"Maaf."

Ketika kedua manik rubi berkilat, Furihata hanya mampu menundukkan kepalanya. Satu patah kata yang sudah terucap rasanya ingin ia telan lagi dalam-dalam, mengulang detik terbuang yang ia sesalkan sepenuhnya. Tubuhnya sakit, seakan ditusuk ratusan―bukan, ribuan sembilu yang berasal dari pemuda di depannya. Tapi, Furihata sudah bulat tekadnya. Tak ada lagi jalan memutar, karena pilihan ini sudah matang-matang ia pikirkan.

Di saat mulutnya usai melanjutkan kalimat yang telah ia latih berhari-hari lamanya, monokrom itu semakin berkilat. Ketika Furihata mendongakkan kepalanya, iris itu tak lagi semerah darah segar, melainkan kuning emas serupa kelopak matahari mekar.

Furihata membelalakkan matanya. Langit mulai menangis. Tetesan hujan bagai jarum yang merajam masuk ke dalam epidermis hingga tulang. Bukan lagi gerimis yang menjadi ancang-ancang, tapi deras sudah menghantam. Dingin yang menusuk seakan-akan menyalahkan ia yang bertutur kejam. Lalu, tubuh itu berbalik, membelakangi Furihata yang jatuh terduduk sembari menekan nyeri di dada, menahan guliran air asin dari lakrima yang membengkak.

Furihata menatap punggung yang selalu tegap dan kuat itu semakin mengecil. Punggung tempat ia biasa menyandarkan kepala seusai latihan basket menyiksa. Punggung yang pernah menopangnya karena ia tak lagi sanggup bergerak. Punggung yang pernah menjadi miliknya―namun sekarang status itu hilang tak berbekas.

Tangannya dikepal erat-erat, disembunyikan rapat-rapat, ditahan agar tidak terdorong untuk kembali menarik tubuh itu dalam pelukan hangat dari hujan yang membekukan. Memberikan kalimat-kalimat penenang dari ledakan petir yang menggeram. Melingkarkan lengan di pundak yang bergetar ketakutan. Mengusap surai-surai merah di atas pangkuan sampai tertidur lelap. Mencium kening dan mata yang tertutup lekat. Mengatakan bahwa ia akan selalu di sisi dan menemani, tidak pernah pergi dan meninggalkan, bersama selamanya.

Tapi, Furihata bukan orang yang munafik. Ia tak bisa jika sentuhan-sentuhan itu diberikan tidak dari hati. Bukannya cinta namun rasa iba.

Meski raut kekecewaan dan putus asa ia terima, tetap ia tak mau menjadi seorang pendusta, yang selalu mempermainkan perasaan seseorang yang mencintainya tanpa syarat dan alasan, namun hanya mampu ia balas dengan kehampaan.

Furihata sudah menyakitinya karena ia tidak bisa mencintainya―dan semua berkat sosok pria lain yang ia kagumi diam-diam.

"Terdengar jahat memang, tapi aku mencintai orang lain."

.

.

.

Somei Yoshino

KnB © Tadatoshi Fujimaki

Warning: Possibly out of character, beware of typos, this story is based by my hopeless love life, why so serious?

(Linger by The Cranberries.)

.

.

.

Maret sudah berakhir sejak beberapa hari yang lalu. Putih berganti warna-warni cerah yang memikat kalbu. Aroma manis menyeruak dari kelopak-kelopak yang berguguran ditempa angin yang melaju. Bunga kehidupan menghangatkan. Eksistensi mentari disambut sukacita seluruh penduduk di setiap sudut kota.

Musim semi ditandai dengan mekarnya sakura menggantikan gundukan salju di tiap ranting pepohonan. Ada yang bilang kalau sakura memiliki makna mendalam bagi masyarakat Jepang.

