CANVAS

Title:

CANVAS

Author:

Elixir Edlar

Cast :

Jester Kim or Kim Jungmin

Park Jimin or Jamie Park

Kim Taehyung or Trevor Kim

Jeon Jungkook or Jecavio Jeon

Genre:

Drama, Family

Rate:

Teenager (T)

Length:

Oneshoot

Disclaimer:

All cast belong to God, their parents and Bighit. Ent. I do not own the characters.

This story is originally from my own mind.

Warning :

Boys Love, Typos, EYD-failed, Unbeta-ed, AU, OOC.

Read on Your Own Consent! Thank You~

.

This is a story about Jester Kim—anaknya Park Jimin.

PART IV

.

.

Taehyung memasuki mansionnya dengan langkah gontai. Berjalan begitu pelan dengan ekspresi kosong yang terbingkai di wajah tampannya. Taehyung tidak sedang baik-baik saja. Sebuah opera sabun dengan iringan musik orkestra tengah berputar di dalam pikirannya—membuat kepalanya menjadi sangat pening dan perlahan visinya pun ikut memburam.

Panorama yang tersaji di hadapannya saat ini pun tampak berotasi hingga buat langkahnya sedikit sempoyongan dan mau tidak mau mencengkeram handrail dengan kuat. Baru saja ia tapakkan sol sepatu mahalnya di anak tangga ketujuh, tungkai panjangnya mendadak lemas dan diam di tempat.

Akhirnya Taehyung berbalik arah, memilih turun tangga menuju box elevator sebagai alternatif lain untuk mencapai kamarnya.

"Tuan Taehyung, Anda sudah pulang?" Bibi Hwang, selaku kepala pelayan di mansion Taehyung menyapa.

Taehyung menarik sudut bibirnya. Tersenyum lemah. "Um, ada urusan kantor yan perlu diselesaikan, Bibi Hwang," lirihnya sebelum ia lenggangkan kedua kaki jenjangnya masuk ke dalam box elevator di hadapannya.

Bibi Hwang mengangguk dan tidak bertanya lagi. Ia paham benar bahwa Tuan besarnya tengah dalam suasana hati yang tidak baik. Hal itu terbaca jelas dari wajahnya yang seolah berkata 'Aku-sedang-tidak-baik-baik-saja' saat ini.

Pada dasarnya Taehyung memang tidak pandai menyembunyikan perasaannya. Suami dari Kim Jimin ini mungkin kelihatannya senantiasa tersenyum dan bertingkah seolah semuanya baik-baik saja meskipun pada kenyataannya pikirannya tengah berkecamuk dan hatinya tengah kalut tidak keruan.

Tipikal ekspresif yang selalu menunjukkan spontanitas air muka sebagai representasi perasaannya—itulah Taehyung. Sehingga sekeras apa pun upaya dan usahanya untuk menyembunyikan kerisauannya, orang-orang akan dengan mudah menafsirkan bahwa ia tengah berpura-pura baik-baik saja.

Taehyung memang tengah risau, pikirannya pun ikut kacau.

Ini bukan perkara jetlag karena perjalanan udara dari Bologna menuju Seoul yang menghabiskan waktu sekitar empat belas jam dua puluh lima menit ditambah dengan satu jam perjalanan darat dari bandara menuju mansionnya. Taehyung terlalu terbiasa dengan sesuatu yang bernama bussiness-trip sehingga ia bisa menangani jetlag-nya dengan baik.

Ini beda cerita.

Sesuatu yang lebih banyak mengonsumsi pikiran dan menguras hatinya. Sesuatu yang berkaitan dengan masa lalunya. Masa lalu yang ia coba simpan rapat-rapat dalam kotak baja yang selama ini ia kubur begitu dalam di palung terdalam memorinya yang perlahan terlupakan akibat tergilas waktu.

Namun tetap saja. Direktori penyimpanan dalam area serebrumnya terus-menerus merecoki dan mencekokinya dengan berbagai macam kilasan masa lalu yang mendadak muncul bersama serangkaian peristiwa masa mudanya yang setelah hampir dua dekade penuh berhasil ia abaikan dan lupakan.

Sebuah benteng pertahanan yang ia ciptakan selama dua puluh tahun terakhir ini pun mau tak mau harus menemui ujung riwayatnya. Runtuh berhamburan bersama debu-debu yang bertebaran. Sampai akhirnya debu-debu itu pun lenyap tak bersisa dalam waktu lebih kurang dua hari saja.

Dua harinya yang begitu berkesan di Italia.

.

.

Taehyung melepas jas single breast berwarna deep ocean-nya dengan asal lalu menyampirkannya di samping pundak tegapnya. Netranya tampak sayu. Berulang kali ia embuskan napasnya dengan kasar. Jemari panjangnya pun tak ketinggalan untuk ikut menyibak dan sesekali menjambak surai cokelat madu miliknya. Milik lelaki yang berstatus sebagai suami sah Kim Jimin tersebut.

