Yaya melangkahkan kakinya dengan ogah-ogahan menyusuri jalanan aspal di komplek perumahannya. Kedua tangannya mencengkram erat tali tasnya. Ekspresi wajahnya juga tidak ceria seperti biasanya, yang ada malah cemberut dengan pipi terus digembungkan. Tak jarang beberapa orang tertawa kecil melihat wajahnya yang terlihat lucu.

Gadis itu terus saja menggerutu saat mengingat percakapannya dengan sang ibu tadi pagi.

FLASHBACK

"Yaya, hari ini Mama ada rapat mendadak dengan pebisnis kuliner dari negara tetangga. Mobil yang biasa mengantarkan kamu ke sekolah, Mama pakai. Jadi kamu naik taksi saja ya. Mama tambahin deh uang jajanmu."

"Loh, kok jadi gitu sih? Mama kan punya mobil tiga? Kenapa harus memakai mobilku?"

"Kamu lupa ya kalau mobil yang satu dipakai Papa kerja, lalu yang satunya lagi sedang ada di bengkel untuk ganti oli?"

"Aduh... iya ya?"

"Yaudah, jadi mobilnya Mama pakai ya. Soalnya rapat ini sangat penting untuk bisnis kuliner Mama. Bisa-bisa bisnis punya Mama bangkrut."

"Huh, iya deh, iya."

"Baiklah. Mama berangkat dulu ya, Sayang."

"Iya, Mama."

FLASHBACK OFF

Yaya mendengus kesal lalu menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Kalau begini, ia harus jalan kaki keluar komplek perumahannya untuk menuju ke jalan raya seperti sekarang. Dalam hati, Yaya menghembuskan napas lega lantaran akhirnya ia sudah sampai di tepi jalan raya. Yaya berhenti sembari celingukan. Kedua netranya menatap tajam setiap kendaraan yang berlalu lalang.

"Oh, taksi? Dimanakah kau? Aku sangat membutuhkanmu sekarang. Cepatlah kemari."

Wajah gadis itu langsung cerah saat melihat taksi yang melaju dari kejauhan. Tangannya bersiap untuk memberikan kode agar taksi tersebut berhenti namun tiba-tiba…

"Eh?"

Jas biru muda dan rok mini biru muda bermotif kotak-kotak milik Yaya kecipratan air lumpur yang baru saja digilas oleh mobil sport biru muda yang melaju dengan kencang. Yaya menampilkan ekspresi cengonya sebelum kesadarannya mengambil alih.

"Hei, berhenti! Apa yang kau lakukan, hah?! Kau sudah mengotori jasku!" teriak Yaya sekencang-kencangnya, berlari mengejar mobil itu tapi sayangnya ia sudah ketinggalan jauh. Yaya tidak memperdulikan tatapan aneh dari orang sekitar. Toh, Yaya sudah lupa dengan harga dirinya lagi jika sudah kesal begini. Dan karena ini, taksi yang hendak dicegatnya melesat begitu jauh sudah. Yaya langsung menghentakkan kakinya dengan kesal sembari menjambak rambut hitamnya.

"Grrr… menyebalkan…!"

^^…^^

"Aduh... Yaya, kau ini kenapa sih? Kenapa seragammu jadi kotor seperti ini?" tanya Ying heran sekaligus khawatir, melihat sahabat karibnya datang ke sekolah dengan jas dan rok berlumuran lumpur.

Yaya menghempaskan tubuhnya di dinding samping Ying sembari melipat kedua tangan di depan dada. Pandangannya tidak terfokus pada Ying, melainkan menatap "Uhhhh… Ying… aku kan tadi mau nyegat taksi, tapi malah terkena cipratan lumpur. Ini sangat menyebalkan!"

Ying melongo dengan mata memandangi seragam kotor Yaya dari atas sampai bawah berkali-kali. Seandainya ia bukan sahabat Yaya, mungkin ia sudah menertawai Yaya habis-habisan. Tapi Ying bukanlah gadis tega seperti itu. "Astaga, kok bisa?" Ying menepuk jidatnya. "Memangnya apa yang terjadi? Kau tahu siapa pelakunya?" tanya Ying bertubi-tubi.

Yaya menoleh dan mendengus kasar. Ying sedikit terkejut tatkala melihat ekspresi sahabatnya yang terlihat menyeramkan. "Mana aku tahu, Ying?! Yang aku tahu, yang sudah membuatku seperti ini adalah mobil sport warna biru muda! Selebihnya, aku tidak tahu. Jalannya saja seperti kilat!" sungut Yaya dengan amarah yang memuncak.

Si gadis berkacamata meringis pelan. Ying benar-benar tidak menyangka bahwa sahabatnya benar-benar marah seperti ini. Tapi kalau dipikir-pikir, pasti ia akan sama seperti Yaya karena hal ini sangatlah memalukan.

Kedua mata Yaya mendadak menjadi merah dan tajam. "Awas saja ya kalau aku tahu siapa orang yang sudah membuatku seperti ini! Aku akan menendangnya sampai ke neraka!"

Ying memutar bola matanya. "Aduh, sudahlah, tidak usah terlalu hiperbola, Yaya. Memangnya kau bisa menendangnya sampai ke neraka? Tahu tempatnya saja tidak," cibir Ying.

Yaya melirik Ying dengan sebal. Jujur saja, moodnya pagi ini menjadi buruk karena seragam sekolahnya kecipratan lumpur. Ingatkan Yaya untuk menghajar pengemudi mobil sport warna biru muda nanti. "Suka-suka aku dong mau hiperbola atau tidak."

