Memiliki mu itu angan yang tinggi, menatapmu dari kejauhan itulah rutinitasku, tapi melihatmu bahagia dengan nya? Itulah cobaan terberat bagiku. Bukankah aku sudah mengatakannya? Jangan pikirkan aku disini, kamu berhak meraih kebahagiaanmu sendiri. Meski aku tahu, itu naive, aku tetap mendukungmu. Karena apa? Karena aku mencintaimu. Lebih dari yang kau kira.


"Library is Love."

By : Amanda Lactis

Desclaimer : Naruto's not mine

Pair : SasuFemNaru, slight ShikaIno, SasuKarin, GaaNaru

Summary : Bagi Naruto sang kutu buku, perpustakaan adalah surga. Tapi bagi Sasuke, itu adalah tempat bagus untuk kabur dari tunangan nya yang tak lebih dari bocah. "Kukira semua gadis sama saja, mereka memuja cinta." Naruto tertawa. "Kau berharap aku seperti gadis lainnya?."

Chapter 1 : Semua bermula dari sini


Di konoha ada sebuah Perpustakaan kota, tempat bagi para penggemar buku berkumpul, semua fasilitas memadai termasuk jaringan internet yang bagi kebanyakan orang sangat penting. Tapi bagi Namikaze Naruto, yang hanya seorang murid beasiswa, sang nerd yang cupu, perpustakaan adalah surga. Ia bisa meminjam buku apa saja, tanpa perlu membayar tentu saja. Itu juga membantu nya dalam menjalani kehidupan sebagai siswi SMA yang, sering terkena bully.

"Menyerah saja, cupu! Konohagakuen tidak membutuhkan murid miskin sepertimu!"

"Haha! Dimana orang tuamu, ha?! Oh, apa mereka sudah mati?! Hahaha!"

Meski begitu Naruto memilih diam, saat meja nya hilang dan ditemukan di halaman belakang sekolah, atau saat bukunya dibuang ke tempat sampah. Dia diam karena tak ingin menyusahkan sang kakak yang rela putus sekolah dan bekerja demi membiayai kehidupan malang adiknya. Tapi, rasa kesal masih ada dalam hati Naruto sekalipun.

Karin sang ketua geng mulai berani menarik kerah kemeja Naruto, senyum meremehkan tercetak pada wajahnya. "Sampah sepertimu lebih baik lenyap, Namikaze!" Ia berseru dan menghempaskan Naruto pada tembok dengan kasar, tak menghiraukan rintihan lirih dari yang bersangkutan. Puas membully Naruto, ketiga kawanan tersebut melenggang pergi.

'Sabar, Naru. Ingat, tahun depan si kacamata itu sudah lulus, kau harus menahan emosimu' tambah Naruto dalam hati, berbenah diri dan melanjutkan perjalanan nya ke kelas, yang sempat terhenti akibat aksi Karin dkk.

Kakashi Hatake, guru bermasker dengan surai silver, yang juga terkenal akibat kebiasaan terlambatnya yang melebihi batas normal. Selaku wali kelas, menuntut disiplin yang amat sangat, dan tidak mentolerir apa yang namanya terlambat. Bagus, sekarang dia tidak sadar diri.

"Summimasen, saya terlambat, sensei." Suara lirih Naruto memecah heningnya kelas 2-3. Kakashi berhenti menulis, ia melirik salah satu murid nya dengan datar, tidak memungkiri Naruto adalah murid kesayangannya. "Maaf, Naruto. Hukuman tetaplah ada. Silahkan merangkum materi kemarin dan hari ini di perpustakaan. Kumpulkan ke mejaku seusai istirahat." Kakashi menyahuti tanpa menatap kearah Naruto sedikitpun.

"Tapi, Naru hanya terlambat lima menit, sensei!" sela Kiba, bermaksud membela sahabat kecilnya. Kakashi menoleh lambat, pandangan matanya menajam seketika.

"Oh? Apa kau juga mau menemaninya, Inuzuka-san?"

