"Bogoshipda, Jiminie-hyung."

Jungkook berusaha mempertahankan senyumnya tidak berubah menjadi kekehan karena Park Jimin terus menatapnya dengan kelopak melebar dan mulut menganga.

"J-Jungkook- kau- kau mengingatku?"

Jungkook memiringkan kepala seraya menatap yang lebih tua dengan sorot jenaka. "Hm? Tentu saja aku mengingatmu, Jiminie. Kau masih sependek dulu, tidak ada alasan bagiku untuk lupa."

Jimin kembali menganga namun sedetik ekspresinya berubah murka. "Sialan. Setelah bertahun-tahun tidak bertemu, hal pertama yang kau ungkit adalah tinggi badanku? Aku membencimu, Jeon Jungkook. Jangan pernah bicara denganku lagi!"

Usai mengatakan kalimat itu Jimin langsung berbalik dan melangkah secepat mungkin. Gurat kekesalan begitu kentara dari caranya menendang pasir. Melihatnya Jungkook lagi-lagi hanya bisa terkekeh, meski begitu ia tetap beranjak mengejar Jimin.

Tidak butuh waktu lama untuk bisa menjajari langkah yang lebih tua dengan kakinya yang panjang. Ia berusaha menahan Jimin di pundaknya.

"Hei, Hyung, berhenti dulu-"

"Jangan sentuh!" namun Jimin membentaknya tanpa menghentikan langkah atau menoleh ke arahnya sama sekali.

Wajah gusar Jimin sama sekali tidak meruntuhkan senyum kecil yang terukir di sudut bibir yang lebih tinggi. Jungkook terlalu senang akhirnya bisa bertemu lagi dengan sosok dari masa kecilnya. Kali ini Jungkook beralih meraih pergelangan tangan Jimin dan memastikan menggenggamnya dengan erat.

"Hei, Hyung, listen." Jungkook berhenti dan menarik Jimin hingga langkahnya sepenuhnya terhenti. Untuk kali ini yang lebih tua menurut. Mereka berdiri berhadapan, namun pandangan Jimin justru jatuh ke ujung kaki mereka yang hampir bersentuhan saking dekatnya posisi mereka.

"Aku bercanda, Hyung. Jangan marah, yeah?"

Ketika Jimin mengangkat wajahnya, Jungkook langsung diserang perasaan bersalah melihat manik cokelat yang lebih tua tampak berkaca-kaca.

"Apa masalahmu?!" Jimin menaikkan suaranya. "Kenapa kemarin kau berpura-pura tidak mengenaliku? Kau tahu bagaimana kacaunya perasaanku setelah bertahun-tahun tidak melihatmu dan mendadak kau bersikap seperti orang asing?!"

Jungkook melirik sekilas melalui pundak Jimin dan melihat semua atensi teman-temannya kini terarah ke mereka berdua. Ia yakin mereka semua dapat mendengar apapun yang dikatakan Jimin barusan.

"Aku minta maaf, Hyung. Aku hanya ingin bermain-main denganmu. Sungguh. Aku tidak bermaksud membuatmu sedih."

"Candaamu tidak lucu, Bodoh!" kalimat Jimin diikuti dengan sebuah pukulan di pundak yang lebih tinggi. "Semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan tingkah bodohmu kemarin, kau tahu?!" satu pukulan dari kepalan tangan Jimin kembali diterima Jungkook. "You Brat, aku sampai mengira kau terkena amnesia!" satu pukulan lagi. "You're so damn annoying, you jerk!"

"Hei-hei, jangan menangis." Jungkook menangkup wajah Jimin yang basah dengan kedua tangan. Ibu jarinya mengusap jejak air mata yang lebih tua dengan lembut. "I'm so dumb, I'm sorry, okay? Stop crying, please. Kau tahu aku benci melihatmu menangis."

Mendadak Jimin merasa mereka kembali ke masa lalu. Ketika mereka berdua hanyalah dua bocah ingusan yang melakukan segala hal bersama. Jungkook selalu meminta maaf dengan cara seperti itu, mengiyakan segala umpatan yang dilayangkan Jimin untuknya. Menyetujui semuanya tanpa ragu.

Kenangan itu justru membuat genangan air di pelupuk Jimin malah semakin bertambah. Pada akhirnya Jungkook membawa yang lebih tua ke dalam pelukannya. Membiarkan Jimin membasahi kemejanya di bagian pundak.

"Where have you been, Kook-ah?" Jimin bertanya disela-sela tangisnya. Melupakan kenyataan bahwa bertahun-tahun lalu dirinyalah yang memutuskan untuk meninggalkan yang lebih muda. "Kenapa baru datang sekarang?"

Jungkook mengusap rambut Jimin yang lepek karena air laut dan mengeratkan pelukannya. Ia mengambil nafas panjang, menghirup aroma lelaki di dalam rengkuhannya sebanyak mungkin. Ada sedikit getar dala m suara Jungkook ketika ia berbisik tepat di telinga Jimin,

"It's okay, Hyung. I've found you."

I'll never let you go anymore.

Much Ado About You
(I didn't mean to fall in love, I'm sorry)

© Nightingale

"So, care to explain?"

Jimin tahu cepat atau lambat pertanyaan itu akan datang dari dua orang dihadapannya. Seokjin sendiri yang mengantarkan pesanannya sekaligus duduk di kursi yang biasanya ditempati oleh Namjoon.

"Aku tidak tahu harus mulai dari mana, honestly."

"Kau bisa memulainya dari siapa Jungkook sebenarnya." Yoongi yang biasanya memilih diam jika itu bukan hal yang penting bahkan tampak antusias meski pria pucat itu berusaha menutupinya.

"Well, kalian ingat sahabat dari kecil yang pernah kuceritakan? Tetanggaku sejak umurku sembilan tahun? That's Jungkook."

Ada jeda sepuluh detik sebelum akhirnya informasi itu berhasil dicerna oleh Seokjin dan Yoongi.

"Wait," Seokjin meletakkan sendok kecil yang sebelumnya dipakai untuk menyendok pudingnya. "Jungkook is the person you love? The one you can't forget?"

"Aniya, Hyung, aku bukannya–"

"Apakah ini orang yang sama yang membuatmu menolak Jong In?" Sela Yoongi cepat.

"Aku tidak menolak Jong In-hyung karena dia tidak pernah menyatakan perasaan apapun padaku."

Sampai disini Seokjin memutar bola mata. "Semua orang tahu dia menaruh hati padamu."

"Kukira kalian ingin mendengar cerita tentang Jungkook?" tanya Jimin dengan alis terangkat sebelah.

"Baiklah." Sahut Yoongi. "Sekarang jelaskan."

Jimin mulai menceritakan mengapa Jimin sampai bertingkah dramatis sewaktu di pantai kemarin. Bahwa sikap anehnya sejak kedatangan adik Seokjin adalah karena Jungkook.

"Jadi dia sebenarnya sudah mengenalimu sejak awal tapi memutuskan berpura-pura hanya untuk membuatmu kesal?" tanya Seokjin.

Jimin mengangguk sekali dan Jimin sudah tahu apa yang ada di dalam benak yang lebih tua melalui kerutan yang tercipta di alisnya. "Tidak, dia tidak tahu sejak awal. Dia juga terkejut begitu sampai di rumah dan melihat foto kita berdua."

Setelah kejadian itu, Jungkook terus menempel pada Jimin layaknya kulit kedua. Kedekatan mereka yang meningkat drastis membuat teman-teman mereka menatap heran. Bahkan Kyungsoo juga tampak penasaran ketika melihat keduanya duduk bersisian ketika makan malam, semakin heran ketika Jungkook dengan santainya merangkul bahu Jimin namun memilih untuk tidak mengatakan apapun.

"Tidakkah kebetulan itu terlalu aneh menurutmu?"

Yoongi yang sejak tadi diam menanyakan sesuatu yang juga terlintas di benak Seokjin.

"Apa maksudmu, Hyung?" Jimin balik bertanya.

"That sounds weird."

Jimin ikut mengerutkan kening. "Elaborate?"

Lelaki pucat itu menghela napas lelah. Terlihat begitu malas seolah menjelaskan maksudnya akan menghabiskan banyak energinya. Bisa-bisanya seorang penulis terkenal seperti dirinya tidak mengerti hal sesederhana itu.

"Aku hanya merasa ini semua terlalu aneh untuk menjadi sebuah kebetulan. Dia adalah rekan kerja adik seseorang yang tinggal bersamamu. Hal itu membuat dunia ini terasa begitu kecil."

"Taehyung sendiri yang bilang mereka berteman sejak kuliah." Balas Jimin seolah fakta itu akan memberikan perbedaan.

"Dan dia baru tahu sekarang bertahun-tahun setelah mereka kenal?"

"Aku rasa itu wajar," Seokjin menyahut. "Karena meski sudah lama tinggal bersama Jimin, ini pertama kalinya dia bertemu Taehyung."

Yoongi tampak ingin mengatakan sesuatu namun terhalang akan kedatangan Namjoon. Jimin mengeluh tentang Namjoon yang selalu terlambat entah itu bulan maupun musim apa. Sementara Seokjin hanya tertawa kecil sebelum bangkit dari posisinya agar pria jangkung tersebut bisa duduk.

Akhirnya percakapan itu terhenti begitu saja.

Namun ada sesuatu yang menggelitik perasaan Yoongi. Katakanlah itu adalah firasat seorang editor, namun benaknya berkata ada satu potongan yang hilang dari keseluruhan cerita tersebut.

Ode to a Nightingale

"So, you and Jimin, huh?"

"CRAP!"

Jungkook sedang fokus mencatat pesanan bunga via telepon ketika suara Taehyung datang dari jarak yang begitu dekat. Ini yang kedua kalinya Jungkook memiliki hasrat untuk menanamkan ujung pena yang sedang dipegangnya ke mata Taehyung yang selalu dibangga-banggakannya.

"Berhenti mengendap-endap seperti itu, Brengsek." Sembur Jungkook penuh amarah.

Sama sekali tak terpengaruh, Taehyung justru memamerkan rectangle smile andalannya. Ia lalu mengitari meja persegi dan berdiri tepat disebelah yang lebih muda, berpura-pura menaruh perhatian terhadap buku yang berisi daftar bunga yang dipesan bulan ini. Jungkook hanya memutar bola mata, tahu dengan pasti Taehyung sama sekali tidak tertarik dengan daftar tersebut.

"Apa yang ingin kau ketahui?"

"Tentang hubunganmu dengan Jimin." jawab Taehyung cepat.

"Kami adalah tetangga sekaligus sahabat sejak kecil, namun begitu lulus SMA dia pindah dan aku tidak pernah berhubungan dengannya lagi hingga tempo hari."

Alis Taehyung mengerut. "Begitu saja?"

"Begitu saja." Jungkook mengangguk afirmatif.

"Dan kau selama ini tidak tahu bahwa kakakku mengenal sahabat kecilmu?"

