Senandung di Musim Semi
Ansatsu Kyoushitsu © Yuusei Matsui
Warnings: OOC, typo, agak gaje.
Saya tidak mengambil keuntungan apapun dari fanfiksi ini. Ini hanya diperuntukkan sebagai pelampiasan hobi semata.
.
.
.
Dipersembahkan khusus untuk event #CrackPairCelebration2016
Happy Reading!
.
.
.
Musim semi.
Sakura bermekaran di sepanjang jalan, sebagian rontok dan diterbangkan angin. Berputar-putar, menari-nari, terbang menyapa di sepanjang sepi nan lengang. Ada sungai di salah satu sisi, sementara di sisi lainnya terdapat banyak pohon sakura yang berjejer. Di ujung jalan itu, sebuah gedung besar berdiri, gedung sekolah yang sebentar lagi akan mengadakan upacara penerimaan murid baru.
Rio memerhatikan sekelilingnya dengan takjub. Hujan kuntum bunga, begitu yang ia pikirkan. Sakura-sakura yang kecil dan berwarna lembut berada dekat sekali di atas kepalanya, seakan menaunginya dari sinar matahari pagi. Ia mengangkat tangan, mencoba menangkap sehelai sakura yang gugur. Meski gagal, ia memandang guguran demi guguran dengan wajah berseri-seri.
"Seperti salju di musim semi, ya …" Ia menyunggingkan senyum lebar pada seseorang yang tengah berdiri di bawah. "Gakushuu."
Gakushuu membuka sedikit matanya, mendongak sedikit ke arah perempuan yang sedang duduk di atas pohon, menggoyang-goyangkan kaki dengan wajah riang. Sedari tadi ia bersikap tak acuh dan hanya berdiri melipat tangan di bawah pohon, tepat di bawah Rio. Angin sepoi menerpa wajahnya, wajahnya yang terlihat lebih matang dari waktu SMP dulu. Namun sikapnya masih sama, menyebalkan dan jarang tersenyum. Jangan tanya kenapa mereka bisa dekat, hingga akhirnya menjalin hubungan seperti ini.
"Imajinasi yang berlebihan, Rio," balas Gakushuu tak acuh. "Salju sudah lama lewat."
"Aku kan hanya mengandaikan~"
"Kau bertingkah seperti anak kecil."
Rio terkekeh pelan. "Gakushuu, kau harusnya bersyukur punya aku yang berhati sekuat baja untuk menghadapi tingkahmu, lho," ujarnya bangga seraya menepuk dada dengan kepalan tangan.
"Harusnya kau yang bersyukur punya aku yang berhati sekuat baja untuk menghadapi tingkahmu," balas Gakushuu, menirukan kata-kata Rio. Kali ini ia menatap Rio benar-benar. "Kau tidak lihat betapa cemasnya aku melihat kau bertingkah aneh-aneh. Ayo turun. Di situ berbahaya."
"Oh, apakah naik ke dahan seperti ini terlihat begitu berbahaya?" Rio yang berada nyaris dua meter di atas Gakushuu, nyengir. "Ayolah, di sini menyenangkan, lho."
Gakushuu menghela napas, kemudian mendecak. "Kau memang tidak mengerti, ya."
Rio masih tetap mempertahankan senyum lebarnya. "Aku kan memang tidak peka."
Tidak peka tapi tahu kalau pemuda itu mengkhawatirkannya.
Mau tak mau, Gakushuu tersenyum. Ia meraih salah satu dahan, memanjat pohon untuk menyusul perempuan berambut pirang itu.
"Mau kubantu?" tanya Rio jahil.
"Tidak, terima kasih."
Gakushuu kini sudah duduk di atas pohon, berdampingan dengan Rio. Rio meneleng-nelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri sembari bersenandung, sementara kedua kakinya bergoyang-goyang. Ia menatap lurus ke depan, ke arah gedung sekolah yang luas dan tinggi. Gakushuu pun juga demikian. Bedanya, ia tidak bersenandung, apalagi menggoyang-goyangkan kepala dan kaki.
"Dare mo … bokura no koto …
Afurete … iita …
Anata no oshie … kyou kara mo …"
Senandung Rio yang lembut terdengar di telinga Gakushuu. Pemuda itu diam, mendengarkan tanpa sekalipun melepaskan atensinya dari gedung sekolah yang ada di hadapannya.
"Hito … ri chishiru de.
