Train Station

Author: rainy_hearT

.

.

Main cast: Jeon Wonwoo , Kim Mingyu, Hong Jisoo, Yoon Jeonghan, Boo Sengkwan, Lee Jihoon, any other

Pairing : Meanie, JiWon, JiHan,

Rate : T to M

Summarry : Love just like any other train station. Where you want to go... You'll absolutely go to your destination. But when you just want to stop, you'll have to stop at the right station...

.

.

Part 6: Face the Truth

.

Start!

.

.

Wonwoo memilih untuk duduk sedikit menjauh dari Jisoo. Ia membenarkan kemeja yang sedikit menyingkap bahu putihnya. Meski masih saja collarbone indahnya itu terlihat.

Wonwoo sudah yakin akan apa yang ia rasakan, tapi sejujurnya ia masih menaruh sedikit harapan pada hubungan mereka. Jisoo sangat baik, dan Wonwoo tak bisa menutup mata begitu saja akan hal itu. Jalan yang mereka lalui, bukanlah hal yang mudah.

Jisoo tersenyum kecil. "Apakah kita berhenti di awal malam ini hanya untuk bicara?" Ia menatap Wonwoo. "Aku sangat merindukanmu Wonu." Jisoo mencoba mendekati Wonwoo.

Tapi namja itu memundurkan tubuhnya dan kemudian memeluk guling yang terletak disampingnya. Sekedar untuk menjaga jarak dari Jisoo. Wajah Jisoo yang terlihat sangat kecewa, masih membuatnya meragu. Tapip pelukannya juga isi kepalanya tak bisa di bohongi lagi. Meski hatinya mungkin masih sangat menyayangi Jisoo, tapi logika dan ingatannya seperti menolak dan semakin mendorong Wonwoo untuk tetap melakukan apa yang secara logika, seharusnya ia lakukan dari dulu.

Breaking Up...

"Aku ingin menanyakan satu hal hyung." Wonwoo berhenti sejenak. Ia mengeluarkan cincin yang baru saja dipakainya pagi tadi. Memainkannya di depan wajah Jisoo. "Ini cincin kita. Tapi yang memilih bukan kau, bukan juga aku. Apa kau masih pikir hubungan ini baik-baik saja?"

"Hei...Apa maksudmu?" Jisoo tersenyum kecil. Ia tak mau berfikir terlalu jauh. "Aku hanya tak sempat, dan meminta Boo untuk mengurus semuanya. Cincinnya bagus, dan juga pas. Kurasa tak ada masalah."

Wonwoo menghela nafasnya. Sangat sulit jika sepeti ini. Bagaimana caranya? Menjelaskan tanpa menimbulkan perasaan sakit hati?

"Tetap saja hyung." Wonwoo meraih tangan Jisoo dan kemudian menaruh cincin itu digenggamannya.

"Apa ini babe? Kenapa dikembalikan lagi? Kau tak suka dengan desainnya?"

"Ani, bukan seperti itu. Hanya saja, kurasa cincin ini salah."

Jisoo mengangguk. Kemudian dengan mudahnya ia melepas cincin yang dipakainya dan menaruhnya diatas meja nakas. "Baiklah. Kalau begitu, kita pakai cincin yang lama saja. Lagipula, yang lama terlihat lebih berkesan dan cantik di tanganmu."

Bagaimana menjelaskannya? Haruskah Wonwoo berkata jujur? Cincin yang lama? Barang itu sudah raib hilang entah dimana.

Jisoo meraih cincinnya yang lama di saku jasnya dan kemudian memakainya. "Aku sangat suka dengan ini, selalu mengingatkanku jika kita sudah bersama sangat lama. Lihat, cincinnya sedikit kusam. Kurasa, besok akan aku bersihkan."

Wonwoo sungguh bingung. Bagaimana cara menjelaskannya jika hubungan mereka sudah terasa janggal? Ditambah dengan Jisoo yang tak peka.

"Aku tak tahu bagaimana menjelaskannya hyung. Aku rasa, aku tak bisa meneruskan semuanya. Kita bukan kekasih lagi hyun. Aku merasa kita tak seperti dulu lagi dan itu sudah kurasakan sangat lama."