"Seandainya aku tahu, aku sudah menemuinya sejak dulu. Kami berpisah dengan cara yang… kurang baik."

Sebelum Taehyung sempat menanyakan maksud Jungkook lebih jauh, keduanya mendengar suara pintu depan terbuka dan langkah kaki sebelum sosok Hoseok masuk ke dalam toko melalui pintu samping. Ia terlihat ceria seperti biasa dengan senyum lebarnya yang khas.

"Apakah kalian melihat Jimin?"

"Dia mengantar Nayeon ke sekolah dan menghabiskan waktunya di kafe Seokjin-hyung. Dia akan pulang setelah menjemput Nayeon."

Hoseok mengangguk mendengar penjelasan Jungkook. Ia tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya berujar, "Kalau begitu aku akan kesana juga, kalian mau ikut?"

Taehyung menggeleng sementara Jungkook menyahut, "No, Hyung."

Keduanya melambaikan tangan ke arah Hoseok yang berjalan ke luar toko menggunakan pintu depan. Pandangan Taehyung kembali terarah Jungkook yang balas menatapnya dengan sorot blank.

"So, you and Jimin."

"Yeah?"

"Hubungan kalian hanya sebatas sahabat? Tidak lebih?"

"Kenapa kau menanyakan itu?" Jungkook balas bertanya.

"Aku tidak yakin dengan ini, tapi aku rasa Hobi-hyung tertarik dengan Jimin."

"Oh."

"Oh?" kedua alis Taehyung terangkat begitu tinggi hingga menghilang dibalik poninya yang tebal. "Tidak apa-apa?"

Kali ini Jungkook mengangkat wajahnya dan bertemu pandang dengan sahabat sejak kuliahnya. "Tentu saja."

Senyum yang terkulum di wajahnya entah bagaimana mampu membuat Taehyung merinding. Itu bukan senyum lebar yang menampilkan dua gigi kelinci yang biasanya Jungkook perlihatkan ke banyak orang, melainkan senyum terkulum dengan hanya satu sudut bibir yang terangkat. Senyum yang terlihat begitu licik dan misterius.

"I don't like this." Ujar Taehyung lagi. Respon sahabatnya hanyalah sebuah alis yang terangkat. "Ada sesuatu yang kau rahasiakan dariku dan aku tidak menyukainya."

"Did I?"

"Jangan berpura-pura di depanku, Jeon Jungkook. Aku mengenalmu."

Kali ini senyum yang menghiasi wajah Jungkook terlihat lebih tulus dan nyata. "Then you have nothing to worry about, do you?"

Ode to a Nightingale

"Well, there he is," Namjoon memberi gestur melalui dagunya "your Prince Charming."

Jimin berusaha menahan diri untuk menghela napas. Ia tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa yang Seokjin maksud.

"Hyung, seriously?"

Jung Hoseok hanya melemparkan senyuman lebar seraya tetap mengulurkan setangkai mawar putih ke arah jimin. "Tenang saja. Aku membelinya."

"Di toko bungaku."

"Yeah, secara teknis itu milik ibumu." Balasnya seraya menggerakkan bahu, seolah kalimat itu sudah cukup menjelaskan maksudnya. "Dan aku membelinya khusus untukmu, jadi kau harus menyimpannya di kamarmu."

"Silly hyung." gumam Jimin seraya menggelengkan kepala. Senyumnya mengembang ketika aroma mawar tersebut memenuhi inderanya.

"Sweet Jiminie."

"Astaga. Aku akan muntah"

Keduanya langsung menoleh ke arah Namjoon yang mengerutkan wajah seolah sedang menahan sembelit. Hoseok hanya tertawa kecil sementara Jimin berusaha menyembunyikan semu yang muncul di pipinya.

"Terus lakukan itu, Jung. Jiminie sangat menyukai tindakan romantis seperti itu." Lanjut Namjoon.

"Hyung!" Jimin menegur dengan wajah yang semakin memerah.

Sementara itu Jung Hoseok hanya mengalihkan pandang ke bawah, meski begitu Jimin bisa melihat dengan jelas senyum yang memenuhi seluruh wajahnya. Pengalaman Jimin dalam urusan asmara mendekati nihil, namun bukan berarti ia tidak bisa membaca maksud Hoseok. Jimin tahu lelaki itu menyimpan perasaan lebih dari sekedar teman untuknya, dan Jimin diam-diam berharap agar Hoseok tetap membiarkan perasaannya tersimpan. Karena Jimin tidak akan pernah bisa memberikan hal yang sama padanya. Ini bukan pertama kalinya Jimin menolak seseorang, hanya saja seluruh pengalaman itu tidak membuat segalanya menjadi lebih mudah. Jimin tidak pernah menyukai gagasan melukai perasaan orang lain, ia paham betul bagaimana rasanya menginginkan sesuatu, seseorang, namun tidak pernah berhasil meraihnya.

Rasanya menyakitkan.

Dan Jimin tidak berniat menjadi penyebab dari rasa sakit tersebut, apalagi untuk seseorang dengan hati sebaik Jung Hoseok. Bagi Jimin, hasrat untuk menginginkan sesuatu adalah sesuatu yang berbahaya, maka dari itu ia melarang keras dirinya untuk memiliki hasrat tersebut.

"Omong-omong, apa yang kalian bahas tadi?" Hoseok berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Kim Taehyung." Jimin menjawab cepat.

Alis Hoseok terangkat.

"Namjoon-hyung sedikit kewalahan menghadapi temanmu yang satu itu."

Hoseok meringis. Ia menatap Namjoon dengan sorot meminta maaf. "Yeah, Taehyung memang kadang bersikap berlebihan. Aku akan bicara dengannya agar– "

"Tidak, tidak. Bukan itu maksudku." Namjoon menyergah cepat. Ia menyesap minumannya sekali kemudian melanjutkan, "Aku bukannya merasa tidak nyaman, at least not in a bad way, I guess. Aku hanya bingung mengapa dia bersikap seperti-" Namjoon melakukan gerakan tangan tidak jelas. "-itu."

"Bukankah sudah jelas? Dia menyukaimu."

Namjoon mengerutkan alis. "Darimana kau tahu?"

Jimin memutar bola mata. "You're so oblivious, Hyung."

"Bukan seperti itu, aku hanya merasa orang seperti Taehyung tidak mungkin jatuh cinta dengan orang sepertiku. Lagi pula dia adalah adik Seokjin-hyung."

"Hey, don't say such thing. You're a catch yourself." Ucapan Hoseok membuat Namjoon tersenyum. "Dan apa hubungannya dengan Seokjin-hyung? Setahuku dia tidak pernah ikut campur dengan kehidupan cinta Taehyung. Aku bahkan merasa kau jauh lebih baik dari semua mantan Taehyung digabung menjadi satu, kebanyakan dari mereka brengsek."

Inilah bagian yang Hoseok maupun orang lain tidak ketahui. Kim Namjoon menyimpan perasaan sebesar Jupiter untuk saudara Taehyung, Seokjin. Dan itulah yang membuat Namjoon mengalami konflik. Karena tidak peduli sebesar apapun pesona Taehyung, perasaan Namjoon kepada Seokjin bukanlah sesuatu yang bisa paras indah Taehyung hapus dengan mudah.

Namun disisi lain, ada sesuatu dalam diri Taehyung yang membuat Namjoon tidak bisa menarik diri. Jika berada didekat Seokjin membuat Namjoon merasa layaknya kembang api berjalan, maka kehadiran Taehyung ibarat gravitasi bumi yang memastikan kakinya menjejak tanah. Bersama Seokjin, Namjoon seolah melompat keluar dari kulit tubuhnya dan menjadi bintang, sementara Taehyung menariknya ke dalam dirinya sendiri untuk merasakan setiap detak dan ritme yang jantungnya ciptakan.

"Hey, Taehyung adalah anak yang baik. An idiot, I know, but kind nonetheless."

Namjoon tahu persis hal tersebut. Satu-satunya hal yang tidak bisa Namjoon yakini adalah perasaannya sendiri.

Ode to a Nightingale

Akhir pekan selanjutnya mereka kembali mengunjungi pantai, kali ini bersama Kyungsoo dan Jisoo yang begitu bersemangat. Seokjin menyewa sebuah villa berlantai dua yang berada tak jauh dari bibir pantai untuk dua hari ke depan. Lisa dan Yoongi juga kembali ikut dalam perjalanan tersebut. Seokjin mengendarai mini cooper-nya dengan Kyungsoo yang duduk di sebelah kemudi. Di bangku belakang ada Jimin, Lisa, dan Yoongi yang sejak berangkat terus menutup matanya. Sementara Hoseok dan Taehyung ikut di mobil Jungkook yang menyetir tepat di belakang mereka.

Perjalanan ke Pantai Haeundae memakan waktu hampir dua jam. Jisoo yang awal keberangkatan begitu bersemangat kini tidur pulas di dada Jimin. Anak itu bangun lebih cepat dari biasanya, tidak sabar untuk segera berangkat.

"Jimin-oppa."

Mendengar namanya disebut, Jimin lantas membuka mata dan menoleh ke arah gadis di sebelahnya.

"Sudah berapa lama kau mengenal Jungkook-oppa?"

Jimin menghitung dalam hati. "Dia adalah tetanggaku sewaktu tinggal di Seoul dulu. Dia dan kedua orangtuanya pindah ke rumah kosong tepat di samping rumah ketika usiaku sembilan tahun. Kami sama-sama anak tunggal, kurasa karena itu kami menjadi akrab dalam waktu dekat." Tutur Jimin dengan sorot mengenang. Tanpa sadar ia tersenyum mengingat masa kecilnya yang semuanya ia lalui dengan Jungkook. Sekelebat peristiwa berganti dan memunculkan beragam emosi di dalam benaknya.

"Wah, kau benar-benar menyukai anak itu ya?"

"Oppa!" Lisa memekik dengan suara tertahan. Kulitnya yang biasanya terlihat pucat perlahan merona.

"Aku benar-benar tidak mengerti. Apa sih yang membuatnya sangat populer? Bisa kau bayangkan, anak-anak di sekitar kompleks memekik seperti fangirl setiap kali Jungkook tersenyum. Bahkan– "

Jimin tidak menangkap kelanjutan ucapan Seokjin. Seluruh fokusnya tertuju pada gelenyar aneh yang timbul mengetahui gadis disebelahnya menyukai Jungkook. Mendadak mood-nya berubah drastis. Ia hanya bisa mengulurkan senyum setengah hati mendengar lelucon Seokjin. Gagasan menghabiskan akhir pekan di villa kini tidak lagi menarik baginya.

Perasaan anehnya terus bertahan hingga petang tiba. Bahkan ketika semuanya berkumpul mengelilingi api unggun usai makan malam di depan villa. Semakin memburuk melihat Lisa dan Jungkook yang tampak asik dengan dunia mereka sendiri, sepenuhnya menghiraukan yang lain. Seokjin sedang menceritakan pengalaman lucunya di kafe namun Jimin sama sekali tidak bisa membawa dirinya untuk ikut menyimak.