Sel-sel neuron di otaknya memutar kembali rekaman peristiwa yang ia alami tempo hari. Momen di mana ia menghadiri wisuda putra tunggal kesayangannya, Kim Jungmin atau yang biasa dipanggil dengan Jester Kim di kampusnya.

"Jester kan juga anakku. Jadi, kurasa sudah seharusnya aku berperan sebagai seorang ayah yang baik terhadap putranya."

"Well, maksudku—aku sudah menganggap Jester seperti putraku sendiri."

"Bukankah sudah menjadi kewajiban bagi seorang ayah untuk menyayangi putranya dengan limpahan kasih sayang?"

"Putra anda telah menjadi mahasiswa kesayangan saya bahkan sejak pertama kali saya mengajar di kelasnya."

"Aku hanya melakukan apa yang seharusnya kulakukan sebagai ayah keduanya di kampus."

.

.

Ting~

Suara dentingan nyaring menyapa indera pendengaran Taehyung, menyadarkannya dari pesiar lamunan yang ia ciptakan sendiri sejak beberapa jam yang lalu. Mengulang rekaman peristiwa beserta dialognya bersama Profesor yang begitu dikagumi oleh putranya.

Sesuatu yang terus mengusik batin dan benaknya sekaligus secara bersama-sama. Sesuatu yang membuat segenap jiwanya gusar setengah mati.

Taehyung melirik ke arah tombol bulat keemasan yang berpendar dengan sebuah angka lima di dalamnya. Pertanda bahwa ia telah sampai di lantai lima mansionnya.

Lantai lima. Lantai di mana kamarnya berada—yang mana juga merupakan kamar istri yang begitu ia cintai dengan sepenuh hati dan segenap jiwanya. Park Jimin atau yang sekarang telah berganti marga menjadi Kim Jimin. Sosok kecintaan yang memenuhi hari-hari dalam hidupnya selama ini.

Taehyung membuka pintu kamar dan menutupnya dengan kasar. Menimbulkan bunyi debuman yang cukup menyakitkan selaput genderang siapa saja yang mendengarnya. Meskipun nyatanya, lantai lima di mansionnya begitu sepi. Hanya ada dirinya seorang.

Dan Taehyung pun tampaknya tidak terganggu oleh kebisingan yang barusan ia ciptakan sendiri.

Jas dilemparnya sembarangan ke lantai, sepatunya ia lepas asal-asalan, dasi di seputar lehernya yang sudah tidak berbentuk disentaknya keras hingga lepas lalu ia campakkan begitu saja.

Tiga kancing teratas kemejanya dibukanya perlahan lalu ia tarik perpotongan kemejanya dengan arah bertolak belakang satu sama lain hingga kancing yang tersisa berhamburan ke segala arah. Menampakkan singlet hitam yang mencetak abdomen enam kotaknya yang begitu sempurna karena basah oleh keringat.

Taehyung menghela napas kasar dan mengusak surainya hingga amburadul tak keruan. Mulutnya terbuka dengan kerutan di kedua sudutnya. Kedua hazel almond-nya mulai dipenuhi oleh lapisan kaca dari air mata yang meluber hingga ke pelupuknya.

Tes~

Buliran bening dari sudut netranya mengalir deras begitu ia katupkan kelopak matanya. Air matanya meluncur cepat tanpa tedeng aling-aling yang mampu membendungnya lagi. Membiarkan lelehan kristal bening jatuh menjalari pipinya yang terasa senyap dan begitu dingin akibat perpaduan udara malam dengan pendingin ruangan di kamarnya.

Tubuhnya ia bawa rebahan di atas tempat tidur king size miliknya bersama Jimin, sementara lengan kirinya ia istirahatkan tepat di atas kedua manik cokelatnya. Menyelubungi sang netra yang tengah berkalang air mata. Bibirnya masih berkerutan, tampakkan bentuk rektangular tak beraturan yang menghasilkan irama pilu yang termanifestasi dalam isak tangis yang begitu kentara.

Taehyung menangis, melenguh, dan terisak keras.

Ia tak lagi menahan suaranya. Membiarkan melodi rintih meluncur dari lubang vokalnya dengan bebas. Lagi pula ia sendirian di kamarnya. Tak ada orang lain yang melihat pun mendengarnya. Ia tak perlu khawatir dengan aktivitas sedu sedannya saat ini. Yang ia tahu, ia hanya butuh pelampiasan.

Ya, pelampiasan agar dirinya bisa sedikit lebih tenang sehingga mampu berpikir jernih lagi.

"A-pa s-sudah waktunya? Apa aku harus menyerah sekarang?" di tengah isakan tangisnya, Taehyung bertanya pada udara kosong.

.

.

Flashback

Taehyung membimbing Jimin untuk duduk di ranjang king size mereka. Wajahnya tampak begitu bersinar dan binernya pun tak kalah berbinar. Mulutnya menampilkan senyum rektangular andalannya yang begitu terkenal di kalangan teman-temannya. Kemudian ia berjongkok dengan tumpuan kedua lututnya menghadap Jimin, istri yang begitu dicintainya.