Kiba menggeleng takut, melayangkan pandangan merasa bersalah pada Naruto. "Ti-tidak, sensei. Maafkan aku." Kakashi melanjutkan kegiatannya. "Baiklah saya permisi, sensei."

'Ahh, ini makin merepotkan. Kenapa 'dia' tidak turun tangan membantu?' Kakashi membatin lesu, pekerjaan nya menjadi guru memang kadang menyita waktu membaca nya, padahal itu kegiataan favoritnya.

.

.

.

Perpustakaan sedang sepi, hanya ada satu penjaga dan dua murid di sana. Termasuk Naruto tentunya. Gadis itu memilih duduk di pojok ruangan, mengambil beberapa paket Matematika kelas dua SMA dan mulai menulis. Sesekali ia menghela nafas panjang, dan itu membuat sang penjaga yang tak lain adalah Kurenai-sensei menggeleng maklum. Menurut pendapatnya, Naruto ialah murid pandai, reputasi nya baik dan dia juga cukup pendiam. Hanya saja, di Konohagakuen ini, uang dan latar belakang keluarga ialah nomor satu. Naruto tak mendapatkan salah satu dari kategori penting itu.

"Mendapat detensi dari Hatake-sensei, Naru-chan?" ia bertanya ramah, disahuti cengiran canggung dari Naruto. Kadang bila senggang, Kurenai sesekali membicarakan hal-hal mengenai kisah cinta nya dengan Naruto, lalu mereka akan terkikik bersama.

"Oh iya, Perpustakaan kota sudah diresmikan, Uchiha Corp mendanai pemasukan buku dan Uzumaki Corp memfasilitasi pembangunan perpustakaan tersebut. Bukankah itu keren?" Naruto mengangguk antusias, sudah lama ia ingin ke sana, tapi waktu nya semakin sempit semenjak ia memutuskan untuk bekerja part-time.

"Mungkin akhir pekan aku akan ke sana." gumam gadis itu mengelus dagu, kembali melanjutkan rutinitas nya. Jangan sampai ia terlambat mengumpulkan tugas nya, bisa-bisa Kakashi menambah detensinya, oh itu sangat buruk.

Tepat pukul sepuluh pagi, Naruto membereskan perkakas nya dan berpamitan dengan Kurenai, wanita bersurai hitam itu tersenyum maklum. Kasihan juga Naruto, sebagai murid yang yah bisa dibilang serba kekurangan. Tapi, tak pernah ia mendengar keluh kesah dari gadis pirang itu. Dia kuat, tambah Kurenai dalam hati.

.

.

.

Gaara menghela nafas pelan, mengibaskan tangannya saat Naruto membungkukkan badannya berkali-kali akibat terlambat tiga menit. Gadis pirang itu terlalu berlebihan untuk masalah pekerjaan. Ada sebuah peraturan di Konohagakuen, semua murid dilarang keras bekerja, entah part-time atau apapun itu. Dan Gaara, sebagai boss yang baik, mau merahasiakan hal tersebut agar Naruto bisa terus bekerja. Lagipula, kinerja nya baik dan tidak ada complain dari pelanggan.

"Tidak masalah, Naru. Baiklah, kau bisa kembali bekerja. Jangan diulangi, ya." Ia berujar lembut, mengusap surai pirang Naruto dengan lembut.

"Arigatou, boss-san! A-ano… minggu besok bisakah aku mengambil cuti? Aku ingin mengunjungi perpustakaan kota."

Gaara mengangguk,"Tentu saja, libur itu perlu, bukan?" Ia tersenyum tipis.

"Terima kasih, Gaara-san! Sebagai gantinya aku akan lembur hari ini!" Naruto tersenyum lebar, membuat Gaara mau tak mau membalas senyum nya kalem. Pria itu sudah menganggap Naruto seperti adiknya sendiri, mengingat ia tahu benar latar belakang keluarga nya, juga kakak nya yang rela bekerja dan putus sekolah.

Jam sebelas malam, café mulai dibersihkan, Naruto menepati janjinya untuk lembur. Dengan semangat ia mengerjakan semua pekerjaan tanpa mengeluh. Gaara mengawasi itu dari kejauhan, ide cemerlang masuk ke kepalanya untuk memberi Naruto bonus di akhir bulan.

