Ansatsu Kyōshitsu © Matsui Yūsei

Warnings: humu. tidak jelas. lemon asem kecut. khusus dewasa. pwp. plotless.

You've been warned〜 c:

; asano gakushuu x akabane karma.


Quivering Quiz

; tujuan dari metode pembelajaran ini adalah;
mencari tahu siapa yang lebih jenius sekaligus perkasa.


II. Asano's Case

Asano Gakushuu menendang pintu di hadapannya terbuka. Sebelah kaki masih menopang berat, gemetaran. Salahkan makhluk astral dari neraka yang seenaknya menyangkutkan diri di punggung yang mulai pegal.

"Jeez—turun, Akabane!" Asano mulai menggeliat, berusaha menurunkan beban setara enam puluhan kilogram dari punggungnya. Kalau bukan karena Karma berhasil mendapat nilai sempurna di ulangan tadi dan Asano yang sedikit tidak teliti (lalu mendapat pengurangan poin nol koma lima), mereka tidak akan pulang ke rumah Karma dalam posisi seperti ini.

"Kubilang yang kalah harus memberi piggyback ride sampai pulang, Asano-kun~"

"Ini sudah sampai di rumahmu."

"Sampai ke kasur," Karma tertawa jahil, mencolek wajah Asano yang berkerut kesal dengan ujung jari.

Masih dengan kaki gemetar, Asano mulai membawa diri menaiki tangga. Pertanyaan hari ini, mengapa kamar kekasihnya itu harus berada di lantai dua? Tidak tahu Asano bisa patah pinggang kalau terpaksa menambah jarak tempuh sedikit lagi? Dan lagi, kenapa makhluk macam Karma tidak malu digendong di punggung Asano yang terkenal sebagai rivalnya dari gerbang sekolah? Well, semakin lama, makhluk itu semakin konyol saja.

Kriet.

Tempat tidur yang biasa ditiduri Akabane Karma berdecit karena Asano seenaknya melempar tubuh kurus itu seakan melempar karung berisi pasir. Sembarangan.

"Ahh, enaknya~" dan Karma malah menggulingkan diri di atas kasur, sebelum meregangkan otot. "Aku pegal sekali, Asano-kun."

"—kata orang yang numpang di pundak orang lain dan sengaja memberatkan diri," Asano menampakkan wajah kelewat masam. "Kau harus tanggung jawab kalau pundakku patah."

"Aku tahu kau kuat, Asano-kun," lagi-lagi Karma memberi senyuman jahil. "Nah, sekarang kita tidur siang."

"Oi, oi," Asano melayangkan satu tepukan keras di kepala merah itu. "Kau lupa? Hari ini kita ada ujian?"

Karma memutar bola mata, bosan. "Tadi kan di kelas sudah ujian…?"

"Maksudku, ujian kita."

Dan Karma kini memasang wajah bodoh. "Ujian apa?"

"Ujian-sensual-yang-kau-karang-kemarin-lusa, Akabane Karma."

Mengabaikan wajah Karma yang jelas sekali pura-pura lupa, Asano tidak ingin membuang waktu. Ia ingin balas dendam. Tidak dengan cara yang kejam, tentu saja. Dengan cara yang… err, nikmat?

"Aku tidak ingat pernah melakukan ujian sendiri, Asa—"

"Berhenti bergerak atau aku buang kau keluar jendela?" tangan Asano dengan cepat memindahkan dua tangan Karma ke belakang tubuhnya sendiri, mengikatnya dengan dasi si ketua OSIS yang baru di lepas. Tidak begitu kuat, namun cukup untuk menahan pergerakan tangan mantan preman itu. Dan dasi milik Karma sendiri bisa dimanfaatkan untuk menutup mata si pemilik, sama seperti keadaan sebelumnya.

"Guh—kenapa pakai diikat segala, Asano—?"

"Itu pertanyaanku kemarin," Asano berdecak dan mendorong tubuh lawannya bersandar ke headboard.

