VI

It's Called Life

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Warning : Typo (nggak sempet ngedit gara2 malas), gaje (idenya berubah-ubah), rate M (hanya menjurus), CRACK PAIR (I love crack pair), I f youDont like (it's oke), If you like (let's be friend) dll

.

.

.

"Hampir satu jam mereka belum kembali," Shikamaru mengamati jam di pergelangan tangannya. Tidak jelas kepada siapa dia berucap. Steak yang sudah terhidang di hadapannya dibiarkan mendingin. Sekarang bukan saatnya makan, tegasnya dalam hati.

"Benar. Aku mencemaskan Hinata chan, dia kan tidak seperti Sakura." Kiba menanggapi lalu menandaskan minuman yang berada di gelasnya dalam satu kali teguk.

"Apa aku perlu memeriksa keadaan mereka?" Shino menawarkan diri.

"Tidak perlu. Itu hanya akan mengacaukan rencana awal. Lebih baik kita tunggu saja disini." Shikamaru bersuara. Dia tahu Sasuke tidak akan mengubah keputusan hanya karena rasa kasihan. Diliriknya Sasuke yang sedang mengamati meja yang tak jauh dari mereka. Oonoki dan Hiruzen Sarutobi. Dua orang tua yang memiliki pengaruh dan mereka berada dalam satu meja. Hal itu berarti mereka memiliki kerjasama yang tidak bisa diremehkan. Sepertinya penyelidikan Karin memang tepat, batin Shikamaru.

"Haah, semoga Hinata chan baik-baik saja." Kiba menghela nafas.

Pletak. Shino menggeplak kepala Kiba. "Aaauuw."

"Kau meremehkan kemampuan Sakura, hah?"

"Bukan begitu..." Kiba menggaruk ujung hidungnya yang tidak gatal. Dia kesulitan menjelaskan apa yang dia maksud.

Sasuke tidak mengeluarkan pendapat apapun. Keputusannya sudah bulat dan tidak akan berubah. Tatapan mata Sasuke mengarah pada meja yang berada di tempati Oonoki dan Sarutobi. Sesaat tatapan mereka beradu. Kedua orang tua itu serentak mengangkat gelas berisi wine kearah Sasuke. Seakan mengucap salam dari jauh.

"Kau akan menyapa mereka?" tanya Shikamaru.

"Tentu saja, aku sudah menunggu kesempatan ini sejak lama." Sasuke beranjak dari tempatnya.

...

Choujuro menarik Hinata agar mengikutinya. "Ayo pulang,"

"T-ti-dak.." Hinata memberanikan diri bersuara. Dia segera menarik tangannya. Perlahan Hinata mundur menjaga jarak dari Choujuro. Membuat kursi yang dia duduki terjengkang ke belakang. "A-aku..ti-dak m-mau." Ingin sekali dia berlari sejauh mungkin dari jangkauan Choujuro.

"Ada apa Hinata?" Suara lembut Choujuro semakin membuat Hinata mundur. Pandangan mata Hinata semakin buram tertutup air mata yang semakin deras keluar.

"Kau.. sudah berubah.. ," Desisan Choujuro membuat Hinata menggelengkan kepalanya takut. "Aku tidak akan melepasmu!" Nada suara Choujuro meninggi.

Dengan tidak sabar Choujuro meraih lengan Hinata lalu mencengkeram erat. "Setelah menjadi pelacur si brengsek Uchiha, kau berani menentangku sekarang? "

Tangan Choujuro beralih dari lengan menuju rambut Hinata. Ditariknya rambut Hinata untuk mengikutinya ke tempat parkir. Hinata berteriak kesakitan sambil menangis. Rambut yang tadinya tersanggul rapi kini berantakan.

Sakura menghela nafas dari tempatnya berdiri. Sedari tadi dia hanya mengawasi tanpa bisa berbuat apapun. Tangannya sudah gatal ingin menghajar lelaki yang kurang ajar di depannya. Namun, dia harus mengikuti rencana yang telah Sasuke buat.

Sakura mengeluarkan ponselnya mendial nomor yang berada diurutan teratas. Setelah beberapa detik panggilan tersambung.

"Hinata sudah dibawa Choujuro," Sakura menyandarkan punggungnya di tembok. Matanya melihat kearah sosok Hinata yang menghilang.

"Baik, aku mengerti." Sakura menutup panggilan itu. Dia berjalan pelan menyusuri taman yang dilewati Hinata dan Choujuro.

...

Itachi kalah jumlah dengan anak buah Danzo. Walau sempat unggul namun, menghadapi beberapa orang membuat tenaganya terkuras. Tubuhnya mendapat banyak luka. Bahkan dirinya sudah tidak mampu berdiri.

"Kau akan tamat disini seperti sepupumu Obito. Ha ha ha" Danzo yang berjongkok di depan Itachi tergelak senang. Satu lagi Uchiha akan mati di tangannya. "Tapi melihat kau mati dengan mudah, membuatku kurang puas." Danzo memberikan tanda kepada anak buahnya untuk mendekat. "Bawa dia keluar."

Serentak anak buah Danzo menyeret Itachi ke luar rumah Obito. Darah yang keluar dari tubuh Itachi meninggalkan warna merah pada lantai. "Gantung dia dengan posisi terbalik. Aku ingin melihat dia mati perlahan ha ha ha ha."

