Attention!

Hallo, saya Jo Liyeol. Fanfik ini ga dihapus atau ganti ide ko, hanya diperpanjang chapternya :v Mungkin yang udah baca chapter satu dan dua kemaren bisa terus scroll ke bawah untuk nemu cerita lanjutannya. Soalnya setelah dipikir-pikir story dengan 1K+ words itu terlalu pendek untuk chapter, apa lagi buat penulis seperti daku yang suka males update :v Feelnya bisa cepet ilang (maafkan kelabilan saya) =w=

Btw, IK diremake kerena jadi salah satu dari post and up lima fanfik buat ngerayain ulang tahun kekasih tercinta Kim Tae; kekasih gelapku—babehku, Jung Kookie sayang =w=

#HappyJungkookDay #Happy정국Day#HappyKookieDay #HappyJeonggukDay #HappyJKDay #HappyGoldenMaknaeDay

.

So, happy reading!


.

.

Jo Liyeol's present

©2016

.

.

| Idiot Knight |

Chapter I (Prologue): Hai, Sir! I Wake Up. Turn it up!

.

| VKook - TaeKook : Kim Taehyung, Jeon Jungkook / V, Jeongguk |

Slight! : in next chapter (maybe) |

| Others : BTS member and lil SVT member |

.

.

Warning!

OCC || AU || T+ || Typo || BL

[FantasyHumorDramaRomanceSupernatural]

.

.

.

PROHIBITED COPAS, DON'T BE PLAGIAT, DON'T BE SILENT!

BTS (+SEVENTEEN) FF! DLDR! RnR!

.

.


Summary

'Namanya Kim Taehyungentah sosok apa dan berasal dari mana, dia hadir karena ketidak sengajaan Jungkook yang salah ucap bait mantra saat bermain-main dengan gerbang dimensi bersama para kawannya.'


.

Pancaran oranye lembut bias mentari senja membawa cahya meremang seiring tenggelamnya sang surya keperadaban. Semilir angin berembus dingin menggugurkan dedaunan kering dan membawanya jatuh menyapa bumi, cicitan lelah dari paruh kecil burung-burung saling menyahut di akhir aktivitas mereka.

"Kalian yakin?" seorang siswa bertutur gusar di bawah pohon akasia pada halaman belakang gedung kokoh Akademi YaGook ke ketiga siswa berseragam sama dengannya.

Mereka berdiri melingkar dengan jemari bertaut satu sama lain, di tengah-tengah sepatu keempatnya terdapat sebuah lingkaran pasir berisi gambar segitiga di tengah dengan tiga sudutnya yang menyentuh garis lingkaran itu.

"Tentu saja, kau ragu?" kerutan halus di kening siswa dengan sematan nama 'Park Jimin 11-E' (pada dada kanan almamater merah marunnya) tergambar menatap siswa yang bertanya tadi lekat-lekat.

Yang ditanya menunduk, memperhatikan lingkaran di tengah mereka cukup lama sebelum menggeleng, "Tidak. Hanya saja, tidakkah ini berbahaya?"

Tawa riang terdengar seiring tepukan semangat mendarat di sebelah pundak siswa tadi, "Ayolah, Guk. Kita hanya main-main, tidak akan ada yang terjadi. Ini hanya permainan jadi kau hanya perlu menikmatinya dengan tenang dan senang, oke?"

"Apa yang bisa kunikmati dengan tenang dan senang saat kita bermain-main dengan lingkaran ini, hah?"

Jung Hoseok kembali tertawa riang mendengar penuturan itu keluar dari celah bibir Jungkook, "Oh ayolah, jangan bereaksi seperti itu di saat semua kawan-kawanmu sedang bersemangat. Kau jadi tidak asik, Guk—sungguh," Jungkook mendecak, genggamannya ia eratkan di jemari kedua orang yang menghimpitnya.

"Ayolah, jangan mengulur waktu, sebentar lagi matahari tenggelam. Nanti tidak sempat," siswa di sebelah Hoseok besuara, ia menguap di akhir kalimat dengan sebelah pundak menghentak ke atas tali tas selempangnya yang merosot.

"Lihat? Bahkan si Culas Yoongi saja antusias," Hoseok menjeda, sepasang netranya masih menatap Jungkook bersama gurat ramah di wajah tampannya.

Berakhir dengan Jungkook yang mengalah. Mendesah kuat-kuat sebelum bersuara lantang, "Baiklah. Ayo kita lakukan!"

Setelah itu tautan jemari mereka berubah menjadi kepalan saling genggam, mata keempatnya terpejam kala mulai melafalkan suatu ayat yang telah dihapal mereka dari minggu lalu, "(Fuoco) Vieni qui, tutti con molta paura, (Fuoco) Vieni qui, ognuno è sventrato!"

Daun-daun berjatuh riuh pada tempo tenang bersama cicitan burung yang perlahan menghilang.

"(Fuoco) Per tutta la notte a mani nude, (Fuoco) con passo dell'oca ... (Fuoco) Saltiamo!" bersama semilir angin musim semi sorak soray suara keempat siswa itu mengalun fasih menyuarakan mantra yang sebisa mungkin tak salah tereja kala keluar dari celah bibir masing-masing.

Sekon di mana ujaran itu hendak mereka hentak kali terakhir, semilir angin berubah tiba-tiba menjadi embusan kencang yang menggoyangkan ranting-ranting pohon. Genggaman mereka menguat seiring tubuh keempatnya memposisikan nyaman di tengah ombang-ambing angin yang semakin mengencang.

"Lasciate mania tutto!" / "Facciamo bruciare tutto!"

Sesaat kemudian tiga dari mereka menukikan tubuh ke belakang tiba-tiba, membentuk liuk busur yang lumayan tajam, angin menerbangkan helai ketiganya ke arah belakang sampai memampangkan jelas kening mereka.

Ketiganya terlihat begitu damai hingga tak menyadari detik di mana Jungkook telah salah ucap di bait terakhir mantra keempatnya, sampai sepasang kaki ketiga sahabatnya perlahan naik dan mengambang di udara dengan menggantung begitu saja, lingkaran di tengah mereka menyala menyerukan cahaya merah barsama kepulan asap tebal memunculkan setitik debu kelam yang perlahan membesar. Jungkook membuka matanya, melihat segala hal yang terjadi dari mulai kaki-kaki sahabatnya tak lagi menjejaki tanah hingga cahaya remang keluar dari setitik debu yang bertransformasi menjadi lingkaran hitam itu—perlahan membesar membentuk sosok seseorang, "Akh!" dan pekikan Jungkook tak tertahan kala embusan angin berembus tiba-tiba tepat ke arah wajahnya membawa serpihan krikil yang langsung menuju mata.