Dan sebagai (orang yang mengaku-aku) pria sejati, Asano mengambil posisi di belakang—memangku Karma di pahanya dan menopang seluruh beratnya, kali ini tidak merasa keberatan. Kepala sejajar dengan kepala, leher sejajar dengan leher. Karma mulai memberontak karena tahu permainan ini akan menyerangnya balik, meski sekarang sudah tak mampu berkutik.

"Nah, kita mulai?" Asano setengah berbisik. Suaranya menggelitik kulit tengkuk yang kini bergidik.

Karma tak menjawab.

Dengan senang hati, tangan Asano merayapi perut dan turun ke selangkangan. Ia tidak berniat banyak bicara, mungkin biar tubuhnya saja yang berkata-kata? Mengelus bagian tengah celana seragam yang mulai membentuk gundukan, sengaja menggelitiknya.

"Yaampun, kau bahkan belum kusentuh sama sekali…" Asano berdecak, melirik wajah Karma yang mulai memerah lucu. "Sepertinya sudah kelihatan siapa yang akan menang, na, Akabane?"

"Aku tidak akan kalah semudah itu, sayangnya," Karma menggeram, mulai bergerak tidak nyaman ketika benda miliknya disentuh dan dimainkan.

Lelah menyentuh dibatasi fabrik cukup tebal, Asano akhirnya menyentil resleting celana sebelum menariknya turun. Untungnya si preman Akabane itu tidak menggunakan ikat pinggang untuk celananya—kalau tidak, mungkin pergelangan tangannya sudah memar beradu dengan besi pengait. Lolos dari resleting yang menyatukan dua bagian, Asano menurunkan lapisan kedua, sebelum menggenggam kejantanan yang sedikit ereksi, menggosoknya pelan.

"C-cepat mulai pertanyaannya, bodoh," Karma ingin bergerak-gerak karena tidak nyaman, namun sadar itu malah akan memperparah suasana. Gesekan kulit Asano dengan miliknya—sial, kenapa harus disentuh seperti itu? Karma hanya bisa menggeram.

"Ah, ya, pertanyaan. Hn, pertanyaan pertama…" Asano mengangguk, menggerakkan tangannya mengelus milik Karma dari pangkal ke ujung, dengan hati-hati, dengan perlahan, selagi bibirnya menggigit daerah perpotongan leher. "Ini soal fisika, Akabane. Materi pemuaian panas."

Karma mendelik di balik dasinya, menyadari materi yang sepertinya perlu hitungan. Tidak mungkin dilakukan dengan mata terpejam dan tubuh dipeloroti seperti ini.

"Baiklah. Sebuah benda panjangnya lima belas senti," violet Asano melirik benda dalam lingkup gengamannya, sebelum beralih menuju bagian ujung, mencoba menekan kepalanya. "Suhu awal dua puluh celcius," menurut remote pendingin ruangan tepat di atas nakas, "dan suhu akhir setelah pemanasan, tiga puluh tiga celcius," kali ini mencoba menebak suhu tubuh Karma yang mulai kejang-kejang kegelian. "Setelah pemanasan… berapa panjang akhir benda setelah mengalami pemuaian?"

Entah Karma yang semakin bodoh atau pertanyaan Asano memang tidak berbobot. Yang jelas, soal itu tidak biasa. "Ahnn—koefisien pemuaiannya?"

"Kita tidak butuh yang seperti itu, Karma," Asano semakin cepat mengocok benda dalam tangannya, mengakibatkan Karma sedikit melengkungkan punggung.

"A-aku tidak paham—nhh."

"Apa kau mau pass?" Asano menekan ujung kepala benda mainannya, merasakan cairan yang sedikit keluar dari sana.

"Belum," Karma menggigit bibir, mencoba menghitung. Ada yang janggal dengan soal itu. Apa? Lagipula bukankah wajar untuk soal yang dikarang dadakan, mempunyai angka yang buruk dan sedikit tidak biasa? Karma mencoba memutar otak selagi dirinya masih bisa menahan. Asano tidak mengocok miliknya terlalu cepat, dan ia bersyukur akan hal itu. "Baiklah, panjang awal lima bel—anhh!" Ya, dan masalahnya disini, setiap ia ingin berpikir, sesuatu di ujung sana membuat darahnya berdesir dan membuyarkan segalanya. "Ssh—hh, sebentar, Asano—hh… Kau yakin dengan angkanya?"