Anak buah Danzo menggantung Itachi di pohon sakura yang berada di halaman depan rumah Obito. Itachi yang sudah tidak mampu bergerak membuat anak buah Danzo lebih mudah mengerjakan perintah tuannya. Danzo mendekati Itachi dan berbisik di telinganya. "Kira-kira apa yang harus aku lakukan dengan calon penerusmu, Itachi?"

Mata Itachi terbelalak mendengar bisikan Danzo. Dengan sekuat tenaga Itachi bersuara, namun yang keluar hanya desisan. Melihat itu Danzo tertawa semakin keras.

"Aku akan membuat kalian berkumpul di alam baka." Danzo dan anak buahnya meninggalkan Itachi sendirian.

...

Choujuro menghempaskan Hinata ke jok belakang mobilnya lalu dia duduk disamping Hinata. Sopir yang sudah menunggu langsung tancap gas begitu sang tuan memerintahkan meninggalkan acara.

"Aku sudah tidak sabar membawamu pulang, Hinata sayang." Choujuro tertawa keras.

'Tolong.. aku,' teriak batin Hinata.

Mobil yang membawa Hinata sudah melewati pintu gerbang. Sakura menghentikan taxi yang kebetulan lewat di depannya. Dia memberi instruksi sopir taxi untuk mengikuti mobil yang ada di depan mereka.

Sakura duduk dengan tenang sambil memperhatikan mobil yang berada di depannya. "Kau punya korek api?"

Pengemudi taxi yang masih berusia muda itu melirik dari kaca spionnya. "Maaf saya tidak punya."

Sakura berdecih kesal. "Payah," gumamnya.

Sakura membuka clutch yang dibawanya. Mengeluarkan semua isinya. Berupa sebilah pisau lipat kecil, ponsel dan uang tunai. Sakura menyimpan ponselnya di dalam branya. "Fokus lihat ke depan. Jangan sampai pisau lipat ini menancap ke matamu." ucap Sakura saat memergoki pengemudi taxi memperhatikan dirinya lewat kaca spion. Sakura membuat belahan sepanjang paha pada gaunnya dengan menggunakan pisau lipat. Akan merepotkan kalau harus bertarung dengan menggunakan gaun panjang.

Mobil yang membawa Hinata berhenti di depan sebuah rumah besar bergaya tradisional jepang. Taxi yang Sakura tumpangi ikut berhenti dengan jarak yang aman. "Kau tunggu disini," Sakura berpesan sebelum keluar dari taksi. "Oh iya, kau tau Uchiha?"

Sopir taxi itu mengangguk takut. Uchiha mana yang tidak asing. Firasatnya mengatakan kalau dia telah salah menerima penumpang. Sakura tersenyum menang, "Nah, jangan sampai beranjak sebelum aku kembali. Kalau tidak mau berurusan dengan Uchiha."

Pengemudi taksi itu kembali mengangguk. "Bagus," Sakura melenggang meninggalkan taksi.

...

Sasuke bersama Shikamaru menghampiri Oonoki dan Sarutobi. Mereka berdua dipersilahkan duduk. Basa-basi mereka lakukan demi formalitas.

"Sungguh suatu kehormatan dapat bertemu anggota keluarga Uchiha disini," Oonoki berucap. Diangguki oleh Sarutobi. "Bagaimana keadaan Uchiha yang lain?"

"Sepertinya kau lebih mengetahuinya." Sasuke menatap dua orang tua di depannya bergantian. Dia merasa tidak perlu menunjukkan sedikitpun rasa hormat kepada Oonoki dan Sarutobi.

"Apa maksudmu, nak?"

"Tidak usah berbasa-basi. Kalian pasti merasa menang dengan keadaan Uchiha saat ini." Sasuke menjawab dengan tenang.

Sarutobi mendengarkan percakapan Oonoki dan Sasuke dengan cermat. Dia tidak ingin salah mengambil langkah dalam menghadapi Uchiha Sasuke. Dilihatnya ekspresi Oonoki yang berubah waspada mendengar ucapan Sasuke. Dari jauh hari dia dan Oonoki sudah mempersiapkan strategi untuk menghadapi anggota keluarga Uchiha yang datang di pesta Akatsuki.

"Kami?"

"Lebih baik katakan siapa yang membunuh Izuna? Kau atau kau" Sasuke menunjuk Oonoki dan Sarutobi bergantian. "Atau kalian berdua?"

Oonoki tertawa. Dia tidak menyangka Sasuke tanpa basa-basi akan menanyakan hal itu disini. "Kalau kami beritahu siapa pelakunya. Apa yang akan kau lakukan?"

"Akan ku bunuh dengan tanganku."

Keheningan menyelimuti mereka –walaupun suasana pesta masih ramai- setelah Sasuke mengucapkan kata 'bunuh'. Shikamaru menyalakan rokok untuk mengusir kebosanan. Dari tadi dia hanya diam di samping Sasuke. Dia bersiap untuk menghentikan Sasuke kalau dia lepas kendali dan mengacaukan rencananya sendiri. Shikamaru menyadari tangan Sasuke mengepal erat tanda dia berusaha untuk meredam amarahnya.