Pekikannya disambut ketiga siswa di sana terlempar sembarang hingga melepas tautan tangan mereka diterusi terpaan angin kencang yang terhenti tiba-tiba pula kepulan asap yang semakin gamang terkuar menyelimuti seantero sekolah bagai kabut Himalaya.

Jungkook beringsut mundur kala membuka mata dan hanya menemukan asap putih yang membuat retinanya perih, ia kembali memejam dengan langkah yang tak kunjung terhenti, sampai sebuah batu menghentikan langkahnya kala beradu kasar dengan tumit kakinya. Jungkook terpeleset, jatuh terduduk tepat di depan batang pohon. Obsidiannya menyalak kala mendapati Jimin tergeletak tak sadarkan diri beberapa meter darinya. Ia ingin menggapai sahabatnya, namun sesak di paru-parunya membuat ia menunduk menelungkupkan tubuh pada kedua lutut yang ia tekuk. Sebelah tangan ia bekap rapat-rapat menutup hidung serta mulutnya. Waktu berjalan lambat kala Jungkook merasa kehabisan napas dan nyaris pingsan, bersamaan seonggok bayangan hitam muncul dari balik kabut; melangkah santai dan terhenti tepat di hadapannya, berjongkok dan menarik dagunya perlahan di tengah kesadaran tak penuh Jungkook yang membuat kedua lutut beserta tangan siswa Jeon itu terjatuh lemas ke tanah.

Di ujung kesadaran, Jungkook mempercayai bahwa sosok itu malaikat akhirnya, sosok yang ia yakini akan menjemput jiwanya menghadap pada sang pencipta. Dan saat Jungkook hampir menutup mata sebuah kecupan ringan mendarat di atas bibirnya sebelum ia tak sadarkan diri di dalam pelukan seseorang yang tersenyum penuh arti dengan elusan pelan yang mendarat lembut di puncak kepalanya.

"Terimakasih telah memanggilku, Tuan."


Jungkook terbangun, membuka kelopak mata pelan-pelan. Kala benderang lampu menerjang retinanya ia mengerjap cepat, kemudian kembali berusaha membuka mata sebisa mungkin.

Aroma antiseptik berbaur obat-obatan menguar luas berkat terpaan air conditioner yang pertama kali remaja Jeon itu dapati dalam hirup perdana tarikan napasnya saat sadar. Kemudian ruang berdominan warna putih yang masuk indra pengelihatannya kini.

Jungkook mengerang, merasakan denyut sakit menyambut area kepala bersamaan sentak menyakitkan di pergelangan tangan kirinya yang reflek memegangi kepala—sakit bukan main berkat tancapan bius yang bergoyang berkatnya.

Siswa Jeon itu termenung sejenak. Mengambil alih kesadaran akan apa yang didapatinya kini dan apa yang dilakukannya di sini. Namun saat seorang bruder dengan gurat ramah di wajah cantiknya masuk membawa nampan berisi makanan khas rumah sakit beserta segelas tinggi air mineral, Jungkook tertegun.

Bruder itu berjalan mendekat dan terhenti di sebelahnya, menaruh nampan yang ia bawa di permukaan nakas tanpa peduli pada tatapan Jungkook yang terus memperhatikannya lekat-lekat.

Saat kesadarannya terkumpul penuh Jungkook akhirnya angkat suara hati-hati, "Permisi ..."

Bruder cantik menoleh memampangkan sematan name tag yang terjepit di kantung kiri seragam putih perawatnya bertuliskan 'EunGun Hospital—Bruder: Yoon Jeonghan' dipadu foto pasnya tertera di tengah-tengah dengan amat cantik.

"Ya?" ia menangapi bersama senyum bak malaikat sambil menyematkan rambut panjangnya ke belakang telinga.

"Mianhae-yo, k-kenapa aku bisa ada di sini ... Hyung-nim?" kalau saja dada sosok cantik itu tidak rata, Jungkook sudah berniat memanggil ia agashi atau noona sebenarnya.

"Um?" Junghan tersenyum kecil, "Kau dan teman-temanmu pingsan di belakang gedung Akademi YaGook, kurasa akibat kepulan asap korsleting listrik yang terjadi di sana. Petugas pemadam yang menemukan kalian."

Ada sedikit rasa bingung merayap di kepala Jungkook akan penjelasan Junghan. Namun kala ia mengingat sesuatu, sosoknya tertegun.

.

"(Fuoco) Vieni qui, tutti con molta paura, (Fuoco) Vieni qui, ognuno è sventrato!"

"(Fuoco) Per tutta la notte a mani nude, (Fuoco) con passo dell'oca ... (Fuoco) Saltiamo!"

"Lasciate mania tutto!" / "Facciamo bruciare tutto!"

.

Tidak. Tidak! Tidak, itu bukan korsleting listrik.

Itu ...

"Hyung-nim, lalu bagaimana dengan teman-temanku?!" siswa Jeon itu berteriak histeris sambil mendudukkan diri tiba-tiba. Tak peduli lagi pada biusan di tangan kirinya yang kembali tersentak menimbulkan rasa perih total.

Junghan sendiri tetap tersenyum meski cukup kaget dengan gerak tiba-tiba Jungkook. Ia berjalan mendekat, meraih tangan kanan siswa Jeon itu kemudian membenarkan jarum biusnya dengan telaten sambil berujar santai, "Astaga ... Kau tidak perlu seheboh itu. Tenang, mereka baik-baik saja tanpa kurang satu organpun. Maaf mengecewakan, tapi teman-temanmu bahkan sudah dijemput keluarga masing-masing saat kau masih pingsan," kemudian ia terkekeh sambil menepuk sebelah pundak Jungkook, "Oh ya, Hyungmu juga tadi datang bersama para pemadam itu. Dia pergi dibawa petugas untuk dimintai keterangan apa yang sebenarnya terjadi karena dia ada di sana dan jadi salah satu korban selamat yang tidak dilarikan ke rumah sakit. Dan sekitar setengah jam lalu dia sudah kembali," Junghan mengangkat sebelah tangan menunjuk pintu satu-satunya di ruangan ini pakai ibu jari, "Dia menunggu di luar," kemudian melanjuti setelah menurunkan tangannya sambil memajukan tubuh—berbisik, "Hyungmu sangat tampan omong-omong," lalu kekehannya terdengar.