"Yah, stop pouting." Taehyung menghampirinya dengan dua kaleng bir di tangan.

"I'm not." Jimin menyangkal sebelum menenggak birnya.

"You're too obvious, you know?"

"Apanya?"

Taehyung mengalihkan tatapannya ke dua manusia di hadapan mereka dan Jimin mengikutinya. Kali ini Jungkook terlihat membisikkan sesuatu ke telinga Lisa, sedetik kemudian gadis itu tertawa geli. Ia berusaha menutupi senyumnya yang lebar dengan tangan namun sinar di matanya tidak akan sanggup menipu siapapun.

Keduanya terlihat seperti sedang flirting dan perasaan Jimin semakin memburuk.

"Awas, mereka bisa saja mati karena tatapanmu."

"Shut up."

"Kalau memang kau secemburu itu, sebaiknya kau segera mengungkapkan perasaanmu. Sebelum semuanya terlambat."

Jimin tidak sempat mengomentari kalimat Taehyung karena Kyungsoo lebih dulu menarik perhatiannya. Dengan sigap Jimin mengambil Jisoo yang sudah tertidur di pangkuan ibunya dan membawanya ke dalam rumah.

"Jangan terlalu lama diluar, oke? Pastikan apinya tetap menyala agar kalian tidak kedinginan. Selamat malam, boys." ucap Kyungsoo sebelum berbalik dan mengikuti Jimin ke dalam rumah.

Jimin menemani Jisoo di tempat tidur ketika Kyungsoo berganti pakaian dan bersiap-siap untuk tidur, masih tinggal ketika wanita itu selesai dan ikut berbaring di sisi Jisoo yang satunya. Ia akhirnya beranjak ketika Kyungsoo sudah tertidur, memastikan selimut membungkus tubuh keduanya dengan rapat, lalu mematikan lampu sebelum menutup pintu kamar mereka dengan pelan.

Begitu keluar dari kamar Kyungsoo, Jimin menemukan lampu ruang tengah sudah dimatikan. Suara yang terdengar hanyalah gulungan ombak. Selain itu, keheningan menyelimuti sekitar Jimin. Ia menimbang apa yang ingin dilakukannya, sepertinya semua orang sudah masuk ke kamar masing-masing. Awalnya Jimin berniat menuju kamarnya, dibenaknya terbayang Seokjin yang pasti sudah bergelung di tempat tidur yang mereka bagi. Namun suara ombak diluar menarik perhatiannya dan Jimin berpikir, tidak ada salahnya keluar sebentar menikmati angin pantai dan bintang yang bertabur diatasnya. Sedikit berharap masih ada sisa bara api yang menyala mengingat ia hanya mengenakan kaos tipis dibalik hoodie-nya yang kebesaran.

Dugaan Jimin hampir benar, api unggun yang mereka buat ternyata masih menyala karena keberadaan seseorang disana. Jungkook mengalihkan pandangannya dari api ketika Jimin semakin dekat.

"Hei, hyung."

"Apa yang kau lakukan sendirian disini?" tanya Jimin.

"Aku juga bisa menanyakan hal yang sama padamu."

Jimin memutar bola mata, memilih untuk tidak menimpali lelaki yang lebih muda. Ia mengambil posisi duduk di sebuah kursi tak jauh dari Jungkook. Untuk beberapa saat hening mengisi udara di sekitar mereka. Jimin mendongakkan kepala mengamati bintang-bintang diatas mereka dan mendadak perasaan nostalgia memenuhi dadanya.

"Aku selalu merasa bintang-bintang itu seperti bunga." kalimat itu keluar dari celah bibir Jimin tanpa disadarinya.

"Yah, kau juga mengatakan itu dulu."

"Kau mengingatnya?"

"Tentu saja. Katamu bintang diciptakan untuk dicintai dari jauh." Jawaban Jungkook datang terlalu cepat, terdengar begitu yakin dan tenang, seolah hal itu baru terjadi kemarin. "Sekarang kalau dipikir, bukankah nasib bintang itu menyedihkan sekali? Selamanya ditakdirkan untuk terpisah dari cintanya."

Tatapan Jimin beralih ke yang lebih muda, dan akhirnya mata keduanya bertemu karena sejak awal Jungkook tidak pernah mengalihkan manik gelapnya dari wajah Jimin.

"Aku bersyukur tidak terlahir sebagai bintang." Ucap Jungkook lagi.

"Kenapa?"

"Itu tidak akan ada artinya jika pada akhirnya aku akan selalu sendiri."

But you are. "Benarkah? Tapi bukankah julukanmu di sekolah dulu adalah Golden Star?"

"Itu hanyalah nama pemberian orang asing, Hyung. Aku tidak pernah peduli. Yang tidak kuinginkan adalah orang yang kucintai juga menganggapku demikian."

"Lalu kau ingin menjadi apa untuk mereka?"

Ada senyum tipis yang terukir di sudut bibir Jungkook, namun kedua manik gelapnya menyorot sendu. Selalu seperti itu, ada sesuatu dalam iris Jungkook yang tidak pernah Jimin berhasil pahami. Satu kata yang menjadi jawaban Jungkook akan pertanyaannya seolah memasung kedua kaki Jimin ke dalam pasir. Napasnya tertahan sementara irama jantungnya terdengar begitu jelas ditelinganya sendiri.

"Sahabat."

Keduanya saling mengunci tatapan hingga akhirnya Jimin memutuskan berpaling. Ia bangkit dengan gerakan cepat.

"A-ah, ini sudah larut. Sepertinya aku sudah mengantuk, bukan begitu?"

Jungkook menaikkan sebelah alis. "Kau bertanya padaku apakah kau sudah mengantuk atau belum?"

"Bu-bukan begitu, tentu saja aku yang paling tahu apakah aku mengantuk atau tidak, hahaha."

Jimin merasakan wajahnya memanas. Ia memilih untuk segera berbalik sebelum mengatakan sesuatu yang membuatnya terlihat lebih bodoh lagi.

"Ah, kenapa tadi canggung sekali."

Jimin membenturkan jidatnya ke lemari pendingin setelah mengambil sebotol air minum. Ia sedang menuang air dingin ke dalam sebuah gelas ketika ia mendengar suara pintu yang dibuka. Jungkook menutup pintu kamarnya dengan selembar selimut di tangan yang satunya. Langkahnya terhenti ketika ia melihat Jimin yang bersandar di pinggir meja dapur.

"Ah, Hyung, belum tidur?"

"Aku mendadak haus." Jimin mengangkat gelas di tangannya. "Kau mau kemana Kok-ah?"

"Kamarku penuh, jadi aku akan tidur di sofa."

"Bagaimana bisa?" setahu Jimin ia sudah mengatur pembagian kamar dan tempat tidur dengan sesuai. Kamar dengan tempat tidur paling besar ditempati oleh tiga orang yaitu Taehyung, Hoseok, dan Jungkook.

"Ada Jin-hyung di tempatku, mungkin Taehyung yang memanggilnya."

"That fucker."

Jimin mengutuk dengan pelan. Ia tahu persis ini adalah ulah Kim bersaudara. Ia sebelumnya berniat menempatkan mereka di kamar yang sama, namun Seokjin dengan tegas membantah dan bersikeras bahwa Taehyung bukanlah teman tidur yang menyenangkan.

Dua orang itu pasti sudah merencanakan ini.

Kini Jimin akan terlihat seperti manusia jahat jika membiarkan Jungkook tidur di sofa sementara dirinya memiliki ranjang untuk dirinya sendiri. Bukan berarti Jimin akan tega melakukan itu.

"Kalau begitu kau tidur di kamarku saja."

Jungkook membelalakkan mata. Ekspresinya menunjukkan bahwa ia tidak menyangka Jimin akan menyarankan hal tersebut. "Ah, tidak apa-apa, Hyung. Aku tidak apa-apa tidur disini."

Yang lebih tua mendengus. "Jangan konyol. Kau akan membuatku terlihat buruk kalau kau tidur disini. Yang lain akan mengomeliku, ibuku akan mengomeliku. Lagipula sofa itu tidak seempuk kelihatannya, kau ingin bangun dengan leher sakit besok pagi?"

Jimin mengerutkan alis melihat Jungkook yang terlihat berusaha menahan senyum. Ia sama sekali tidak menemukan sisi humor dari ucapannya barusan.

"Apa yang lucu?"

"Tidak, Hyung." Jungkook menggelengkan kepala. "Kau terlihat imut ketika kau mengkhawatirkanku seperti itu."

Jimin yang sama sekali tidak menduga ucapan Jungkook hanya bisa menatap yang lebih muda dengan mulut menganga. Benar-benar speechless.

"Ja-jangan salah paham. Aku hanya tidak ingin mendengar omelan Seokjin-hyung besok."

"Kau yakin?" kali ini nada menggoda dalam suaranya terdengar jelas. "Bukan karena kau tidak ingin aku tidur dengan posisi yang tidak nyaman?"

"Tentu saja. Bagaimana kau tidur bukanlah urusanku sama sekali."

Jungkook menghela napas berebihan. "Baiklah. Ini akan menjadi malam yang panjang. Aku hampir merasa senang karena mengira Hyung peduli padaku."

"You brat." Maki Jimin kesal. "Terserah kau saja. Tidurlah di sofa."

Jimin tidak perlu menoleh untuk tahu Jungkook sedang menunjukkan cengiran lebar khasnya. Hal yang dulu begitu sering Jimin lihat ketika mereka masih bersekolah. Sampai sekarang ia masih tidak bisa mengerti bagaimana Jungkook berubah dari sosok penggoda dengan seringai nakal yang kemudian beralih ke karakter imut bermata bulat dan besar dalam waktu yang singkat. Kadang Jimin sulit percaya mereka adalah orang yang sama. Rasanya seolah Jungkook memiliki tombol switch on/off dengan mode yang berbeda.

"Hyung, apakah kau marah?" Jungkook bertanya ketika ia akhirnya mengikuti Jimin ke kamar dan berbaring disisinya.

Jimin berbaring menyamping dengan membelakangi yang lebih muda. Namun ia bisa merasakan bagaimana tempat tidur merengsek menampung beban tubuh Jungkook.

"Hyung…"

"Aku tidak marah, Kook-ah, aku ingin tidur."

Setelah itu hening, Jimin mengira Jungkook sudah tidur sehingga memutuskan untuk berbalik namun sepasang iris gelap itu justru menyambutnya dengan telak. Seolah yang sedang Jungkook lakukan sejak tadi adalah menatap kepala yang lebih tua diam-diam. Keduanya hanya saling bertatapan hingga akhirnya Jungkook kembali memecah sunyi disekitar mereka.

"Bagaimana kabarmu, Hyung?"

Entah bagaimana Jimin bisa menangkap maksud pertanyaan Jungkook.

Bagaimana kau menjalani hidupmu tanpaku?

"Baik, kurasa. Aku menyelesaikan kuliahku dengan cepat dan melakukan hal yang kusukai sebagai pekerjaan. Meskipun sederhana tapi aku tidak kekurangan apapun. Bagaimana denganmu?"