"Kerja bagus, semuanya. Kalian boleh pulang." Para pekerja yang kebetulan memang lebih tua dan senior dari Naruto membungkuk hormat dan mengemasi barang-barang mereka. Tak lupa pamit dengan Naruto yang ditanggapi dengan ceria.

"Aku akan mengantarmu pulang, Naru. Tidak baik seorang gadis berkeliaran seorang diri." Gaara mengambil jaket dan kunci mobil di ruangannya. Sedangkan Naruto tak berhenti mengucapkan terima kasih dengan cengiran lebarnya.

"Bagaimana sekolah? Mereka membully mu lagi?" Tanya Gaara mencoba memulai pembicaraan. Alur jalanan sedang ramai, dan macet. Naruto menggaruk bagian kepala belakangnya, tidak mengelak pertanyaan yang Gaara ajukan.

"Begitulah, hehe."

"Sesekali melawan itu perlu, jika kau terus diam, mereka akan semakin ganas." Ujar Gaara menasehati, prihal pembullyan Naruto saja kebetulan terungkap. Saat gadis itu tak sengaja menunjukkan bekas kekerasan yang dilakukan Karin seminggu lalu, dan manik jade Gaara yang jeli menuntut alasan dibalik bekas luka tersebut. Setelah menjelaskan semuanya, Naruto meminta agar boss nya tidak menceritakan hal itu, atau bisa dibilang menutup mulutnya.

"Err.. Karin itu calon pewaris Uzumaki Corp, aku tak mau berurusan dengannya. Hehe." Sahut Naruto canggung. Dia sendiri tahu siapa itu Uzumaki Karin, dengan berbagai reputasi dan kekayaan nya. Menjadi murid Konohagakuen saja Naruto sudah bersyukur, meski hari-harinya di sekolah tidak bisa terbilang damai.

"Hei keadilan harus ditegakkan. Bukankah cita-cita mu menjadi jaksa?"

Naruto memaksa tersenyum, matanya seketika menyorot sedih.

'Cita-cita ya? Benar, cita-cita yang sudah lama ku pendam.' Batinnya bersuara.

"Nah kita sudah sampai."

Naruto tersentak, mobil hitam Gaara sudah terparkir di halaman depan rumah sederhana nya. Ah, perjalanan selama sepuluh menit tak terasa. Sebelum memasuki rumah, Gaara memberi beberapa dessert dari café, ia tahu Naruto tak akan sempat makan nantinya. Dan gadis itu membungkukkan badannya penuh terima kasih.


KRINGGGG!

KRINGGGG!

"Ah, Ku-nii? Ada apa?"

"Bagaimana kabarmu? Kau sudah makan? PR mu sudah dikerjakan?"

Naruto terkikik geli, mendengar rentetan pertanyaan dari kakaknya.

"Aku baik, ya aku sudah makan, tadi Gaara-san memberiku beberapa kue. Untuk PR tentu saja sudah, hehe! Ku-nii sendiri bagaimana kabarmu? Apa Suna menyenangkan? Pekerjaan mu?"

Terdengar suara dengusan di seberang.

"Begitulah. Boss Uchiha memberiku pekerjaan yang sangat banyak, hingga aku tak sempat menelepon adik ku."

"Haha! Jangan begitu, nii-san! Itu sudah bagus dia mau menerima mu bekerja. Toh, nii-san sampai naik jabatan kan?"

"Ya ya, menjadi sekertaris pribadi The Almighty Uchiha Sasuke. Sudah malam, tidurlah, imouto."

"Erm, oyasumi, nii-san."

"Oyasumi."

.

.

Hari Minggu yang menyenangkan bagi Naruto, akhirnya ia bisa mengunjungi perpustakaan kota setelah meminta ijin cuti dari boss nya yang baik hati. Karena ia sendiri bukan tipe gadis yang suka berdandan, celanan jins dan hoodie saja sudah cukup menghias penampilannya. Rambut pirang panjangnya dikuncir kuda, tak lupa topi baseball pemberian kakaknya. Ya, ia sudah siap untuk meminjam tumpukan buku idamannya.

