tak perlu khawatir! Dan—untuk Seungkwan, Vernon, dan Dino—masalah sekolah kalian sudah aku pikirkan sebelumnya! Jadi, semoga—liburan kalian menyenangkan! Manajer Han, bagi tiket mereka masing-masing!" titahnya dan berlalu begitu saja.

"Manusia keparat!" umpat Seungchol tanpa peduli jika kini ia menjadi pusat perhatian.

"Hyung—sudahlah hyung, tidak ada gunanya kau mengumpatnya seperti itu! Biarkan saja, ia tersenyum senang saat ini! Tidak ada gunanya kita menggubrisnya!" lerai Minghao mengelus punggung Seungchol. Seungchol menatapnya, kemudian ia hanya mengangguk. Sementara, tak jauh dari jarak Seungchol, Jeonghan yang melihat interaksi Minghao dan Seungchol tersenyum simpul. Ia senang melihat Minghao yang berusaha untuk menguatkan satu sama lain.

"Apa kita berangkat di jam yang sama?" tanya Mingyu setelah melihat tiket atas namanya.

"Sepertinya yang akan ke pulau Hodo akan berangkat terlebih dahulu!" jawab Jun setelah ia memastikan jam keberangkatan tiket milik Seokmin dan Hansol membuat mereka semua seketika diam.

"Sebaiknya yang akan ke pulau Hodo bersiap sekarang, kita akan berangkat 10 menit lagi!" ujar Wonwoo memecah keheningan. Mingyu, Jun, dan Minghao hanya menganggukkan kepala mereka dan tersenyum canggung pada member yang masih berdiri menatap mereka dengan pandangan iba. Bukankah, ini perpisahan yang menyakitkan.

"Chakkaman!" seru Seungchol menghentikan langkah mereka berempat yang sudah berjalan 1,5 meter di depan mereka. Mereka membalikkan badan mereka bersamaan dan melihat satu persatu member yang mengulas senyum kekuatan pada mereka. "Jaga diri kalian baik-baik—jangan sampai sakit—arraseo? Hubungi kita semua jika sudah sampai disana!" pesan Seungchol mereka berempat mengangguk.

"Nde, pasti hyung! Kalian semua juga jaga diri kalian baik-baik! Anyeong!" pamit Jun melambaikan tangan pada mereka dan berbalik sebelum sebuah suara kembali memanggil mereka hanya saja kali ini adalah suara dari sang maknae.

"Bolehkah, kita berpelukan?" pintanya menahan air mata. Oh, ayolah enam bulan itu bukan waktu yang singkat setelah hampir bertahun-tahun mereka hidup bersama.

Wonwoo yang pertama berjalan mendekatinya dan langsung memeluk maknae kesayangannya itu diikuti Minghao, Jun, dan juga Minghao. Kemudian, member lain ikut memeluk mereka semua dan menyalurkan kekuatan untuk menghadapi kehidupan baru di luar sana.

"Jangan sakit—hiks! Aku sangat merindukan kalian nanti!" Chan yang menjadi center ditengah pelukan mereka mulai terisak hebat.

"Jaga diri kalian baik-baik!" kali ini pesan sang malaikat Jeonghan pada mereka semua tanpa terkecuali setelah mereka semua melepas pelukan mereka.

"Kami pergi hyung!" pamit Minghao mereka semua mengangguk dan saling melambaikan tangan.

.

"Minghao-ya! Kau duduk saja denganku!" pinta Wonwoo saat mereka sudah berada di dalam pesawat mereka.

"Nde—hyung!" Minghao mengangguk dan mendudukkan diri mereka di samping Wonwoo yang duduk di dekat jendela pesawat. Sementara, Mingyu dan Jun masih tertinggal di belakang karena Mingyu meminta untuk ke kamar kecil sebentar ditemani oleh Jun.

"Hyung—apa kau mencemaskan sesuatu?" tanya Minghao. Wonwoo menatapnya datar.

"Sepertinya—kau yang lebih cemas dariku, Minghao!" jawab Wonwoo. Namja manis yang lebih mudah satu tahun dari Wonwoo itu hanya tersenyum kecil.

"Tidak hanya cemas hyung—tapi, aku juga takut!" jawab Minghao jujur.

"Kau tak perlu takut, Minghao—di tempat asing itu apapun yang terjadi kita akan selalu bersama!" yakin Wonwoo. Minghao hanya mengangguk.

"Minghao-ya, apa kau duduk dengan Wonu?" tanya Jun yang tiba-tiba datang mendekati mereka.

"Memangnya ada apa ge?" tanya Minghao. Jun hanya menggeleng.

"Aniya—hanya memastikan!" jawab Jun, kemudian duduk di belakang Wonwoo dan Minghao. Mingyu yang baru saja datang juga akan menegur Wonwoo dan Minghao karena jujur saja ia ingin duduk dengan Wonwoo dari awal dan sepakat dengan Jun yang juga ingin duduk dengan Minghao. Namun, dengan sigap Jun langsung menahan tangan Mingyu dan menggeleng padanya.