Gadis berkacamata itu menghela napas pelan. Ia berdoa kepada Tuhan agar diberi kesabaran untuk menghadapi Yaya yang badmood ini. "Iya iya, maaf deh," balas Ying yang hanya direspon dengan dengusan kasar. "Yaudah lah, daripada ngambek terus, lebih baik kau mengganti seragammu. Kau sekarang membawa seragam cadangan kan?"

Di sekolah tersebut, setiap murid diwajibkan untuk memiliki seragam cadangan dan disimpan di loker masing-masing. Karena sejak tiga minggu lalu semua murid libur sekolah, maka seragam cadangan mereka dibawa pulang untuk dicuci.

Ekspresi Yaya yang tadinya mengeras menjadi sedikit melunak dan mengangguk. Ia berdehem pelan lalu mengecek arloji pink yang melingkar manis di pergelangan tangannya. "Bel berbunyi 10 menit lagi. Baiklah, Ying, temani aku ganti baju."

^^...^^

"Belum bertemu dengan Taufan?"

Gadis itu menggeleng lesu. Bertambah sudah kegalauannya hari ini, dan juga kesialannya. "Belum, Ying. Padahal kan aku sangat merindukannya. Sudah tiga minggu aku belum bertemu dengannya. Kita berlibur di tempat yang berbeda-beda. Ah, menyebalkan," celotehnya dengan nada lesu sekaligus kecewa.

Ying memutar bola matanya, menyingkirkan poninya yang hampir mengenai mata. "Nanti kalian juga bertemu, Yaya. Tenang saja."

Mendengar itu, Yaya langsung tersenyum cerah dengan mata berbinar-binar. Ying tak bisa menahan diri untuk tidak merotasikan bola matanya. Menurutnya, sikap Yaya terlalu berlebihan. Ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat, membuat Yaya menatapnya aneh namun hanya diam saja.

Ying menyandarkan tubuhnya ke sisi loker dengan tangan bersedekap, pandangannya terus tertuju pada Yaya yang sedang menyisir rambutnya. "Aku tadi sempat mencari namamu di mading. Dan ternyata kita sekelas lagi," cerita Ying, membuat Yaya menoleh antusias padanya. "Kau duduk di bangku yang ada di pojok belakang dengan Boboiboy Air Yudhistira," lanjutnya, membuat Yaya mengernyit.

"Boboiboy Air Yudhistira? Siapa dia?" tanya Yaya bingung. Ia sangat menyesali keputusan guru-guru yang menempatkannya di bangku deretan belakang, pojok pula. Ditambah lagi ia duduk bersama seorang lelaki yang sangat tidak dikenalnya.

Ying menghendikkan bahu. "Entahlah, aku juga tidak mengenalnya. Mungkin dia adalah anak yang pendiam dan tidak banyak ulah."

Yaya manggut-manggut, memasang jepit merah mudanya yang berbentuk bunga. "Lalu kau sendiri duduk dengan siapa?" tanyanya balik, merapikan peralatan kecantikannya.

Gadis itu dapat mendengar bahwa sahabatnya mendesah penuh keputus asaan, membuat Yaya menoleh. "Fang Alexander Yudhistira."

Sontak, Yaya tertawa terbahak-bahak, membuat gadis berkacamata itu menggeram kesal lantaran duduk dengan lelaki seperti itu. Yaya mengunci lokernya sambil menahan tawa agar Ying tidak marah padanya. "Oh, Fang? Si penggila kepopuleran itu?" tanyanya, yang direspon oleh anggukan kecil dari lawannya. Yaya mengulas senyum geli. "Tampaknya kau harus bisa bekerja sama dengannya, Ying."

Mendengar lanjutan kalimat Yaya yang disertai dengan seringaian geli, gadis oriental itu tidak menjawab dan hanya meliriknya sebal. Bagus, kehidupan tahun terakhir di SMA nya benar-benar tidak menyenangkan.

KRINGGG!

Yaya mendelik. "Ying, kita harus cepat ke kelas!" ujar Yaya panik, yang hanya direspon anggukan kecil oleh Ying.

Kedua gadis cantik itu berlari tergesa-gesa menuju kelas mereka yang jaraknya cukup jauh dari ruang khusus loker. Rambut mereka sama-sama melambai-lambai cepat seiring dengan langkah kaki mereka. Berkali-kali Ying bergerak menyingkirkan poninya yang hampir menusuk matanya, sedangkan Yaya berkali-kali menyeka keringatnya.

Ketika Yaya dan Ying hendak berbelok ke koridor lain, Yaya tak sengaja menabrak seseorang hingga keduanya sama-sama terjatuh. Ying terpaksa menghentikan langkahnya dan meringis kecil melihat mereka, sekaligus mengatur napasnya yang terengah-engah.

"Aduh... sakit..." rintih Yaya, merasakan sakit di kakinya.

Gadis itu menatap seseorang yang tak sengaja ditabraknya, yang ternyata adalah laki-laki. Earphone biru muda serta ponsel bergarskin warna serupa terlempar jauh dari posisi lelaki itu. Iamengulurkan tangan ke arah Yaya. Yaya mendongak dengan wajah cengonya.

"Maafkan aku, berdirilah."

Yaya mengerjapkan matanya berkali-kali layaknya orang bodoh. Ia mengangguk cepat dan menyambut uluran tangannya lalu berdiri. Pemuda itu langsung mencengkram tangan Yaya ketika tubuh Yaya oleng. Wajah Yaya memerah, membuat Ying cekikikan. Gadis itu menatap sahabatnya sebal.