Sakura (sakura), sakura … ai no chiru …
Sakura (sakura), sakura (sakura) …"
Rio menyenandungkan kata 'sakura' beberapa kali, entah karena ingin atau memang tak hafal saja. Gakushuu masih mendengarkan, sebelum akhirnya ia menoleh kepada Rio yang terus bernyanyi seolah dunia itu miliknya sendiri.
"Jarang sekali mendengarmu menyanyikan lagu seperti itu, Rio," sela Gakushuu.
Tanpa menoleh, Rio menjawab ringan di sela-sela senandungnya. "Soalnya, ini kan hari pertama masuk sekolah."
"Tapi lagu itu terdengar lebih cocok untuk kelulusan."
Rio mengulas senyum geli. "Benar juga, ya."
"Sakura (sakura), sakura … ai no chiru …
Sakura (sakura), sakura (sakura) …"
Rio kembali menyenandungkan lagu itu, lagu asing yang tak pernah Gakushuu dengar. Ia sama sekali tak ikut bersenandung. Ia merenung, menatap gedung di depan sana dengan wajah sendu. Rio tampaknya tidak menyadari itu, karena ia masih terus bersenandung, tersenyum bagaikan anak-anak yang tak punya beban apa-apa.
"Kelulusan, ya …" Gakushuu menerawang. "Apakah dia bisa lulus dengan baik suatu saat nanti?"
Rio menghentikan senandungannya, melirik pria di sampingnya. Ia terdiam, menciptakan keheningan, sebelum akhirnya ia menyikut lengan Gakushuu seraya tersenyum lebar. "Oh, ayolah. Dia pasti lulus dengan cepat. Dia kan punya otak encer sepertimu."
"Dan apakah kita bisa kembali untuk melihat kelulusannya nanti?"
Mendengar itu, Rio kembali terdiam.
Gakushuu kembali mengalihkan pandangannya ke gedung sekolah seraya mengelus lengannya yang disikut Rio. Ia tahu Rio kehabisan kata-kata, terpukul akibat kata-katanya yang telak. Namun, alih-alih memojokkannya, Gakushuu memilih mendiamkannya. Pertanyaan itu memang sulit dijawab, baik Rio, ataupun Gakushuu, karena mereka berdua tahu, mereka tak dapat seoptimis itu.
"Mungkin saja …"
Rio mengucapkannya dengan nada ringan, membuat Gakushuu terperangah.
"Yah, aku pun tak bisa memastikan," aku Rio seraya mendongak menatap sakura-sakura di atasnya. "Yang bisa kulakukan hanya percaya. Aneh memang. Aku bahkan tak mengerti kenapa kita bisa berada di sini sekarang."
Gakushuu merenungi ucapan Rio, lalu mendongak menatap langit biru yang tak tertutup oleh sakura. Sekali lagi angin menerbangkan helai-helai sakura, menari-nari melintasi angkasa. Gakushuu dapat melihatnya, di sela-sela rambutnya yang ikut terterpa.
"Aku pun …" Jeda sejenak. "… tidak mengerti."
"Tapi, seseorang pernah bilang padaku …" Rio melanjutkan ucapannya. "'Waktu bersenang-senang pun tetap harus diakhiri. Itu sudah wajar dalam kegiatan belajar mengajar'."
Gakushuu kembali melirik Rio. "Apa maksudmu?"
"Mungkin ini tidak ada hubungannya, tapi bagiku …" Rio menurunkan kepalanya, tersenyum menatap gedung di depan mata. "Hari pertama masuk sekolah dimulai, itulah awal dari waktu bersenang-senang. Kelulusan yang menanti itulah yang akan menjadi penutupnya. Sampai saat itu tiba, dia akan mengalami senang dan duka, mempelajari banyak hal, dan melihat lebih banyak dengan matanya sendiri."
"Lalu, kita berdua akan melihatnya. Mulai dari sekarang, sampai kelulusan menanti." Gakushuu menambahkan, kemudian kembali melirik Rio dan tersenyum. "Ya, kan?"
"Oh, sasuga." Rio mengamit lengan Gakushuu seraya menyeringai lebar. "Tak rugi aku memilikimu."
"Kata-kata yang mengesalkan, Rio," ungkap Gakushuu sinis, namun tak terdengar nada dingin dalam suaranya. "Yah, aku juga tak rugi memilikimu."
"Kita kan memang tak terpisahkan, Gakushuu."
Gakushuu mendengus. "Aku mengerti apa maksudmu."
"Yah …" Kembali Rio mengalihkan pandangannya ke gedung. Senyum tipisnya tak berhenti terulas. "Melihat dia yang terus berkembang sampai lulus dan dewasa adalah impian kita …"
"Sebagai orang tua …" Gakushuu menyambung.