Sarutobi berdeham mengalihkan keheningan. "Uchiha memang hebat." Sarutobi mengangkat gelasnya. "Apa kau sudah mendengar kabar Tobi saat ini?"

Shikamaru menegakkan badannya. Dia baru tersadar mereka melupakan kemungkinan lain. Sasuke yang berada disampingnya masih berusaha menahan diri.

"Mungkin saja saat ini dia sudah mati." Imbuh Sarutobi.

Braak. Sasuke menggebrak meja. Gelas dan piring berdenting karena kerasnya gebrakan Sasuke. Membuat orang-orang yang duduk tidak jauh dari mereka, memperhatikan dan berbisik-bisik. "Kau-" Kesabaran Sasuke menguap mendengar perkataan Sarutobi.

"Sasuke.." Shikamaru mencoba menenangkan Sasuke. Namun, Sasuke lebih dulu meraih kerah Sarutobi. Tindakan Sasuke yang tanpa aba-aba itu membuat anak buah Sarutobi mengacungkan senjata api ke arah mereka. Kejadian itu sontak membuat musik yang menjadi pemeriah pesta berhenti. Semua tamu memandang ke memandang kearah mereka.

"Peluru mereka lebih cepat dari pukulanmu, nak." Sarutobi lagi-lagi tergelak.

"Hei, apa yang terjadi disini?" Pein mendekati mereka dan melepaskan cengkraman Sasuke. "Bisakah kalian tidak mengacaukan pestaku tuan-tuan?" Dia memberi isyarat agar anak buah Sarutobi menurunkan acungan senjata api mereka.

"Tuan Sarutobi dan Uchiha Sasuke, saya minta kalian menahan diri. Ini pesta penting bagi Akatsuki dan tamu-tamu disini bukan orang sembarangan. Jadi saya berharap kalian menghormati mereka. Dan kau Uchiha Sasuke, aku ingin berbicara denganmu."

Pein mengucapkan permintaan maaf atas kekacauan kepada tamu yang lain lalu melanjutkan pestanya. Setelah itu dia mengajak Sasuke untuk keruang lain, diikuti Shikamaru.

"Perintahkan Kiba dan Shino ke Iwa." Sasuke berbisik di samping Shikamaru.

...

Sakura berhasil masuk ke rumah Choujuro disaat yang tepat. Dia hanya perlu melumpuhkan pria yang menjaga gerbang dan sopir Choujuro. Rumah besar milik Choujuro tidak memiliki penjaga seperti yang Sakura bayangkan tadi. Sakura berjalan menyusuri tiap ruangan mencari keberadaan Hinata. Sakura berhenti sejenak, sayup-sayup mendengar teriakan Hinata. "Hinata." Sakura berjalan cepat menuju sumber suara.

Choujuro mencengkeram dagu Hinata yang duduk terikat di dalam kamarnya. Wajah mereka berhadapan dengan jarak hanya sejengkal. "Beraninya kau meninggalkan aku dan menjadi pelacur di klan Uchiha. Kau kira aku akan melepasmu begitu saja."

Choujuro menggeram kesal menunggu tak satupun kata meluncur dari bibir Hinata. Semenjak menginjakkan kaki di rumah ini, Hinata hanya menangis dan berteriak. "Apa mulutmu bisu, hah?" Choujuro menampar pipi Hinata.

"Jadi ini Choujuro?"sapaan dari pintu yang tiba-tiba terbuka mengejutkan Choujuro. Serentak Choujuro dan Hinata menengok kearah suara berasal.

"S-sakura" gumam Hinata. Sementara Choujuro berjalan menghampiri wanita asing yang telah lancang memasuki rumahnya.

"Berani-beraninya kau menginjakkan kakimu disini, jalang." Choujuro bersiap memukul Sakura, namun kalah cepat dengan tangkisan Sakura. "Tentu saja aku berani." Sakura memelintir tangan Choujuro lalu membanting tubuh Choujuro.

"Menyebalkan, hanya sampai disini saja kemampuanmu? Aku bahkan belum mengeluarkan tenagaku."

"Hinata, kau tidak apa-apa?" Sakura menghampiri Hinata dan melepas satu persatu tali yang melilit tangan Hinata.

"S-sakura.."

"Berani-beraninya kau menyusup ke rumahku!" Choujuro mengerang. Dia berusaha berdiri. Mencoba mengabaikan rasa sakit ditubuhnya namun tangannya tak mampu menopang tubuhnya.

"Akh..Jalang brengsek. Aku akan membunuhmu."

Sakura meraih tangan Hinata, "ayo pulang. Abaikan saja orang tidak berguna ini."

Hinata mengangguk sambil mengusap air matanya. Sakura mengelus punggung Hinata. "Suigetsu akan datang mengurus sisanya. Kau sudah aman sekarang."

"Berhenti.. berhenti kubilang. Hinataaaa.. Hinataaa.."

...

Dua minggu kemudian.

Berita kematian anggota Uchiha, Uchiha Obitosudah menyebar luas. Apalagi setelah berselang satu hari tetua Uchiha, Madara ikut menyusul Obito ke alam baka. Kesehatan Madara kian memburuk setelah kejadian jaas yang dialaminya beberapa waktu yang lalu. Ditambah usia yang sudah memasuki waktu senja tidak mendukung pemulihan kesehatannya.