Untuk kali ketiga. Jungkook termenung, "Hyung?" air mukanya berubah menjadi raut bingung yang kentara, "T-tapi aku anak tunggal."

"Oh?" Junghan melebarkan matanya. Hening beberapa detik sebelum ia kembali terkekeh, "Aaah ... Kalau begitu dia pasti kekasihmu. Maaf sudah berkata seperti tadi, aku hanya mengatakan fakta kok. Jujur saja, kau sangat beruntung; selain tampan dia juga benar-benar gentleman. Hampir tiga jam dan dia tetap setia menunggumu—bahkan sehabis diintrogasi."

Jungkook sendiri kembali termenung. Dia tidak punya hyung, dia anak tunggal, dan dia tidak punya kekasih. Kalau seseorang yang ia harap jadi kekasihnya sih ada, tapi yang banar saja!

"Hyung-nim ...," Jungkook berbisik, namun Junghan lebih dulu menyela.

"Sudah ya, aku harus kembali ke ruang perawat. Akan kubilang pada kekasihmu dia sudah dibolehkan masuk karena kau sudah sadar."

Dan Junghan menepuk puncak kelapa Jungkook pelan sebelum berbalik, melangkah, lalu hilang setelah debuman halus pintu terdengar.

Bruder tadi bilang yang di luar itu kekasihnya! Yang menunggunya itu kekasihnya! Kekasihnya?! Bruder Yoon itu benar melihat orang atau setan, hah?!

Namun saat samar-samar Jungkook dengar suara Junghan berbicara dengan seseorang di balik pintu dan suara sepatu pantofel perawat lelaki itu bergemelatak menjauhi kamarnya, siswa Jeon itu merasa cukup was-was terlebih kala ia menyadari bahwa dirinya berada dalam kamar VIP.

Oh Tuhan ... siapa yang sebenarnya membawa ia ke rumah sakit ini? Petugas kebakaran? Kalau itu sudah tau. Tapi siapa orang yang dimaksud Junghan kekasihnya?

Jungkook yakin orang itu yang memasukannya ke ruang VIP, tidak mungkin petugas pemadam segitu loyal padanya 'kan? Apa mungkin keluarganya? Mati saja kau Jeon, jangan banyak menghayal. Jangankan dimasukan ruang VIP, ketahuan pingsan saja sudah dijamin pantatmu akan membengkak sebesar pantat kuda akibat (dianggap) menyusahkan para petugas itu. Belum lagi biaya rumah sakitnya. Jujur saja, keluarga bocah 18 tahun ini hanya sebatas keluarga sederhana pada umumnya

'Oh! Atau mungkin Wonwoo hyung?' Jungkook bertepuk tangan sekali.

Wonwoo. Jeon Wonwoo, sepupu yang tinggal satu rumah dengannya.

Jangan tanya kenapa Jungkook bisa sampai lupa namanya saat Junghan berkata 'hyungmu' karena ada satu fakta yang ...

"Menghayal sampai kutang bunglon kering pun tidak mungkin! Silit saja kalau memang benar itu Wonwoo hyung. Makhluk biadab itu? Tidak mungkin!"

Dan detik di mana pintu ruangan terbuka perlahan bersama decit memekakannya terdengar. Jungkook menoleh ke sumber suara lekat-lekat.

Di sana, di ambang pintu. Seorang lelaki berpakaian resmi menampakan diri dari balik pintu. Melangkah perlahan kearahnya.

Kalau boleh jujur Jungkook cukup merasa curiga dengan pakaian orang itu. Memang tiap orang kaya di negri ini pasti akan bersergam tuksedo, celana bahan, pula sepatu pantofel. Tapi kalau dipikir-pikir, siapa yang mau pakai setelan itu dengan warna hitam murni dari ujung ke ujung? Hanya orang gila yang mendatangi kantor berpakaian seperti itu kalau Jungkook pikir ulang.

Yah ... kecuali orang itu bandar narkoba, pengadah organ anak-anak, atau mafia penjual-belian manusia.

Dan Jungkook merinding dengan pemikirannya sendiri.

Terlebih orang itu kini berdiri di sisi ranjangnya, menatapnya lekat-lekat lewat onix merah gelap itu.

Dalam batin siswa Jeon ini cukup terpukau dengan sosok di hadapannya. Helaian Merah terangnya, hidung mancung, bibir semerah darah, kulit tan. Benar kata Junghan, wajah orang yang menunggunya memang benar sangat tampan. Belum lagi ini kali pertama Jungkook melihat ada orang dengan pupil berwarna hitam kemerahan.

Kesan pertama bagi Jungkook untuknya adalah; dominasi warna merah-hitam yang sempurna. Indah, mengagumkan, pula memabukkan pandangan. Hanya melihatnya saja sudah menjadi candu.

Waktu terhenti kala Jungkook rasa sosok itu menarik seulas senyum miring di sudut bibirnya.

Tampannya luar biasa—sungguh. Tidak bercanda, ini serius!

Namun kesadaran dari mengagumi indah sosok di hadapannya terhenti saat orang yang ia kagumi bersuara amat tenang namun terbersit sarkasme pula cibir penuh angkuh di tiap penggalannya, "Aku tau aku tampan. Tidak perlu mengagumiku sampai segitunya, Tuan."

Adalah detik di mana Jungkook mencibir dalam hati, "Pede sekali."

Namun retinanya menjernih kala orang itu dengan amat santai menjawab, "Kurasa tidak masalah, percaya diri itu penting, Tuan."

Alhasil membuat bocah di bawah legal itu melongo setengah tak percaya menatap sosok di hadapannya, "Kau bisa baca pikiran?"

"Secara naluriah—ya," orang itu menjawab santai dengan dua alis terangkat.