"Orangtuaku bercerai di tahun terakhir SMA."

Jimin tertegun mendengarnya. Dibenaknya langsung terbayang sosok orang tua Jungkook. Sejauh yang Jimin ingat, hubungan pasangan tersebut hampir mendekati kata sempurna. Dulu Jimin sering melihat bagaimana Sehun menatap Luhan seolah istrinya adalah jelmaan matahari. Sehun yang tinggi dan tampan dan Luhan dengan mata bulat dan senyumyang menawan. Jungkook adalah perpaduan yang sempurna dari paras indah kedua orangtuanya.

Dan kini mendengar Jungkook membahas perceraian orangtuanya dengan begitu enteng membuat Jimin tak habis pikir. Melihat Jimin yang tampak kehilangan kata-kata membuat Jungkook memilih melanjutkan ceritanya.

"Mereka mulai sering bertengkar sejak aku masuk SMA. Namun puncaknya ketika ulang tahun pernikahan mereka dan ayahku malah menghabiskan waktunya di kantor. Ibu menunggu sampai tengah malam dan ketika Ayahku pulang, mereka kembali bertengkar. Ibu menuduh Ayah selingkuh sementara Ayah berkata bahwa sikap Ibu berlebihan, dan kemudian mengarah ke hal-hal lain." Nada bicara Jungkook terdengar tenang dan keadaan gelap disekitar mereka membuat Jimin tidak bisa memastikan dengan jelas sorot wajah Jungkook saat ini.

"Aku rasa pertengkaran mereka merupakan salah satu alasan kenapa aku hampir setiap saat tidak di rumah. Ayah semakin jarang pulang, Ibuku lebih memilih menghabiskan waktunya bersama teman-temannya, dan ketika berada di rumah keduanya hanya akan saling meneriaki satu sama lain atau tidak bertegur sapa sama sekali."

Jimin ingat bagaimana sibuknya dulu Jungkook sewaktu sekolah menengah. Mendadak Jimin diliputi rasa bersalah, mengingat bagaimana ia terus berusaha menjauhkan diri dari Jungkook karena terlalu sibuk dengan perasaanya sendiri. Sepenuhnya menutup mata sehingga tidak menyadari masalah yang dihadapi oleh sahabatnya sendiri.

"Kau tahu, ketika mereka akhirnya memutuskan bercerai, aku justru merasa lega. Setidaknya aku tidak perlu mendengar mereka melemparkan makian satu sama lain. Hal itu jauh lebih menyakitiku diandingkan perceraian itu sendiri."

"Maafkan aku, Kook."

"Itu bukan salahmu, Hyung. Kau tidak tahu."

"Karena aku sama sekali tidak berusaha mencari tahu. Aku benar-benar brengsek. Damn, sahabat macam apa aku ini."

"It's fine, Hyung. Really." Ujar Jungkook seraya menangkup tangan Jimin yang berada diantara mereka.

Jimin berusaha mencari kebohongan dari manik gelap yan lebih muda namun nihil. Senyum Jungkook terlihat tulus dan nyata, dan Jimin membiarkan dirinya percaya bahwa kini, beberapa tahun setelahnya berbaring bersebelahan, Jungkook benar-benar sudah baik-baik saja.

Ode to a Nightingale

"Apa yang kau lakukan?"

Namjoon segera mendongak dan menemukan Kim Taehyung berdiri di dekatnya dengan kedua tangan tenggelam di dalam saku celananya.

"Uh, aku mencari kepiting."

Namjoon bisa melihat kedua alis Taehyung yang terpahat sempurna sedikit terangkat. "Kepiting?"

"Yeah. Sejak kecil aku menyukai hewan-hewan di laut."

Pandangan Taehyung tidak beralih darinya dan itu membuat Namjoon salah tingkah. Sejak dulu dia bukanlah tipe yang pandai dalam membangun percakapan yang menarik. Ia terlalu sering hanyut dan berbicara sendiri terlalu lama jika itu menyangkut sesuatu yang menarik perhatiannya, terlalu fokus pada detail-detail yang tidak penting sehingga lawan bicaranya cenderung bosan dan memilih menarik diri. Itulah alasan kenapa dirinya memiliki ruang lingkup pertemanan yang kecil, yang jika harus Namjoon sebutkan hanya akan terdiri dari Yoongi dan Jimin. Yoongi, karena lelaki tersebut memang pada dasarnya irit bicara sehingga dikebanyakan kesempatan Namjoonlah yang berbicara untuk mereka berdua. Jimin, karena yang lebih muda memang memiliki kepribadian yang baik (Tuhan memberkati jiwa polosnya) sehingga dengan mudah menolerir segala hal yang ada pada Jimin.

"Dimana yang lain?" Namjoon bertanya ketika melihat Taehyung ikut berjongkok dan ikut mencari sepertinya. Namjoon pada awalnya hanya ingin menikmati waktu pagi di bibir pantai kemudian kembali sebelum matahari menampakkan diri. Namun ketika ia tidak sengaja melihat kepiting yang berjalan di atas pasir, ia tenggelam dalam kegiatannya dan tidak memperhatikan waktu. Ia sepertinya sudah melewatkan waktu sarapan.

"Yoongi-hyung setelah sarapan kembali ke kamarnya dan tidak keluar lagi, sepertinya tidur. Yang lain pergi ke pasar tradisional bersama Bibi dan Jisoo."

"Kenapa kau tidak ikut?"

Namjoon langsung menyesali pertanyaannya. Kini Taehyung akan mengira dia tidak ingin diganggu.

"Aku ingin menemanimu." Taehyung menjawab santai seraya mengangkat bahu. Nada bicaranya terdengar ringan seolah itu adalah hal paling wajar di dunia. "Kata Bibi kau belum sarapan, nah, aku disini agar kau tidak perlu sarapan sendirian."

Namjoon menahan diri untuk mengingatkan Taehyung bahwa ada Yoongi yang bisa menemaninya jika ia memang ingin ditemani. Jimin sudah mengatakan padanya bahwa Taehyung memang pemuda yang unik dan Namjoon bisa melihatnya dihari pertama mereka berkenalan. Namjoon juga tahu bahwa Taehyung tertarik padanya, lelaki itu sama sekali tidak memiliki intensi untuk menyembunyikannya. Ia justru menunjukkannya dengan gamblang, lisan maupun perbuatan. (Sesuatu yang sebenarnya Namjoon sampai sekarang tidak bisa pahami, apa yang sebenarnya Taehyung lihat pada dirinya hingga membuat lelaki seperti Taehyung tertarik). Meski begitu Namjoon tetap menemukan dirinya tersenyum dengan tidakan yang lebih muda.

"Ah, Hyung, aku dapat satu!" Pekik Taehyung.

Dengan semangat Taehyung menunjukkan makhluk imut diletakkan di kedua telapak tangannya. Kepiting tersebut berwarna merah muda dan ukurannya bahkan tidak lebih besar dari kuku jari kelinking Namjoon.

"Lucunyaaa." Ucap Taehyung dengan nada takjub.

Selama semenit keduanya memperhatikan kepiting yang Taehyung dapat dan saling bergantian mengagumi makhluk tersebut.

"Dimana aku harus meletakkan ini?"

"Huh?" Namjoon menatap Taehyung dengan bingung.

"Tempat untuk kepiting ini, Hyung. Kau tidak membawa kantung plastik atau sejenisnya?"

"Uh, aku tidak berniat mengambil kepiting itu, Taehyung."

"Lalu untuk apa Hyung mencarinya?" wajah yang lebih muda terlihat semakin bingung.

"Aku hanya menangkapnya sebentar kemudian melepasnya lagi."

Sampai disini ekspresi Taehyung langsung berubah murung dengan kedua sudut bibir yang tertarik ke bawah. Iris cokelatnya menyorot sedih sebelum beralih memandang kepiting yang masih berada di tangannya.

"Tapi kepiting ini sangat lucu, Hyung, dan aku sudah bersusah payah mencarinya."

Namjoon harus menggit bibirnya agar tidak mengeluarkan suara-suara aneh karena wajah Taehyung saat ini mengingatkan Namjoon dengan anak anjing yang lucu, benar-benar imut. Lelaki yang lebih muda akhirnya membiarkan kepiting tersebut berjalan keluar menuju pasir dan segera menghilang ke dalam air. Ia mengucapkan bye, mr. crab dengan suara lirih.

"Aku sudah menemukan dua kepiting sebelum kau datang, dan semuanya kulepas. Laut adalah habitat kepiting-kepiting tadi, dan tidak seharusnya kita memisahkannya dengan rumah mereka, Tae."

Mungkin karena ekspresi Taehyung, atau mungkin karena ia sudah terlalu lama berada di bawah matahari. Namjoon tidak tahu, namun tangannya bergerak impulsif menggasak puncak kepala Taehyung, menanamkan jemarinya ke dalam surai cokelat yang lebih muda kemudian beranjak turun ke pelipisnya. Taehyung nampaknya sama kagetnya dengan tindakan Namjoon dan untuk sesaat keduanya hanya saling bertatapan dengan tangan yang lebih tua masih bertahan di wajah Taehyung.

Namjoon yang pertama sadar. Ia segera menarik tangannya dan berdehem canggung, ia bisa merasakan semu yang dengan cepat berkumpul dan membuat pipinya memanas. Matanya ia bawa ke segala arah kecuali wajah Taehyung.

"Ah, ah, ma-maaf. Aku tidak–"

"Aku menyukainya." Taehyung memotong cepat. Rona tipis yang muncul di tulang pipinya hampir senada dengan milik Namjoon. Meski begitu Taehyung sama sekali tidak mengalihkan pandang. Ketika Namjoon tidak mengatakan apapun ia kembali melanjutkan, "Caramu menyebut namaku dan gerakan tangan Hyung tadi, aku menyukainya."

Ketika bibir Taehyung membentuk senyum rectangle-nya yang khas dengan kedua matanya yang menyipit dan memancarkan sinar, Namjoon bersumpah ia terpana, benar-benar terpana untuk yang pertama kalinya.

Ode to a Nightingale

"Bibi butuh bantuan?"

Kyungsoo menoleh dan menemukan Jungkook yang berdiri di pintu dapur, terlihat ingin mendekat namun segan untuk langsung melakukannya.

"Jimin dan yang lain sedang asik di pantai, tidak berminat bergabung?"

"I think you might use some help here and there."

Mendengarnya Kyungsoo langsung tersenyum. "Bawang itu memang perlu dikupas."

Beberapa menit selanjutnya diisi dengan percakapan ringan. Jungkook mengupas bawang sesuai dengan arahan Kyungsoo, juga melakukan beberapa hal lain. Jungkook memanggang daging yang sudah Kyungsoo potong dan beri bumbu sementara Kyungsoo mulai menata spageti buatannya ke dalam piring.