Keadaan Itachi masih bisa dibilang beruntung. Dia terselamatkan oleh Kakashi yang kebetulan berkunjung ke tempat Obito. Saat ini Itachi masih terbaring koma.

Sasuke yang sekarang berada di masion utama keluarga Uchiha memandang kosong pada halaman belakang masion. Matanya menerawang jauh. Otaknya berpikir cara yang paling kejam untuk membalas para pembunuh Uchiha.

"Tuan muda,"

Sasuke menoleh, seorang maid berdiri dengan menundukkan kepalanya. "Nyonya besar memanggil anda di perpustakaan."

"Hm."

Sasuke bergegas menemui sang nyonya besar yang tidak lain adalah ibunya. Tidak biasanya sang ibu memanggilnya dengan menggunakan perantara maid. Pasti ibunya ingin menyampaikan masalah besar. Nyonya Uchiha adalah sosok yang sangat dekat dengan anak-anaknya walaupun usia anaknya sudah tidak lagi muda. Selalu menyempatkan diri berkunjung ke tempat anaknya.

Tiba di ruang perpustakaan, Sasuke melihat sosok sang ibu sedang berdiri memandang keluar jendela dengan tangan membuka buku. Kebiasaan ibunya dirumah selain memasak dan merajut adalah membaca. Ruangan perpustakaan pribadi ini hadiah dari sang suami, Uchiha Fugaku.

"Ibu.."

Sang ibu, Uchiha Mikoto menyuruh Sasuke mendekat lalu bersama-sama duduk di sofa. "Sasuke, seorang ibu pasti ingin hal yang terbaik untuk anak-anaknya, bukan?" Mikoto memulai pembicaraan.

"Ada apa sebenarnya, bu?" Sasuke benci saat melihat sinar kecewa di mata wanita yang telah melahirkannya. Sasuke sudah menduga kemana arah pembicaraan ini berujung.

"Apa gadis yang kau cium saat pemakaman kakek dari Hyuga?"

Dan tepat sesuai dugaan Sasuke. Sewaktu upacara pemakaman Uchiha Madara dan Uchiha Obito semua anggota Uchiha termasuk kelompok Sasuke berkumpul di masion utama Uchiha. Tanpa Sasuke sadari dia tergerak untuk memeluk dan mencium Hinata yang juga datang bersama yang lain. "Iya."

Mikoto menghela nafas. "Sasuke, kau tau kan kalau.."

"Ibu, itu hanya omong kosong." Potong Sasuke. Dia jengah dengan ceramah Uchiha dan Hyuga yang sering dilontarkan. "Itachi seperti sekarang bukan gara-gara kekasih Hyuga-nya. Tapi memang kehidupan kitalah yang seperti itu."

Lagi-lagi Mikoto menghela nafas. Dari dulu sifat keras kepala Sasuke sulit untuk dilawan. "Kau mencintainya, nak?"

Sasuke melihat mata ibunya. "Aku membutuhkan dia,"

"Jangan bilang kalau kau hanya memanfaatkan dirinya untuk urusanmu." Suara Mikoto yang tadinya lembut berubah jadi tegas. "Ibu tidak ingin kau mengusik keluarga Hyuga dengan memanfaatkan putri mereka. Ini masalah serius Sasuke."

"Ibu terlalu berlebihan. Tidak akan terjadi apa pun seperti yang ibu khawatirkan. Aku berjanji."

"Sasuke, kali ini dengarkan ibu. Kau bisa memilih wanita lain yang kau inginkan selain Hyuga. Dia masih terlalu muda untuk kau manfaatkan. Apalagi dia putri dari Hiashi, pemimpin klan Hyuga."

Sasuke tidak heran dengan informasi yang telah ibunya kumpulkan. Uchiha Mikoto memiliki jalur informasi yang tidak diragukan lagi. Bahkan sebagian besar informasi yang masuk ke keluarga Uchiha berasal dari Uchiha Makoto. "Tidak bisa, bu."

"Baiklah, kalau itu maumu. Ibu ingatkan bahwa ayahmu bukan orang yang mudah diajak kompromi. Apalagi saat ini posisi Uchiha sedang sulit sebaiknya kau tidak menambah masalah dengan terlibat dengan Hyuga." Mikoto mengakhiri pembicaraan dengan anaknya yang tidak memiliki titik temu. Dia bangkit dan meninggalkan Sasuke sendirian di perpustakaan.

Sasuke meraih ponselnya.

"Homura. Jangan biarkan Hinata keluar sendirian." titah Sasuke begitu ponselnya tersambung.

...

Shikamaru sudah bersiap di belakang kemudi setelah sesaat lalu Sasuke berkata akan pulang ke markas. Diluar dugaannya, mereka hanya menghabiskan waktu sekitar dua minggu disini. Seharusnya masih ada yang harus mereka kerjakan sambil menanti Itachi pulih.

Suigetsu yang berada disamping Shikamaru bersenandung dengan sekali-kali mengasah katana pendek miliknya. "Shikamaru, kenapa tiba-tiba kita harus kembali? Bukankah kita masih punya urusan disini?" Suigetsu menyuarakan pikiran yang sama dengan Shikamaru.