"Tentu, itu angka paling mudah untuk dihitung sekarang."

"Lima bel—AH!" Karma mendadak menghentakkan kaki, membuat Asano terpaksa menjauhkan tangannya dari Karma yang bergerak seperti kingkong mengamuk. "KAU! ASANO, KAU MEMBUAT SOAL DARI UKURAN PEN—"

"Ya, tepat sekali," Asano terkekeh kecil. "Kau lambat sekali menyadarinya, ya? Sepertinya kemampuan otakmu memang sudah menurun."

Karma berdecak marah. Tidak menyangka soal ini hanya seperti zonk tanpa makna. Asano benar-benar telah mempermainkannya. Lima belas senti? Ha, milik Karma tidak sependek itu! Dan lagi, suhunya tidak akan sampai tiga puluh tiga celcius hanya karena sentuhan Asano—tidak, tidak.

"Dari awal kau memang tidak tahu jawabannya, kan?"

"Aku tahu," Asano menyeringai jahat. "Atau perlu aku periksa dengan penggaris? Panjang pen—ehem—mu itu setelah ereksi, tidak akan sampai dua puluh sen—"

Karma menyikut dada Asano kasar dengan tangannya yang terikat di belakang, "Sialan. Pass," meski dia yakin, soal-soal lain akan sama tidak berbobotnya. Setidaknya ia berhasil menahan ejakulasi di soal pertama, 'kan?

"Kau tidak menarik, Akabane," Asano mengukir senyum sinis, meski Karma tak dapat melihatnya. Setelahnya pemuda itu mendorong punggung lawan mainnya dengan kasar, membalik posisi. Pinggang terangkat tinggi. Karma meneguk ludah, menyadari bagian belakang bawahnya yang terekspos di hadapan Asano. Yang mengubah posisi hanya diam ketika melakukan pekerjaanya, kali ini menurunkan celana yang dikenakan Karma dengan sempurna ke mata kaki. "Pertanyaan kedua, lanjut?"

Karma hanya mengangguk, meski sadar posisinya yang sangat anu dengan bokong lebih tinggi dari kepala. Baiklah, ini memalukan. Dan Karma harus menurut—lagipula ini mungkin akan menjadi sedikit lebih nikmat, ya kan?

"Fisika lagi," Asano melebarkan jarak antar kaki pemuda merah yang membelakanginya semaksimal mungkin, melihat pemandangan yang pernah dianggapnya menjijikkan—namun berbeda bila pemilik pemandangan tersebut adalah Akabane Karma. "Jika diketahui sebuah celah memiliki diameter lima millimeter," Asano memajukan tubuhnya untuk mendekat, mendekatkan sebelah tangan ke objek incarannya yang sepertinya bergetar tidak nyaman, "dengan koefisien elastisitas e dan akan dilewati sebuah benda," satu jari mengambil ancang-ancang penetrasi, "maka berapa diameter maksimum yang dapat dicapai celah?"

Helaan napas panjang, "Soalmu tidak bisa lebih ngaco lagi, Asano-kun?" disusul desahan lemah ketika dirasa jari milik Asano menyapa dinding dalam rektumnya. "Nnhh, mana aku tahu. Sangat sempit? Atau lebar—ghh, ah… yang jelas cukup lebar… nghh—sampai bisa dimasuki tiga jari lalu disusul makhluk dari balik celanamu itu, kan?"

Asano terkekeh selagi jarinya tetap menjelajah. "Kau tidak bisa memberi angka pasti, Akabane?"

Karma mencengkeram fabrik sprei hingga benar-benar mengerut. "Tidak ada yang tahu pasti."

"Aku tahu. Kuanggap jawaban ini salah, kau boleh jawab nanti kalau masih bisa menahan ejakulasi."