"Sayang? Aku sungguh masih belum bisa percaya. Tapi entah kenapa rasanya aku sangat gembira saat ini," selorohnya dengan nada ceria yang beralun dari belahan bibirnya.

Berbeda dari Taehyung yang tampak begitu gembira. Jimin yang tengah duduk di atas tempat tidur keduanya hanya bergeming dan tak menunjukkan ekspresi apa pun. Kedua tangan mungilnya yang berada dalam kungkungan telapak besar suaminya pun hanya tergolek lemah tak berdaya.

Jimin blank. Tatapan matanya kosong.

Pikirannya masih melalang buana entah kemana. Mungkin ke Italia. Ya, ke Italia.

Kepada sesosok pemuda tampan yang berhasil mencuri hatinya dan tak mau mengembalikannya lagi. Jeon Jungkook. Jeon Jungkook. Jeon Jungkook. Nama itu terus bersahutan di dalam kepalanya. Tak kuasa ia hentikan dan tak kuasa pula ia abaikan. Membuat kepalanya yang sudah pening menjadi semakin nyeri dan berat saja rasanya.

"Sayang, kau tahu? Kupikir jutaan papilon tengah menari-nari di dalam perutku. Aku sangat bahagia karena sebentar lagi keluarga kecil kita akan bertambah satu anggota baru. Terima kasih Chim, aku sangat mencintaimu," cerocos Taehyung panjang lebar diiringi kecupan lembut di punggung tangan Jimin pada akhir kalimatnya.

Ya, mereka berdua baru saja mendapati fakta bahwa Jimin tengah hamil lebih kurang tiga minggu. Dihitung sejak hari pertama Jimin dan Taehyung melakukan persetubuhan. Keduanya baru saja pulang dari klinik dokter spesialis obstetrik-ginekologi untuk memeriksakan keluhan Jimin yang menunjukkan indikasi kehamilan. Dan kenyataannya Jimin memang mengandung janin yang tengah bertumbuh-kembang di dalam rahimnya.

Jimin diam saja. Masih betah dalam kegemingannya sendiri. Menciptakan nuansa hening yang menguar di antara keduanya. Membuat sang suami tak betah untuk tak bertanya.

"Sayang? Kau tidak apa-apa?" Taehyung yang mulai khawatir dengan keterdiaman Jimin otomatis langsung menangkupkan kedua tangannya di pipi sehalus beludru milik sang istri.

Jimin memandang Taehyung dengan tatapan sendu beserta sorot kekhawatiran yang terpancar jelas dari biner suaminya tersebut. "Tae.. Taehyung..," setengah berbisik Jimin bersuara.

"Iya Chim. Ada apa sayang?" Taehyung bangkit dari posisinya untuk duduk di samping Jimin dan memeluknya. Kepala pujaan hati yang begitu dicintainya itu ia sandarkan ke dada bidangnya, sementara kedua tangannya terus mengelus punggung dan surai sehalus sutra milik lelaki mungilnya.

"Hiks.. hiks.. hiks.. M-maafkan a-aku, Tae.." katanya di antara isakan yang mulai terdengar gaungnya di kamar mereka.

Punggung sempit Jimin pun ikut bergetar hebat akibat sedu-sedan yang dihasilkan oleh perpaduan tarikan napas yang tersendat-sendat dengan dada yang naik turun tak beraturan. Sementara salah satu tangannya ia gunakan untuk mencengkeram kemeja Taehyung kuat-kuat.

"Sshh~ Uljima~ Ada aku di sini. Kenapa kau menangis sayang?" Taehyung semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh mungil Jimin dan mengecup pucuk kepala istrinya dengan sayang.

Jimin tidak menjawab. Ia memilih sibuk dengan isakannya daripada harus memberikan sepatah dua patah kata sebagai jawaban dari pertanyaan suaminya. Tangisannya pun semakin lama justru menjadi semakin keras dan tak terbendung lagi.

"Sayang? Kau tak apa-apa, kan? Apa ada yang sakit?" Taehyung bertanya sambil mematut-matut tubuh sang istri. Takut kalau-kalau Jiminnya merasa tidak nyaman maupun kesakitan di bagian tubuhnya.

"T-tidak.. Tae.. hiks.. hiks.." jawab Jimin yang masih susah payah mengatur napas di antara tangisnya.

Taehyung hanya mendengung sebagai respon. Sejujurnya ia pun bingung harus berbuat apa. Sang kekasih hati tiba-tiba menangis tanpa alasan yang jelas sementara yang dapat ia lakukan hanya memeluk sebagai upaya untuk memberikan sedikit ketenangan pada istrinya tersebut.

"Kalau begitu, kenapa kau menangis sayang? Apa aku melukaimu?" tanya Taehyung dengan nada penuh kehati-hatian. Takut menyinggung perasaan sang istri yang akhir-akhir ini menjadi lebih sensitif.