Jisoo terdiam. Kedua matanya menatap Wonwoo. Pandangan janggal, tak percaya. "Apa maksudmu, Wonu? Please, kita baru saja bertunangan, jadi jangan aneh-aneh."

"Ani hyung, kita tak seharusnya meneruskan semua ini. Aku merasa ini salah dan aku tak bisa melakukannya lagi. Aku tak ingin kita bersama sebagai kekasih, ataupun yang lainnya. Bagiku, kita sebagai teman atau partner kerja saja sudah cukup. Aku tak mau jika..."

"Cukup."

Suara Jisoo terdengar pelan. Tapi tatapan mata sayunya, cukup bisa membunuh semangat Wonwoo.

"If you don't want this, why then?" Jisoo memegang kedua bahu Wonwoo. Ia menatap kedua mata tajam yang senantiasa menunduk itu. "We fight so hard, so many years babe. Making this stupid wedding becomes real for us and you just gonna let us be fucking friends after we've gone this far? Are you kidding me?"

Wonwoo mengangkat wajahnya. Ia menatap wajah Jisoo. Memerah, menahan marah.

Wonwoo bukan tak mencintai namja ini. Hanya saja perasaan yang ia miliki sepertinya sudah juga berubah. Seiring dengan sikap Jisoo. Tapi melihat Jisoo yang seperti ini, terkadang masih membuatnya meragu. Manakah yang harus ia lakukan? Jika ia akan terus melakukannya juga mungki tak bisa bertahan. Ia tak bisa begitu saja mengusir Jeonghan pergi.

"I love you, but..." Wonwoo mendekati Jisoo dan mencium bibirnya. Ciuman kecil untuk menutup semua pedihnya malam itu, "We better stop this."

Wonwoo memeluk Jisoo dengan erat. Ia tak ingin menunjukkan perasaan bersalah, yang mungkin saja terlihat diwajahnya. "Aku mencintaimu hyung, tapi mungkin aku sudah kehilangan perasaan ini."

"Babe, please..."

"Aku tahu, kita berjuang sangat berat. Apapun itu akan aku lakukan, jika saja bisa menutupi perasaanku hyung." Wonwoo berusaha menghapus berkas air matanya. Ia melepaskan pelukannya.

Jisoo menatap wajah sendu Wonwoo. Mengusap air mata halus dipipinya. " Aku sungguh tak mengerti dengan jalan pikiranmu babe. Apa yang harus aku lakukan? "

Wonwoo menggeleng . Ia tersenyum kecil. "Kau tidak perlu melakukan apapun hyung. Hanya saja kembalilah seperti kita sebelum ini. Biarkan aku merasakan kau sebagai seorang hyung yang selalu bersamaku. Aku sebagai adikmu mungkin lebih dari cukup. Kita sudah mencobanya, dan aku rasa kita tak bisa meneruskannya lagi. Lebih dari ini, kita hanya akan saling menyakiti."

Jisoo tak bisa begitu saja menerima perkataan Wonwoo. Ia melepaskan pelukan Wonwoo dan kemudian melepaskan kemejanya. Ia kemudian memberikan senyuman kecil yang terlihat sedikit menakutkan di mata Wonwoo.

"Ah... Mungkin kau sudah menemukan yang lain. " Jisoo mendekati Wonwoo dan menarik kemejanya. Sedikit kasar hingga menimbulkan garis merah di bahu Wonwoo. "Tak kulihat juga cincin kita. Dimana?"

"Hilang saat di Changwon."

Jisoo menggeleng, ia kembali tersenyum kecil dan mulai menghisapi leher Wonwoo.

"Hyung, stop."

Jisoo semakin menggila dan mulai menggigit kecil telinga Wonwoo. Wonwoo berusaha menjauhkan tubuh Jisoo. Tapi tetap saja sangat sulit. Ia akhirnya menendang Jisoo dan mencoba berdiri menjauh dari namja itu.

"Stop hyung! Kendalikan dirimu !"