"Huh, kau ini! Apakah kau tidak punya mata sampai-sampai kau menabrakku?!" gertak gadis bernama Yaya itu.

Pemuda itu memutar bola matanya lalu menatap Yaya sedikit tajam. "Aku yakin kalau kau sudah tahu apakah aku punya mata atau tidak. Dan seharusnya aku yang berkata seperti itu padamu dan kau yang meminta maaf padaku. Kau yang menabrak punggungku tadi."

Mata Yaya membelalak tidak percaya, sementara Ying menutup mulutnya yang menganga. Kemudian Yaya mendengus dan membuang muka sembari melipat tangannya di depan dada. "Aku tidak sudi meminta maaf padamu."

Lelaki berjaket biru muda serta bertopi dengan warna senada yang dipakai agak ke bawah itu mendengus pelan. "Aku juga tidak butuh permintamaafan darimu" balasnya dingin lalu memungut earphone dan ponselnya. Yaya dan Ying sama-sama melongo saat dia pergi meninggalkan mereka begitu saja.

Yaya menghentakkan kakinya ke lantai dengan keras. "Apa-apaan dia?! Kenapa dia begitu menyebalkan?!" jerit Yaya tidak percaya.

Ying yang masih melongo, terus memperhatikan punggung pemuda itu yang mengambil arah yang berlawanan dengannya dan Yaya, menggeleng pelan. "Entahlah, aku juga tidak tahu kenapa di sekolah ini ada laki-laki seperti dia."

"Apa yang dia katakan padamu itu memang benar. Kau yang tidak punya mata, bukan dia! Dasar gadis bodoh!"

Yaya dan Ying sama-sama tersentak lalu menoleh ke sumber suara. Keduanya sama-sama mendelik tajam saat melihat dua gadis yang agak jauh dari posisi mereka sedang menatap mereka dengan tatapan mengejek. Tanpa sadar, Yaya mengepalkan tangannya erat-erat.

"Kau tidak perlu ikut campur, Amy!" seru Yaya geram.

Gadis yang bernama Amy itu, tertawa mengejek lalu diikuti gadis di sebelahnya yang merupakan sahabat karib Amy. Sama halnya Yaya dan Ying yang bersahabat. Amy melirik sahabatnya. "Suzy, tampaknya dia marah ya sama kita."

Suzy mengangguk. "Iya, Amy. Kita berhasil membuat dia marah dan kesal."

Tanpa sadar, Yaya menggeram kesal lalu melepas sepatunya yang berwarna pink. Gadis berkacamata itu hanya menganga saat Yaya melempar sepatu itu ke arah Amy dan Suzy. Kedua objek lemparan itu sama-sama kaget dan langsung berlari menghindar sambil tertawa puas, puas karena mereka berhasil membuat Yaya marah.

Yaya menjambak-jambak rambutnya sendiri hingga berantakan saking kesalnya. Ying buru-buru menyingkirkan tangan Yaya. "Hei, Yaya, sudahlah. Jangan membuat rambutmu menjadi berantakan seperti ini."

Yaya menghentikan gerakannya dengan rambut sangat berantakan. Ying menahan tawanya mati-matian. Wajah Yaya begitu menyedihkan. "Ying, kenapa hari ini semuanya begitu menyebalkan? Apakah hari ini adalah hari sialku?"

Gadis oriental itu menghendikkan bahu. "Entahlah, aku juga tidak tahu."

Gadis penyuka warna pink itu menghembuskan napasnya lelah, merapikan rambutnya dengan mata tertuju pada salah satu sepatunya. "Ying, tolong ambilkan sepatuku dong" ujarnya sembari menatap Ying penuh harap.

Ying menatapnya tak percaya dan kemudian mendengus, tapi ia menuruti apa kata Yaya karena ia merasa kasihan pada sahabatnya itu.

^^...^^

Yaya dan Ying melangkah anggun memasuki kelas mereka yaitu kelas XII IPA 4. Tentu saja, mereka harus menjaga image mereka. Di sekolah tersebut, Yaya dijuluki sebagai The Princess of the School karena memiliki paras yang cantik serta bakat yang mengagumkan. Kekasihnya, Taufan dijuluki sebagai The Prince of the School karena memiliki paras yang tampan dan juga bakat yang mengagumkan. Tak heran bahwa mereka berdua dijuluki sebagai The Best Couple karena mereka sangatlah cocok.

Ying duduk di bangku di deretan yang sama dengan bangku Yaya, hanya saja mereka beda nomor bangku. Ying di bangku nomor dua, sedangkan Yaya di bangku nomor 4 alias belakang sendiri.

Baru saja Yaya mendudukkan dirinya di kursi, seorang guru wanita memasuki kelas mereka. Yaya menoleh ke kursi sampingnya yang belum ditempati oleh seseorang dan menyipitkan mata heran, dimanakah ia?

"Selamat pagi, anak-anak."

"Selamat pagi, Bu Timmy."

Bu Timmy tersenyum. "Baiklah, materi pertama kita hari ini adalah perkenalan." Yaya memutar bola matanya malas. Ini adalah pelajaran yang sangat tidak disukainya. Ia sudah menebak-nebak apa yang Bu Timmy pikirkan. "Kalian maju ke depan kelas dengan teman sebangku kalian, lalu kalian akan memperkenalkan teman sebangku kalian sedetail-detailnya." Yaya menghembuskan napasnya kasar. Teman sebangkunya saja tidak ada, bagaimana mau berkenalan?