Perjalanan memakan waktu dua puluh menit dari rumahnya, karena ini hari libur jadi memang sangat ramai. Manik sapphire nya memandang takjub dekorasi dan tatanan buku yang memenuhi perpustakaan besar tersebut. Ah, Uchiha dan Uzumaki memang hebat. Kaki jenjangnya melangkah pelan, kearah barisan novel berada. Sampai sebuah novel menarik atensinya.

"Novel tentang cinta, ya? Well, tidak ada salahnya, kan?" gumamnya pelan, siap mengambil novel tersebut, sampai sebuah tangan yang lebih besar darinya ikut serta memegang buku itu. Naruto mengedip heran, mengarahkan pandangnnya pada siapa yang berani memegang buku incarannya.

'Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini?' batin Naruto merana, kala mendapati sosok pria tampan bersurai raven dengan style unik melawan gravitasi, manik obsidian yang menyorot tajam kearahnya, tak lupa setelan jas mahal membalut tubuh atletisnya. Sempurna.

"Gomennasai, aku akan mencari buku lain." ujarnya mengalah dengan hati tak rela, bersiap pergi, namun suara pria itu menghentikan langkahnya.

"Ambil saja, aku tidak tertarik dengan kisah romantis. Aku hanya tertarik dengan covernya." suaranya bass, rendah, dan seksi kalau meminta pendapat Naruto yang kini membatu. Kepalanya menoleh lambat, senyum kaku menghiasi wajahnya.

"A-ah, be-begitu ya, haha. Summimasen, kalau begitu akan saya ambil." tangannya gemetar, hendak meraih novel tersebut tak berhenti Naruto memanjatkan doa karena tatapan pria di sampingnya sanggup membuat pertahanan nya hancur seketika.

'Aku bukan gadis munafik, reader. Melihat pria tampan juga hiburan tersendiri bagiku.' tambah Naruto dalam hati, berpura-pura tak melihat sorot tajam mata hitam pria tampan yang tidak bergeser sedikit pun dari sana.

"Siapa namamu, gadis jelek?"

Naruto tersentak. 'Gadis jelek, dia bilang?' seketika ia menatap tajam pria tersebut. Agaknya harga dirinya sebagai wanita merasa dilecehkan.

"Namikaze Naruto, paman! Ingat itu baik-baik." sahutnya sedikit mengejek.

"Namaku Sasuke, dan aku bukan paman mu, dobe."

"Aku tidak peduli, teme! Dasar!"

Sasuke tersenyum sinis. "Bocah SMP sepertimu tidak pantas membaca novel percintaan." tandasnya kejam. Naruto melotot horror. Ya Tuhan, sependek apa dia sampai Sasuke mengiranya masih menduduki bangku SMP? Naruto menilik Sasuke lebih dekat. Atas. Bawah.

'Perbedaan kami terlalu jauh, ini tidak adil.' Naruto membatin pedih. Mengingat tingginya hanya mencapai bahu Sasuke.

"Enak saja! Aku sudah kelas dua SMA! Di Konohagakuen! Dasar paman teme!" ejeknya. Sasuke menaikkan alisnya heran.

"Aku masih berumur dua puluh dua tahun, dobe. Apa aku terlihat setua itu?"

Naruto mengangguk tanpa ragu. "Ya! Kau tua!" Ia tertawa kencang di akhir kalimat, nyaris saja Sasuke ikut menyerukan beberapa caci maki.

"Fiuhh~ haha, lucu sekali. Yosh, saatnya mencari buku lain!" meninggalkan Sasuke sendirian, Naruto mulai mengeksplorasi beberapa rak buku, dan mengingat mimpi kakaknya yang ingin menjadi seorang Psikiater, membuatnya tak sadar mengambil buku panduan Psikologi Sosial. Ia tersenyum, sedih. Kurama membanting tulang demi dirinya, bekerja di luar kota juga demi kebutuhannya.