Sialan. Karma semakin melengkungkan punggungnya, seharusnya mereka sudah beralih ke soal ketiga—dan jenis godaan ketiga. Karma baru akan protes ketika jari Asano tertarik keluar dari dalam dirinya dengan satu sentakan, membuat erangan lolos dari bibirnya—dan tidak sampai dua detik kemudian, ia sudah dalam posisi telentang, kali ini tambah sakit di area paha karena kakinya dilipat hingga lutut nyaris sejajar telinga.

"Kita lanjut ke pertanyaan ketiga, Akabane?" dan tahu-tahu Asano sudah tepat berada di hadapan wajahnya, kemudian meraup bibir yang membuka kaget dalam sebuah ciuman. Lehernya dirangkul erat, penyatuan bibir diperdalam. Lidah Asano sudah lihai menjilat bagian dalam bibir Karma—yang mau tak mau, harus diakui oleh sang korban, rasanya sama sekali tidak buruk. Sebelah tangan milik si penyerang lagi-lagi menekan alat penting, poros tubuh Karma, menekannya dengan gerakan tangan menggoda serta jemari yang telaten menggelitik sepasang bola.

"Cepat selesaikan—nghh, A-asano…" tanpa sadar, Karma malah mendorong tubuhnya semakin dekat dalam rangkulan rivalnya. Lengan Asano melingkari pinggangnya, semakin menipiskan jarak. Dan ciuman akhirnya diputus sepihak, pelakunya sibuk menjilati leher dan sekitarnya. Bibir Karma mulai megap-megap—dalam hati ingin berteriak, "Cium aku lagi, Asano-kun!" dengan manjanya. Tapi, tidak.

Seiring dengan gigitan yang diberikan untuk memerahkan kulit pucat Karma, Asano mengeluarkan senjatanya yang ereksi sempurna, mengarahkannya ke daerah bawah, bagai pedang siap mengoyak korban. Baiklah, toh pedang Asano memang akan segera merobek perisai Karma. Seperti permainan sebelumnya, kering tanpa sedikitpun bantuan pelicin, Asano kembali menghunjam masuk.

"AHKKKK—"

Tanpa ampun, sementara bibirnya menjepit ujung kemerahan di dada Karma.

"Asano—tidak secepat itu, tolong—ngghh, sebentar, ghh…"

Terengah, Karma menggigit bibirnya sendiri, menahan sakit yang menyerang dari dua lokasi berbeda. Sialan… bahkan ia belum menerima pertanyaannya.

"Kau—soalnya bagaimana, Asano—nhh?"

"Oh… ya," Asano mendorong tubuhnya sendiri, semakin dekat, searah dengan percepatan benda yang sedang berusaha masuk ke celah mikro di bawah sana. "Sebuah wadah memiliki volume 1 sentimeter kubik."

Wadah macam apa…? Karma memutar mata, sekilas lelah dengan soal yang kebanyakan main-main. Namun dirinya terlalu lelah untuk protes. Alih-alih menolak, dirinya malah bergetar hebat karena sensasi sakit luar biasa yang menyerang.

"Wadah tersebut kosong dan akan diisi dengan cairan sampai penuh," Asano mencengkeram bahu Karma agar tidak gemetar, sebelum kembali mengigiti perpotongan leher lawan mainnya itu.

"Aku sudah mau mati rasanya—nghh… bisa—ghh—sedikit lebih cepat?"

"Lebih cepat sodokan-nya?"

"Pertanyaannya, sialan!"

Asano tertawa sinis, semakin gencar membubuhkan tanda merah keunguan dari gigi-gigi tajamnya. Dan peluh mulai mengaliri pelipis Karma yang tadi sempat pucat terpapar pendingin ruangan. Digigitnya kemeja seragamnya sendiri yang tersingkap, menahan dorongan kuat dari dalam untuk mengeluarkan hasil dari hasrat yang tertahan.

Asano melanjutkan dengan suara bergetar, kali ini tampaknya menyerah dengan kenikmatan. "Jika terjadi pemuaian… berapa volume cairan yang tumpah dari wadah?"

Tidak ada koefisien pemuaian ataupun perubahan suhu! Karma menggeram, benar-benar bukan pertanyaan yang bisa diselesaikan. Dari awal Asano memang berniat mempermainkan. Persetan.