"Permisi."

Semuanya menoleh ke asal suara, termasuk Yaya. Kedua mata gadis itu membulat total saat melihat pemuda yang menabraknya tadi berdiri di ambang pintu. Ia menoleh ke arah Ying yang ternyata juga menatapnya tak percaya. Bu Timmy tersenyum tipis. "Baiklah, silahkan masuk."

"Kenapa dia tidak dihukum?" batin Yaya bingung.

Meskipun sekolah yang Yaya tempati adalah sekolah berstandar nasional, Yaya yakin pasti siswa yang terlambat akan mendapat hukuman, minimal membersihkan toilet atau mencabuti rumput-rumput liar di taman belakang sekolah. Tapi pemuda itu, kenapa tidak dihukum atau minimal mendapatkan omelan Bu Timmy?

Pemuda itu mengangguk pelan dan menghampiri Bu Timmy itu mencium punggung tangan Bu Timmy. Yaya mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas untuk mencari bangku kosong, namun nihil. Kedua matanya melebar saat menyadari sesuatu. Ia melirik horror bangku kosong di sebelahnya.

"Oh, tidak! Jangan-jangan dia duduk satu bangku denganku!" batin Yaya menjerit.

Dan benar saja, apa yang ditakutkan Yaya sejak beberapa detik yang lalu menjadi kenyataan. Pemuda itu melangkahkan kakinya menuju bangkunya. Ia sempat menatap Yaya tidak percaya lalu mendengus dan mendudukkan diri di kursi itu. Yaya ingin sekali menempeleng wajah datarnya.

"Baiklah, silahkan kalian berkenalan dengan teman sebangku kalian. Saya beri waktu lima menit." Yaya benar-benar bingung harus bagaimana. "Oh iya, kalian harus memperkenalkan teman sebangku kalian meliputi nama lengkap, nama panggilan, tempat tanggal lahir, hobi, alamat rumah, dan kalian bisa menambahnya sendiri."

"Baik, Bu."

Yaya menatap Bu Timmy tidak percaya. Kalau seperti ini, ia harus bagaimana? Ia benar-benar tidak ingin berurusan dengan lelaki di sebelahnya. Ia mendengus dan menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi, memperhatikan teman-temannya yang lain mulai gaduh dan berkenalan.

"Oh, perkenalan ya?"

Yaya meliriknya sebentar. "Hm" gumam Yaya singkat. "Ceritakan tentang dirimu dan aku akan mendengarkannya baik-baik." Sejujurnya Yaya sangat malas untuk mendengarkan cerita dari seorang Boboiboy Air Yudhistira. Tapi yah... mau bagaimana lagi? Ini juga demi nilainya.

Air menatapnya heran. "Untuk apa?"

Gadis itu menjatuhkan rahangnya ke bawah lalu menatap Air sebal. "Tentu saja untuk memperkenalkan dirimu di depan kelas nanti," jelas Yaya dengan sabar. "Makanya jangan terlambat. Sudah kelas XII juga" lanjutnya.

Air memutar bola matanya. "Kau tidak perlu repot-repot mendengarkan cerita tentang diriku. Lebih baik tulis biodatamu di kertas dan aku juga akan menuliskan biodataku di kertas."

"Huh, iya iya, cerewet!" balas Yaya, membuat Air menempeleng pelan kepalanya. Yaya menatapnya sengit dan Air hanya menghendikkan bahu tidak peduli. Gadis itu pun menyobek kertas dan menulis biodatanya, daripada sibuk meladeni lelaki menyebalkan di sampingnya.

^^...^^

"Nih, sudah."

Yaya menyerahkan kertas berisi biodatanya kepada Air, sedangkan Air menyerahkan miliknya juga. Air membaca biodata Yaya untuk dihafalkan, sampai suatu kalimat membuatnya mengernyit.

Nama kekasih : Taufan Bryan Revaldi

Pemuda bernuansa biru langit itu melirik Yaya tak percaya, membuat Yaya menoleh padanya dengan alis terangkat. "Huh, apa lihat-lihat?" tanyanya jutek.

Air menggeleng pelan, enggan menatapnya. "Tidak ada."

Yaya mendengus sebal. "Huh, dasar laki-laki aneh!" cibir Yaya, dan Air menahan diri untuk tidak menempeleng kepala Yaya lagi karena ia masih punya rasa kasihan kepada gadis itu.

^^...^^

"Baiklah, waktu kalian untuk berkenalan dengan teman sebangku sudah habis. Sekarang waktunya untuk memperkenalkan teman sebangku kalian di depan kelas. Dengan begini, kalian bisa mengenal teman baru kalian dalam waktu dekat," celoteh Bu Timmy, yang hanya ditanggapi dengan wajah ngantuk Air.

Bu Timmy mengangkat buku panjang dan tipis yang sepertinya adalah buku absen. "Yang pertama maju adalah Boboiboy Air Yudhistira." Bu Timmy mendongak, bertemu mata dengan si pemilik nama tersebut. "Nah, Air, silahkan maju."

Air mengangguk, melirik gadis menyebalkan di sebelahnya. Yaya tampak menatapnya kesal, membuat Air menaikkan alisnya bingung. "Kau sih! Kenapa kita harus maju pertama?! Oh, pasti karena namamu berada di absen pertama ya?!" sungut Yaya.

"Cih, dasar sok tahu! Namaku berada di absen 6, bukan pertama! Itu kan juga acak!" balas Air tak kalah kesalnya dengan Yaya.