"Duduk saja disini!" titah Jun. Mingyu ingin melontarkan protes. "Kita sudah sulit berada disini! Jangan menambah lagi kesulitan itu!" lanjut Jun dingin yang mau tidak mau akhirnya dituruti oleh Mingyu.

.

"Apa tidak apa-apa, kalian berempat disini?" tanya Jeonghan mencemaskan sisa member yang keberangkatannya ternyata di tunda hingga satu jam lagi.

"Gwenchana hyung! Kau tidak perlu cemas, kami tidak sendirian disini! Lebih baik, kalian semua segera bersiap—bukankah 15 menit lagi kalian sudah akan berangkat?" tanya Jihoon.

"Hajiman—"

"Gwenchana, hyung! Cepatlah, kalian bisa tertinggal nanti!" lanjut Soonyoung ikut menenangkan.

"Apa benar tidak apa-apa?" tanya Seungkwan kembali memastikan.

"Gwenchana Seungkwan-ah! Kita baik-baik saja! Cepat pergi sana!" usir Jihoon dengan senyuman manisnya. Seungchol, Jisoo, Jeonghan, Seungkwan, dan Hansol hanya mengangguk kecil dan membalas senyuman manis Jihoon.

"Hubungi kami—jika kalian sudah sampai disana!" ingat Seungchol. Mereka semua hanya mengangguk.

"Hati-hati hyung!" keempatnya melambaikan tangan mereka saat 95line bersama 98line melangkah semakin jauh dari jarak mereka. Sesekali dapat mereka lihat saat Jeonghan kembali menoleh ke belakang untuk menatap mereka.

"Huft!" Jihoo menarik nafas beratnya.

"Gwenchana hyung?" tanya Chan.

"Gwenchana Chan-ie... apa kau lapar?" Jihoon balik bertanya. Chan hanya mengangguk dan kembali memainkan ponselnya.

"Apa yang harus kita lakukan untuk menunggu satu jam ke depan?" tanya Seokmin yang tak diindahkan oleh mereka semua. Semuanya kalut dengan ponsel yang berada di tangan mereka. Seokmin mengintip satu persatu, semuanya sama—menatap wallpaper Seventeen lengkap dengan 13 member. Seokmin menundukkan kepalanya dan menompang dagu.

"Apa bisa aku hidup tanpa mengeluh?" batin Seokmin kalut.

.

Jeonghan mencoba untuk menahan dirinya agar tetap menjaga jarak dengan Seungchol seperti saat sudah berada di dalam pesawat mereka ini. Jeonghan memilih untuk duduk di seberang bagian tengah pesawat, itu pun kursi yang paling pinggir. Sementara Seungchol sudah mendudukkan dirinya di kursi dekat jendela.

"Hyung—apa kalian berdua baik-baik saja?" tanya Sengkwan. Jeonghan dan Seungchol yang merasa ditanya langsung menatapnya secara bersamaan.

"Mwoya? Tentu saja—baik-baik saja! Ada apa Seungkwan-ie?" tanya Jeonghan. Seungkwan menggeleng bingung.

"Ani-hyung! Aku duduk di sampingmu-nde?" tawar Seungkwan. Dengan senang hati Jeonghan mengangguk dan langsung menarik tangan Seungkwan.

Tersisalah, Jisoo dan Hansol yang melihat heran kedua hyung tertua mereka yang tidak terlihat seperti biasanya itu.

"Aku rasa mereka sedang bertengkar hyung—" bisik Hansol. Jisoo hanya tersenyum tak peduli.

"Biasa, orang tua memang selalu salah paham!" jawab Hansol.

"Hansol-ah! Kenapa kau berdiri saja? Cepat duduk disini!" titah Seungchol kemudian memalingkan wajahnya menatap pemandangan lewat jendela pesawat.

"Hyung, aku rasa aku akan menjadi pelampiasannya! Tolong aku—hyung..." pinta Hansol yang mau tidak mau duduk di samping kursi milik Seungchol.

Jisoo hanya terkekeh dan beralih duduk di samping Seungkwan yang tengah melontarkan beberapa lelucon pada Jeonghan. Jisoo menundukkan kepalanya serta meraih ponsel yang berada di saku mantelnya menatap foto seseorang yang menjadi wallpapernya. Seseorang yang sebenarnya diam-diam dicintainya.

.

.

.

.

.

.

Wonwoo, Jun, Mingyu, dan Minghao menarik koper mereka masing-masing setelah hampir 2 jam perjalanan.

"Kita akan kemana sekarang?" tanya Mingyu.

"Entahlah, apa mungkin akan ada yang menjemput kita disini? Orang keparat itu bahkan tak mengatakan dimana alamat kita tinggal!" jawab Jun mengedarkan pandangannya di sekitar bandara.

"Bagaimana jika kita keluar dari bandara ini—mungkin saja, kita mendapat petunjuk!" usul Wonwoo yang disetujui anggukan dari mereka.

"Bandara ini penuh dengan banyak turis. Sedikit sekali orang Korea-nya!" Mingyu kembali berkomentar.

