Ghostly Devil

Chapter 2 – Le Tueur


Menyisipi tehnya, Azazel menatap kearah lelaki yang berada di sebrang meja kerjanya yang sedang duduk dengan sebuah senyuman di wajahnya. Menaruh tehnya lagi di mejanya, Azazel menyenderkan dirinya di kursinya lagi, dan meneliti lelaki di depannya.

Pakaian kasual, sebuah jaket dan kaus disertai celana jeans. Rambut pirang berantakan. Seolah lelaki di depannya tidak terlalu perduli dengan apa yang ia kenakan, dan tidak terlalu perduli juga dengan impresi pertama seseorang jika melihatnya.

Ia adalah pemimpin dari Fallen Angel. Salah satu Malaikat terkuat ketika ia masih menjadi seorang Malaikat, dan kini ia adalah Fallen Angel yang terkuat. Nama 'Azazel' saja bisa membuat banyak Iblis, dan juga Malaikat takut.

Tetapi lelaki di depannya duduk dengan santai, seolah tidak takut dengan reputasinya, tidak tahu dengan reputasinya atau siapa dirinya, atau percaya bahwa dia bisa mengalahkannya, karena itu tidak terlalu khawatir dengan reputasinya.

Yang terakhir adalah mustahil, karena dari seluruh intel yang ia dapatkan dari lelaki di depannya, dan juga dari apa yang ia observasikan sekarang, lelaki itu bisa dimasukan dalam kategori yang sama dengan seorang manusia biasa. Energi sihir yang sangat dikit sampai-sampai kaau mengira bahwa ia tidak mempunyai sihir sama sekali, hawa keberadaan yang lemah, dan fisik yang bisa dibilang, tidak terlalu impresif dan terlihat seperti anak remaja seumurannya saja.

Jadi, melihat lelaki ini dengan santai duduk di depannya, tanpa merasa takut sama sekali, adalah sebuah misteri untuk Azazel.

"Kau tahu kan, siapa aku dan apa reputasiku?" Azazel bertanya sambil menaikan alisnya, memulai pembicaraan mereka dengan mencoba memastikan apa lelaki di depannya benar-benar tahu siapa dirinya.

Lelaki itu hanya tersenyum dengan mata yang tertutup.

"Jika tidak, aku tidak akan menemuimu, Azazel-san." Lelaki itu menjawab.

Azazel menaikan sebelah alis matanya mendengar lelaki itu memanggilnya dengan suffix '-san'. Untuk orang dengan status seperti dirinya, ia selalu dipanggil dengan suffix '-sama' atau '-dono'. Entah lelaki di depannya sangat arogan, atau dia hanya tidak melihat dirinya sebagai seseorang yang pantas mempunyai titel '-sama' atau '-dono'.

Azazel menyeringai sedikit. Menarik.

"Kalau begitu," Azazel kembali membalas, menyenderkan tubuhnya ke kursinya dan melipatkan tangannya di atas pangkuan kakinya. "Apa ada yang bisa kubantu, Naruto-san?"

Naruto hanya tetap tersenyum.

"Aku mendengar kabar bahwa kau mengirim satu kelompok Malaikat Jatuh ke teritori Gremory-Sitri. Bisakah aku mendengar detail lebih lengkap tentang ini?"

Azazel hanya melihat lelaki di depannya saja, tidak memberikan respon. Anak kedua Astaroth adalah salah satu enigma yang ingin dia teliti. Dengan siapa keluarganya dan siapa kakaknya, anak itu harusnya mewariskan kekuatan mereka. Energi sihir yang besar untuk seorang Iblis kelas atas biasa. Tetapi dia tidak, malah sebaliknya, dia sepertinya tidak mempunyai energi sihir sama sekali.

"Aku sudah mendapatkan izin dari pemilik teritorinya sendiri, Rias Gremory, jika kau mengkhawatirkannya. Dan untuk selengkapnya, kau bisa menanyakan dia saja daripada jauh-jauh mengunjungiku." Azazel dengan tenang menjawab, dengan seringaian di wajahnya, pikirannya memikirkan apa yang lelaki di depannya ingin lakukan.

"Rias memberitahuku bahwa kau mengawasi seorang manusia yang mempunyai Sacred Gear." Naruto membalas. "Rias bukanlah orang yang terlalu khawatir dengan detail teknikal, tetapi menurut peraturan yang ditetapkan setelah Perang Besar terjadi, manusia yang berada di dalam teritori sebuah kaum jatuh dalam jurisdiksi kaum tersebut. Apa kau ingin melanggar peraturan eh, Azazel-san?"

Azazel hanya menyeringai mendengar itu. "Fu fu fu~ Inilah kenapa aku mengirimkan surat izinnya pada Gremory daripada si Sitri. Aku sudah mengira Gremory akan tidak mengetahui detail kecil itu."

Naruto menghilangkan senyumannya dari wajahnya dan menatap kearah Azazel dengan keras. Azazel hanya tetap menyeringai melihat pandangan Naruto.

"Apa tujuanmu, Azazel-san?"

"Maa, maa, Naruto-san. Jangan terlalu serius. Percayalah, aku tidak mempunyai niat buruk~"

Naruto tetap menatapnya dengan datar.