Yaya berdecak dan membuang mukanya. Air menatapnya aneh karena baru pertama kalinya ia duduk dengan seorang gadis, gadis menyebalkan pula. Apa dunia mau kiamat sekarang juga? Air menggeleng pelan untuk menyingkirkan pemikiran konyolnya. Ia tahu ia masih punya banyak dosa.

"Oi, ayo cepat maju!" seru seorang pemuda berkacamata yang Air sangat kenali, Fang. Lelaki itu tampak menatapnya mengejek, membuat Air kesal setengah mati. Yaya memberikan delikan penuh arti kepada Fang.

Yaya tiba-tiba bangkit, melangkah anggun ke depan kelas. Tapi ekspresi kesalnya masih sangat kelihatan. Air mendengus dan mengekori gadis itu. Dan sekarang, Air dan Yaya berdiri berdampingan di depan kelas, menghadap ke semua teman-teman baru mereka.

Air mendekat, entah kenapa Yaya menjadi berdebar-debar dan menatapnya was-was. "Kau saja yang mulai," bisik Air pelan, yang mengundang rotasi bola mata Yaya.

Yaya meliriknya sebal. "Kenapa harus aku? Kan namamu yang dipanggil," balas Yaya yang juga berbisik.

"Lady first, ok?"

"No, gentleman first."

"Terserah kalian siapa yang memulai lebih dulu," kata Bu Timmy, mengerti apa yang tengah dipeributkan oleh Air dan Yaya sedari tadi.

Air meliriknya tajam sekali lagi, membuat nyali Yaya ciut. Gadis itu memberengut ke arahnya lalu tersenyum cantik ke hadapan semua teman-temannya. Air benar-benar heran, apakah Yaya mengidap penyakit kepribadian ganda ya? "Hai semuanya! Aku disini akan memperkenalkan teman sebangkuku yang bernama Boboiboy Air Yudhistira yang biasanya dipanggil Boboiboy."

"Ralat, Air."

Yaya menoleh. "Hah?"

"Nama panggilanku Air, bodoh. Apakah kau tidak membacanya?" balas Air dengan sangat sabar. Air sangat yakin kalau ia sudah menuliskan biodatanya dengan lengkap di kertas itu. Sungguh, sedari tadi pagi ia sangat jengkel kepada gadis ini.

Yaya mengatupkan mulutnya, menatap Air kesal karena ia dikatai bodoh tadi. Ia kembali tersenyum lebar. Matanya menajam saat mendapati beberapa temannya yang cekikikan, menertawainya. Bahkan Bu Timmy salah satunya. Yaya berdehem. "Ya, maksudku, nama panggilannya adalah Air. Dia lahir di..." Yaya mengambil kertas yang dilipat kecil di sakunya lalu membacanya. "Dia lahir di Paris, Prancis, 13 Maret 1999." Jujur saja, Yaya tercengang dengan tempat lahir Air yang merupakan tempat favoritnya. "Zodiaknya adalah Pisces. Hobinya adalah berenang, menjelajah, bersantai, dan menonton film. Dia tinggal di Perumahan Green Garden Blok A10."

Yaya melirik Air dan tersenyum puas, pertanda bahwa ia sudah selesai berceramah tentangnya. Air menghembuskan napas perlahan dan membaca kertas yang ada di genggamannya. "Dan perkenalkan teman sebangkuku, yaitu Meisya Lauren Cristalia. Nama panggilannya adalah Yaya. Dia lahir di London, 13 Mei 1999. Zodiaknya adalah Taurus. Hobinya adalah shopping, modelling, menyanyi, dan pergi ke salon." Air terperangah, menatap Yaya tak percaya. Gadis itu tampak tidak peduli. "Dia tinggal di Perumahan Permata Gardenia Blok F8."

Air mengangguk seraya menatap mata Bu Timmy, mengatakan 'sudah' lewat isyarat mata. Menyadari sesuatu yang terlupakan, Yaya menarik tangan Air yang menggenggam kertas, membuat si pemilik tangan protes.

"Apaan sih?" bisik Air kesal.

Yaya ingin sekali menabok wajah watados Air. "Eh, kenapa bagian ini belum dibaca, hah?!" bisiknya geram, menunjuk salah satu kalimat yang membuat Air mengerutkan keningnya. Oh, itu adalah kalimat yang membuatnya cengo beberapa waktu yang lalu. Ia mendongak saat mendengar suara dengusan Air.

"Itu kan tidak penting. Memangnya untuk apa sih?" balasnya yang kini bukan bisikan lagi.

"Tentu saja itu penting. Itu tandanya aku sudah ada yang punya!"

Air memutar bola matanya. "Aku heran, kenapa Taufan menyukai gadis bodoh dan tidak punya mata sepertimu."

Yaya menganga dan mendelik tajam ke arahnya. "Kau sendiri tidak membaca bagian itu. Itu berarti kau juga tidak punya mata!"

"Aku tahu kalau ada bagian itu, tapi aku terlalu malas untuk membacanya."

Yaya menggeram, kedua tangannya terkepal erat. "Huhh... kau ini..."

"Sudah sudah, jangan bertengkar lagi."

Air dan Yaya saling membuang muka ketika Bu Timmy berucap. Bu Timmy menghela napas pelan, tak menyangka bahwa kedua muridnya yang satu ini bertolak belakang dan suka bertengkar. "Baiklah, silahkan duduk. Beri tepuk tangan untuk Air dan Yaya!"