Taehyung masih belum bisa paham mengapa istri cantiknya itu tiba-tiba menangis hebat tatkala mendapati berita yang semestinya merupakan kabar yang paling membahagiakan bagi pasangan pengantin baru seperti mereka.

'Mungkin pengaruh hormon kehamilan,' Taehyung meyakinkan dirinya sendiri dalam hati.

Jimin menggeleng brutal, "A-aku.. h-hamil.. Tae.." akhirnya Jimin dapat merangkai sebuah kalimat meskipun sekadar tersusun dari tiga kata.

"Iya Chim. Kau hamil sayang. Aigoo~ apa kau menangis saking bahagianya, Chim? Astaga, cup cup cup. Tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja. Kau tenang saja karena ada aku yang siap sedia merawat dan menjagamu di sini!" Taehyung menunjuk hidungnya sendiri dengan penuh percaya diri disertai senyuman lucu yang membuat hidung bangirnya ikut berkerutan dan tertarik naik ke atas dari batas philthrum-nya

Jimin menggeleng lagi. Namun kali ini dengan gelengan pelan dan tidak brutal seperti tadi.

"M-maafkan a-aku, Tae.." Jimin menyelubungi kedua manik dengan kelopaknya. Mengatupkannya rapat-rapat sambil terus bergumam kata maaf berkali-kali.

"Astaga, Kim Jimin! Kenapa kau terus meminta maaf? Kau bahkan tak melakukan kesalahan apa pun," Taehyung mengecupi pipi tembam Jimin dengan sayang.

Jimin lagi-lagi menggeleng. Tangisannya pun semakin menjadi dan cengkeraman jemari mungil Jimin di kemejanya terasa semakin kuat. Membuat Taehyung semakin bingung akan tindakan sang istri yang dirasanya begitu aneh tersebut.

"A-aku t-tidak pa-pantas untuk orang sebaik d-dirimu, Tae," ucap Jimin usai ia mampu menenangkan diri setelah periode tangis hebat yang menderanya beberapa saat lalu.

"Kau ini bicara apa, Chim honey? Kau tahu kan kalau aku sangat mencintaimu? Kau adalah yang terbaik untukku Jiminnie. Jangan berbicara seperti itu lagi oke?" Taehyung mengusap punggung sempit Jimin yang masih bergetar akibat sisa isakannya dengan gerakan memutar. Berusaha menyamankan sang istri.

Secara tak dinyana, Jimin tiba-tiba melepas pelukan Taehyung dengan kasar dan segera berdiri untuk bertatapan dengan hazel almond milik suaminya dengan penampilannya yang super kacau. Wajahnya merona kemerahan terutama pada kedua pipi dan hidungya. Sementara kedua maniknya berwarna delima diiringi jejak air mata yang masih terbingkai jelas di atas wajah manisnya.

Jimin menelan ludahnya sebelum berbicara, "Haha.." Jimin tertawa getir, "Benarkah? Sebesar itukah cintamu padaku? Apa perasaanmu masih tetap sama jika kukatakan bahwa janin yang tengah kukandung ini bukan anakmu?" Jimin mengusap wajahnya sembari mendongak. Upaya antisipasi untuk mencegah air matanya tumpah lagi.

"A-apa maksudmu, Chim? A-aku pasti salah dengar kan? Iya kan?" air muka Taehyung mendadak tegang seketika.

Shock. Tidak percaya akan rangkaian kalimat yang diucapkan oleh lelaki yang berstatus sebagai istrinya barusan.

Jimin menghela napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Dengarkan aku Kim Taehyung. Kau sama sekali tidak salah dengar. Janin ini.." Jimin menunjuk perutnya sambil mengikuti pandangan Taehyung yang beralih ke arah abdomennya, "..bukan darah dagingmu.."

Taehyung mengesah pelan, antara terkejut dan bingung, "Kau pasti sedang bercanda kan, Chim?" berusaha berpikir positif dan menganggap bahwa Jimin tengah melemparkan lelucon kepadanya.

"Aku tidak bercanda, Kim Taehyung," jawab Jimin. Menekankan kata Kim Taehyung di akhir kalimatnya. "Aku tidur dengan lelaki lain, seminggu sebelum pernikahan kita dilangsungkan."

Taehyung membuka mulutnya, hendak berbicara namun tak ada suara yang keluar. Ia terlalu shock untuk mengolah informasi yang baru saja diterima oleh sel-sel kelabu di dalam otaknya. Pikirannya berontak dan menolak percaya, sementara hati kecilnya terus memaksanya untuk menerima semua fakta yang tersaji begitu saja di hadapannya saat ini.

"..."

Tidak menerima respon apa pun dari Taehyung, Jimin pun kemudian berjongkok dan menangis lagi. Wajahnya ia tenggelamkan di antara kedua lututnya. Sementara kedua lengannya menjadi tumpuan yang menyangga kepalanya. Ia merasa pusing dan perutnya mulai terasa mual.