"Mungkin, karena pulau ini tempat wisata!"jawab Minghao asal. Kini, mereka sudah berada di parkiran mobil bandara. Jun meraih ponselnya untuk mendial seseorang, namun sayang yang ada ternyata tidak sesuai harapannya.

"Tidak ada sinyal?" Jun mengetuk-etuk ponselnya di udara bahkan hampir saja ia akan membantingnya. Melihat ekspresi Jun yang begitu cemas, Wonwoo dan Mingyu ikut mengeluarkan ponsel mereka.

"Aigoo—bahkan punyaku juga tidak ada ponselnya hyung, bagaimana ini?" tanya Mingyu cemas. "Bagaimana denganmu-hyung?" tanya Mingyu pada Wonwoo. Wonwoo hanya menggeleng sebagai jawaban.

"Minghao—apa ponselmu ada sinyal?" tanya Jun. Minghao mempoutkan bibirnya.

"Baterai ponselku habis ge!" jawab Minghao.

"Lalu, bagaimana sekarang?" tanya Wonwoo.

"Aku tahu kenapa kita dikirim ke pulau ini, karena pulau ini pasti tidak ada jaringan teleponnya! Huft! Sungguh, jika sudah sampai Seoul, aku akan membunuh tua bangka itu!" kesal Mingyu. "Bahkan, kita tidak tahu—akan tinggal dimana!"

"Hey!" keempatnya menoleh bersamaan saat mendengar seseorang yang melambaikan tangannya pada mereka. Mereka saling berpandangan dan berfikir apa ada orang yang mengenali mereka di pulau terpencil seperti ini? Orang itu berlari dan menghampiri keempatnya.

"Kalian berasal dari Seoul?" tanyanya. Keempatnya hanya mengangguk. "Aku mencari kalian sedari tadi! Aigoo—aku benar-benar lelah!" orang itu menentralkan nafasnya. "Kajja—ikut aku! Kalian akan aku antar ke rumah baru kalian!" ajaknya.

"Apa anda suruhan dari sajangnim Kang Tae Hwang?" tanya Jun memastikan.

"Nde—tentu saja! Kajja—kita berangkat sekarang!" ajaknya lagi. Mereka hanya diam dan membuntuti pria paruh baya itu berjalan menuju parkiran di belakang parkir mobil. Mereka sempat terkejut saat ternyata pria itu berjalan menuju salah satu kendaraan besar yang memiliki bak terbuka di belakangnya dan beroda enam yang bisa disebut dengan truk. Mereka menatap truk yang berdiri gagah di belakang mereka. Ini mimpi buruk, benar-benar sangat buruk.

"Kenapa kalian diam saja? Cepat naiklah! Kalian buka saja kuncinya di belakang!" ujar pria itu memasuki truk-nya di kursi kemudi. Mereka berempat saling berpandangan.

"Jangan banyak komentar, kajja!" himbau Jun berjalan mendahului mereka ke belakang truk dan membuka pengaitnya. Jun menaikkan kopernya dan setelah itu dia sendiri yang naik ke dalam bak truk tersebut. "Berikan padaku, koper kalian! Setelah itu aku akan membantu kalian untuk naik!" ujar Jun. Mereka menurut dan memberikan koper mereka masing-masing pada Jun. Setelah keempat koper itu berhasil duduk dengan tenang di dalam truk yang separuhnya penuh dengan jerami itu, Jun mengulurkan tangannya pada ketiga dongsaengnya.

Minghao yang menerima uluran pertamanya dan naik ke dalam truk tanpa masalah.

"Kau dulu saja hyung!" titah Mingyu pada Wonwoo. Wonwoo hanya mengangguk.

Wonwoo menerima uluran tangan Jun namun sebelum ia berhasil mengangkat satu kakinya untuk naik ke dalam truk tiba-tiba saja truk bergerak maju dan membuat sontak Wonwoo terlepas dari genggaman tangan Jun dan berakhir terjatuh di depan Mingyu.

"Wonwoo / Wonwoo hyung!"

TBC

Anyeong reader tercinta! Adakah, yang nunggu fict ini? Jee harap lanjutannya enggak mengecewakan ya...

Kalau misalnya ada yang keberatan sama jalan cerita, mau pengen ada moment apa, atau pengen ada apanya atau kurang mengena sama kalimatnya langsung aja tulis di kolom review. Pesan dan saran sangat diterima.

Makasih yang sebelumnya udah review di chap sebelumnya. Special thanks to:

Xoxoexo12 | lovecircles | Khasabat04 | itsathenazi | zahra9697 | Zizizvt

Ada kemungkinan mungkin mulai chap depan, satu chap cuman nyeritain salah satu dari mereka. Yang mau request, chap depan mau siapa dulu juga boleh. Mau, rombongan 95line+98line, atau yang couplenya udah jelas Meanie sama Junhao, atau keluarga baru Lee minus Kwon, kkkk. Kamsahamnida reader deul. Selalu minta next dan respon positif di ff Seventeen pertama aku ini.

See you in next chapter.

Anyeong!