Air dan Yaya kembali ke bangku mereka diiringi suara tepuk tangan yang lumayan riuh. Ying menoleh ke belakang, bertemu mata dengan Yaya yang tampak enggan menatapnya. Melihat itu, Ying terkikik geli.

^^...^^

Bel istirahat pun berbunyi dengan nyaring. Yaya yang tadinya sibuk menatap pemandangan taman belakang sekolah lewat jendela di sampingnya kini akhirnya bisa menghembuskan napas lega. Bu Timmy sudah keluar dari kelasnya. Teman-temannya tampak merapikan buku-bukunya lalu dimasukkan ke dalam tas. Yaya pun tak ingin kalah. Ia juga melakukan hal yang sama dengan mereka.

Ia bangkit dari kursinya, merapikan seragam sekolahnya yang sedikit kusut. Diliriknya Air yang tampak diam saja, seolah tak tahu bahwa bel istirahat sudah berbunyi beberapa menit yang lalu. Lelaki itu sepertinya sedang tertidur lelap karena sedari tadi tidak bergerak. Gadis itu tak ingin peduli, ia beranjak dari tempatnya menuju bangku Ying.

"Ying, ayo ke kantin!"

Ucapan Yaya yang suaranya menyebar seisi kelas membuat Air terbangun dari tidurnya. Ia mengucek-ucek matanya lalu menatap Yaya dengan menopang dagu malas. Gadis berkacamata itu mengangguk lalu bangkit dari kursinya. Tanpa sengaja, Yaya menatap pemuda di samping kanan Ying, Fang cukup lama dengan tatapan datar. Pemuda itu menatapnya datar balik, Yaya mendengus. Fang tersenyum bangga.

"Ada apa, Yaya? Aku tahu kalau aku ini tampan dan kau mengaguminya kan?" katanya dengan penuh percaya diri.

Yaya yang mendengar ucapan Fang ingin sekali muntah. Tiba-tiba perutnya merasa mual. Ia bahkan tidak pernah mengagumi Fang sedetik pun. Percaya diri sekali si Fang. Yaya tertawa sinis, membuat Fang mengernyit. Air masih tetap dengan posisinya. Ying tersenyum tipis, tahu rencana Yaya.

"Aduh aduh, Fang! Aku bahkan tidak pernah bilang kalau kau tampan! Kalau aku lihat-lihat sih, kau memang tampan. Tapi kau bukan tipe lelaki idamanku. Mana mungkin aku menyukai lelaki penggila kepopuleran sepertimu? Pikir dong! Lagipula aku juga sudah punya Taufan!" balasnya pedas.

Fang mendengus kasar, tak menyangka Yaya akan menghinanya seperti ini. Apalagi masih ada beberapa siswa di dalam kelas. Ying tertawa terpingkal-pingkal, membuat pemuda berkacamata itu semakin kesal dan malu setengah mati. Air kini menahan dirinya agar tidak tertawa. Sementara para murid yang masih ada di kelas terkikik, ada juga yang tertawa. Fang pun bangkit, keluar dengan perasaan kesal bercampur marah dan malu.

Dua gadis cantik itu tertawa terpingkal-pingkal, diikuti oleh para siswa yang masih ada disana kecuali Air tentunya. Yaya melirik Ying. "Bagaimana tadi? Bagus kan?"

Ying mengangguk mantap. "Ya, Yaya. Sangat bagus! Hahaha" ucapnya lalu tertawa lagi.

"Yaudah lah. Jangan tertawa lagi. Bisa-bisa perutku sakit hanya gara-gara dia. Ayo, Ying! Kita ke kantin!"

Ying pun dengan tidak rela menghentikan tawanya yang masih keluar. Ia pun mengangguk setuju. Kedua gadis cantik itu pun keluar kelas. Air yang sedari tadi terdiam di kursinya beranjak keluar kelas, mencari ketenangan.

^^...^^

Yaya dan Ying kini duduk berhadapan dengan segelas jus buah masing-masing di hadapan mereka.

"Kenapa sih aku bisa duduk sama si Fang, cowok penggila kepopuleran itu?" ucapnya merana, merasa dirinya paling sial hari ini.

"Mau bagaimana lagi, Ying? Yang ngatur kan guru, bukan kita. Memangnya kau saja yang merasa sial? Aku juga. Aku malah duduk sama si Air."

Gadis berkacamata itu mengerutkan kening, menyedot jus vanillanya. Sepertinya tidak ada yang sial dengan Yaya. Kenapa dia malah merasa sial juga? Ying heran. "Eh, kau masih mending, Yaya. Air kan orangnya pendiam. Enak dong. Daripada si Fang, kebanyakan ulah dan sombong."

"Pendiam apanya? Menyebalkan yang iya," gerutu Yaya dalam hati. Bisa-bisanya Ying mengatakan hal seperti itu. Andai saja Ying tahu kalau Air begitu menyebalkan, jauh dari perkiraannya.

"Hallo, Dear"

Yaya dan Ying sama-sama terlonjak kaget. Seorang pemuda tampan tiba-tiba duduk di kursi samping Yaya. Gadis itu spontan tersenyum hangat, sementara si pemuda tersenyum lebar. Oh, Ying mendengus. Ia sudah menduga apa yang akan terjadi selanjutnya.

Tepat sesuai dugannya, Yaya memeluk Taufan begitu eratnya. "Ah... Taufan? Aku sangat merindukanmu. Kita sudah tidak bertemu selama tiga minggu."