Taehyung bangkit dari posisi duduknya di atas tempat tidur untuk menghampiri Jimin. Ikut berjongkok di sebelahnya lalu memeluknya dengan begitu protektif. Sejujurnya hatinya sangat sakit dan terluka begitu mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Namun Taehyung lebih menghargai kejujuran Jimin.

"Jiminnie.. Aku akan tetap mencintaimu dan anak kita.. Apa pun yang terjadi..." ucapnya seraya mengelus perut Jimin dengan lembut.

Taehyung tak bisa egois dengan menyalahkan semuanya kepada si mungil itu begitu saja. Ia telah mengenal Jimin sejak keduanya bahkan masih berupa minion manusia yang baru bisa berjalan tertatih dengan dua gigi yang tersemat di atas gusinya.

Jimin bukan tipe orang yang dengan begitu mudahnya menyerahkan keperjakaannya kepada sembarang orang. Tidak. Tidak akan pernah selama hidupnya.

Orang yang berhasil membuat Jimin rela menyerahkan miliknya yang paling berharga itu pastilah sosok yang begitu istimewa di hati Jimin. Tidak mungkin tidak. Begitu pikiran Taehyung berasumsi.

Sosok yang berhasil merebut hati sekaligus tubuh Jimin untuk pertama kalinya. Lelaki yang benar-benar Jimin cintai. Dan sayang sekali, orang itu bukan dirinya. Bukan Kim Taehyung yang kini telah berhasil mengubah marga Park menjadi Kim dari nama Park Jimin.

"Masa lalu biarkanlah berlalu. Aku tak peduli. Bagiku kau adalah satu-satunya cinta di dalam hidupku. Kekasihku, pujaan hatiku, nafasku, dan kehidupanku. Tidak akan berubah selamanya, Jiminnie!" Taehyung mengelus punggung Jimin dengan begitu lembut dan kasih sayang. Berniat menyalurkan energi positifnya kepada sang istri agar ia tidak terus meratapi nasibnya sendiri.

"Aku juga tak peduli dengan status janin yang tengah kau kandung. Apakah itu darah dagingku atau bukan—itu tidak jadi soal. Yang jelas saat ini kau tengah hamil dan anak itu adalah anakku. Aku tak peduli jika kau tetap bersikeras mengatakan bahwa anak itu bukan darah dagingku. Karena bagiku—anak itu tetaplah anakku! Anak kita berdua!" Taehyung mengelus surai Jimin yang mulai lepek karena keringat dan menyingkiran helaian yang lengket di dahi si mungil.

Jimin mengangkat kepalanya perlahan untuk bertemu pandang dengan netra sang suami yang sudah berwarna semerah palem. Bahkan kedua permukaan hazelnya pun telah membentuk lapisan kaca yang berkilat-kilat ketika tertimpa cahaya.

Taehyung menangis. Sama sepertinya.

"Tae.. Taehyung! M-maafkan aku.. hiks.."

Cup!

Sebelum Jimin mulai terisak dalam sedu-sedannya, bibir Taehyung lebih dulu meraup belahan kenyal milik sang istri untuk ia tuntun ke dalam sebuah ciuman yang begitu hangat dan menenangkan. Mencecap inchi demi inchi labia selembut puding dan semanis cokelat Belgia milik kecintaan dalam hidupnya.

Memberikan lumatan demi lumatan yang mampu menyamankan hati yang kacau pun menenangkan pikiran yang kalut. Menyesapi aroma memabukkan yang mampu buat empunya melayang ke awang-awang hanya dengan percikan napas seharum cherry-mint yang menguar dari lubang vokalnya.

Taehyung menggigit belahan bawah bibir Jimin untuk meminta akses lebih ke dalam rongga mulut sang istri untuk berperang lidah. Saling isap, saling jilat, dan saling gigit tanpa adanya intensi untuk bermain kasar yang dipenuhi oleh kabut nafsu. Taehyung melumat labia kekasihnya dengan lembut dan penuh perasaan. Cinta, adalah nama perasaan itu.

Taehyung is a gentleman. He loves so gently as well as makes love so tenderly.

Jimin melenguh pelan akibat terbawa oleh permainan lidah yang dilakukan dengan begitu lihai oleh sang suami. Tak dapat ia mungkiri bahwa lelakinya itu adalah sosok pencium yang andal. Begitu piawai dalam memanjakan titik-titik sensitif stomanya pun menciptakan sensasi luar biasa yang buatnya mabuk kepayang hingga terbang melayang jauh ke khayangan.

Jimin sangat menikmati setiap kecup, cium, lumatan dan pagutan dari lelaki yang selama hampir dua dekade berstatus sebagai sahabatnya tersebut. Namun sebuah urgensi yang tiba-tiba muncul dan mendesak dari dalam perutnya memaksanya untuk mendorong tubuh sang suami kuat-kuat hingga hampir terjengkang ke belakang.

Kemudian Jimin berlari tergesa-gesa menuju toilet yang berada di dalam kamar mereka.