"Aku tidak tahu, kau juga suka dengan jurusan Psikologi." suara Sasuke terdengar di telinga Naruto, pria itu meniup leher bagian Naruto yang disambut pekikan heboh dari yang bersangkutan.

"Apa yang kau lakukan, teme?! Hiii, aku sampai merinding!" Naruto mengusap tengkuknya, menjauh beberapa meter dari sosok Sasuke.

Pria berambut raven tersebut terkekeh, mengambil salah satu buku yang lain. "Kukira semua gadis sama saja, mereka memuja cinta." ujarnya santai.

Naruto terdiam sedetik, lalu tertawa renyah. "Kau pikir aku seperti gadis lainnya? Ayolah, aku memiliki pekerjaan yang lebih penting daripada mengurusi kisah cintaku." sahutnya mengendikkah bahu, membalik beberapa halaman dan menaruh kembali buku itu. Namun Sasuke tidak sedikitpun menyahuti.

"Terkadang, ada yang lebih penting ketimbang cinta yang diharapkan orang lain." Naruto berujar lirih, menghembuskan nafas dan melanjutkan kegiatan eksplorasinya, mencari buku-buku yang mungkin berguna bagi statusnya sebagai pelajar.

"Oh ya? Apakah itu? Uang? Kesuksesan?" tanya Sasuke mengekori langkah Naruto, seolah tertarik akan sifat dan personality yang dimiliki gadis tersebut. Anehnya, dia yang biasanya takut akan mahluk bergender perempuan kini dengan mudah bergaul dengan Naruto, bocah ingusan yang menarik perhatiannya beberapa menit lalu.

"Kebahagiaan…." jawab Naruto simple, menatap balik Sasuke dan menyunggingkan senyum manis.

"Uang memang dibutuhkan, kesuksesan menunjang segalanya, tapi kebahagiaan paling sulit dicari. Itu yang kutahu. Haha, pasti terdengar naïve bukan? Semua orang bilang begitu-"

"-Tidak. Tidak sedikitpun. Menurutku itu keren." sela Sasuke datar. Naruto tertawa sekali lagi, mengobrol dengan Sasuke seidikit banyak membuatnya terhibur, apalagi pria itu tak se menyebalkan yang ia kira awalnya.

"Souka? Sudah kuduga kau tidak se menyebalkan itu, paman." Naruto menepuk bahu Sasuke akrab, layaknya sahabat karib. Mereka terus membicarakan banyak hal selama dua jam, manik sapphire Naruto tak sengaja melihat sebuah cincin perak melingkar dengan indah pada jari manis Sasuke. Entah mengapa ada yang aneh dengan hatinya. Seolah berdenyut nyeri. Ada apa dengan hatinya?

'Aritmia*? Angina pectoris*? Tachycardia*? Atau apa?' batin Naruto bertanya-tanya. Sasuke pamit untuk pergi setelah mengangkat telepon dari seseorang, raut wajahnya seketika berubah menjadi suram. Dia berjanji pada Naruto jika mereka akan bertemu kembali.

"Sasuke ya? Hmm, sepertinya aku pernah mendengar nama itu. Dimana ya?" Naruto berhenti sejenak, mendudukkan diri pada bangku kosong di depan terminal.

"Ya ya, menjadi sekertaris pribadi The Almighty Uchiha Sasuke."

Tunggu, apa?

Sekertaris pribadi The Almighty Uchiha Sasuke.

The Almighty Uchiha Sasuke.

Uchiha Sasuke.

Sasuke.

"Apaaa?! Jangan bercanda! Nama Sasuke ada banyak! Oke, ada berapa nama Sasuke di Konoha?!" Naruto mengacak rambutnya frutasi, sial, dia lupa akan perkataan kakaknya tadi malam. Bagaimana bisa ia bertemu dengan Big Boss, Presdir dimana kakaknya bekerja dan ia dengan kurang ajar mengejeknya teme! Naruto merasakan jiwanya tersedot seketika, oh tamat sudah, kakaknya pasti dipecat sebentar lagi. Tidak, Uchiha pasti menghancurkan nya.