Sementara itu Jungkook termenung di tempatnya dengan mulut setengah menganga. Tak percaya menatap kesempurnaan orang di depannya; tidak kah Tuhan benar-benar tak adil? Dia sudah tampan, kaya, berkarisma, dan punya six sense pula? Harusnya Tuhan sedikit berbagi dari pada melimpahkan keseluruhan padanya.

Angan-angan Jungkook terbelah saat pusat imajinasinya kembali bersuara, "Tidak perlu terkejut seperti itu, Tuan. Itu salah satu kelebihan kami."

Dan seketika waktu terhenti bagi Jungkook.

"Kami?" alisnya menukik tajam, kerutan pada keningnya melipat hingga tiga garis. Bertanya-tanya pada rasa kuatir yang tiba-tiba menjelma, "K-Kau—siapa kau sebenarnya, hah?" suara Jungkook meninggi, sedikit memundurkan tubuh dari lawan bicaranya, "Apa kau salah satu penjagal yang mencari organ anak-anak di bawah usia legal?"

Pertanyaannya mengundang dengus protes di wajah tampan sosok itu, "Dengan wajah setampan ini? Ayolah, itu mustahil," ia menunjuk dirinya dengan suara yang masih terdengar santai.

Namun dengan kurang ajar Jungkook mengacungkan telunjuk di hadapan wajahnya, "Contoh produk sukses! Katakan, kau pasti mendapat wajah itu dengan operasi. Iya 'kan?" dan dengan kelewatan menuduh sepihak pada tekanan memaksa.

"Jangan meracau tidak jelas. Wajahku dari awal memang begini, Tuan," sosok itu berimbuh; suaranya lembut meski masih terdengar santai. Dengan gerak pelan ia menurunkan tangan Jungkook dari hadapan wajahnya begitu hati-hati.

"Kau pasti berbohong!" sulut Jungkook masih menuduh dengan suara tingginya yang semakin menjadi sesaat setelah tangannya diturunkan.

"Tidak, Tuan," sosok itu masih menjawab santai.

"Bohong!"

Yang dituduh masih pada ekspresi awalnya, "Tidak."

"Kau. Pasti. Berbohong."

"Tidak."

"Kau pembohong."

"Tidak, Tuan! Astaga ... aku bukan pembohong dan aku tidak berbohong, right?" tekan pemuda itu meyakinkan Jungkook setengah lelah.

"Kalau begitu kau pasti penipu."

Masih berdiri di sisi ranjang rawat Jungkook. Sosok itu memasung wajah kesal pada binar obsidian merah kelamnya yang berpendar sebal, "Berhenti menuduh atau aku akan menjadikanmu makan siangku," ujarnya main-main kembali mengusung raut santainya.

Namun cukup berpengaruh untuk membungkam bibir Jungkook. Ia diam tak lama hingga kembali bersuara, "Kalau begitu kau siapa?" pandangannya lekat menatap sosok itu penuh kehati-hatian.

"Aku?" pengulangan itu begitu terdengar polos oleh sosok yang kini menarik senyum kecil di sudut bibirnya.

Sesaat kemudian gorden di belakang ranjang rawat remaja Jeon itu tertutup tiba-tiba, menghasilkan gulita yang menjelma meski benderang bias mentari sore masih menyelip dari serat pori gorden; menerangi isi ruangan pada pencahayaan remang-remang.

Detik selanjutnya sosok yang berdiri di sisi ranjang Jungkook memejamkan mata, menunduk beriring sesuatu menyembul dari balik punggunya. Perlahan membesar hinggan bentangan sayap hitam legam memenuhi indra pengelihatan si Jeon, beberapa helai bulu dari bentangan sayap itu beterbangan indah hingga tergeletak pada hamparan lantai.

Dan saat ketika sosok di hadapannya mendongak, beriring sayapnya mengepak dua kali, Jungkook sadari ada sepasang telinga merah kehitaman yang menyembul di balik rambut pemuda itu; telinga kucing dengan bulu kelinci. Pun juntaian ekor macan bercahaya merah gelap bergoyang di belakang bokongnya.

"S-siapa kau? Tidak! K-kau—kau, apa?" terbata Jungkook menyuarakan suaranya, ingin ia kembali mundur, namun sisi ranjang sebelahnya terlalu kecil untuk sekedar mengambil sedikit sisi lagi—beda urusan jika ia punya niat untuk terjatuh.

Sosok di hadapannya mengedip, kembali menunduk guna menghilangkan identitas aslinya.

Senyum miringnya kembali terpasung, "Doll," ia bersuara kala sayap, telinga serta ekor itu kembali masuk ke dalam tubuhnya. Bersama bulu di lantai yang menghilang dalam sekejap.

"Hah? Apa?"

Dengan santai sosok itu menarik kursi tak jauh di sana, meletakannya mengarah langsung pada Jungkook, kemudian mendudukinya tanpa segan, "DollDevil Of Lucky Luxion."

"Devil? Setan? Kau setan?!" Jungkook histeris, menghilangkan segala raut takut serta kerutan di kening.

Sosok itu memangku dagu pada sisi luang ranjang Jungkook dekatnya, bersuara amat santai beriring gorden tertutup tadi perlahan terbuka menerangi seantero kamar. Membuat Jungkook sadar sosok di hadapannya benar-benar tampan, "Eung, ya ... dalam artian sebenarnya ya aku setan—iblis. Tapi aku juga tidak tau pasti sih, yang jelas aku bukan dari neraka. Walau aku tercipta dari api."

Tak peduli lagi pada ketakutannya, Jungkook membenarkan posisi duduk, "J-jadi kau apa?"

Dan sosok yang masih memangku dagu itu hanya menggedik bahu enteng, "Entahlah."

"Kau berasal dari mana?" Jungkook bertanya pada emosinya yang lebih pada penasaran.

"Planet."

"P-planet? Kau alien?!" tiba-tiba Jungkook kembali histeris mengundang pemuda di sebelahnya mendecak sebal.

"Sial, aku setan bukan alien!" gerutunya mengangkat kepala hingga posisi duduknya menjadi tegak. Dengan kedua tangan yang melipat di atas kasur.

Jungkook mendelik setengah kaget, "Jadi kau benar-benar setan?"

"Kubilang aku tidak tau. Tapi setidaknya setan lebih bagus dari pada alien," sosok itu menjawab santai dengan seringai tipis kembali terpatri di wajahnya.