Dan beberapa saat kemudian terdengar suara orang muntah sambil terbatuk-batuk dari dalam bilik toilet. Tentu saja suara itu bersumber dari Kim Jimin. Siapa lagi memangnya orang hamil yang kerapkali dilanda rasa mual berlebih dan berakhir dengan muntah-muntah di toilet kalau bukan istri Taehyung pelakunya?

"Hyperemesis gravidarum.." ucap Taehyung, menirukan kata-kata Dokter kandungan yang berada di klinik rumah sakit Ibu dan Anak yang baru mereka kunjungi beberapa jam yang lalu.

Taehyung tersenyum dan bangkit dari posisinya untuk menyusul sang istri sekaligus kekasih hatinya tersebut. Dengan senang hati ia akan mengurut tengkuk Jimin dan mengusap-usap punggungnya guna meringankan rasa tidak nyaman yang mendera sosok yang paling ia cintai dalam hidupnya.

Taehyung adalah suami siaga yang begitu perhatian.

Jimin bersyukur memiliki suami sepertinya. Dan sejak saat itu, Jimin berjanji pada dirinya sendiri di dalam hatinya untuk tidak pernah mengungkit masa lalunya. Bertekad untuk mengubur kenangan masa lalunya dalam-dalam tanpa ada niat untuk menggalinya lagi seumur hidupnya.

Jimin adalah istri Kim Taehyung. Dan ia tengah mengandung anak Taehyung. Begitu yang ia tekankan kepada pikirannya sendiri. Mengabaikan bisikan nurani yang terus-menerus mencabik hatinya agar ia jujur terhadap perasaannya sendiri. Namun Jimin membiarkan logikanya mengambil alih kali ini. Ia memilih untuk mengabaikan perasaannya sendiri dan siap menempuh hidupnya yang baru bersama suaminya, Kim Taehyung dan calon bayi mereka.

Tanpa rasa takut dihantui oleh bayang-bayang masa silam.

Bayang-bayang memori masa lalunya bersama seseorang bernama—Jeon Jungkook.

Flashback end

.

Taehyung masih tetap geming pada posisinya semula.

Berbaring dengan lengan kiri yang ia tumpukan di atas larik kedua netranya untuk menutupi buliran bening yang masih terus mengalir dari pelupuk matanya. Sementara jemari tangan kanannya ia gunakan untuk mencengkeram dada kirinya kuat-kuat. Mengantisipasi rasa nyeri yang tengah menggerogoti jantungnya yang berdentam-dentam dalam irama yang acak-acakan.

Hidung, kedua pipi, dan bibirnya pun merona kemerahan. Merekah sempurna bak kuncup mawar yang baru mekar. Isakannya masih lolos dari kedua belahan bibirnya meskipun terdengar lebih samar kali ini. Cengkeraman di dada kirinya semakin ia ketatkan. Sebagai upaya untuk menahan sensasi perih akibat sayatan seribu sembilu yang tengah menghujami jantungnya saat ini.

Di tengah kekalutan hati dan pikirannya yang terubrak-abrik tersebut ia merasakan visinya memudar dan serangan kantuk segera menyerbunya secepat burung kingfisher menyambar ikan di lautan.

Akhirnya ia pun tertidur dalam buaian nestapa yang belum purna dari dalam jiwanya.

.

.

.

"Mom, kenapa semalam meninggalkanku dengan Profesor Jecavio?" Jester bertanya. Lebih tepatnya berinisiatif membuka pembicaraan untuk memecahkan es beku di antara dirinya dan sang Mommy.

Kebetulan Jester dan ibunya yang cantik itu tengah menikmati sarapan bersama di restoran hotel tempat Jimin menginap selama tiga hari belakangan.

"..." Jimin tetap hening.

Tidak memedulikan pertanyaan Jester seraya mengiris daging steak-nya dengan khidmat. Yang mana hal ini tentu saja membuat Jester mendengus kesal karena diabaikan oleh Mommy kesayangannya.

"Mom~" dayu Jester dengan suara yang dibuat agar terdengar imut dengan harapan agar mampu meluluhkan ekspresi dingin sang bunda yang tengah memasang ekspresi jutek.

Jimin menghela napas dan menghentikan kunyahan terakhirnya. "Mommy kemarin tidak enak badan, Jester," jawab lelaki yang berstatus sebagai ibu Jester itu sekenanya.

"Bohong! Buktinya Mommy baik-baik saja kan hari ini? Biasanya kalau Mommy tidak enak badan itu perlu dua hari untuk pemulihan," Jester memercikkan bara api untuk menyalakan argumen di antara mereka berdua.

Jimin mendecak dan memejamkan matanya sekilas lalu menatap Jester dengan malas. "Yah! Kim Jungmin, sejak kapan kau jadi curigaan begini, hah?" katanya sambil melebarkan manik sipitnya.