Benda tegang di bawah perutnya sudah tidak mampu berlagak sok kuat.

"Ahnn—nhh… Pass."

Kata kunci diucapkan bersamaan dengan lenguhan panjang yang dikeluarkan Karma, melempar beratnya sendiri pada permukaan ranjang, kali ini sungguhan lemas. Tidak tahu apa yang terjadi pada Asano, entah dia ejakulasi atau tidak—Karma tidak peduli. Yang jelas service menyesatkan yang diterima sudah cukup membuat Karma lelah.

"Sudah lega sekarang, Akabane?" dengan seringai jahat, Asano malah membebankan tubuhnya di atas si pemuda merah. Telungkup, ingin mengecup bibir namun yang ditargetkan malah memalingkan wajah berwarna pekat. "Ngomong-ngomong, jawaban dari pertanyaan ketiga adalah sangat banyak, seperti yang kau lihat," Asano menahan tawa, melirik bagian bawah tubuh Karma yang tergenang.

"Sialan… aku memang main-main waktu itu," Karma berucap, menyeka bibir dengan kasar. "Tapi tidak seperti kau sekarang, tahu? Setan."

"Jangan marah seperti itu, Akabane."

"Tch."

Dan Karma diam-diam meratapi bagian pentingnya yang jelas-jelas lecet. Walaupun dari dulu sudah lecet, tetap saja—permainan kali ini adalah yang paling kasar.

"Sakit?"

"Menurutmu?" Karma berusaha menendang entitas itu menjauh, meski itu hanya membuatnya semakin nyeri di selangkangan.

"Alaminya, laki-laki tidak memproduksi lubricant," Asano mendengus. "Bahkan lubricant buatan tidak akan begitu membantu. Jadi, lecet adalah resikomu sebagai seorang bottom dalam hubungan homoseksual."

Karma ingin menampar mulut sok ilmiah yang tadi baru saja mengutarakan pertanyaan-pertanyaan Fisika aneh yang tidak dapat dijawabnya. Namun sedetik kemudian, baru ia akan kembali melempar sindiran, pinggangnya ditarik dalam sebuah pelukan erat. Hell, si Asano itu bisa lembut juga ternyata?

"Aku hanya ingin sedikit balas dendam, tidak apa-apa kan?"

Karma tidak menjawab.

"1-0 untuk permainan kita, Akabane Karma."

Meski perkataanya kejam, tubuhnya malah sebaliknya. Sebelah tangan mengelus surai merah dengan lembut, menyeka keringat yang sempat membasahi dahi rivalnya.

Sungguh, Karma sebenarnya tidak terlalu masalah dengan kelecetan. Hanya saja, Asano hari ini kelewat menyebalkan.

"Ah, kau mau tahu jawaban soal nomor dua juga, Karma?" Asano bertanya, selagi menenggelamkan wajah di tengkuk pemuda yang membelakanginya. "Diameter maksimum celah? Jawabannya adalah sama dengan diameter—itu—milikku. Kau pasti tahu berapa angka pastinya, kan?"

Karma semakin memerah, tidak ingin menjawab.

Persetan dengan Asano Gakushuu dan tiga pertanyaan (sok) erotisnya.

finished!


A/N:

Yap, kembali lagi dengan fic nista bagian dua. Akhirnya complete! Maafkan keterlambatan karena authornya lagi sibuk pindah ke kos dan baru mulai ngampus 8")))

Ahh, authornya masih kagok nulis rate M. Walaupun pikiran kemana-mana, yang ditulis tetep standar. Masih harus banyak belajar /muka ero/.

Makasih banyak yang udah review chapter satu, dan meminta saya update, akhirnya bisa selesai. Review akan dibalas setelah ini begitu sinyalnya mendukung. Maaf kalau mengecewakan, authornya masih masa perkembangan /iyain.

ありがとう, Karashuucchi otp, enaimer, Name AmaneKira, Misacchin, ochoa-desu, Xhakira, Ska, Yuki, Aiko Shimazaki!