"Mungkin kau tidak ingat, tapi kita sudah pernah bertemu sebelumnya." Ucap Kyungsoo sambil memperhatikan Jungkook membalik sisi daging yang sudah masak. "Kau terlihat sangat terkejut ketika melihat bukan Jimin yang membuka pintu."

"Ah, tentu saja aku ingat." Merasa canggung, Jungkook menggaruk belakang kepalanya. "Jimin tidak pernah bercerita tentang bibi sebelumnya, jadi aku benar-benar terkejut. Pikiran-pikiran aneh langsung muncul di kepalaku."

"Pikiran aneh seperti apa?"

Jungkook langsung menundukkan wajah, lebih memilih menatap sendal rumah yang dipakainya ketimbang iris gelap Kyungsoo yang terarah padanya. Ada semu tebal di kedua pipinya. "Aku sempat mengira Bibi adalah kekasih Jimin dan bayi yang bibi gendong waktu itu adalah anaknya."

Mata Kyungsoo yang bulat semakin melebar. Ia hanya menatap Jungkook dengan mulut menganga untuk sejenak sebelum tertawa. Melihat bagaimana ibu tiri Jimin tersebut begitu keras membuat Jungkook ikut tersenyum.

"Astaga, kau sangat lucu, Jungkook-ah."

"Yeah, itu memang memalukan."

"Orang-orang memang sering salah tentang usiaku, entah itu karena wajah ataupun postur, tapi aku rasa aku tidak terlihat semuda itu untuk berkencan dengan siswa sekolah menengah."

"Siapa bilang? Bahkan sekarangpun Bibi masih terlihat begitu muda. Bulan depan akan ada reuni sekolah, aku akan merasa terhormat jika wanita secantik Bibi mau menjadi pasanganku. Bagaimana?"

Jungkook bertanya dengan kedua alis yang bergerak naik-turun disertai cengiran lebar yang terlihat konyol. Sedetik kemudian keduanya tertawa bersamaan, begitu nyaring hingga Seokjin dan Hoseok yang duduk di teras samar-samar mendengarnya. Jungkook memegangi perutnya yan terasa nyeri karena terlau keras tertawa sementara Kyungsoo menyeka sudut matanya yang berair.

"Terima kasih atas ajakannya, kau lelaki yang sangat manis, Jungkookie. Andai saja usiaku masih 27 tahun, dengan senang hati akan kuterima." Ucap Kyungsoo dengan senyum lebar, namun ada sorot jenaka yang bermain di dalam iris gelapnya. "Sebagai penggantiku, bagaimana kalau kau ajak Jiminie saja?"

"Ah, aku rasa Jimin-hyung pasti memiliki banyak teman yang bisa diajaknya. Dia cukup populer di sekolah dulu."

Kyungsoo berusaha menahan senyum. Dibalik persona playboynya, tersimpan sisi imut yang dulu sering Jimin ceritakan. Rasanya lucu melihat bagaimana flirtatious Jungkook berubah menjadi dorky Jungkook dalam waktu sekejap.

"Tidak hanya dulu, sampai sekarang pun begitu." Kyungsoo membalas seraya menyajikan hidangan yang mereka selesaikan di atas meja makan. Jungkook memilih duduk di salah satu kursi dengan mata yang terus mengekori pergerakan Kyungsoo. "Jimin memang memiliki banyak teman, laki-laki dan perempuan, kebanyakan dari mereka menaruh rasa kagum yang cukup besar dan berusaha menarik perhatiannya. Namun dari sekian banyak pengagum ini, aku hanya mengingat satu nama. Aaa-"

Jungkook dengan patuh membuka mulut dan menerima suapan sepotong daging dari Kyungsoo. Matanya melebar merasakan tekstur daging tersebut dan langsung mengangkat kedua jempolnya. Wanita tersebut terseyum puas melihat responnya.

"Sejak dulu dia hanya menceritakan tentang sahabat dari kecilnya, Kookie, yang mirip kelinci dan serba bisa di semua hal." Kyungsoo ikut tersenyum melihat pemuda di hadapannya melakukan hal yang sama. "Hoseok bukan satu-satunya lelaki yang tertarik pada Jimin, dan dia juga tidak akan menjadi yang terakhir."

"Bibi tahu?"

"Tentu saja. Perasaannya terpampang jelas di wajahnya." Kyungsoo menjawab dengan nada seorang ibu yang begitu kentara. Senyumnya yang lembut membuat Jungkook teringat pada ibunya sendiri yang berada di Seoul. "Dan aku juga bisa melihatnya dengan jelas di matamu."

Sampai disini Jungkook sontak mengalihkan pandang. Cara Kyungsoo menatapnya membuat Jungkook merasa tergelitik, seolah dirinya adala buku harian yang dengan mudah dibaca. Sedikit-banyak ia berharap bisa menghilang dari pandangan wanita di hadapannya.

"Kau mungkin bisa menyembunyikannya lebih baik daripada Hoseok, tapi mata tidak bisa berbohong, Sayang. Dan jika Hoseok cukup berani menunjukkannya kepada semua orang, kenapa kau harus bersembunyi?"

"Entahlah, mungkin karena aku tidak yakin apakah aku ingin mengetahui hasilnya atau tidak."

"Aku punya firasat kau harus mencoba peruntunganmu."

"Darimana Bibi tahu kalau hasilnya akan berbeda jika itu aku?"

"Jimin adalah anakku. Aku tidak akan berani menyebut diriku seorang ibu jika aku tidak mengenal anakku dengan baik, Jungkook-ah."

Kyungsoo menggasak puncak kepala Jungkook penuh sayang sebelum beranjak dari dapur. Tak lama setelahnya wanita itu kembali dengan menggendong Jisoo dan diikuti Jimin berserta teman-temannya. Dalam sekejap meja makan tersebut telah diisi oleh sembilan orang dewasa dan satu anak-anak. Jungkook berusaha menyingkirkan percakapannya dengan Kyungsoo beberapa waktu yang lalu dan ikut serta dalam pembicaraan apapun yang terjadi di sekitarnya.

Makan malamnya berlangsung ceria dan menyenangkan. Taehyung tak henti-hentinya memuji masakan Kyungsoo di setiap suapan dan bahkan berniat untuk membawa Kyungsoo ke Seoul ketika mereka pulang.

"Kook, keberatan membantuku membersihkan ini?" Kyungsoo bertanya seusai makan malam.

Jungkook belum sempat mengiyakan karena Jimin lebih dulu berbicara. "Ah, biar aku saja yang membereskan ini. Sebaiknya Eomma membawa Jisoo ke kamar dan beristirahat."

Kyungsoo menoleh ke Jimin sebentar sebelum kembali menatap Jungkook. "Kalau begitu kalian berdua saja."

Keduanya mulai membawa piring-piring kotor ke westafel sementara yang lain menuju ruang tamu untuk menonton tv. Dari dapur samar-samar terdengar perdebatan antara kedua kakak-beradik Kim tentang film yang akan mereka putar. Untuk beberapa saat keduanya fokus dengan tugas masing-masing. Jungkook yang mencuci dengan sabun sementara Jimin yang melakukan bilasan terakhir.

"Apa yang kalian bahas tadi disini?" Jimin membuka percakapan.

"Hm?"

"Kau dan ibuku. Suara tawa kalian bahkan sampai ke teras."

"Ah, benarkah? Aku tidak sadar ternyata kami seribut itu."

"Sudah cukup lama sejak terakhir kali aku mendengar ibuku tertawa sekeras itu. Apa yang kau lakukan padanya?" Jimin melemparkan sorot curiga main-main.

Jungkook memasang wajah berpikir. "Hm. Kurasa kami cukup cocok."

"Cocok?"

"Yeah, aku bahkan mengajaknya untuk menemaniku ke acara reuni sekolah kita."

"Kau, apa?"

"Hm-hm." Jungkook mengangguk beberapa kali dengan wajah santai yang terlihat menyebalkan di mata Jimin

"Candaanmu tidak lucu."

"Tapi ibumu tertawa." Jungkook tersenyum lebar sementara Jimin mendengus. "Lagipula Bibi menolaknya, kok." Lanjutnya sambal melepas sarung tangan yang dipakainya ketika semua piring telah dicuci. Ia kemudian meraih piring yang sudah bersih dan mengelapnya hingga benar-benar kering.

"Tentu saja dia akan menolak." Sahut Jimin sambil menerima piring kering yang diulurkan Jungkook dan menaruhnya ke cabinet atas di sebelah kirinya.

"Hyung tidak suka aku mengajak Bibi?" tanya Jungkook main-main. Yang lebih tua hanya memutar bola matanya sebagai respon. "Hyung cemburu?"

"Hmph. Tidak ada alasan untukku cemburu."

"Benarkah?"

Jungkook mengulurkan piring terakhir namun ketika Jimin berniat mengambilnya, ia justru menahannya. Kedua tangan mereka memegang piring yang sama dan menyebabkan keduanya saling tarik-ulur.

Jimin menghela napas. Ia berusaha mengatur detak jantungnya yang mulai terasa berantakan karena sepasang manik gelap di hadapannya terus terarah ke wajahnya.

"Berhenti bercanda dan lepaskan piringnya, Jungkook."

"Atau apa?" Jungkook mengangkat sebelah alisnya dengan malas. Nada menantang dalam suaranya membuat yang lebih tua meneguk air liur tanpa sadar.

Dengan satu tarikan tegas Jungkook merebut piring tersebut kemudian mengambil satu langkah mundur hingga ia berada di hadapan Jimin.

"Pernah melihat adegan seperti ini di drama-drama, Hyung?"

"Itu tidak akan terjadi." Jimin melipat kedua tangan di dada dan membalas sorot menantang yang lebih muda. "Kau memang lebih tinggi dariku, tapi rak itu masih berada dalam jangkauanku, Kook-ah. Atau kalau kau memang ingin meletakkannya sendiri, aku tidak keberatan."

Jimin berniat melarikan diri. Ia ingin keluar dari situasi tersebut karena jika ada satu hal tentang Jungkook yang Jimin tahu betul, maka itu adalah sifat kompetitifnya terlalu besar. Pemuda di hadapannya tidak menyukai kekalahan dalam segi apapun, dan Jimin sejak awal tahu bahwa dirinya bukanlah pemain yang baik.

Seolah bisa membaca niatnya, Jungkook segera maju hingga kedua ujung sendal keduanya bersentuhan. Ia menaruh tangannya di pinggiran konter, sepenuhnya menghalangi Jimin dengan pintu dapur yang berada di sebelah kanannya. Tanpa melepas tatapannya, Jungkook menaruh piring yang berada di tangan kirinya ke atas tumpukan piring yang sudah kering sebelum menutup pintu cabinet tersebut dengan bunyi tuk pelan.

Kini kedua lengan Jungkook sepenuhnya memerangkap Jimin diantara konter dan tubuhnya.

Kali ini ketika Jimin kembali menelan ludah, gerakan itu tidak lepas dari iris gelap Jungkok.

"J-jungkook, minggir."