Pertama, bunga kehidupan ini berarti kesejukan, kebahagiaan, keheningan, dan ketenangan. Kesejukan karena rimbunnya kumpulan bunga mampu memberikan kelembutan angin yang berhembus. Kebahagiaan dan keheningan karena bunga sakura seolah datang membawa sekeranjang perasaan suka yang tak akan bisa diberikan oleh bunga lain yang berasal dari manapun.

Kedua, bunga kehidupan ini bermakna perpisahan ketika mulai berguguran diterpa angin. Tiada yang abadi. Saat ada pertemuan pasti ada perpisahan. Pertemuan yang membawa kebahagiaan dan perpisahan yang akan membawa kesedihan. Tetapi perpisahan itu hanya sementara, ketika musim berganti, pertemuan akan kembali terjadi. Pada saat itu, ada waktu singkat memadu kasih dan menikmati dunia bersama.

Ketiga, kecantikan bunga sakura melambangkan kegembiraan dan kesedihan. Kegembiraan karena kecantikannya membuat hati senang. Tidak ada orang yang tidak senang melihat hamparan keindahan yang tersuguh dengan luasnya. Senyum akan mengembang dan virus gembira menyebar dengan cepat. Tapi, keindahan itu memang ada tenggat waktunya. Seperti juga keindahan fisik manusia yang pada suatu pasti akan sirna. Hanya keindahan jiwalah yang akan menghadirkan keindahan sesungguhnya. Jadi, kesedihan itu tidak harus diratapi. Kesedihan itu adalah sebagian kecil dari seni menata hidup. Kesedihan akan menjadi tonggak kebahagiaan ketika dilihat dari betapa kesedihan sebagai ujian, dan ujian pasti ada akhirnya. Bunga ini begitu tepat untuk melukiskan kebahagiaan dan kesedihan pada waktu yang sama karena memang begitulah hidup. Satu hari bahagia, satu hari bersedih, lalu berbahagia lagi, dan seterusnya, begitulah berulang kali.

Dan, Furihata percaya, bahwa kelopak somei yoshino yang di tangannya ini adalah pertanda bahwa akan ada harapan baru yang lebih cerah menanti di depan mata.

"Kau melamun."

Furihata mengalihkan pandangan dari warna merah muda pucat cenderung putih yang melayang pergi melewati jendela yang terbuka. Ditatapnya iris karamel serupa di hadapannya, seorang gadis berambut pendek yang merengut sebal. Furihata hanya mampu tertawa kikuk dan meminta maaf sekenanya.

Gadis itu mendesah panjang. "Jadi, katakan padaku bagaimana pendapatmu?" tanyanya masih dengan air muka kesal.

"Pendapat apa?"

Jelas sekali lawan bicara berwajah manis itu semakin menekuk keningnya. Tangannya bergerak mencubiti lengan Furihata yang disilangkan di atas meja, sesekali jahil mengambil kentang goreng yang terabaikan selama beberapa menit. "Kau tidak mendengarkan!"

"Maaf, neesan."

Aida hanya merutuk. Dari dulu Furihata memang mudah terbuai dalam pikiran dan dunianya sendiri. Sejak kecil mereka bersama, Furihata selalu asik melamun, menatap langit atau bunga-bunga di pekarangan rumah. Terkadang, menyusahkan memang. Karena kebiasaannya itu, Furihata tak banyak memiliki teman. Jadilah ia di sini, sebagai seorang kakak sepupu yang sangat menyayangi adiknya yang pemalu dan canggung, di universitas dan fakultas yang sama, diam-diam menjaganya.

"Aku ulangi, menurutmu, apa itu cinta?"

Manik mungil sebesar biji semangka membulat sebelum mengerjap menggemaskan. Furihata sama sekali tak percaya satu kata terakhir yang terdiri dari lima huruf dan dua suku kata itu meluncur mulus dari bibir saudaranya. Selalu bersama dengan gadis itu membuat Furihata lebih dari tahu tabiat, pikiran, dan sifat-sifatnya. Aida bukan tipe orang yang melankolis soal perasaan. Furihata bahkan ragu jika Aida pernah menyukai orang lain semasa hidupnya.