"Entahlah... " Shikamaru mengangkat kedua bahunya. Karena memang nyatanya dia juga penasaran.

Suigetsu berdecak. "Sasuke lama sekali."

"Dia sudah keluar dari pintu samping." Shikamaru memundurkan mobil begitu melihat sosok Sasuke dari kaca spion.

Sasuke mengetuk jendela pintu kemudi menyuruh Shikamaru keluar. "Perubahan rencana. Kalian akan disini selama Itachi belum sadar. Aku akan kembali sendiri."

"Lebih baik salah satu dari kami ikut pulang bersamamu. Terlalu beresiko. Kemungkinan besar komplotan Danzo masih menunggu kesempatan." ucapan Shikamaru diangguki setuju oleh Suigetsu. Sasuke adalah ketua mereka. Tentu saja mereka tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa Sasuke.

"Tidak akan terjadi apapun." Sasuke bersikeras. "Pihak luar Uchiha mulai terkena dampak dari kematian kakek. Kemungkinan besar dalam satu minggu ini tidak akan ada pergerakan dari mereka."

Keputusan final Sasuke membuat Shikamaru dan Suigetsu hanya mengangguk patuh. Mereka masih punya tugas yang harus diselesaikan di masion utama Uchiha.

...

Homura menuangkan teh yang masih panas ke cangkir Hinata. Akhir-akhir ini Hinata lebih sering duduk melamun di taman sambil meminum teh. Sesekali ditemani Sakura kalau dia tidak sedang sibuk di rumah sakit. Kadang Homura juga ikut menemani seperti saat ini. Sudah hampir satu jam Homura hanya duduk menemani Hinata tanpa bercakap-cakap sambil sesekali mengisi cangkir yang sudah kosong.

"Terima kasih, Homura." hanya kata-kata itu yang memecah kesunyian merekan. Hinata meraih cangkir tehnya dan menggenggam dengan erat. Menyalurkan hawa panas dari cangkir ke telapak tangannya. Udara di luar memang agak dingin ditambah angin yang tidak henti berhembus sejak matahari tenggelam.

"Sebaiknya kau segera masuk kedalam. Udara diluar sangat dingin. Tuan Sasuke bisa marah kalau sampai kau terkena demam. Lagipula hari sudah gelap." Homura merekatkan kemeja lengan panjangnya. Dia berharap Hinata mau menuruti kata-katanya. Kalau terjadi apa-apa dengan Hinata nyawanya bisa terancam.

Hinata menggeleng. "Aku masih ingin menikmati angin disini."

"Baiklah, kalau begitu saya akan menemani."

"E-eh. Itu tidak perlu. Aku ingin sendirian disini." Hinata tidak ingin merepotkan Homura yang harus menyiapkan makan malam dengan menemaninya duduk-duduk santai.

"Apa yang kalian lakukan?" Hinata dan Homura menoleh ke belakang bersamaan. Sosok Sasuke berdiri dengan bersedekap di ujung serambi. Homura sedikit membungkuk memberi hormat kepada tuannya.

"Sasukee.." Hinata meloncat memeluk Sasuke.

"Tadaima," bisik Sasuke.

"Okaeri." Jawab Hinata dengan nada riang. Homura tersenyum melihat Hinata kembali ceria seperti semula. Setelah membereskan cangkir dan teko teh, Homura meninggalkan mereka berdua yang masih berpelukan.

"Tubuhmu dingin sekali." Sasuke mengeratkan pelukannya. Dia membawa tubuh kecil Hinata dalam gendongan. "Kita lanjutkan di dalam." Hinata mengangguk.

Hinata mengalungkan tangannya di leher Sasuke. Dalam gendongan Sasuke, Hinata menceritakan hal-hal yang Sasuke lewatkan selama dia absen. Ditanggapi oleh Sasuke hanya dengan gumaman tidak jelas seperti biasa.

"Hei, Kapan kau kembali? Mana yang lain?" Sakura yang baru datang menyapa Sasuke. Alih-alih menjawab, Sasuke memilih terus berjalan menuju lantai dua. Mengabaikan Sakura yang menunggu jawabannya.

"Apa kata-kataku kurang keras?" Sakura bergumam sendiri. Homura yang kebetulan mendengar tersenyum kecil. Bukan kata-kata Sakura yang kurang keras, hanya saja eksistensi Hinata yang membuat Sasuke mengabaikan hal disekitarnya.

Begitu sampai di kamar, Sasuke menurunkan Hinata dari gendongannya dan membaringkan di tempat tidur. Sedangkan Sasuke menjatuhkan dirinya sendiri disamping Hinata. "Kau sudah makan?" Hinata memiringkan tubuhnya.

Sasuke menarik pinggang Hinata lebih dekat. "Menurutmu saat seperti ini aku bisa memikirkan soal makan?" Sasuke mencium potongan leher Hinata.

"M-Mung-kin, ah" Hinata mendesah kala tangan Sasuke mulai menyentuh tubuhnya. Sasuke mulai menindih tubuh dan menciumi wajah Hinata. "S-sa-su Sasuke, tu-tunggu." Hinata menahan dada Sasuke dengan kedua tangannya.

"Hn?"