"Atau apa?" pertanyaan itu kembali terlontar, namun dengan nada yang lebih rendah dari sebelumnya, dan Jimin menemukan dirinya lemah dengan suara Jungkook. "Jawab aku, Hyung."

Kalimat itu diikuti dengan sebuah jari yang menarik dagu Jimin hingga matanya kembali bersitatap dengan milik yang lebih muda. Wajah keduanya terpaut jarak yang sangat sedikit dan Jimin bisa merasakan hembusan napas Jungkook yang mengenai bagian bawah wajahnya. Tanpa sadar ia menjilat bibirnya yang terasa kering dan mendadak iris hitam Jungkook menjadi semakin gelap.

Napas Jimin tercekat merasakan jemari Jungkook yang bersentuhan langsung dengan kulit pungungnya. Sejak kapan tangan Jungkook menyelinap ke dalam kausnya? Ia membawa tangannya ke dada Jungkook, berniat mendorong yang lebih muda sedikit menjauh namun sekali lagi Jungkook mendahuluinya dengan mengeratkan pegangannya di pinggang Jimin, disaat bersamaan ia menyelipkan pahanya diantara kaki Jimin hingga tubuh bagian bawah keduanya sepenuhnya bersentuhan.

"J-jungkook…"

"Hm?"

Jungkook menikmati bagaimana rona merah berkumpul di wajah yang lebih tua dan rasa posesif yang menggerogoti dadanya menguat. Kata-kata Kyungsoo kembali terngiang di benaknya.

"Kau mau kemana, Hyung?"

Suara Jungkook terdengar tenang dan terkontrol, bahkan terkesan main-main. Sementara Jimin menemukan otaknya mengalami kemacetan. Mendadak kemampuannya dalam menyusun kalimat hilang entah kemana. Satu-satunya yang bisa dipikirnya saat ini adalah Jungkook. Aroma Jungkook. Hangat tubuh Jungkook. Wajah Jungkook. Segalanya tentang Jungkook.

"Apakah itu yang kau inginkan, Hyung? Pergi dariku?"

Pertanyaan Jungkook kembali bertemu hening. Suara Jungkook terdengar begitu jelas namun seolah kehilangan kendali akan tubuhnya, Jimin bahkan tidak bisa menggerakkan mulutnya untuk sekedar menjawab. Dan nampaknya kali ini Jungkook tidak menerima hal tersebut. Ia menyentak tubuh Jimin dalam satu kali tarikan hingga jarak keduanya semakin terkikis. Tangan Jimin yang semula berada diantara keduanya kini melingkar di leher yang lebih muda.

"Jawab pertanyaanku, Jimin."

Tubuhnya bergetar mendengar nada dominan yang kental dalam suara yang lebih muda. Ia tanpa sadar mengeluarkan erangan lirih seperti anak kucing. Ingatannya dengan lancang kembali memutar malam terakhirnya bersama Jungkook sebelum Jimin meninggalkan Seoul. Cara Jungkook menatapnya saat ini tidak berbeda jauh dengan tatapannya malam itu, dan mereka sama-sama tahu andai saja kedua lengan Jungkook tidak menahan tubuhnya dengan kuat, Jimin pasti sudah jatuh tersungkur ke lantai.

Dengan susah payah Jimin menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri sebagai jawaban. Ia berharap Jungkook dapat memahami maksudnya bahwa; tidak, aku tidak ingin kemana-mana. Namun Jungkook terlihat belum puas. Salah satu tangannya naik dan meremas rambut yang lebih tua, memberikan tekanan yang cukup kuat hingga membuat kepala Jimin terdongak ke atas.

"Use your words, Jimin." Jungkook berbisik di depan telinga Jimin.

"Ti-dak, aku tidak ma-mau pergi."

Ada secercik rasa bangga yang muncul di dalam dada Jungkook melihat bagaimana sosok Jimin yang biasanya tenang dan penuh kontrol akan dirinya sendiri berubah begitu payah dan susah dalam dekapannya. Harusnya memang seperti itu. Hanya Jeon Jungkooklah yang sanggup membuat Park Jimin kehilangan kendali.

"Yeah, like that, Jimin." Dengan lancang Jungkook melarikan ujung hidungnya mulai dari pangkal leher Jimin, perlahan naik kemudian berhenti di depan telinganya. "Kau tidak boleh kemana-mana, Hyung. Kau hanya boleh denganku. You're mine."

Sebuah erangan lirih keluar dari celah bibir Jimin ketika Jungkook menanamkan satu kecupan di belakang telinga yang lebih tua. Kini wajahnya sepenuhnya merah dengan kedua mata yang menyorot sayu. Bibir Jungkook berpindah menyusuri rahang Jimin, sesekali memberikan hisapan di sekitarnya, kemudian berlanjut hingga berhenti tepat di dagu Jimin.

Jungkook meneliti wajah sosok di dalam dekapannya dan untuk sejenak terdiam mengagumi keindahan Jimin. Mulai dari pipinya yang merona, iris cokelatnya yang tampak berkaca-kaca, dan sepasang bibirnya yang terlihat lebih pink dari biasanya, sedikit terbuka dan mengeluarkan engahan tipis yang mengikis akal sehat Jeon Jungkook.

"Hyung, you're so beautiful." Jungkook membisikkan kalimat tersebut di depan bibir Jimin.

Respon yang didapat hanyalah sebuah erangan dan tarikan kedua lengan Jimin yang terkalung di lehernya. Memutuskan untuk membuang pertahanannya jauh-jauh, Jungkook membenturkan bibir keduanya. Dengan rakus ia meraup dan melumat kedua belah bibir Jimin secara bergantian. Ia mencium Jimin layaknya seorang musafir yang menemukan sebuah oasis, dan Jimin membiarkannya, bahkan berusaha mengimbangi gerakan Jungkook dengan kekuatan yang sama. Kedua tangannya memainkan rambut di tengkuk Jungkook, menarik yang lebih muda semakin dekat seolah jarak diantara keduanya masih terlalu luas. Sementara tangan Jungkook bersembunyi di dalam kaus yang dipakai Jimin, menyentuh setiap inci permukaan punggungnya, sesekali turun dan meremas pantat yang lebih tua. Ada seringai yang bermain di sudut bibir yang lebih muda mendengar desah tertahan Jimin ketika ia melakukannya. Kemudian Jungkook akan menarik tubuh di dalam pelukannya semakin dekat seolah berniat menyatukan tubuh keduanya.

Tautan bibir keduanya hanya terlepas untuk mengganti posisi sebelumnya. Dengan satu gerakan cepat Jungkook mengangkat Jimin untuk duduk di atas konter, lalu memposisikan dirinya diantara kaki Jimin yang terbuka. Sedetik kemudian mereka kembali berciuman dengan penuh gairah sekaligus menumpahkan perasaan keduanya yang selama ini tertahan.

Dua manusia tersebut sama-sama larut dengan satu sama lain, melupakan kenyataan bahwa teman-teman mereka berada di ruangan lain yang tak jauh dari mereka. Ciuman itu akhirnya terhenti setelah beberapa saat. Jimin bisa merasakan bibirnya yang kini berkedut nyeri karena kegiatan mereka. Napas keduanya berhembus dengan cepat silih berganti. Jungkook menyeka air liur yang bertumpuk di sudut bibir Jimin dengan lembut sebelum menanamkan satu ciuman di dahi yang lebih tua.

Jimin menutup mata, menikmati sensasi bibir Jungkook yang bertahan di keningnya, kedua lengan Jungkook yang mengurungnya, serta aroma yang khas tubuh lelaki tersebut yang memenuhi inderanya.

Ode to a Nightingale

Keesokan harinya Jimin sama sekali tidak berani mengangkat kepalanya untuk bertemu pandang dengan siapapun di meja makan. Jadwal mereka adalah membereskan barang-barang yang mereka bawa seusai sarapan kemudian meninggalkan villa. Suasana di meja makan pagi itu ricuh seperti biasa, namun Jimin sama sekali tidak menemukan ketertarikan untuk bergabung dalam percakapan tersebut.

Namjoon berdehem sejenak meminta perhatian semuanya dan membuat Jimin mengangkat pandangan dengan setengah hati.

"Uhm, guys, ada yang ingin kusampaikan." Namjoon memulai dengan gestur canggung.

"Apa?" Hoseok bertanya dengan wajah penasaran.

Namjoon menatap orang-orang di meja makan satu-persatu dan berhenti di wajah Taehyung. Ia menarik napas panjang sejenak sebelum berdehem untuk kedua kalinya.

"Yang ingin kusampaikan adalah… ugh, aku- maksudku kami- maksudnya aku dan Taehyung, ugh kami-"

Taehyung yang duduk tepat di hadapannya menghela napas panjang sebelum memutuskan untuk membantu Namjoon. "Aku dan Namjoon-hyung resmi pacaran."

"Apa?!" itu suara Jimin.

"Benarkah?" Hoseok bertanya sambil menatap Namjoon dan Taehyung bergantian.

Sementara Seokjin dan Kyungsoo hanya tersenyum dan mengucapkan selamat.

"Wah, kukira kita bersahabat, Namjoon-hyung." ujar Jimin dengan kedua mata melebar tidak percaya.

"Jangan berisik, Jim, kau itu sahabatku." Taehyung menyahut cepat.

Jimin sama sekali tidak menghiraukan sahutan Taehyung dan terus menatap Namjoon dengan sorot terluka. "Kenapa kau tidak pernah bercerita padaku, Hyung? Sejak kapan kau jatuh cinta dengan alien bodoh ini?"

"Hei!" Taehyung memasang wajah mencebik.

Namjoon tersenyum melihat ekspresi kekasihnya (kekasih!) dan hanya mengangkat bahu. "Aku juga tidak yakin sejak kapan. Sulit untuk tidak jatuh cinta padanya."

Sontak Jimin, Seokjin, Jungkook, dan Yoongi langsung mengerutkan wajah dengan ekspresi jijik. Sementara Hoseok dan Kyungsoo mengeluarkan suara aww seolah mereka sedang melihat bayi kucing yang tersandung kakinya sendiri. Namun Namjoon sama sekali tidak merasa risih, karena bibir Taehyung secara praktis membentuk senyum yang membuat sinar di wajah pemuda itu menyamai matahari.

Senyum Taehyung terus bertahan setelahnya. Ia melipat bajunya seraya bersenandung dengan riang. Kebahagiaan pemuda itu terlihat begitu jelas dari langkah-langkahnya yang terlihat begitu ringan. Suara pintu yang terbuka membuat senandungnya berhenti, namun senyumnya kembali begitu melihat Yoongi yang kini bersender di pintu kamar yang tertutup.

"Hei, Hyung. Ada yang bisa kubantu?"

"Kau sepertinya benar-benar senang." Ucap Yoongi dengan nada yang sedatar wajahnya.

Taehyung menoleh sejenak sebelum kembali fokus menyusun pakaiannya ke dalam tas. "Yah, begitulah."

"Kau benar-benar menyukai Namjoon?"