"WHAT! Kendalikan kau bilang? "

Jisoo kembali mendekati Wonwoo dan kemudian mendorong kedua bahunya yang terekspose itu. Kembali menciumi bahu Wonwoo. "Aku mencintaimu sampai hampir gila. Dan saat kita akan menikah kau malah membuangku. Sebenarnya apa maumu Jeon?"

Wonwoo menangis. Tak tahu, siapa yang ada dihadapannya. Ia berdiri lemah dan membiarkan Jisoo memeluknya. "Aku sangat mencintaimu hyung, hingga lupa bagaimana cara untuk mengatakannya pada diriku sendiri. Aku sangat mencintaimu hyung, hingga aku buta akan akan semua yang terlihat dimataku."

Jisoo menatap Wonwoo. Mendekatkan dahi mereka hingga ia bisa merasakan tubuh Wonwoo yang sedikit hangat. Seperti mendapatkan kesadarannya kembali, Jiso memeluk Wonwoo dan kemudian mengusap air mata namja itu. "Mengapa kau seperti ini Wonu, mengapa membuang semuanya? "

"Ani, bukan aku hyung. Kau saja yang tak mencintaiku lagi." Wonwoo mengangkat wajahnya dan kemudian kedua tangan dinginnya mengusap pipi Jisoo. "Jika dulu kau hanya memiliki aku, sekarang tidak lagi. Tak lagi hanya mengkhawatirkan aku. Bahkan aku sudah lupa, kapan terakhir kali kau marah dan cemburu padaku."

Jisoo tersenyum pahit. "Aku terlalu mencintaimu, Jeon. "

Wonwoo menangkup kedua pipi Jisoo. Ia mengusap bibir Jisoo dengan ibu jarinya. "Aku mencoba menciummu, berulang kali. Tapi tetap saja hampa. Aku tak merasakan apa yang dulu aku rasakan. Mungkin aku kehilangan perasaan ini hyung. Tapi aku mohon, jagalah seseorang yang mencintaimu nanti."

Wonwoo tersenyum kecil dan kemudian beranjak dari duduknya. Meskipun kepalanya sedikit pusing, tapi ia harus pergi dari rumah mereka. Ia tak mau, apa yang ia lakukan sia - sia. Perasaannya bisa goyah jika ia tetap bersama Jisoo.

Melihat Wonwoo yang tengah bersiap- siap merapihkan pakaiannya. Jisoo bergegas mendekap tubuh Wonwoo. "Jangan pergi, babe. Please. I love you... "

Wonwoo sudah lelah. Ia menutup kedua matanya, berusaha menghapus semua rasa sakitnya selama ini. Ia menjauhkan tubuh Jisoo. Sedikit mendorongnya hingga namja itu goyah dan terjatuh diatas kasur mereka.

"Hyung! Berhenti menjadi egois dan ingin memiliki semuanya. Kau tak bisa memiliki aku dan kemudian kau inginkan yang lain. Aku tak bisa seperti ini hyung!"

"Apa maksudmu? "

Wonwoo menyeringai. Ia mendekati Jisoo dan kemudian meraih tangannya. Mencoba melepaskan cincin milik Jisoo. "Lepaskan ini dan cari yang baru. Untukmu dan juga Yoon Jeonghan. Bukankah kau sekarang lebih mementingkan Yoon saem daripada aku? "

"Jeon...! "

"Apa? Kau mau marah? Jangan egois hyung! " Wonwoo beranjak. "Kau tak akan bisa mendapatkan keduanya hyung, dan aku sudah lelah. Kau kekasihku tapi selalu bersama Yoon saem. Kau melupakan kita sedikit demi sedikit. Aku mencoba menutup mata dan tetap mencintaimu tapi sepertinya kau tak sadar jika kau menyakitiku. Aku sudah cukup denganmu hyung. Annyeong! "

Wonwoo bergegas pergi. Meski Jisoo berteriak keras memanggil namanya, Wonwoo tetap pergi. Berjalan cepat menuruni tangga rumah mereka. Di ujung tangga, Lee Jihoon sudah menunggunya.