"Jangan melotot begitu, Mom. Bukannya seram tapi malah aneh, tahu?! Nasib baik karena aku mewarisi mata bulat dan besar milik Papa Jungko-eh.." Jester kelepasan. Segera ia katupkan kedua belahan bibirnya rapat-rapat sementara iris cokelatnya berulang-alik ke tak tentu arah. Sebisa mungkin berusaha menghindari tatapan sang Mommy yang penuh dengan seribu pertanyaan yang menghiasi sorot matanya.

"Jungmin.. Kau bilang apa barusan?" Jimin mengangkat dagu putra semata wayangnya agar wajah keduanya saling berhadapan satu sama lain.

Jester—atau Jungmin masih enggan memandang wajah sang Mommy yang menurutnya tampak menyeramkan sekarang. Memilih memproyeksikan binernya ke kiri bawah meskipun wajahnya kini berhadapan langsung dengan wajah sang bunda.

"Jungmin, jawab Mommy!" Jimin menaikkan nada suaranya menjadi sedikit membentak; yang sukses membuat anak lelakinya itu tersentak dan mau tak mau harus menatap manik kelam sang bunda.

Jester menelan ludahnya dengan susah payah. Jujur saja, wajah sang Mommy terlihat sangat berbahaya kali ini. Seakan-akan ibunya adalah singa lapar yang siap mencaplok anaknya sendiri tatkala tak menemukan mangsa lagi untuk dimakan.

"Mm, tidak apa-apa Mom hehe. Tidak usah dipikirkan—karena aku yakin Mommy juga tidak akan senang jika kita berdua membahasnya," seloroh Jester dengan nada lirih.

Jimin menghela napas panjang dan menyibakkan rambutnya ke belakang. Kebiasaannya sejak muda ini memang tidak pernah berubah sampai sekarang.

"Jungmin, jujur pada Mommy. Apa kau mengetahui sesuatu, heum?" kali ini ekspresi predatorik yang terbingkai di wajah Jimin mendadak berubah jinak. Air mukanya justru menampilkan kekhawatiran yang tampak kentara tatkala putranya menyuguhkan ekspresi ketakutan terhadapnya.

Jester mengangguk sekilas, "A-aku sudah tahu semuanya, Mom. P-papa Jungk—maksudku Profesor Jecavio telah menceritakan semuanya padaku," menundukkan kepalanya dan mengerjapkan manik cokelatnya berulang kali agar air mata memenuhi pelupuk matanya.

Sebuah trik jitu agar sang Mommy merasa iba sekaligus mengabulkan seluruh permintaannya. Lumayan, sekali tepuk dua nyamuk mati sekalian. Begitu batin Jester berucap.

"Astaga! Kau menangis sayang?" Jimin yang tampak begitu khawatir mendapati keadaan sang putra pun akhirnya beranjak dari tempat duduknya untuk memeluk tubuh anak lelakinya yang tengah terisak pilu.

Jimin membenamkan kepala Jester di atas dadanya sementara jemari mungilnya ia gunakan untuk memeluk seraya mengelus surai dark brown lelaki kecil kesayangannya itu secara bergantian.

"Sshh, Jungminnie.. jangan menangis ya? Masa jagoan Mommy menangis sih?" ujarnya pada sang putra yang mulai tersedu-sedu.

Jimin tidak tega melihat anak laki-laki satu-satunya itu menangis karena dirinya. Walau sering marah-marah dan terkesan galak, sebenarnya Jimin adalah sosok Mommy yang begitu protektif dalam menyayangi sang putra.

"Huhuhu.. Mommy.. Huhuhu.." isaknya dengan nada tangis yang dibuat senatural mungkin.

Jester yang berada dalam kungkungan tubuh mungil sang bunda pun balas memeluk pinggang Jimin. Menyamankan kepalanya yang terbenam di dada ibunya sembari menyesap aroma Hawaiian citrus yang menguar dari tubuh Mommy-nya tersebut.

Sejujurnya seorang Kim Jungmin alias Jester Kim begitu merindukan momen skinship yang jarang sekali ia lakukan pada ibunya dengan satu alasan. Gengsi.

Dan sekarang—dengan sentuhan muslihat air mata buayanya ia berhasil menikmati aroma ketiak sang Mommy yang telah sekian lama ia rindukan.

Karena selama ini Jester selalu bersembunyi di balik topeng anak laki-laki sengak yang selalu kontra dengan lelaki yang berstatus sebagai istri dari Kim Taehyung tersebut.

Jadi, mana mungkin ia mau berinisiatif memeluk sang Mommy lebih dulu jika tidak ada momen-momen tertentu yang mengharukan?

'Gengsi setengah mampus,coy!' katanya.

Well, Jester tetaplah Jester.

Tidak akan pernah berubah menjadi Saint-ter karena pada dasarnya dia adalah seorang Sinis-ter.

'Hm, lumayan~ Aku jadi tidak perlu melanjutkan pembahasan tentang Papa Kookie bersama Mommy Chim hihihi. Oh, Thank God, bless my beautiful brain, muaaah..' katanya dalam hati.