"Tentu saja." Taehyung menjawab sedetik kemudian. Suaranya tenang dan sangat yakin. Ia kemudian berbalik menatap Yoongi sebelum berujar, "Hyung tidak perlu memperingatiku, aku benar-benar menyukainya, Hyung. Ini pertama kalinya aku memiliki perasaan sekuat ini kepada seseorang. Aku tidak tahu pasti apa yang Namjoon lihat di diriku, tapi aku sangat bersyukur itu membuatnya balik menyukaiku. Aku pasti akan menjaganya dan tidak menyakitinya, jadi Hyung tidak perlu khawatir."

Yoongi hanya balas menatap yang lebih muda untuk beberapa saat. Ada sesuatu dalam iris gelapnya yang membuat Taehyung penasaran. Ia mungkin sering bertingkah bodoh di waktu kebanyakan, namun Taehyung sebenarnya adalah tipe observant. Sejak kecil ia selalu dengan mudah membaca maksud tersembunyi orang-orang, akan tetapi Taehyung tidak bisa dengan jelas menebak isi kepala lelaki di hadapnnya. Dan ketidaktahuan selalu menjadi kelemahan terbesar Taehyung, tidak jarang hal tersebut justru membawanya ke dalam sebuah masalah.

Namun perasaan itu hanya bertahan sementara karena sudut bibir Yoongi kemudian membentuk senyum kecil dan sorot matanya berubah ramah.

"Sorry about that, aku rasa aku hanya harus melakukan tugasku sebagai seorang sahabat." Yoongi berhenti menyandarkan pundaknya di pintu sebelum melangkah mendekati Taehyung. "Aku bukannya tidak mempercayai Namjoon, aku hanya ingin-"

"Memastikannya, yeah, aku mengerti, Hyung. Aku rasa aku juga akan melakukan hal yang sama jika aku berada di posisimu."

"Benarkah?" Yoongi mengangkat sebelah alis.

"Yup."

"Kalau begitu jaga dia. Namjoon memang pintar, tapi dia cenderung ceroboh."

Sekali lagi Taehyung mengangguk. "Tentu saja."

"Congratulation, then, Kid"

Taehyung menyambut uluran tangan yang lebih tua, menyaksikan bagaimana sebuah senyuman membuat aura mengintimidasi yang melingkupi Yoongi menghilang.

Ode to a Nightingale

"Sampai kapan kau akan mengabaikanku?"

Namjoon menatap Jimin yang tidak mengalihkan tatapannya dari layar laptopnya sama sekali. Namjoon sudah duduk disana selama lima belas menit dan tak sekalipun Jimin berniat menatapnya barang sejenak. Yang lebih tua menghela napas panjang, ia tidak menyangka hal ini akan berlarut-larut. Sedikit banyak Namjoon berharap semuanya akan kembali seperti semula ketika Senin pagi datang, ia akan mengunjungi kafe Seokjin untuk makan siang dan bercakap sejenak dengan Jimin (kadang juga bersama Yoongi jika lelaki itu tidak cukup malas untuk tinggal di apartemen seharian) sebelum kembali ke kantornya.

"Look, aku tidak berniat menyembunyikannya darimu, itu terjadi begitu saja dan diluar dugaan. Aku dan Taehyung membicarakannya lebih dulu dan setelah itu aku langsung mengatakannya, di depannmu dan semua orang. Ayolah, Jimin, katakan sesuatu."

Kali ini Jimin memberikan respon dengan membalas tatapan Namjoon. Alisnya mengerut dengan bibir bawah yang sedikit maju, Namjoon harus menahan diri untuk tidak mencubit pipi yang lebih muda. Dilain kesempatan ia akan melakukannya, karena sekeras apapun Jimin berusaha mengelak wajahnya adalah epitome dari kata menggemaskan, namun kali ini Namjoon sedang berusaha menghentikan tatapan tajam Jimin yang tak hentinya terarah padanya. For God's sake, yang ia lakukan hanyalah mendapatkan dirinya seorang pacar namun sahabatnya itu bersikap seolah dirinya adalah penghianat negara.

"Please? Forgive me?" Namjoon mencoba sekali lagi.

"I want that new flavor BR's ice cream."

"Kubelikan."

"Dan juga sekotak cokelat di toko ujung jalan-"

"Deal."

"-and lunch, here. For a week."

"Ugh, fine."

Namjoon mengusap wajah, berusaha menahan erangan frustasi keluar dari dasar tenggorokannya. Sedetik kemudian wajah kecut Jimin berubah menjadi senyum lebar, seperti berganti mode, yang lebih muda langsung mengarahkan atensinya ke Namjoon dan bersikap seolah-olah ia tidak mengabaikan sahabatnya beberapa menit yang lalu.

Dalam benaknya Namjoon membayangkan akan setipis apa dompetnya di akhir bulan nanti, dan semua itu hanya untuk menyenangkan manusia licik di hadapannya. Namjoon membuat mental note untuk tidak lagi merahasiakan (Namjoon bahkan tidak berniat melakukannya, good God) apapun dari Jimin lagi. Never again.

Seseorang memasuki kafe dan segala perasaan buruk Namjoon lenyap begitu melihat bagaimana senyum di wajah Taehyung merekah sempurna ketika mata keduanya bertemu.

"Hello, Gorgeous." Taehyung menyapa disertai dengan sebuah kecupan yang ia tanamkan di pelipis Namjoon.

"Hey, yourself." Jimin memasang wajah jijik namun Namjoon tidak peduli. Sahabatnya sejak kuliah itu bisa muntah disini saat ini juga dan perasaan senang Namjoon tidak akan berkurang sedikit saja. "Kau akan disini seharian?"

"Kurasa. Aku sudah berjanji pada Minjae akan membantunya di dapur hingga sore." Taehyung lalu mengalihkan pandang ke Jimin. "Bagaimana denganmu, Jiminnie? Kau mau pulang dulu?"

Jimin memasang wajah bingung. "We have somewhere to go?"

"Kau tidak membaca pesan Jungkook di grup?"

Kali ini Jimin meraih ponselnya dan membuka grup percakapan yang di buat oleh Seokjin minggu lalu. Ada 48 pesan baru di grup tersebut dan Jimin membacanya sekilas.

"Jungkook menyuruh kita pergi ke taman petang ini. Dia dan Lisa memiliki sebuah projek dan kita harus melihatnya."

Penjelasan Taehyung sama sekali tidak menghapus kerutan di wajah Jimin. Jungkook dan Lisa? Apa yang ingin mereka lakukan? Seolah bisa membaca pikiran Jimin, Namjoon berujar:

"Mereka tidak berniat melakukan pengakuan seperti yang kita lakukan, right?"

"Nah." Taehyung menyahut, ia mengunyah kukis dalam mulutnya dengan cepat sebelum melanjutkan. "Mereka tidak berpacaran."

"Darimana kau tahu?"

"Aku tahu Jungkook. Bukan Lisa yang dia inginkan."

Jimin sepenuhnya mengabaikan lirikan penuh makna yang Taehyung lempar padanya. Ia berpura-pura sibuk dengan ponselnya meski percakapan sepasang kekasih di depannya tidak sedikitpun terlewatkan olehnya. Jimin tidak berminat untuk mengartikan lirikan tersebut karena meskipun Taehyung terdengar begitu yakin, tetap saja tidak ada jaminan. Lagipula sejak kapan hal itu menjadi urusan Jimin? Hanya karena mereka pernah melakukan make out yang panas sekali bukan berarti Jungkook adalah miliknya.

Kenyataan itu membuat Jimin kesal.

Suara tawa Namjoon menarik Jimin dari pikirannya, ia mendongak dan menemukan sahabatnya tersenyum lembut ke arah Taehyung yang memasang wajah bingung. Oh, ada busa putih yang membentuk kumis di bibir atas Taehyung setelah pemuda itu meminum milkshake-nya langsung dari pinggiran gelas, dan Jimin berani taruhan atas semua koleksi boneka Kumamon Yoongi, si bodoh itu sengaja melakukannya. Demi Tuhan, Jimin bisa melihat mata Namjoon dipenuhi hati berwarna merah muda dan bunga-bunga imajiner disekitar keduanya.

"Aku pergi dulu, Tae."

Namjoon bangkit kemudian meraup bibir atas Taehyung dengan lembut, menghapus busa tersebut dengan bibirnya sendiri. Gerakan itu membuat semu tebal muncul di tulang pipi Taehyung namun senyumannya sama lebarnya dengan milik Namjoon.

"Jesus, you two are so gross." Jimin mengerang seraya menenggelamkan wajah di telapak tangannya. Ia benar-benar akan muntah jika harus menyaksikan tingkah pasangan di depannya lebih lama lagi.

"You're just single and bitter." Ujar Taehyung begitu sosok Namjoon menghilang di balik pintu. "Go find yourself a lover, then you'll know."

Jimin mendengus. "Tetap saja aku tidak akan semenjijikkan kalian."

"I beg to differ, Park."

"Andai saja Yoongi-hyung ada disini, dia juga akan mengatakan hal yang sama."

Mendengar nama Yoongi disebut, ekspresi jenaka Taehyung berubah serius. Benaknya memutar percakapannya dengan Yoongi sewaktu di villa dan Taehyung menemukan dirinya merasa terganggu dengan hal tersebut. Bertanya dengan Jimin mungkin saja bisa mengurangi perasaan tersebut.

"Hei, Jim."

Yang dipanggil hanya menggumamkan 'hm' pendek sebagai respon.

"Aku ingin bertanya sesuatu tapi kau harus berjanji untuk merahasiakannya."

Nada serius Taehyung membuat Jimin akhirnya mengangkat pandangan dari laptopnya.

"Orang yang disukai Namjoon-hyung, this secret crush of him, is that Yoongi-hyung?"

Taehyung bisa melihat bagaimana postur Jimin berubah tegang dan kaku. "Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?"

"Dia mendatangiku dan memastikan apakah aku benar-benar serius tentang hubunganku dengan sahabatnya, yeah seperti itu."

"Lalu?"

"Aku hanya merasa masih ada sesuatu yang ingin dia sampaikan namun berubah pikiran pada akhirnya, dia terlihat sangat protektif pada Namjoon dan hal itu membuatku teringat mengenai hal itu."

"Namjoon adalah sahabatnya, Tae, tentu saja Yoongi-hyung hanya ingin melindungi sahabatnya."

"Kau juga sahabatnya, tapi kau tidak bersikap seperti itu padaku."

"Itu karena aku sudah mengenalmu, sementara Yoongi-hyung tidak, lagipula mereka sudah saling mengenal sebelum kuliah."

"Bagaimana kalau ternyata sebenarnya mereka saling menyukai dan tiba-tiba aku datang menjadi penghalang?"

"Oh my God, you really like him, huh?"

"Fuck off, Park."

Sampai disini Jimin tergelak melihat pemuda di hadapannya salah tingkah dengan wajah memerah. Untuk sekali ia berhasil membuat malu seorang Kim Taehyung, setelah semua kalimat-kalimat bodohnya yang berkaitan dengan Jungkook.