"… yang ingin melihat keberhasilan anaknya," tandas Rio.
Angin sepoi kembali menerpa, mengibaskan helai pirang milik sang istri dan helai oranye milik sang suami. Kedua insan itu sama-sama tersenyum, sama-sama menatap ke arah gedung sekolah, dengan gurat bahagia bercampur kesedihan yang mendalam.
"Sayang sekali kita tak bisa menemaninya di upacara itu, ya," ucap Gakushuu, masih menatap ke gedung sekolah. "Kalau saja kecelakaan itu tidak terjadi …"
"Ya, andai taksi yang kita tumpangi bertiga dua tahun lalu tidak mengalami kecelakaan," sambung Rio. "Kita pasti bisa menyaksikan upacara anak kita dengan bahagia."
"Tapi, setidaknya kita berdua berhasil melindunginya." Nada Gakushuu terdengar puas dan bangga. "Sebagai ayah, aku merasa puas."
"Oh, akhirnya kau tampak seperti seorang ayah juga." Rio berkelakar. "Aku pun juga begitu …" Nadanya terdengar lemah dan lembut. "… sebagai seorang ibu."
Gakushuu dan Rio diam, bersama-sama memandang lurus ke depan. Gerbang gedung sekolah sedari tadi telah ditutup. Mereka pun tak bisa menyaksikan sosok buah hati mereka dari sana, namun mereka dapat merasakannya. Putra mereka yang berdiri gugup di barisan murid baru, putra mereka yang takjub mengitari gedung sekolah, putra mereka yang menuai prestasi, putra mereka yang berpidato ketika kelulusan nanti, putra mereka yang melanjutkan pendidikan di sekolah-sekolah favorit, hingga putra mereka yang tumbuh dewasa dan siap menghadapi dunia yang luas di depan mata.
Helai-helai sakura tak berhenti jatuh menghiasi bumi, bagaikan salju di musim semi.
"Meski kita sudah tiada …" Gakushuu memecah keheningan. "Kita akan terus mengawasi anak kita. Melihat dia tumbuh dewasa, menjadi apa yang dia inginkan."
"Ya, kita akan terus mengawasinya," ujar Rio. "Tak peduli apapun yang terjadi. Di manapun, kapanpun …"
Kedua senyum itu tak berhenti teruntai.
"Sepertinya waktu kita sudah tidak banyak, ya." Gakushuu menoleh ke Rio. "Sekali lagi, bisakah kau menyanyikan lagu itu?"
"Eh, lagu yang tadi?" Rio mengejapkan mata. Melihat iris violet Gakushuu yang tampak serius, Rio menyunggingkan senyum dengan dengusan kecil. Ia melepaskan tangannya dari lengan Gakushuu, menegakkan badan hingga lurus menghadap ke depan. "Baiklah, jika kau memaksa."
"Dare mo … bokura no koto …
Afurete … iita …
Anata no oshie … kyou kara mo …"
Rio bersenandung riang. Suaranya pun terdengar lebih keras. Kakinya bergoyang-goyang, seolah-olah ia merasa dirinya masih gadis remaja alih-alih wanita berumur hampir tiga puluh tahun. Tatapannya jatuh ke gedung sekolah, sama seperti Gakushuu. Dihujani helai sakura yang jatuh menembus tubuh mereka, untaian lirik terlantun dari mulut Rio.
"Hito … ri chishiru de.
Sakura (sakura), sakura … ai no chiru …
Sakura (sakura), sakura (sakura) …"
Gakushuu yang tadinya hanya mendengarkan, kini akhirnya ikut bersenandung.
"Sakura (sakura), sakura (sakura) …
Sakura (sakura), sakura (sakura) …"
Dengan suara yang saling bersahut, mereka bernyanyi bersama, dengan tangan yang saling menggenggam.
"Sakura (sakura), sakura (sakura) …
Sakura (sakura), sakura (sakura) …"
Dengan senandung yang terus melantun, Gakushuu berujar dalam hati.
「Mulai sekarang, kau akan mengalami lebih banyak kesulitan daripada saat kami meninggalkanmu.」
Rio pun menyambung di dalam benak.
「Dan ada kalanya kau harus menghadapi sendiri, tanpa bisa meminta bantuan orang lain.」
「Tapi percayalah, kami akan selalu ada di dekatmu—」
「Di manapun, kapanpun—」
「Sampai kami dapat menjemputmu.」
Senandung terus melantun, meski hanya terucap kata 'sakura' yang tak terputus-putus. Cahaya kelap-kelip menyelubungi mereka, bagaikan dikerubungi kunang-kunang. Perlahan-lahan, sosok mereka memudar, semakin tak kasat mata, menyisakan dua sosok bayangan transparan yang tipis.