Jungkook mengernyit merasakan keningnya berdenyut, "Bagus k-kau bilang?—Kalau begitu kau dari planet mana? Merkurius? Venus? Mars? Jupiter? Saturnus? Uranus? Neptunus? Pluto?" ujaran awalnya sedikit mencibir meski pada akhirnya ia kembali dipenuhi pertanyaan ingin tau.

Mengundang tawa kecil sosok yang kini menyandarkan punggung di kursi sambil menggulung kedua tangan di depan perut, "Tuan, kau menyebut semua yang ada di tata surya. Tapi Pluto bukan plenet dalam tata surya lagi kalau boleh kuingatkan."

"Terserah! Yang penting kau berasal dari mana?!" suara siswa SMU itu kembali meninggi, tak sabar pada jawaban pertanyaannya.

Namun dengan menyebalkan sosok yang ditanyai kembali memangku dagu pada kedua tangan di sisi ranjang sebelum menjawab dengan senyum tertahan, "Planeeet."

"Yang mana?!"

Sosok itu memiringkan kepala, "Tidak ada jawabannya di pilihanmu tadi, Tuan."

"Kalau begitu jawab apa saja—terserah!" tekan Jungkook, suara tingginya tak enyah pada atensi ujarannya yang kentara jelas memaksa.

Mengundang binar aneh di sepasang obsidian sosok di sebelahnya, "Asal-asalan boleh?"

Sungguh. Untung saja orang itu tampan, kalau tidak Jungkook bersumpah akan menelannya hidup-hidup. Bocah SMU itu mendengus, memicingkan mata menatap sebal sosok sok imut di samping ranjangnya, "Tidak! Jawab yang benar!"

Dan orang itu merengut memberi Jungkook pelajaran untuk tidak sembarangan mengatai orang sok imut. Karena kenyataan berkata; makhluk si sisinya memang banar-benar menggemaskan, "Tapi tadi kau bilang 'apa saja terserah'?"

Demi sempak bolong Park Jimin. Jungkook rasa wajahnya sudah memerah antara gemas bercampur kesal di ubun-ubun, "Jawab saja atau aku akan mencekikmu!"

"Aku akan membakarmu sebelum kau berhasil menyentuh ujung kulitku, Tuan," dan untuk kali ini entah kenapa tanggapan seperti itu dari sosok di sebelahnya jadi terdengar begitu menyeramkan. Terlebih sosok itu tersenyum dengan bagitu tampan tanpa beban.

Hingga Jungkook memilih untuk diam. Beberapa menit berselang sebelum menanggapi dangan setengah was-was, "Sudah lah, katakan saja asalmu dari mana ... jangan membuatku takut," kemudian binar di matanya mencerah tiba-tiba, "Atau saran terbaik dariku! Kau pergi dari sini, dan kembali ke asalmu—planet atau apalah itu yang penting kau kembali dan hidup tenang di sana. Lalu kita berdua bahagia dan happy ending. Tamaaat," senyum mengembang terpetak begitu absurd di wajah manis siswa Jeon itu; dilanjuti mengangkat sebelah tangan lalu menggoyangkannya maju-mundur, "Pergi sana, hush-hush."

Senyum tampan masih menghiasi paras elok sosok di sebelahnya, sosok itu mencondongkan tubuh perlahan membuat Jungkook menjauhkan badan beserta kepalanya ke samping berusaha menjauh bersama genggamannya menguat mencengkram selimutnya takut-takut. Sosok itu berhenti mendekat saat wajah keduanya berjarak hitungan debu; membuat Jungkook menahan napas tanpa sadar ketika merasakan embusan menerpa kulit wajahnya. Sedikit menurunkan intonasi suara, sosok itu setengah berbisik pada fokusnya menelisik tiap inci wajah Jungkook, "Ataaau. Kita bisa memakai saranku, Tuan," dan ketika obsidian hitam kemerahan itu bersibobrok dengan obsidian siswa di hadapannya. Ia sedikit menarik napas menuntun senyum miring kembali menghiasi wajahnya, "Aku akan tetap di sini, dan kau bisa mulai memberi timbal balik untukku karena aku sudah menyelamatkan dan membawamu ke mari dengan biaya yang tidak murah—memberiku tempat tinggal atau apalah yang penting bawa aku bersamamu dan aku akan hidup tenang di sana. Lalu kita berdua bahagia dan happy ending. Tamaaat."

Seketika mengundang atensi tak setuju di wajah Jungkook. Dengan sigap siswa SMU itu mendorong dada sosok di sebelahnya, menjauhkan kembali wajah mereka dengan paksa, "Kau orang gila," dengusnya sebal.

Sosok yang didorongnya menggulung kedua tangan kembali menegakkan tubuh dalam duduk, kemudian membalas sambil terkekeh kecil, "Aku bukan orang."

Jungkook memicing. Berusaha melukai makhluk di sebelahnya lewat tatapan itu, "Kau setan gila."

Namun yang berusaha dilukai tetap membalas dengan kekehan, "Aku bukan setan."

Dan Jungkook berhenti memicing, tapi kembali mendengus, "Kau alien gila."

"Aku jadi orang saja," dengan tanpa dosanya makhluk itu berujar polos sembari memapangkan senyum kecil.

Entah kenapa hal itu malah membuat Jungkook semakin sebal, "Tapi kau tadi mau disebut setan!"

Untuk kali ketiga sosok itu kembali memangku dagu di sudut ranjang inap Jungkook, "Dari pada di sebut alien?" ajunya tak mau kalah. Lali-lagi menelengkan kepala usai bersuara untuk kali terakhir dengan amat menggemaskan, "Kurasa disebut orang akan lebih bagus. Toh aku tampan."

"Tidak ada hubungannya!"

Tanpa bebab sosok itu menggedikkan bahu acuh, "Biarkan, yang penting aku tampan."

Jungkook mengalah dengan mengalihkan topik, benar-benar malas meladeni kelakuan abstrak sosok itu, "Oke, sekarang begini. Anggap kau benar-benar setan atau makhluk antah berantah dari mana, yang pasti bagaimana caramu membawaku ke mari?"

Dan sosok di sebelahnya kembali menegakkan tubuh untuk bersandar pada kursi—lagi-lagi dengan tanpa beban, "Bukan aku, orang-orang berbadan besar tadi yang mengangkutmu ke mari. Aku juga diangkut, tapi mereka bilang aku baik-baik saja, jadi dilepaskan dan tiba-tiba dibawa—introgasi maksudku."