Taufan membalas pelukan Yaya tak kalah eratnya. "Aku juga, Yaya, sangat merindukanmu. Kau tahu, aku ingin sekali bertemu denganmu saat aku berlibur di Italia. Aku ingin mengajakmu jalan-jalan berkeliling dunia, termasuk Paris."

Melihat mereka berpelukan, Ying pun bangkit dan pergi meninggalkan mereka yang sedang kasmaran. Tentu saja gadis oriental itu tidak ingin menjadi obat nyamuk. Taufan tertawa cekikikan, sedangkan Yaya tampak tak mengetahuinya karena pandangannya tertutupi oleh dada Taufan.

Mendengar kata Paris, Yaya melepas pelukannya. Tentu saja ia sangat senang saat Taufan mengatakan hal tersebut. Di sisi lain, ia begitu sangat kesal karena Paris adalah kota kelahiran Air. Bibirnya mengerucut, membuat Taufan mengernyit. "Kau kenapa, Yaya? Kenapa bibirmu seperti itu?" Taufan menyeringai. "Oh, apakah kau ingin aku cium?" lanjutnya, yang membuat Yaya mendelik.

Yaya menggeleng cepat dengan panik. Hal itu tentu membuat Taufan sedikit kecewa, tapi ia tahu kenapa Yaya seperti itu. "Tentu saja tidak!" Bibir Yaya lagi-lagi mengerucut. "Kau tahu, aku mendapat teman sebangku yang sangat menyebalkan."

"Hm, siapa dia?"

"Namanya Air, kau tahu?"

Taufan terdiam, berpikir. "Air? Air siapa? Aku tidak punya kenalan yang namanya Air."

Yaya mendesah kecil. "Sudah ku duga kalau kau tidak mengenalnya. Dia kan orangnya sangat pendiam, kuper, dan juga menyebalkan. Astaga, apa aku kuat duduk dengannya selama satu tahun ini?"

Taufan tertawa kecil, menepuk pelan lalu mengacak-acak puncak kepala Yaya. "Sabar saja ya. Aku yakin kau kuat kok." Yaya tersenyum mendengarnya. "Kau tahu? Ternyata kelas kita bersebelahan. Kau ada di XII IPA 4, sedangkan aku ada di XII IPA 3."

Yaya manggut-manggut. Taufan ingin sekali menciumnya karena wajah kekasihnya begitu imut, namun ia tahu ia tidak boleh melakukannya. Bisa-bisa Yaya marah besar padanya. "Lalu kau duduk dengan siapa?"

"Amy."

Kedua manik itu membulat total. "APA?! Amy nenek sihir itu? Musuh bebuyutanku selama tiga tahun ini?!" tanyanya shock.

Taufan mengangguk mantap. "Yapz!" Yaya menatapnya tak percaya, lalu ekspresinya berubah menjadi geram. Siapapun tahu kalau musuh bebuyutannya yang satu ini, Amy, menyukai Taufan sebelum ia berpacaran dengan Taufan. Makanya ia takut kalau Amy berhasil merebut Taufan darinya, apalagi sekarang mereka berdua satu bangku. Yaya benar-benar tidak bisa membayangkannya.

Pemuda yang merupakan kekasih Yaya itu menatap gadisnya bingung. "Yaya, kau kenapa? Jangan melamun begitu dong."

Yaya menatapnya khawatir. "Taufan, kenapa kau harus duduk dengan Amy sih? Kau tahu kan kalau Amy itu-"

Ucapan Yaya berhenti saat telunjuk Taufan mendarat di bibir Yaya. Taufan menatapnya teduh, membuat tubuh Yaya melemas seketika. "Yaya, jangan khawatir. Aku tidak akan menyentuh Amy sedikit pun. Aku tahu kalau dia adalah musuh bebuyutanmu sepanjang masa. Dan aku akan tetap mencintaimu sampai kapanpun."

Mau tak mau, bibir merah muda Yaya tertarik membentuk senyuman haru. Matanya berkaca-kaca. Yaya reflek memeluk Taufan kembali, membuat Taufan tersenyum tipis dan membelai rambut hitam Yaya.

^^...^^

Bel pulang pun berbunyi. Para murid kini dapat menghembuskan napas lega dan langsung merapikan buku-buku mereka dan memasukkannya ke dalam tas. Sama halnya dengan Yaya. Guru tersebut pun keluar dari kelas, diikuti oleh para murid lainnya. Yaya bangkit, melirik Air yang kelihatannya masih belum ingin pulang ke rumah. Yaya heran dengan manusia yang satu ini.

"Kau tidak pulang? Mau menginap disini?" tanya Yaya dengan nada mengejek.

Air mendongak, menatap Yaya dengan tatapan datar. Yaya bersedekap, menatap Air datar pula. Ia tak ingin kalah dengan pemuda itu. Air mendengus. "Nanti" jawabnya singkat.

"Uh, ya sudah. Aku tidak peduli."

Gadis yang dijuluki Putri Sekolah itu pun menggeser kursinya lalu berjalan pelan keluar kelas. Air yang melihat Yaya seperti itu memutar bola matanya malas. Ia ingin pulang jika suasana sekolah sudah sangat sepi. Ia memilih untuk merapikan buku-bukunya terlebih dahulu lalu dimasukkan ke dalam tasnya yang berwarna biru muda. Bangkit dari kursi, berjalan keluar kelas, dan mencari tempat yang tenang untuk dirinya.