"Tidakkkkkk!" semua orang menolehkan kepala, memandang nya penuh heran sekaligus geli. Naruto memegang kepalanya, mentalnya down dengan cepat. Bagaimana jika besoknya Sasuke datang dengan bodyguardnya menghancurkan rumahnya, memecat kakaknya, lalu mereka kelaparan. Oh buruk. Ini pasti efek menonton dorama yang ia pinjam dari Ino tiga hari lalu.

'Aku akan menelepon Ku-nii!' Flip-phone berwarna oranye ia tekan ganas.

"Oh ada apa, Naru? Sepertinya penting."

"Nii-san! Apa yang terjadi jika aku mengejek boss mu? Memukul bahunya dan menyebutnya paman brengsek?"

"Haa? Apa yang kau bicarakan, imouto? Kau bermimpi apa semalam?"

"Jawab saja, nii-san! Aku bingung dan kaki ku tak berhenti gemetar! Apa yang mereka lakukan bila aku mengejek boss mereka?!"

"Hmm, mari kita lihat. Mungkin dia akan membunuhmu? Oh, menjadikanmu budaknya? Atau, menjualmu ke luar negeri?"

Naruto menelan saliva, "Nii-san, aku menyayangi, aku belum siap mati. Aku bahkan belum lulus dengan nilai sempurna! Hueeeee~!"

"Hahaha! Apa yang kau pikirkan, Naru? Aku hanya bercanda, jangan diambil hati. Ya ampun. Sudah, aku sibuk. Jaa ne."

Tapi hiburan dari Kurama tak berefek pada Naruto, dia terus berpikir negative, membayangkan hal terburuk bahkan saat bus tujuan rumahnya tiba, ia masih sibuk memikirkan perlakuannya tadi. Sial, ada kejadian ganjil setelah itu. Yang pertama dia mengejek Uchiha Sasuke, yang kedua dia merasakan debaran aneh saat lelaki itu meniup lehernya, dan yang ketiga dia seolah merasa ter-PHP kala melihat cincin perak tersebut.

PLAKKK!

Naruto menampar kedua pipinya sendiri, seharusnya dia menanyakan perihal perasaan dan tetek bengeknya pada sahabat karibnya, Yamanaka Ino yang dikenal sebagai Ratu Gosip di Konohagakuen.

"Moshi-moshi, Naru-chan?"

"Ino, apakah aneh saat jantungmu berdetak lebih kencang kala seorang pria meniup lehermu?"

"Ayolah, Naru-chan, semua gadis akan bereaksi sama. Terkecuali kau menyukai pria tersebut."

"Pertanyaan selanjutnya, apakah aneh saat hatimu berdenyut nyeri melihat cincin pertunangan pada jemari lelaki itu?"

"Sudah kubilang, kalau kau menyukai nya, itu perkara lain."

"Jadi, apa kau juga begitu dengan Shikamaru?" Naruto bertanya polos.

Hening.

"A-aku tidak ingin membicarakannya, Naru! Jaa nee!"

Telepon diputus sepihak. Naruto mengedip heran, apa pertanyaan nya salah? Tapi tunggu, sejak kapan memangnya Ino memendam rasa pada sahabat kecilnya, Nara Shikamaru? Seingatnya, mereka hanya dekat sebaai teman. Toh, gosip Shikamaru berpacaran dengan Temari sudah menyebar luas, dan tentunya pria nanas itu tak terlihat mengelak bila ditanya. Ah, cinta memang merepotkan. Naruto menyeret kakinya untuk memasuki bus, dia termenung memikirkan ucapan Ino tadi. Apa dia menyukai paman teme itu? Hei, umur mereka terpaut jauh. Dan lagi, ada segelintir kabar bahwa Uchiha dan Uzumaki menjodohkan pewaris tunggal mereka.

'Ini masih siang, jam sebelas, ya? Mungkin jalan-jalan ke pantai tak masalah' pikir Naruto, membayangkan ombak yang menerpa kakinya, terik matahari dan aroma laut. Dia merindukan pantai sejak dulu. Kurama sering mengajaknya ke pantai sebelum lelaki itu memutuskan untuk serius dalam membiayai adiknya. Kisah lama. Lima menit perjalanan sungguh singkat, Naruto menjejakkan kakinya dan mengagumi pemandangan yang disajikan. Dia menghirup nafas dalam-dalam, dan menghembuskan nya pelan, tersenyum.