Wonwoo tak bisa berusaha sendiri, ia tahu ia lemah. Apalagi melihat keadaan Jisoo. Di sudut ruang tamu yang lainnya, Yoon Jeonghan bergegas menghampiri Wonwoo dan Jihoon. Bersamaan dengan Jisoo yang sampai di tangga bawah

"Wae? " Jeonghan bertanya pada Jisoo. Melihat Jisoo yang bertelanjang dada membuat namja itu sedikit merona.

Jihoon tertawa kecil. Tawa yang terdengar sangat menjengkelkan. "Wonu ya, kau lama sekali. Aku sampai lelah menunggumu disini." Jihoon membenarkan kemeja Wonwoo. Ia kemudian menatap Jisoo dan Jeonghan.

"Babe, jangan katakan kau menyukai Jihoon."

"Hahahahahaa...! "Jihoon tertawa keras sampai - sampai memegangi perutnya. "Wonu ya, mantan kekasihmu itu sudah gila. "

Jihoon menghentikan tawanya dan kemudian mendorong Jeonghan hingga hampir jatuh. Untung saja Jisoo menangkap namja itu.

"Terimalah Jeonghan dengan senang hati. Kurasa kalian lebih cocok. Dan jangan sekalipun meminta Wonu kembali. Dasar bodoh, siapa yang mau dengan namja yang menyia-nyiakan kekasihnya seperti ini. "

Jihoon menoleh pada Wonwoo. Ia membenarkan rambut Wonwoo yang berantakkan.

"Babe... " Suara Jisoo terdengar lirih, sedikit menyayat hati. Terlebih tatapan matanya yang sendu.

Wonwoo mengalihkan pandangannya. Meski Jisoo seperti tengah merajuk pada Wonwoo, tapi namja itu masih memeluk bahu Jeonghan.

Jihoon kembali menunjukkan taringnya. Namja itu tertawa lirih. "Hah... " Jihoon menghembuskan nafas kesalnya. Berusaha untuk mengontrol emosinya. "Dasar gila! "

Jisoo tak tinggal diam, melihat lengan Jihoon yang melingkar di pinggang Wonwoo membuat ia kesal. Ia melepaskan lengan Jeonghan dan mendekati Wonwoo. Tapi tangan Jihoon menepisnya.

"Sebaiknya kau berhenti Hong Jisoo! Sudah cukup menyakiti Wonu. Kau pikir dia batu!"

Jihoon melepaskan Wonwoo. Ia kemudian mendorong Jisoo hingga namja itu terjatuh. "Kau! Jangan berani mengganggu Wonu lagi. Kau sudah lama berubah, kau tak memiliki Wonu lagi, sebaiknya kau sadar Tuan Hong. Wonu sudah lama sekali tak menjadi milikmu. Atau bisakah ku katakan, kau membuangnya. Ambil saja, Yoon saem. Kalian lebih cocok."

Setelah mengatakan itu, Jihoon kemudian bergegas pergi dan menggandeng Wonwoo bersamanya. Sebelum Wonwoo berubah pikiran lagi, dan luluh pada Jisoo.

.

.

.

.

.

Di rumah Jihoon. Wonwoo tengah meminum kopi panasnya. Sedikit pahit. Tapi cukup bisa melegakan perasaannya.

Jihoon duduk dihadapannya. Membuat Wonwoo merasa sangat kecil. Tatapan Jihoon. Namja itu, entahlah... Mengapa Jihoon sangat menyeramkan. Wonwoo juga ingin tahu.

"Hyung, berhenti menatap seperti itu. Wonu hyung bisa frustasi."

Itu suara Seungkwan. Namja itu baru saja sampai dengan begitu banyak barang- barang Wonwoo. "Kurasa ini sudah cukup. Aku pikir kau sebaiknya pindah hyung. Tadi, Jisoo hyung sempat menanyaiku. Jika Jihoon hyung pergi ke China, bukan tak mungkin Jisoo hyung akan mencarimu."

"Ne, aku sudah tahu Kwanie. Lagipula, aku juga sudah punya tempat untuk pergi."

Seungkwan duduk di sebelah Jihoon. "Hei Jihoonie hyung, apa kau tak penasaran"

"Paling juga dia pergi ke Changwon."