"Ssh, jangan menangis lagi ya sayang. Mommy minta maaf ya? Mommy sayang Jungmin. Cup cup cup.. Putra tampan Mommy jangan menangis lagi. Nanti Mommy belikan SUV mainan ya?" rayu Jimin pada sang putra yang masih asyik dengan acara sedu-sedannya.

"Huhuhu.. tidak mau mainan, maunya yang asli. Belikan Aston Martin dan Alfa Romeo edisi terbaru ya Mom?" ajunya pada sang bunda dengan manik yang dipenuhi air mata.

Palsu. Itu air mata buaya. Sayangnya, Jimin tidak tahu kalau sang putra tengah mengelabuinya.

"Iya. Nanti Mommy bilang Daddy dulu ya? Alfa Romeo keluaran terbaru kan?" tanya Jimin sambil mengecupi pucuk kepala sang putra yang sangat cerdik sekaligus licik seperti kancil itu.

"Sama Aston Martin juga, ya Mom?" rengeknya tepat di nipple kanan Jimin. Membuatnya tampak seperti bayi besar yang ingin menyusu induknya.

"Iya sayang. Apa pun untuk putra kesayangan Mommy dan Daddy yang pintar ini," jawab Jimin, masih sibuk membelai helaian sehalus sutra milik putranya dan sesekali mengecupinya dengan antusias. Karena menurut Jimin, itu satu-satunya cara agar bayi besarnya yang manja mau berhenti menangis.

"Hihihi.. aku sayang Mommy.. mmuahh.. mmuaah.. mmuaah.." Jester mengecupi pipi sang bunda dengan ganas. Membuat lelaki cantik yang berusia empat puluh lima tahun itu kewalahan menghadapi tingkah sang putra.

Dan tentu saja, para pengunjung restoran yang lain pun hanya tercengang dan tertawa sambil geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah polah sepasang induk semang dan bayi besar yang tengah bercengkerama kelewat mesra di tempat umum seperti ini.

'Syukurlah, Mommy lupa total tentang Papa Jeon Jungkook,' Jester berucap lega di dalam batinnya.

Dan memang benar.

Park atau Kim Jimin, benar-benar melupakan perihal tentang Jeon Jungkook begitu melihat putra kesayangannya menangis sesenggukan di dalam pelukannya. Karena selama ini yang Jimin ketahui, putra tunggalnya itu selalu sengak, bandel, nakal, dan selalu saja membantah kata-katanya.

Jangankan menangis seperti sekarang ini, berkaca-kaca saja tidak pernah.

Jadi, jangan heran jika Jimin menjadi begitu khawatir ketika mendapati lelaki kecil kecintaannya menangis terisak di dalam pelukannya.

Terakhir yang Jimin ingat, Jester masih mau menangis di dalam pelukannya terakhir pada saat putranya itu berusia sepuluh tahun. Saat ia masih kelas lima SD.

Sehingga Jimin merasa sangat senang bisa memanjakan dan membuat Jungminnya berhenti menangis seperti sekarang ini. Anggap saja nostalgia masa lalu saat anak lelakinya masih lucu nan unyu-unyu penyu berkedok ikan hiu.

Dan hal itu merupakan kebanggaan tersendiri bagi Jimin.

'Asyik.. menangis ternyata ada gunanya juga ya? Aku jadi dapat dua unit SUV baru dari Mommy dan Daddy yay!' Jester bersorak sorai di dalam hatinya.

Dasar nakal kau Jester Kim!

Mommy sendiri masa kau kerjai begitu?

.

.

END

Jumat, 7 Oktober 2016

06:08 PM

.

.

NOTE:

Di sini Jungkook gak muncul~

Kookmin and Yoonmin shipper apa kabar?

Gimana keadaan hayati? Baik-baik sayang?

Udah liat foto-foto baru mereka kan? Yang tiduran dan duduk dan MV Teaser!

Duh, ai kennot pokoknya. Apa pula pada bilang 50 Shades of Min hahaha.

Itu tuh yang Yoongi nutupin mata Jimin pake tangan aww~

Kookmin slays out as well as Yoonmin kyaaa~

Itu foto yang bikin aku gak bisa move on—foto Kook yang bobo bareng dan nyentuh perut Chim sementara di sampingnya ada Hoseok! Aaaa~

Jikookmin shippers internasional pada bilang kalo itu m-preg! Yaish!

Daddy Jeon taking care of Mommy Jeon who's expecting their first baby Jeon.

JEON FAMILY ANYONE?

Kayaknya saya mesti bikin FF Kookmin yang mpreg lagi deh!

Btw ff Koomin-ku itu m-preg semuanya loh hihihi.

COMING SOON~

Gidarilkeyong ^^

.

.

REVIEW JUSEYO~

.

.

End-note:

Aku suka fiksiku yang ini, makanya sekali kesamber ide, aku langsung tulis hehehe.

Aku Kookmin shipper btw~ hahaha

Dan biasku bukan JK atau JM Xd

Aneh kan?