Sementara itu, Yaya malas untuk langsung pulang ke rumah. Orang tuanya juga belum pulang kerja, jadi ia hanya ditemani oleh para pelayan rumahnya. Yaya mendesah, merasa putus asa dengan nasibnya hari ini. Ia pun mampir ke cafe tepat di samping sekolahnya untuk memesan sesuatu.

^^...^^

Air melirik jam tangannya yang berwarna biru muda kombinasi abu-abu, sudah jam 5 sore. Ia bangkit. Ia harus pulang sekarang juga karena suasana sekolah pasti sudah sepi. Ia menenangkan dirinya di atap sekolah. Menuruni tangga sekolahnya dengan sangat hati-hati karena ia pernah jatuh dari tangga, membuatnya trauma. Kakinya melangkah santai melewati koridor utama sekolah. Ia berpapasan dengan guru-guru. Mau tak mau, ia harus tersenyum hormat ke arah mereka.

Setelah sampai di tempat parkir khusus mobil, ia mendekati mobil sport berwarna biru muda. Membuka pintunya lalu memasukinya. Arah jalan rumah Air melewati cafe yang dikunjungi Yaya. Otomatis, Yaya terbelalak melihat mobil itu. Mobil sport biru muda yang mewah dan mahal itu, membuat Yaya teringat satu hal.

"Itu kan mobil yang tadi pagi!" jerit Yaya dalam hati.

Ia pun berniat untuk mengejarnya. Bangkit dari kursinya lalu menghentikan laju taksi yang kebetulan lewat. Ia pun menaikinya.

"Pak, tolong ikuti mobil sport biru muda itu ya?"

"Baik, Nona."

Yaya tersenyum puas. Untungnya tadi ia sudah membayar pesanannya di cafe sebelum pesanannya datang. Ia ingat betul mobil yang sudah menyebabkan lumpur bercipratan ke bajunya. Rasa kesalnya kembali memuncak. Dalam hati, Yaya sudah merencanakan apa yang akan dilakukannya ketika bertemu dengan pelakunya.

Yaya mengerutkan keningnya saat mobil itu berbelok memasuki wilayah perumahan mewah dan mahal. Yaya tahu betul apa perumahan tersebut, Perumahan Green Garden.

"Siapa sih yang punya mobil itu? Aku sudah tidak sabar untuk menghajarnya dan membuatnya babak belur hingga tidak bisa berdiri lagi!"

Lalu mobil itu memasuki gerbang rumah mewah. Yaya terperanjat dan buru-buru menyuruh sang sopir untuk berhenti di hadapan rumah sebelahnya agar tidak ketahuan.

"Pak, saya mau turun sebentar. Jangan ditinggal ya, hanya sebentar kok."

"Baik, Nona."

Yaya keluar dari taksi lalu menghampiri rumah mewah itu. Yaya melongo melihat betapa mewah dan besarnya rumah sang pemilik mobil, lebih mewah dan besar dari miliknya. Padahal ia termasuk orang kaya di sekolah. Yaya menyembunyikan tubuhnya di samping pagar dan matanya terfokus pada pintu mobil yang masih tertutup.

Saat pintunya terbuka lebar, matanya terbelalak dan mulutnya menganga lebar. Pemilik mobil itu adalah seorang lelaki yang berseragam sama dengannya, bertopi biru muda yang dipakai agak ke bawah sehingga menutupi wajahnya. Meskipun wajahnya tertutupi, Yaya tahu jelas siapa orang itu. Dia Air, Boboiboy Air. Sekali lagi, BOBOIBOY AIR! Mata Yaya sampai tak berkedip saking kagetnya. Jantungnya berdegup kencang.

Tiba-tiba, gerbang raksasa yang tadinya tertutup itu terbuka, membuat Yaya terperanjat. Sang satpam menatapnya heran, bingung, dan curiga. Tentu saja, Yaya seperti maling. Yaya menggigit bibir bawahnya takut. Satpam itu menatapnya tajam.

"Siapa kau?!" tanyanya dingin.

Yaya menggigit bibir bawahnya sekali lagi. Air yang kebetulan belum memasuki rumahnya menoleh ke asal suara. Mata Air membulat saat melihat Yaya ada di sana, depan rumahnya.

"Hm... salah alamat, Pak. Permisi" jawabnya tergagap lalu memasuki taksi kembali dengan perasaan panik. Saat Yaya berbalik, tak sengaja gantungan kunci tasnya tersangkut paku dekat gerbang. Gantungan kunci itu pun terjatuh di atas paving blok.

Satpam tersebut menatap Yaya dengan tatapan aneh lalu menutup pintu gerbang kembali. Sang sopir pun mulai menginjak pedal gas dan mobil berjalan pelan. Yaya tak berani lagi menatap rumah itu. Sungguh, Yaya masih tak percaya jika itu adalah rumah Air. Rasa kesalnya yang tadi memuncak mendadak sirna. Sementara itu, Air masih diam mematung di ambang pintu.

"Jangan-jangan dia mengikutiku."

Ia sebenarnya tahu bahwa ada sesuatu yang jatuh dari tas Yaya, tetapi ia memilih untuk memasuki rumahnya sebelum mengambil benda itu.

TBC

Gimana ceritanya? Bagus kah atau jelek kah? Maklum lah, aku masih author baru di fandom ini. Dan aku pertama kalinya nulis ff kayak gini.

Review please... review kalian bisa membangkitkan semangatku untuk menulis lanjutan nih ff... Kalau reviewnya dikit, aku nggak bakal ngelanjutin nih ff (ngancem banget)