"Kau perlu bersenang-senang, Naru. Hidup harus dinikmati!." ujarnya tertuju diri sendiri. Pengunjung sedang ramai, dan dia memutuskan untuk berjalan ke area yang sepi.

.

.

.

"Bisakah kau tenang, Tsunade?! Aku sedang berpikir keras! Apa tidak ada pilihan lain selain menjodohkan Karin dengan Sasuke?" seorang pria tua mengacak rambut putihnya, sedangkan wanita di depannya tak berhenti panik. "Mustahil! Aku tahu kelakuan cucu mu itu! Berkeliaran seperti wanita nakal di malam hari, aku saja pura-pura buta untuk menguak fakta memalukan tersebut! Oh, ini tidak bagus untuk usiaku! Andai saja Minato dan Kushina meninggalkan seorang anak mungkin lebih baik." sahut wanita itu, menggebrak meja dan menatap nyalang suaminya. Namanya Uzumaki-Senju Tsunade, siapa yang tidak mengenalnya? Dia merupakan public figure paling dicari, istri dari pengusaha sukses Uzumaki Jiraiya, yang mendirikan perusahaan berbasis Farmasi, Uzumaki Corp.

Jiraiya tersentak, mendengar seruan istrinya. "Ya! Ya! Bagus! Sekarang kau mengungkit masa lalu! Laporan yang diberikan Nagato tak mungkin salah! Minato dan Kushina tewas tanpa memiliki seorang anak! Mereka mati begitu saja!" Tsunade tercengang dan menampar suaminya keras.

"Tutup mulutmu, pria tua! Siapa yang mengusir mereka dari Mansion Uzumaki?! Siapa yang mencoret nama Kushina dari daftar keluarga Uzumaki?! Dan siapa yang dengan tega menampar putrinya sendiri tanpa memikirkan perasaan nya?! Ha?! Katakan padaku siapa yang melakukan semua itu?!" sahutnya lantang, menyeka air mata yang berderai, hatinya sakit bukan main mendengar tuturan Jiraiya, memang benar mereka pernah menentang hubungan Minato dan Kushina, bahkan dengan keji Jiraiya mengusir keduanya. Tanpa tahu itulah kebahagiaan yang Kushina inginkan, cinta sejati dari lelaki yang dicintai. Ia seorang ibu, wanita yang melahirkan Kushina dan merawatnya hingga dewas. Ibu mana yang tega melihat putri nya ditampar di depan banyak orang?

"Lalu apa maumu?! Uchiha Corp menawarkan kerja sama yang menguntungkan! Satu-satunya cara menyatukan nya adalah menjodohkan Karin!"

Tsunade mengangkat tangan nya, lelah akan situasi yang dihadapi. "Sudahlah, aku lelah. Aku ingin menghirup udara segar. Shi, antarkan aku." seorang pria muncul dan membungkukkan badannya hormat, ia mengenakan jas formal tak lupa kaca mata hitam. Jiraiya melirik anak buahnya, mengisyaratkan untuk segera mengantarkan kemana istrinya mau pergi. Mungkin ia perlu mendiskuksikan hal ini dengan menantunya, Nagato Uzumaki, Ayah dari Uzumaki Karin.

.

.

.

"Kemana kita pergi, Uzumaki-sama?" tanya Shi, datar. Tsunade memejamkan matanya, menghembuskan nafas kemudian. "Tempat yang mungkin bisa menenangkan pikiranku. Antar aku ke Kuil biasanya." Shi mengangguk pelan, segera mengemudikan mobil menuju tempat tujuan.