"Eh... Semudah itu yah? " Wonwoo membulatkan matanya. Jihoon memang jeniusnya keterlaluan. "Bagaimana kau selalu tepat sasaran begitu, Jihoon-ah? "

Jihoon mendekatkan wajahnya pasa Wonwoo. Tak lupa, mata sipit namja itu menatap tajam.

"Kau sangat berubah setelah kembali dari Changwon kemarin. Jika saja kau tak kesana mungkin kalian masih bertunangan." Wonwoo menjauhkan wajahnya. Tapi tangan Jihoon mendekatinya dan mengusap pipinya. Ah... Wonwoo tahu, Jihoon memang sangat mencintainya. "Aku yakin kau menemukan sesuatu disana."

Wajah Wonwoo memerah. Ia mengangguk pelan. "Ne Jihoon-ah. Mingyu... Namanya Mingyu, Jihoon-ah. "

.

.

.

.

Wonwoo menggenggam erat kedua tangannya yang terasa dingin. Meski berat saat meninggalkan Jisoo, ia sadar ia harus melakukannya. Jihoon akan segera pergi ke China, meski tak lama juga ia akan kembali tapi tetap saja tak ada yang bisa menghentikan Jisoo selain Jihoon. Tidak juga Wonwoo sendiri.

Dalam hatinya, bohong jika ia tak memikirkan Jisoo sama sekali. Bisa jadi Jisoo tak berselingkuh. Tapi mau seperti apapun mengelak, tetap saja dimata Jisoo, tak lagi hanya Wonwoo. Sebelah matanya sudah menjadi orang lain. Juga hatinya.

Wonwoo memegang ponsel barunya. Sengaja ia memilih model lama. Seperti milik Mingyu. Ah... Apa kabar namja itu.

Wonwoo semakin dekat ke Changwon. Satu pemberhentian lagi dan ia akan sampai.

Kali ini bahkan ia sudah sangat siap untuk hidup di Changwon. Ia sudah menyewa satu flat kecil untuk ia tinggali. Hidup sebagai seniman yang terkenal tak begitu sulit sebenarnya. Tapi, jika ia bermewah- mewah maka jisoo akan dengan mudah menemukannya.

Wonwoo tersenyum saat ia sampai disebuah tempat yang ia kenal. Disana, sedikit terhalang tiang penyangga stasiun. Namja tampan berkulit tan, tengah memainkan melodi indahnya. Permainannya sedikit menyayat hati.

Kenapa?

Wonwoo bergegas turun dan sedikit berlari.

"Mingyu...!"

Wonwoo tersenyum saat melihat Mingyu menoleh padanya. "Annyeong!"

Mingyu memeluknya. Menciumi Puncak kepalanya. Beginikah rasanya punya kekasih yang lebih tinggi darimu. Wonwoo bisa merasakannya. Perasaan yang telah lama hilang.

Mereka berpelukan cukup lama.

Ah... Adegan yang terlalu indah sampai beberapa penumpang yang turun pun bertepuk tangan menyaksikan pertemuan itu.

"Kau kembali."

"Ne... "

Wonwoo melepaskan pelukan Mingyu. Ia mengulas senyuman manisnya. "Kau tak ingin menciumku? "

Wajah Wonwoo adalah lukisan terindah dimata Mingyu. Dan siapa yang bisa menahan diri untuk tak mencium namja manis itu.

Mingyu meraih wajah Wonwoo. Mendekatkan jarak mereka dan menciumnya lembut. Biarlah kali ini akan jadi tontonan banyak orang. "Gamsha... "

Wonwoo tersenyum.

Dan tanpa malu, ia mencium Mingyu lagi. Ah... Tak peduli suara orang yang berlalu lalang. Yang ia dengarkan hanya debaran di dadanya. Juga kejutan kecil seperti gigitan kupu - kupu di perutnya.

Perasaan yang telah lama hilang...

Ia merasakannya...

"Gamsha, Mingyu ya... "

.

.

.

.

.

.

.

.

End..

Ah, gimana endingnya? Hehe... Gaje ga nih?

Ini ada sequelnya sih. Tp lum klar. Sankyu buat yang udah meluangkan waktunya buat komen, baca, thanks juga buat yang dah vote n fav nih story meanie perdana aku, sankyu...