"Namjoon sangat beruntung." Lanjut Jimin setelah tawanya berhenti. "Kau tidak usah khawatir, Taetae, aku yakin Yoongi-hyung bersikap seperti itu karena dia menyayangi Namjoon sebagai sahabatnya, tidak lebih."

"Kau yakin?"

"One hundred and one percent sure." Jawab Jimin disertai anggukan penuh.

"Kalau itu bukan Yoongi-hyung, lalu siapa?"

Kerutan di alis Jimin kembali, untuk sesaat ia mengira pembahasan ini akan segera beralih ke topik lain. "Does it still matter? He's yours now, Tae."

"Of course it does! Aku ingin tahu alasan kenapa Namjoon-hyung tidak mengutarakan perasaannya selama ini. Bagaimana jika perasaannya padaku hanyalah semacam pelarian dari cintanya yang tidak terbalas?"

"Wow, you're so gone for him, aren't you."

"Jesus Christ, can you stop stating obvious shit?" erang Taehyung seraya mengusap wajahnya yang kembali memanas sementara Jimin di depannya terkekeh puas dan menyebalkan.

"Baik. Aku minta maaf." Ucap Jimin ketika Taehyung tampak berusaha menahan diri untuk tidak menimpuk kepala Jimin dengan kursi. Semenyenangkan apapun menggoda Taehyung, Jimin tidak ingin merasakan hal yang lebih buruk sebagai balasan. "Mungkin dia tidak mengutarakannya karena, as you said it's just a crush. What he has for you is something more than that."

Taehyung tidak memiliki sanggahan untuk hal tersebut. Apa yang dikatakan Jimin terdengar cukup masuk akal di kepalanya.

"Kau tidak seharusnya meragukan perasaan Namjoon padamu. Bahkan orang buta sekalipun bisa melihatnya. Don't be an idiot."

Sampai disini Taehyung bisa merasakan beban di dadanya mulai terangkat. "Can't be someone who I already am."

"Fair enough. Tapi jika memang kau masih penasaran, kau sebaiknya bertanya langsung ke Namjoon-hyung."

"Yeah, sebaiknya aku menanyakannya langsung."

Ada sepotong 'terima kasih' yang hampir saja keluar namun pada akhirnya Taehyung memilih menggantinya dengan sebuah kalimat yang lain.

"Asal orang itu bukan kau, aku sama sekali tidak keberatan."

Jimin tidak menahan diri untuk memutar bola mata. "Yang benar saja."

"Dan oh, tentu saja bukan. Kau terlalu sibuk menatap abs Jungkook hingga tidak mung- aw aw aw yah, Park Jimin!" Taehyung bisa merasakan anak rambut di tengkuknya meremang ketika Jimin bangkit dari posisinya dan mendekati Taehyung dengan sorot tajam dan wajah memerah. "Oke, aku minta maaf, aw aw, hey, aku bercanda yah, hajima!"

Ode to a Nightingale

Taehyung menepati janjinya.

Seokjin mengambil kesempatan itu dengan mengajak Jimin untuk menemaninya ke salon.

"Hyung, you're so close to thirty." Ujar Jimin ketika Seokjin mengungkapkan niatnya untuk mewarnai rambut. Namun Seokjin hanya balas menatapnya datar.

"Tidakkah kau sudah terlalu tua untuk hal seperti itu?"

Kakaknya tampak ingin melontarkan balasan sarkastis namun Taehyung langsung menarik perhatiannya dengan pertanyaan lain, "Warna apa, Hyung?"

"Blonde."

Jimin mengernyit. "Please don't, you'll look ugly."

Seokjin menusuk pie di depannya dengan garpu plastik. "Look at all the fucks I give."

Jimin beralih menatapnya dengan sorot memelas, saat itu juga Taehyung bangkit, sepenuhnya mengabaikan usaha Jimin untuk bertelepati dengannya.

Taehyung tersenyum sendiri mengingat wajah Jimin sebelum meninggalkan café. Saudaranya adalah makhluk paling keras kepala dalam hidup Taehyung. Kadang ia merasa Seokjin adalah reinkarnasi pangeran, atau raja mengingat ketika Seokjin menginginkan sesuatu, maka tidak ada yang bisa menghalanginya untuk mendapatkan hal tersebut.

Meski begitu, Seokjin adalah saudara terbaik yang bisa Taehyung pikirkan. Hanya kepada Taehyunglah Seokjin bersedia mengalah. Ia selalu memastikan Taehyung juga memilikinya setiap kali Seokjin mendapatkan sesuatu, atau membaginya dengan Taehyung jika benda tersebut hanya ada satu. Selalu seperti itu sejak dulu.

Taehyung mengamati kumpulan foto polaroid yang terpajang di samping pintu dapur. Kebanyakan isi foto tersebut adalah teman-teman Seokjin; Jimin, Yoongi, Namjoon. Ada juga foto Minjae yang tertidur di sofa panjang di dapur, foto Seokjin dan Yoongi memakai kaos putih dengan tulisan I Love Malta, juga Lisa yang tersenyum manis ke kamera dengan segelas latte di tangan. Disudut kiri atas ada foto Taehyung bersama sang kakak di hari kelulusannya. Ada pula foto keduanya bersama kedua orang tua mereka ketika Taehyung masih SMP. Ia ingat itu adalah foto keluarga terakhir yang mereka ambil sebelum kedua orang tua mereka meninggal dalam kecelakaan lalu lintas. Sejak saat itu, Seokjin menjadi dunianya.

Senyum Taehyung perlahan berubah sendu mengingat bagaimana Seokjin berjuang untuk menyekolahkan Taehyung seorang diri. Meski selalu berkata bahwa membuka toko adalah impiannya, Taehyung tahu kakaknya memilih untuk tidak kuliah karena penghasilannya tidak akan cukup untuk membiayai kuliahnya dan kuliah Taehyung. Setidaknya kakaknya tampak bahagia dengan bisnis café-nya sekarang dan uang bukan lagi masalah untuk mereka.

Taehyung kembali memandang foto-foto tersebut. Yang terbaru adalah foto yang Seokjin ambil ketika berlibur di villa kemarin. Mendadak Taehyung diliputi keinginan untuk menempel foto selfinya disana saat ini juga. Mungkin dengan tambahan caption kalimat romantis untuk satu-satunya saudara yang ia punya. Ia hampir saja mengeluarkan ponsel dan bertanya pada Seokjin dimana dia menyimpan kameranya, namun membatalkannya dan memilih untuk bertanya pada Minjae saja.

"Minjae-ah, kau tahu dimana Hyung menyimpan kameranya?"

"Aku tidak tahu pasti, tapi mungkin di dalam kantornya."

Kantor yang dimaksud Minjae adalah ruangan kecil di bagian paling belakang gedung yang berfungsi sebagai ruang pribadi Seokjin. Didalamnya hanya terisi sebuah meja, sofa panjang, dan lemari dua pintu yang menjadi tempat penyimpanan barang. Meski bergelar sebagai kantor Seokjin, pada dasarnya ruangan itu adalah milik bersama karena sofa panjang di dalam ruangan itu sering digunakan sebagai tempat pelarian Minjae untuk mencuri-curi waktu tidur siang. Jimin juga sering menggunakan meja Seokjin jika café sedang ramai-ramainya dan ia butuh ketenangan untuk menulis. Karena alasan itulah Seokjin tidak pernah mengunci ruangan tersebut jika café masih dalam keadaan terbuka.

Segala jenis suara di ruang utama berubah menjadi white noise ketika Taehyung menutup pintu. Taehyung memutari meja dan merasakan hatinya meleleh melihat dua figura yang terpasang di meja kerja sang kakak. Figura pertama adalah foto monokrom kedua orang tuanya, saling berangkulan dan tersenyum ke kamera. Foto kedua adalah foto close-up Taehyung, sendirian, tersenyum dan begitu bahagia. Taehyung menatap kedua figura tersebut untuk sesaat sebelum akhirnya teringat mengenai tujuan awalnya kemari.

Ia mulai memeriksa laci meja tersebut namun hanya menemukan berkas dalam beberapa tumpuk map. Selanjutnya Taehyung beralih ke lemari kecil tepat di bawah laci tersebut, ia mengeluarkan 'yeay' pelan ketika melihat kamera polaroid yang diletakkan di atas kotak kardus kecil. Awalnya Taehyung hanya ingin mengambil kamera tersebut dan segera melaksanakan niatnya, namun kotak berwarna pink pastel tersebut entah bagaimana menarik perhatiannya.

Pemuda itu langsung duduk bersila di kaki kursi kemudian meletakkan kamera polaroid itu di sebelahnya dengan hati-hati (Seokjin bisa saja menyayanginya, tapi lelaki itu tidak akan segan-segan mencukur habis rambut di kepala Taehyung jika kamera kesayangannya rusak). Ada banyak gagasan yang melintas di kepala Taehyung mengenai isi kotak tersebut. Bisa saja kotak itu berisi kumpulan surat cinta yang diterima kakaknya setiap valentine, atau bisa jadi kumpulan perangko tua yang sudah tidak dicetak, atau bisa jadi puisi karya Seokjin sendiri. Apapun itu, Taehyung akan menggunakannya sebagai bahan blackmail untuk kakaknya.

Namun isi kotak tersebut adalah sesuatu yang sama sekali tidak sanggup dibayangkan oleh Taehyung.

Isinya adalah lembaran-lembaran foto polaroid. Objek di semua foto tersebut adalah satu orang.

Kim Namjoon. Kekasihnya.

Perasaan aneh menjalari tulang punggung Taehyung, jarinya gemetar ketika ia mengambil selembar foto dan membaca sebaris kalimat yang ditulis tangan (tulisan tangan milik Seokjin) dengan sorot nanar. Foto itu diambil di café, Taehyung mengenali latarnya. Namjoon tampak fokus dengan buku di tangannya dan acuh pada sekelilingnya.

120515 he looks so focused, and in peace.

Foto selanjutnya adalah punggung Namjoon yang sedang berdiri menghadap laut.

130703 summer, sunset, you

Namjoon berdiri di antara bunga-bunga di dalam toko.

170419 not a flower, yet the prettiest

Namjoon dalam balutan mantel panjang, syal, dan kupluk merah

151204 my birthday

Namjoon yang tertidur di sofa, berbantalkan paha seseorang, bibir sedikit terbuka.

131003 it's autumn outside, but my world revolves around you

Taehyung memandang lembaran foto di hadapannya dengan perasaan berkecamuk. Kalimat Jimin kembali terulang di benaknya dan mendadak semua pertanyaan di benak Taehyung terjawab dengan sendirinya.

Seokjin adalah orang itu. Orang yang Namjoon sukai sejak dulu.

Dan Seokjin diam-diam mempunyai perasaan yang sama.

Dua fakta tersebut berputar-putar di kepala Taehyung seperti radio rusak. Ia bahkan tidak menyadari dirinya menangis hingga air matanya jatuh ke punggung tangannya sendiri.

tbc