Bayangkan saja, Aida yang galak, pemarah, tegas, berkacamata, mendedikasikan diri pada pelajaran dan olahraga tiba-tiba berbicara tentang cinta. Furihata harus segera bertanya pada pamannya apa Aida tak sengaja memakan sarapan yang gadis itu buat sendiri atau bagaimana.

"Ayo, Kouki, jawab!"

Furihata tak lekas menjawab. Ia masih terkejut dengan pertanyaan sebelumnya.

Cinta?

Bahunya mengendik samar. "Tidak saling mengecewakan?"

Ragu.

Aida belum puas. "Pendapat lain?"

Guguran sakura kembali menyelinap masuk melalui jendela yang terbuka. Kericuhan yang ada di dalam kantin universitas tidak begitu diindahkan. Furihata kembali menatap hamparan lazuardi yang menaungi ia dan dunianya, dalam hening berpikir.

"Tidak ada kebohongan."

Sebuah mobil Lamborghini Aventador merah nyalang masuk ke dalam parkiran yang kebetulan berada tepat di seberang tempat mereka menikmati makan siang, menarik seluruh atensi tiap eksistensi di penjuru kampus, tak terkecuali Furihata.

"Tidak meninggalkan satu sama lain."

Pintu mobil itu terbuka, memperlihatkan kaki jenjang berbalut celana jeans kelabu gelap. Sepatu sneaker merah bata menapak di atas bumi bersamaan dengan kepala bersurai senada yang menyembul keluar. Furihata menahan napasnya tanpa sadar, pula tangannya yang bergerak mencengkram erat perih mendadak di bagian dada. Tubuh pemuda jutawan itu dilapisi kaos merah burgundy simpel dengan tulisan dalam bahasa asing menjadi motif kemudian ditutup jas dengan warna serupa celana. Saat pintu mobil sudah tertutup, Furihata tak sengaja berpapasan dengan iris heterokrom yang seakan menusuk retinanya. Bayangan selanjutnya adalah bibir pemuda tampan itu menyunggingkan seringai tipis samar-samar.

"Tidak ada yang tersakiti," gumamnya lirih sebelum berlari meninggalkan meja dan Aida yang mengangkat sebelah alis tinggi-tinggi, heran.

Kalau memang benar semua teori yang Furihata nyatakan barusan adalah cinta, lalu, yang bergerumuh dalam jiwanya, memberontak ingin dikeluarkan secepat mungkin, berkecamuk di pikirannya tatkala sosok sang mantan kekasih kembali menghantui penglihatannya ini apa? Terlalu menyakitkan untuk disebut cinta. Benci? Terdengar sangat jahat dan kejam. Furihata tak mau membenci orang lain. Rindu? Tidak. Masih terasa janggal jika didefinisikan begitu.

Ah, ya, ia akhirnya tahu.

Furihata takut. Sangat takut. Dadanya berdegup kencang karena takut. Tubuhnya bergetar karena takut. Matanya memanas karena takut. Lidahnya kelu karena takut. Kepalanya pening karena takut.

Tapi, takut apa?

Yang Furihata yakini adalah ini bukan takut kalau cinta yang lalu nanti akan kembali bersemi, melainkan pembalasan dendam karena sudah menyakiti.

.

.

.

To be continued.

(A/N: Mendadak sedih dan ngebut bikin ini gara-gara ngedenger lagu Linger-nya The Cranberries. Sebenernya, ff yang satu ini sebagai ajang pelampiasan curahan hati saya karena kemaren akhirnya ketemu si alasan kegundahan hati setelah berbulan-bulan bisa melupakan presensinya di sekitar diri. Aih, udah, ah... saya mau ngegalau dulu ;u;

-nju)