"A-ku sedang...datang bulan," Hinata berbicara lirih. Wajah Hinata bersemu merah. Membicarakan hal seperti itu cukup memalukan. Apalagi dengan Sasuke yang merupakan lelaki dewasa. Walau mereka sudah sering melakukan hal yang lebih dari sekedar ciuman namun topik tentang datang bulan tetap saja memalukan. Tangan Sasuke mengarah ke paha dalam milik Hinata. Dia ingin memastikan sendiri.

Sesaat Hinata melihat raut kecewa Sasuke. Perlahan Sasuke menjatuhkan diri di samping Hinata. "Sudah berapa hari?"

Hinata sempat terbengong sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Sasuke, "Eh, tiga hari. Maaf" Biasanya Sasuke tidak berkomentar apapun.

"Sudahlah. Aku lapar,"

"Akan aku siapkan," Hinata segera beranjak keluar kamar.

Bertepatan dengan pintu tertutup, ponsel Sasuke berdering. Dengan malas Sasuke meraih ponselnya. Setelah melihat nama di layar umpatan kesal meluncur dari mulut Sasuke.

"Ada perlu apa, brengsek?"

'Apa aku mengganggu?'Suara dari seberang tertawa kencang.

"Tidak usah basa-basi."

'Baiklah, aku tunggu kau di Uzu. Aku punya informasi tentang Danzo.'

Mendengar kata Danzo, serapah yang hampir meluncur dari mulut Sasuke tertelan kembali. Seorang Naruto yang memiliki ego tinggi dengan mudahnya memberikan informasi yang dia butuhkan. Dalam hati Sasuke memuji pengaruh Karin dalam diri Naruto.

"Malam ini aku akan kesana."

'Baiklah. Jangan sampai terjadi sesuatu sebelum tiba disini.' Lagi-lagi Naruto tertawa sebelum memutus sambungan teleponnya.

...

Hinata berjalan tergesa menuju kamar, dia tidak ingin membuat Sasuke kecewa untuk kedua kalinya. Hanya membawa senampan makanan bukan lah hal yang sulit. Berusaha agar cepat namun tidak membuat makanan yang sudah disiapkan oleh Homura tidak berantakan.

Homura yang berniat membantu membawakan ditolak Hinata dengan alasan tidak ingin merepotkan. Padahal Hinata ingin berduaan dengan Sasuke lebih lama. Karena Sasuke pasti akan sibuk dengan urusannya lagi. Lagi pula semenjak kejadian di pesta Akatsuki, Hinata belum berterima kasih atas bantuan Sasuke mengirim Sakura untuk menyelamatkannya. Dia tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau Sakura tidak datang. Hidupnya akan seperti dulu lagi. Terbelenggu dalam ketakutan.

Begitu kembali ke kamar, Hinata tidak menemukan sosok Sasuke. Hanya suara shower yang menyala di kamar mandi. Hinata meletakkan nampan di atas meja di pojok kamar lalu menyiapkan pakaian santai yang biasa dipakai Sasuke.

"Siapkan pakaian yang lain. Aku akan pergi malam ini." kata Sasuke yang baru keluar dari kamar mandi.

"Lagi?" ucap Hinata lirih. Belum sampai satu jam, Sasuke akan pergi lagi. Hinata ingin mengucapkan keberatannya, hanya saja dia takut akan reaksi Sasuke. Bisa saja Sasuke malah membuatnya menyesal karena telah berucap. Dia menundukkan wajahnya.

"Mau ikut?"

Hinata menatap Sasuke tidak percaya. Dengan semangat Hinata menganggukkan kepalanya.

Sasuke mengusap kepala Hinata lalu mendaratkan ciuman dibibir.

"Panggil Sakura ke ruang kerjaku."

"Baik, tapi kau harus menghabiskan makananmu dulu, oke!" Kata Hinata sebelum meninggalkan Sasuke. Lagi-lagi Sasuke memberikan ciuman di bibir yang membuat Hinata tersenyum senang.

Ajakan Sasuke membuat hatinya berbunga-bunga. Ini bukan pertama kalinya mereka pergi bersama. Namun biasanya Sasuke memerintahkannya dan harus dituruti. Beda dengan kali ini. Hinata merasa kalaupun dia menjawab tidak ikut Sasuke tidak keberatan. Tapi mana mungkin Hinata menjawab tidak untuk Sasuke.

Sesampai di lantai bawah Hinata mencari-cari Sakura. Hanya ada Homura yang membereskan meja makan. "Dimana Sakura?"

"Di kamar Sai," jawab Homura tanpa mengalihkan pandangan dari pekerjaaannya.

Sai, dua hari setelah kejadian penembakannya dia dibawa kembali ke markas. Sakura lah yang bertugas merawat luka-lukanya hingga sembuh.

"Sakura," Sapa Hinata begitu membuka pintu kamar Sai. Sakura terlihat membuka perban di tubuh Sai. Walau sudah beberapa minggu beberapa luka masih basah. Dan Sakura selalu memastikan agar tidak terjafi infeksi.

Sejenak Sakura menghentikan gerakannya, "Oh, Hinata chan. Ada apa?" Sakura kembali berkonsentrasi.