Sepanjang perjalanan Tsunade masih terngiang akan kata-kata kasar Jiraiya, betapa kejam pria itu mengatakan anak dan menantunya mati begitu saja, tahu apa dia? Tsunade bahkan nyaris opname dikarenakan stress berkepanjangan. Mungkin Kushina dan Minato sudah tenang di Surga, tapi keduanya sudah menikah lebih dari enam tahun, akan terasa aneh bila tidak memiliki anak. Benar, kan? Tapi, mengelak laporan dari menantunya, itu juga tidak baik. Jiraiya mempercayai Nagato lebih dari siapapun. Suaminya bisa menentang opini nya bila ia meragukan ucapan Nagato.

'Ini melelahkan. Kushina, andai kau masih hidup. Andai saja kau memiliki seorang anak, aku bisa menjaga nya dan menggantikan posisimu.' batin Tsunade, mengalihkan pandangannya pada jalanan, untuk menuju kuil yang biasa dia kunjungi memang memakan banyak waktu, hampir tiga puluh menit. Di kuil itulah Minato dan Kushina menikah, sederhana dan hanya beberapa orang menyaksikannya, termasuk dirinya tentu saja. Di sana ia ingin mengenang senyum terakhir yang diberikan Kushina, senyum yang belum pernah ia lihat seumur hidup. Tanpa tahu, itulah senyum terakhir putrinya, sebelum kabar mengenai tewasnya pasangan tersebut enam tahun setelahnya.

"Apakah ada gadis yang mau menggantikan Karin? Dan dijodohkan dengan Sasuke? Tapi aku suka gadis berambut pirang, dan bermata biru. Bukankah itu bagus, Shi?" tanya Tsunade, dan mendapat respon positif dari salah satu orang kepercayaan Jiraiya. Tapi, di Konoha yang mayoritas memiliki rambut dan mata gelap itu sulit. Kecuali satu, gadis itu keturunan Minato, gen mungkin bisa diturunkan. Mustahil. Minato pergi tanpa meninggalkan apapun. Bagaimana dengan Yamanaka? Mereka berambut pirang dan bermata biru. Oh tidak, Tsunade menghilangkan pikiran itu.

Mereka melewati pantai, Tsunade tersenyum sekali lagi, "Pantai pasti menyenangkan, ya?" gumamnya pelan.

"Apa anda ingin mampir, Uzumaki-sama?" Tsunade menggeleng, ia mengarahkan pandangannya ke depan, menatap jalan raya. Namun manik hazelnya menangkap sosok familiar. Ia merasakan jantungnya berpacu dengan cepat. Rambut pirang, di sana, berdiri seorang diri. Rambut panjangnya melambai ditiup angin, namun yang membuat Tsunade terpaku adalah, matanya. Begitu indah, jernih dan biru.

To Be Continued


Note : Saya ngemaso lagi *ketawa* niatnya one-shoot tapi gak mungkin, karena ini panjang. Kabar baiknya, saya berniat membuat nya menjadi happy ending :)) tapi ya gak segampang itu. Saya terinspirasi setelah mendengar lagunya Yoon Mi Rae - Always dan langsung mengetik fanfic ini. Yang suka drakor pasti tau soundtrack dari drakor mana itu ^^

*) Aritmia : Ini gangguan ritme jantung *liat contekan* karena serambi (atrium) dan bilik (ventrikel) berdenyut lebih cepat (tachycardia) dari normal, atau berdenyut lebih lambat (bradycardia). Kalau salah bisa dicek lagi, ini saya liat dibuku saya karena kebetulan materi semester satu saya tentang kelainan pada jantung :))

*) Angina Pectoris : Penyakit jantung dimana jantung tidak dapat menerima cukup darah dan oksigen karena cabang arteri jantung hampir tertutup oleh plak. Gejalanya rasa sakit yang hebat dibawah tulang dada yang menjalar ke pundak kiri dengan lengan bagian atas terutama bila berjalan, dan nyeri akan hilang bila berhenti atau beristirahat. Tindakan untuk mengurangi angina itu ada olah raga, tidak merokok, mengobati hipertensi, dan mengurangi beban fisik maupun mental.

*) Tachycardia termasuk dalam aritmia, ritme jantung lebih cepat dari normal

Kalau ada yang mau ditanyakan jangan sungkan ya :))

At least,

Mind to Review?