「Teruslah hidup dengan baik hingga kau dewasa.」
「Ingatlah kami selalu.」
「Terima kasih karena telah bersedia menjadi anak kami.」
「Selamat atas diterimanya kamu di sekolah …」
「Sampai jumpa … di waktu kelulusan nanti.」
Sosok mereka pun akhirnya menghilang, berbaur dengan cahaya kelap-kelip yang naik ke angkasa. Bersama helai-helai sakura, mereka mengitari langit, berputar-putar, dan berkelana membelah angkasa. Cahaya itu tak akan pernah terpisahkan. Cahaya itu akan abadi, terus abadi, dan tak akan pernah pudar.
Sakura-sakura yang berada di sepanjang jalan masih terus berguguran, jatuh menjangkau berbagai tempat. Gugur diterpa angin, gugur mengitari bumi. Mereka akan terus tumbuh dan gugur, mengisi hari-hari para murid yang akan belajar di sekolah pilihannya. Meski ada badai menerpa, mereka akan terus tumbuh dengan cantik, kemudian gugur dengan indah, hingga musim semi berakhir.
Dan enam tahun kemudian, akan ada seuntai senandung lagi yang menemani.
Senandung di musim semi.
.
.
.
Halo, saya di sini. Terima kasih karena telah membaca.
Iya, saya sedang baper. BAPER. Gara-gara melihat AnsaKyou episode 24, ditambah mendengarkan lagu Time Machine yang di-cover Len lagi. /sroott/ Plot ini pun sudah menghantui saya. Maafkan kalau gaje.
Oh, ya, senandung di atas itu adalah insert song di episode 24, lho. Yang saat Koro-sensei mati. :(( Karena saya tidak menemukan liriknya di internet, jadi saya nonton ulang dan mendengarkannya sendiri (lalu baper berkali-kali). Maaf bila ada kesalahan lirik.
Omong-omong, saya suka KaruRi dan GakuRi. Tapi karena KaruRi cukup banyak arsipnya, jadi saya buat GakuRi (atas AsaRi? Saya lebih terbiasa menyebut GakuRi). Moga-moga kalian juga suka GakuRi. Mari kita ramaikan GakuRioKaru, selain ItonaKaede tentunya. /eh/
Silakan tinggalkan sepotong review, dan tentunya saya masih menyiapkan sepenggal cerita di bawah. Salam~
.
.
.
Sakura demi sakura tak berhenti meranggas menghiasi tanah lapangan.
Seluruh murid tengah berkumpul di sana, menghadiri upacara penerimaan murid baru yang kini tengah berlangsung. Sebagian mendengarkan pidato kepala sekolah dengan serius, sebagian lagi memasang wajah bosan. Kebanyakan yang memasang wajah bosan adalah anak-anak kelas enam, tidak seperti anak kelas satu yang berbaris di tengah-tengah. Mereka berdiri di sana dengan wajah berseri-seri, dengan berbagai pakaian yang lucu, di depan orang tuanya yang tengah terharu melihat anaknya berdiri di sana.
Namun, tak ada yang menyadari, ada seorang anak di antara mereka yang memasang wajah berbeda. Wajah yang muram, mendung, sungguh bertolak belakang. Tak ada yang bertanya kenapa, karena tidak ada yang mengenalnya. Barangkali anak itu hanya enggan berpisah dari orang tuanya sepanjang hari mulai esok. Ah, pasti hanya itu.
Angin kencang tiba-tiba menerpa, menerbangkan helai-helai sakura dengan cepat. Anak itu spontan mengangkat kepala, kemudian menoleh melihat guguran helai sakura yang terbang jauh di belakangnya.
"Ayah … Ibu …"
Ah, rasa rindu yang terpendam itu kembali memenuhi hatinya.
Rasa rindu kepada kedua orang tuanya …
… yang tengah melihatnya dari surga.
"Nah, perwakilan anak kelas satu yang akan maju ke depan adalah …" Seorang guru memanggil dari atas panggung. "… Asano Karma!"
Anak berambut merah yang dipanggil menolehkan kepala, menatap teman-teman di depannya yang bertepuk tangan riang untuknya. Ia terkesima sesaat, lalu menjawab dengan tegas seraya mengangguk.
"Ha'i!"
.
.
fin