"Sasuke, menunggumu di ruang kerja,"

"Pasti ada hal yang merepotkan." Sakura mendengus. "Sampai-sampai Sasuke membiarkanmu keluar kamar secepat itu."

Perkataan Sakura membuat wajah Hinata memerah. Hinata bisa menebak kata-kata Sakura.

"Mungkin Sasuke lelah," timpal Sai disertai tawa cekikikan.

"Aku tidak yakin. Sasuke tidak akan mampu menahan diri di dekat Hinata." Sakura ikut tertawa. Mereka membicarakan Sasuke seolah Hinata tidak ada di sana.

"Aa-aku permisi." Hinata akan semakin malu kalau berlama-lama bersama mereka.

Hinata menghampiri Homura yang belum selesai dengan pekerjaan dapurnya.

"Duduk saja di sana, Hinata chan. Aku akan menyiapkan makan malammu."

...

Begitu Sakura sampai di ruangan kerja, Sasuke sudah menunggunya. Sasuke sedang berbicara dengan seseorang melalui ponsel. Sakura menarik kursi di depan meja kerja sambil menunggu Sasuke selesai dengan ponselnya.

"Ada masalah yang penting?"ucap Sakura begitu Sasuke duduk di depannya.

"Aku akan ke Uzu, sekarang."

"Uzu? Apa kau gila? Kau percaya dengan Naruto dan Karin begitu saja?" Sakura menggeleng. "Tidak bisa, Shikamaru tidak ada di sini. Siapa yang akan menemanimu kesana? Aku tidak setuju. Bisa saja ini jebakan."

"Dobe memiliki informasi tentang Danzo."

"Danzo adalah ayah Karin, kalau kau lupa. Mana mungkin seorang anak akan mengkhianati orang tuanya sendiri." Sakura kekeuh menolak kepergian Sasuke.

"Karin hanya anak angkat." Sasuke mengkoreksi. Berdebat dengan Sakura hanya akan menghabiskan kesabarannya. "Kalaupun itu jebakan, aku sudah menyiapkan antisipasi."

"Jangan-jangan.." Sakura menggantungkan ucapannya. Dia berharap jawaban Sasuke berbeda dengan yang dipikirkannya.

"Tepat seperti yang kau pikirkan." Bibir Sasuke tertarik ke atas.

"Sialan ! Kau gila, Sasuke." Sakura berdiri dan menggebrak meja di depannya. "Apa tidak bisa kau mencari cara lain selain Hinata." Suara Sakura meninggi. Sasuke membuatnya kesal dengan idenya yang melibatkan Hinata.

"Ini lah hidup Sakura, memanfaatkan yang bermanfaat." Dengan tenang Sasuke meladeni amarah Sakura.

"Kau..." Sakura kembali duduk. "Kau benar-benar keterlaluan kali ini. Aku ikut kalian untuk memastikan Hinata baik-baik saja."

"Tidak. Kau harus disini. Ibuku pasti akan segera datang ke sini mencari informasi tentang Hinata."

"Perintahmu selalu saja menyebalkan. Lebih baik aku menghajar lima orang bersamaan daripada bertemu ibu suri." Kelompok Sasuke selalu menjuluki nyonya besar Uchiha dengan ibu Suri. Walaupun tidak memiliki kemampuan bela diri, namun Uchiha Makoto lihai dalam bertutur kata untuk memojokkan lawan bicaranya.

"Aku mengandalkanmu." Sasuke menepuk pundak Sakura sebelum keluar dari ruang kerja.

...

Sasuke menuruni tangga, menghampiri Hinata yang masih asyik menyendok sup di hadapannya.

"Kau sudah selesai?" tanya Hinata begitu matanya menangkap sosok Sasuke mendekat. Hinata meraih gelas air minum disampingnya. Meloloskan sisa makanan di tenggorokannya.

Sasuke mengangguk, dia memakaikan mantel bulu dan syal untuk Hinata. "Ayo berangkat."

"Iya,"

Hinata bergelayut di lengan Sasuke. Sakura menatap kasihan kepergian mereka. Hinata terlalu polos untuk dimanfaatkan oleh kelompok kata Sasuke, inilah hidup yang sesungguhnya. Saling memanfaatkan.

Kiba membukakan pintu mobil untuk Sasuke dan Hinata. Kiba akan mengantar mereka menuju landasan helipad yang berada di puncak gedung Akatsuki tower. Sasuke akan meminjam helikopter milik Akatsukimenuju Uzu.

Berkat keributan kecil di pesta Akatsuki, Sasuke memiliki akses ke dalam organisasi Akatsuki. Dirinya dan Pein sudah membicarakan beberapa bisnis yang bisa dibilang saling menguntungkan.

"Sasuke, terima kasih."

Dahi Sasuke mengerut tidak mengerti. "Hn?"

"Kau telah menyelamatkanku dari orang itu."

Sasuke menatap ketulusan dari mata Hinata. Dia tidak menyangka Hinata akan berterima kasih dengan sepolos ini. Lama mereka berpandangan dalam diam. Sasuke memutuskan untuk membuang pandangan keluar jendela.

"Harusnya kau berterima kasih pada Sakura."

"Aku ingin berterima kasih kepadamu juga," Hinata menjatuhkan kepalanya di lengan Sasuke.