Mengundang kernyitan heran di kening Jungkook, "Jadi ... pemadam yang memasukanku ke ruang VIP?" tanyanya pada binar terpukau tak terelakkan, "Yang benar saja? Baik sekali mereka. Teman-temanku semua di ruang VIP juga tadi?"

Seketika sosok di sebelah ranjangnya menggeleng cepat bersama obsidiannya yang menatap Jungkook pada binar sanjungan, "Oh kalau itu tidak, aku yang memasukanmu ke ruangan ini. Tuanku tidak boleh berbaur dengan rakyat jelata seperti mereka 'kan?" sedikit congkak memang, ia berkata demikian pada air muka yang kentara jelas meremehkan.

Dan itu cukup untuk mengundang sulut tak terima terpetak jelas pada air muka Jungkook, "Rakyat jelata? Hey! Siapa yang kau sebut rakyat jela—tunggu!" seruannya terhenti tiba-tiba ketika sekelebat memori menyapa indra pendendengarannya seakan kembali membisikan kalimat yang ia tangkap tadi, "Tuanku?" kening Jungkook mengernyit, menatap lekat -lekat sosok di hadapannya, "Siapa?"

Dan sosok itu hanya menjawab begitu polos, "Tuanku."

"Iya, siapa?" sedikit menekan, Jungkook mengulang pertanyaannya.

Namun ketika sosok di sebelahnya kembali menjawab begitu polos, Jungkook termangu sebentar, "Kau," ia berujar sambil menunjuk si Jeon dengan dagu, menyadarkan Jungkook kembali dari alam bawah sadar, "Siapa lagi memang? Aku memanggilmu Tuan 'kan dari tadi?"

"Serius?" sejenak Jungkook lupa pada persepsi apa yang membuatnya begitu ketakutan.

Terlebih ketika sosok itu mengangguk sekali dengan begitu yakin, "Eung!"

"Aaa—ku?" mengambang Jungook menyuarakan suaranya seiring jemari telunjuknya menunjuk diri sendiri di sentakkan terakhir kalimat.

"Eee—ung!" dan sosok itu mengikutinya dengan bagaimana ia menjawab sambil berdengung panjang mengangkat kepala perlahan ke atas dan tiba-tiba mengangguk ketika dengungannya mengentak di akhir.

Lagi-lagi Jungook terdiam, ia berpikir cukup lama sebelum membuka bersuara, "Ya! Yang benar saja apa-apaan, hah?! Kau mempermainkanku, Sialan? Jangan memanggilku tuan karena aku bahkan tidak tau kau makhluk apa dan berasal dari mana!"

Namun bagai angin lalu omelannya malah ditanggapi dengan wajah sok polos sosok itu yang menegakkan duduk, memiringkan kepala sedikit dengan kedua tangan mengepal di pangkuan, "Planeeet."

"Ya!" mengundang amarah si Jeon yang tak dapat di bendung lagi. Handak Jungkook mengacak-acak wajah makhluk di hadapannya, namun sosok itu lebih dulu buka suara sebelum ia berubah ganas.

Tertawa, kembali bersandar lalu menggulung kedua tangan santai, "Tenanglah. Biar kujelaskan—tapi janji jangan menyela selagi aku bercerita?" tersenyum miring seperti sebelumnya. Senyum kecil yang sungguh menggoda siapa saja meleleh melihatnya—kecualikan untuk Jungkook yang mulai muak dengan senyuman itu.

Namun Jeon Jungkook tetap lah Jeon Jungkook, siswa kelas dua SMU yang selalu merasa penasaran pada apapun. Jadi ia mengangguk menyisihkan bagaimana kesalnya ia pada sosok itu, "Baik."

Dan orang di sebelah ranjangnya mulai membuka suara setelah Jungkook rasa pintu kamar ini tiba-tiba terkunci, "Jadi, aku ini DollDevil Of Lucky Luxion. Makhluk yang tidak jelas—maybe—sebenarnya sosok apa; aku tercipta dari api dan abu—itu sebabnya warnaku dominan merah-hitam. Tapi aku bukan setan atau iblis. Tadi aku mengatakan 'mereka', tapi perlu kau ketahui Doll hanya ada satu—dan itu aku! Mereka yang kumaksud itu ... (ia sedikit memutar mata ke atas seraya berpikir sejenak) sejenis makhluk sepertiku tapi dengan nama lain dalam satu planet yang sama. Kami tercipta, bukan di lahirkan. Dan mereka sama sepertiku—makhluk yang tidak terdeteksi jenisnya. Ada yang seperti malaikat, makhluk mitos, dewa, bidadari, roh, dan banyak lagi—tergantung mereka diciptakannya dari apa. Dan bukannya aku sombong ya, tapi ketahuilah aku yang paling kuat dan hebat di antara mereka—so, aku dari api."

Cerita sosok itu tersela ketika Jungkook tak dapat menahan bibir mengatupnya untuk memberi tanggapan sinis sambil mengangguk-angguk agaknya sok paham, "Kisah agama tidak pernah bohong. Setan memang yang paling sombong, itulah kenapa Tuhan melaknat mereka."

Mengundang sosok di sebelahnya mendengus sebal untuk kali kedua, "Apa yang kaujanjikan tenteng menyela, hah?" namun ekspresi santainya tak lagi terpetak cepat, malah semakin terlihat keruh, "Dan sudah kukatakan aku bukan setan 'kan?!"

Dan entah kenapa Jungkook merasa bahwa dirinya disalahkan padahal ia benar, jadi ia mengesampingkan janji demi rasa kebenaran pada diri sediri, "Tapi kau perumpamaan dari itu, kau tau? Tiap makhluk hanya punya satu bentuk 'kan? Dan kau diciptakan sebagai perumpamaan iblis, karena itulah kau diberi nama Devil—"

"Terserah!" sosok di sebelahnya menyela cepat. Benar-benar tidak mau mendengar cerita Jungkook yang memanaskan telinganya, "Kau masih mau aku cerita atau tidak?"

Dan Jungkook mendengus karena itu, "Lanjutkan," hendak sosok di sebelahnya kembali buka suara berniat melanjut cerita, namun Jungkook segera melanjuti cepat-cepat, "Langsung ke inti saja, bagaimana bisa kau ada di sini?"

Pemuda di sebelahnya memutar bola mata malas, "Dasar," mendengus sebentar sebelum menarik napas dalam berusaha tabah, lalu kembali melanjutkan dengan sedikit kesal, "Aku diciptakan jutaan tahun lalu. Dan satu abad ke belakang adalah kali pertama aku turun menjejaki bumi. Ada seorang pastur sial yang mengira aku Asmodeus, memasungku di salib dan memaksaku mengatakan di mana Lucifer. Aku bilang aku tidak tau—aku bukan Asmodeus atau sejenis iblis. Tapi dia bersikeras menganggapku Asmodeus yang menyamar jadi manusia; menjalankan ritual dengan air suci, lingkaran dari garam, dan kepala gurita. Berusaha membakarku tapi yang ada aku malah berdarah-darah akibat besi murni yang dia tusuk menembus tangan dan kakiku. Orang gila, dia bahkan frustasi melihatku yang tak kunjung mati meski lantai gereja sudah tergenang dengan darah. Jelas saja, sudah kubilang aku bukan iblis dan apa dia pikir separuh tubuhku ini manusia? Hanya dengan ditusuk? Mati? Sinting! Kepalaku dijagal pun aku masih bisa hidup!—kepalanya terpasang lagi maksudku," entah kenapa sosok itu malah terhanyut pada nostalgia history kelam hidupnya.

Mengundang Jungkook yang memutar bola mata malas, kemudian menyela dengan desis emosi, "Kenapa kau malah curhat, hah? Aku bertanya bagaimana bisa kau ada di sini 'kan?Langsung ke inti, ingat?"

Mendengar desisan Jungkook, sosok itu (kembali) mendengus pelan, "Dengarkan dulu, Tuan," lalu kembali menarik napas dalam-dalam sebelum berujar panjang, "Intinya, setelah pastur itu menyerah dia mengoperku ke seorang budha brengsek yang dengan jahanamnya menyegelku ke sebuah mantra. Mantra kuat yang membuatku seratus tahun terkurung dalam gulita, sempat aku menyesal kenapa aku turun ke bumi, mengutuk diri sendiri karena tidak sengaja membakar perumahan warga dan dengan bangganya keliaran pakai rupa asli dengan sayap, telinga, dan ekor. Lalu—"

Detik ketika sosok itu menggantung ujarannya menjadi detik rasa penasaran Jungkook menggamang nyata, "Lalu?"

Sosok itu menegakkan tubuh, memajukan wajah sedikit dengan tangan masih menggulung di depan perut lalu menjawab, "Lalu kau dan teman-temanmu bermain dengan gerbang dimensi di belakang sekolah, kau salah mantra—yang sebenarnya mantra pembebas, aku lepas dari belenggu, dan kau menjadi Tuanku," senyum kotaknya mengembang di akhir kalimat.

Dan tiba-tiba kening Jungkook kembali berlipat kala ia baru menyadari sesuatu, "Tunggu-tunggu! Kau bilang kau sempat menyesal 'kan?"

Yang ditanyai mengangguk, "Eung!"

"Kalau begitu kembali sana! Kau sudah bebas dan kau bilang aku tuanmu 'kan? Pergi, kembali—kau harus menurutiku karena aku tuanmu!"

Hening sebentar sebelum sosok itu memudarkan senyumnya lalu mengganti ekspesi di wajah jadi begitu transparan pada pola berpikir, sejenak sebelum membalas dengan santainya, "Dulu niatku sih seperti itu, kalau aku bebas aku akan langsung kembali dan demi Tuhan tidak akan sudi menjejaki bumi lagi. Tapi kalau dipikir-pikir ... di sini enak juga—bumi banyak berkembang dari pada seratus tahun lalu," lalu dengan tanpa peduli menggedik bahu, "Lagi pula aku tampan dan semua orang menerimaku."

Seketika mengundang aju tidak setuju dari Jungkook, "Apa yang kau maksud 'semua orang' ?" ia memicing sebal lalu berujar, "Aku tidak menerimamu—sumpah!"

"Kalau begitu kau bukan orang."

"Ya!"

Sosok itu malah tertawa ketika mendapati raut begitu kesal di wajah manis Jungkook.

Jungkook berhenti bersungut-sungut ketika rasa penasarannya kembali mendera, "Kalau begitu katakan—bagaimana caramu memasukanku ke mari? Kau punya uang? Dari mana? Kau menghipnotis mereka? Kau punya kekuatan seperti itu?"

Sosok yang ditanyai mendengung sebentar lalu menjawab, "Hipnotis? Ya, aku bisa."

"Jadi kau melakukannya?" lagi-lagi ekspresi serta vokal suara Jungkook dipenuhi atensi tuduhan.

Yang kemudian mengundang gelengan sosok di hadapannya, "Tidak. Aku membayarnya pakai uang,"

"Dari mana kau mendapatkannya?"

"Duplication."

"Duplikasi? Bagaimana—?" Jungkook menggantungkan pertanyaannya ketika sosok itu menyela.

"Seperti ini," beriring sebelah tangannya yang mengamit gelas tinggi di permukaan nakas sebelahnya. Menggenggamnya dengan kedua tangan sebelum cahaya kemerahan keluar dari telapak tangan sosok itu yang membuat gelas di genggaman kedua tangannya mengepulkan asap hitam tipis, dan Jungkook menganga ketika sosok itu menjauhkan kedua tangan hingga gelas yang ia genggam terbelah menjadi dua kemudian menjadi dua gelas yang berbeda. Sosok itu mengangkat gelas ke sisi kepala lalu menggoyangkannya kecil sambil mengusung senyum miring yang begitu angkuh sebelum meletakkan kembali (kedua) gelas itu di atas permukaan nakas dan kembali menyandarkan punggung pada kursi dengan menggulung kedua tangan, "Aku melihat orang-orang yang berdiri di depan meja membayar adrimistrasi teman-temanmu mengeluarkan lembaran kertas untuk membayar—uang 'kan namanya? Jadi aku meminjam dompet salah satu dari mereka yang terlihat paling tebal, menduplikasinya diam-diam, menduplikasi isinya dan—" sengaja ia menggantung kalimat ketika sebelah tangannya keluar dari lipatan kemudian merogoh kantung dalam; blazer tuxedo yang ia kenakan, mengamit sesuatu sebelum benyembulkannya di hadapan wajah Jungkook, "Ta da!" ia menggoyang-goyangkan dompet di tangannya main-main, dan terhenti ketika obsidiannya sendiri menatap intens benda di apitan ibu jari dan telunjuknya, "Kau tidak akan bisa menghitung ada berapa banyak lembaran won di dalam sini."