Dari kaca spion Kiba menahan tawa memperhatikan interaksi keduanya. Dalam benaknya dia membayangkan apa yang akan terjadi kalau Hinata tahu bahwa kejadian penculikannya itu masuk ke dalam rencana Sasuke.

Sekilas tatapan tajam Sasuke bertemu dengan mata Kiba lewat spion. Seakan memberikan perintah 'tutup mulutmu' membuat Kiba kembali berkonsentrasi melihat jalanan malam.

"Aku merasa berhutang budi kepada kalian." Lanjut Hinata.

Sasuke meraih tangan Hinata lalu mengecup punggung tangannya. "Aku sudah mengambil salah satu jarimu."

Hinata menggeleng. "Itu harga sebuah kebebasan."

"Hn."

Hinata masih menempelkan di bahu Sasuke, sementara Sasuke menggenggam tangan Hinata erat. Bagi Hinata, Sasuke adalah penyelamatnya.

Mobil yang mereka tumpangi sudah memasuki area parkir. Kiba menghentikan mobil tepat di tempat yang berada di dekat lift. Sesuai perintah Sasuke, Kiba langsung tancap gas begitu Sasuke dan Hinata turun. Di depan lift mereka di sambut oleh Kisame, salah satu anggota Akatsuki yang diberi tugas Pein untuk mengawal mereka sampai di Uzu.

Mata Hinata terbuka lebar begitu mereka sampai di helipad. Sebuah heli siap terbang sudah menunggu mereka. "Kita naik itu?" Hinata menunjuk ke arah heli. Sasuke mengangguk lalu membimbing Hinata naik.

Hinata merasa mual dan pusing begitu heli mulai mengudara. Sasuke tidak berkomentar apapun, dia hanya menggenggam erat tangan Hinata dengan sesekali mencium punggung tangannya.

...

"Masih pusing?" kata pertama Sasuke yang terucap begitu mereka sampai tujuan. Hinata mengangguk pelan, kakinya selemas jeli. Dia hampir terjatuh saat turun tadi. Untung Sasuke sigap memegangi tangannya.

"Kakiku lemas sekali." Hinata berlutut memegangi kakinya.

"Dasar penakut." Sasuke berjongkok di depan Hinata. Menyodorkan punggungnya untuk Hinata. "Ayo."

"Aku kira kau akan kesini sendiri." Karin yang berdiri di samping Naruto mencibir melihat pemandangan di depannya, Sasuke yang menggendong Hinata.

Hinata sendiri tidak menyangka, Sasuke akan menemui Karin. Lebih terkaget lagi saat melihat perut Karin yang mulai terlihat membuncit. Dengan pakaian yang dipakai Karin saat ini kaos crop dipadukan dengan hotpant, siapapun bisa menebak kalau dia hamil.

"K-Karin san," sapa Hinata dengan takut-takut. Pertemuan terakhir mereka kurang menyenangkan.

"Kau masih saja mempertahankan pelacur kecil ini?" Karin sengaja menekankan kalimat pelacur saat bertanya dengan Sasuke.

"Tutup mulutmu!" bentak Sasuke.

"Sudah... sudah...Lebih baik kita ke dalam. Disini banyak angin. Tidak baik untuk kalian." Naruto melingkarkan tangannya di pinggang Karin. Dia memimpin jalan memasuki gedung milik Uzumaki.

"Dia akan menunjukkan kamar untuk kalian. Kita lanjutkan besok pagi saja, Teme." Naruto menunjuk salah satu pengawalnya. "Kalian pasti ingin melakukan sesuatu berdua bukan?" lanjut Naruto disertai tawa.

.

.

.

.

.

TBC

.

.

.

Terimakasih untuk kalian yang sudah membaca, memfavoritkan, mengikuti cerita ini. Terlebih lagi buat kalian yang meninggalkan jejak disini. Kalian penyemangatku #usap ingus

TheTomatoShop, Vacum, Mikku hatsune, BYE-chan, clareon, HipHipHuraHura, Arcan'sGirl, Intan Margareta Ica269, Anonym, paneze, Green Onsu, Rini Andriani Uchiga, Zizah, Sushimakipark, caaries laventa, ade854 II, Narulita706, haeri elfishy, Cieluca, yulia, . byunhime, ulva-chan, hellenfaringga, Bernadette Dei, Dift, uchihacullen, Taomio, Bill Arr, Go Minami Asuka Bi, Uchiha wulan, mprill Uchiga, Namehima, fiona risa hime, hime, ImeL's383, keiKo-buu89

Kalau ada salah2 nulis nama aku minta maaf.. hee hee _+ :*

Nb.

Numpang curcol dikit ah, ternyata buat cerita multichapter itu susah ya hahaha... susah buat memupuk niat untuk melanjutkan menulis apalagi buat aku yang punya penyakit malas akut. Aku selalu terkagum-kagum dengan kalian yang mampu membuat cerita multichapter dan mampu update dalam waktu dekat. Kalian mengagumkan-ttebasa. Please bagi tips dan tricknya dong hehehe...Anggap aja kalau updatenya lama itu aku lagi malas bukan lagi sibuk. #Gomen-ne

Udah itu aja. Kalau ada yg kurang mohon maaf kalau ada lebihnya simpan aja. #apaan sih.