"Daebak!" hanya kata itu yang terlintas di otak Jungkook ketika ia kembali pada kesadarannya mengagumi betapa menakjubkan sosok di sisi ranjangnya ini—tak terbuang sama sekali jalan pikiran bocah SMUnya.

Dan pujian itu membuat kepala sosok di sebelahnya seakan bengembang penuh kesombongan, "Sudah kubilang aku ini hebat."

Hingga Jungkook lagi-lagi mencibir kecil namun pada akhirnya kembali bertanya, "Dasar! Omong-omong, bagaimana kau bisa mengerti bahasa Korea?"

Sosok itu masih berlagak sombong hingga pada akhirnya ia menjawab santai, "Aku belajar dengan cepat, tapi aku menyerapnya darimu untuk mempermudah."

"Menyerap dariku?" lagi, kening Jungkook mengkerut bingung.

Sosok itu hanya mengangguk-angguk kecil, "Ya."

"Caranya?"

Dan dengan santai menjawab, "Menciummu."

Adalah detik di mana Jeon Jungkook membuka mata lebar-lebar beserta mulutnya menganga secara reflek, irisnya berpendar pada keterkejutan gamblang yang nyata, serta cekatan napasnya yang menggantung di kerongkongan. Namun ketika kesadarannya pulih ia melampiaskan itu semua hingga bebannya sedikit berkurang kala dengan lantang dan tak kira-kira berteriak bukan main kencangnya, "Apa?!"

.

.

.

.

.

To Be Contiuned


.

Jo Liyeol Curhat Timing!

.

Absurd ga? =w= Eh, daku ini author pecinta review(?) tauuu, jadi kaya writer yang ngepost/ngelanjut fanfik tergantung feedbacknya gituuu (tapi kadang-kadang kusuka ngawur asal-asalan ngepost fanfik sesuka mood :v) tapi jujur aja, kalo semisal ini fanfik kga banyak yang minat nanti kga bakal kuapus ko(?) :v

Bodoamat! Ini fanfik buat emak gue soalnya :v JeonYulYM424, mak lapyu Wkwkwk. Tapi bener deh kumengharapkan banget feedback kalian, apa lagi KriSar, soalnya diriku ini juga masih belajar =w=

Btw, kumau curhat sedikit; jadi gini. Kan saya MinYoon shiper yang berpegang teguh kalo bang Jemen itu domnya. Tapi kemaren daku baca fanfik tuh, rate M lagi—smirk. Main pairingnya Namjin, YoonMin, ama VKook. Pas awal baca deskripsi penulisnya kalo di sono itu Yoongi jadi dominan sebenernya rada nganu gitu bacanya, jadi agak ragu takut kaga ngefeel pas baca. Tapi mau gimandos lagi? Ada VKooknya bruh :v Berhubung saya ini VKook hard shiper jadi ya coba-coba ae lah (niatnya bakalan lewatin pas bagian YoonMin, ngebaca pas scene VKook ama NamJin aja =v=). Eh ternyata ceritanya keren anju! :v Terus lagi pas scene YoonMin itu sayang banget buat dilewatin soalnya mereka yang paling gereget scenenya =w= Terus-terus, kan itu fanfik kan chapter tuh. Semakin chapternya nambah semakin berfokusnya—maybe, ama YoonMinnya =w= Jadi sekarang daku lagi gegana gara-gara mulai saat itu MinYoon shiperku jadi menganu(?) ternodai ama YoonMin =w= Dan gara-gara itu saya jadi kepikiran terus Jimin manis bangat kalo ada di bawahnya(?) Yoongi :v

Dan daku bener-bener gegana gara-gara diriku ini masih cinta banget mas Agust D jadi bottomnya bang Jemen =_= Tapi bang Jemen cocok banget sumpah di anuin mas Agus.

Dan akhirnya saya baper gara-gara itu.


Review Juseyooo!

.

.

Kunjungi personal blog Liyeol juga yaa ... ketik aja; joliyeol27 (wp .com)

Ppyong! Saranghae Bbuing! ^^v

.

.

.

Omake: (Scene ini di luar nalar manusia—eh) =w=

[Introgasi Sosok misterius—'Kamu dari planet mana?']

.

Liyeol: "Hai, kamu itu sebenernya dari planet mana?"

Sosok misterius, inisial SM (sebut saja namanya mawar): "Hai. Gegayaan lu Tong pake kamu-kamuan segala, biasanya juga gue-elu!"

Liyeol: "Aelah, Bang. Kali-kali napa pake aku-kamuan biar soswit." =w= *kedip-kedip cacingan

Mawar: "Mauan lu!" *asah golok yang di bawah—eh, "Lagian ngapain juga nama gue disamarin! Orang-orang juga udah tau kelues gue Mphi! Segala pake inisial SM udah tau gue sukanya Big Bang! Kenapa bukan JYP aja?!"

Liyeol: "Big Bang itu dari Woolim, Bang." -_-

Mphi: "Author ogep, Big Bang dari Starship!"

Liyeol: "Etdah tulul aja lagi, Big Bang dari Pledis, bego!"

Mphi: "Eh, elu yang bego ya! Big Bang anak asuhan bang haji Roma!"

Liyeol: "Serah lu dah!"

.

[Pada akhirnya intograsi ini tidak penemukan titik terang]

Terus buat apa bikin beginian anjer!

.


.

[Teaser for next chapter]

.

"Siapa namamu?"

"V—Voltage."

"Nama macam apa itu? Kau sejenis aliran listrik?"

"Jangan menghina namaku, itu nama yang keren. Aku melambangkan kekuatan yang berbahaya."

"Ganti,"

"Apa?"

"Taehyung."

"Hah?"

"Namamu Taehyung sekarang."

"Apa-apaan, nama apa itu? Norak!"

"Aku tuanmu—ingat? Turuti atau kau tidak akan punya tempat tinggal."