Azazel menghela nafasnya. "Kita mengawasinya karena dia mempunyai Sacred Gear. Aku tahu kalian bisa menyimpulkan itu. Melihat Sacred Gear dia… apa ya? Bisa kau bilang, sulit dideteksi dan sedikit.. unpredictable, aku takut bahwa Sacred Gearnya akan bangun begitu saja dan membahayakannya. Kau pasti pernah mendengar kasus dimana seseorang mati karena tidak bisa menghandal kekuatan Sacred Gearnya ketika Sacred Gear-nya tiba-tiba saja bangun. Dan untuk peraturan itu, kita hanya mengawasinya saja. Kita tidak melakukan kontak dengannya, jadi secara teknik, kita belum mematahi peraturannya."

"Dan jika Sacred Gear ini sulit dideteksi, bagaimana kau bisa mengetahuinya?" Tanya Naruto sambil menaikan alisnya.

Azazel hanya menyeringai mendengar itu. "Fufufu, bisa dibilang, kita mempunyai seseorang yang… ah, sensitif dengan Sacred Gear itu."

Naruto hanya diam, tidak memberikan reaksi apa-apa.

"Kalau begitu, kau hanya akan mengawasinya saja?"

Azazel menyeringai mendengar itu.

"JIka tidak?" Ia balik bertanya, nadanya menantang. Ia kemudian mengeluarkan kekuatannya sedikit, seringaiannya melebar ketika Naruto menyipitkan matanya melihat aksinya. "Apa yang akan kau lakukan?"

Naruto hanya terdiam sesaat. Wajahnya mempunyai ekspresi kontemplasi selama Azazel mengeluarkan sedikit kekuatannya.

Untuk manusia biasa, kekuatan 'sedikit' yang dikeluarkan Azazel bisa membuat orang itu pingsan. Dan untuk Iblis kelas atas, bisa membuat mereka keringat dingin dan mempunyai sensasi takut. Karena itu, Azazel menyeringai ketika melihat lelaki di depannya tidak bereaksi sama sekali.

Naruto kemudian tersenyum.

Lelaki berambut pirang itu kemudian berdiri dari kursinya, mata Azazel masih menempel pada dirinya, sedikit kebingungan dengan aksinya.

"Aku sudah mendapatkan apa yang aku cari." Naruto berkata, membalikan badannya dari Azazel, dan berjalan kearah pintu keluar. Ketika berada di depan pintunya, Naruto menengokan kepalanya ke belakang, matanya menatap kearah Azazel.

"Sampah seseorang bisa menjadi harta karun orang lain."

Dan dengan itu, Naruto membuka pintunya, dan berjalan keluar.

"Sebelum kau pergi—"

Naruto memberhentikan langkahnya ketika mendengar suara Azazel, tangannya masih menggenggam gagang pintu Azazel yang terbuka, ia menengokan kepalanya kearah Azazel lagi sambil menaikan alisnya.

"—bagaimana kau bisa masuk ke tempat ini?"

Naruto hanya memberikan seringaian, dan menutup pintu ruanganya selagi ia keluar, meninggalkan Azazel tanpa jawaban.

Ketua dari Malaikat Jatuh itu hanya bisa terdiam sesaaat. Ia kemudian menekan sebuah tombol yang berada di bawah mejanya.

"Ada apa, Azazel-sama?" Sebuah suara terdengar dari speaker kecil yang berada di meja Azazel.

"Apa ada seseorang yang mencoba masuk gedung selama 1 jam terakhir?"

"Hmmm…." Azazel mendengar beberapa suara klik dan gerakan mouse dari speaker yang ada di mejanya. "Tidak ada. Saya sudah mengecek rekaman CCTV selama 1 jam terakhir, dan tidak ada sesuatu yang aneh. Saya juga sudah menjaga dari pagi, Azazel-sama, tidak ada yang perlu anda khawatirkan."

Mendengar itu Azazel hanya tertawa terbahak-bahak.

"A-azazel-sama, apa anda tidak apa-apa?"

Mengontrol dirinya lagi, Azazel menjawab, "Tidak usah khawatir denganku." Dan dengan itu, memutus pembicaraannya.

Melihat kearah pintu ruangannya, Azazel hanya bisa menyeringai.

'Heh, siapa sangka selama ini kau mempunyai orang se.. menarik ini bersamamu, Ajuka...'


Suara denting alat makan, dan aroma bau makanan sudah bisa Naruto dengar dan cium, walaupun ia masih berada di depan pintu rumahnya. Rumahnya hanyalah rumah kecil biasa, tidak jauh berbeda dengan rumah lain yang ada di area perumahan ini. Ia bukanlah tipe orang yang menyukai kemegahan. Tumbuh besar dalam kemegahan, ia sedikit muak dengan semua itu, dan lebih menyukai hal-hal yang simpel. Daripada steak, ia lebih menyukai ramen. Daripada wine, ia lebih memilih jus jeruk. Daripada pakaian royalti yang megah, ia lebih memilih t-shirt dan celana jeans yang simpel.

Tanpa memikirkan apa-apa lagi, ia membuka pintu rumahnya, tidak lupa mengucapkan "Tadaima!". Tinggal di Jepang selama 3 tahun terakhir ini, ia sendiri sudah mulai terbiasa dengan budaya Jepang.

Ia masih ingat pertama kali ia kesini. Awalnya, hanya Rias yang ingin ke Jepang. Rias meminta kepada orangtuanya untuk bersekolah di Jepang. Diperbolehkan, Rias lalu mengajak Sona, sahabatnya, untuk ikut dengannya, tidak ingin merasa sendiri dan kesepian di Jepang, walaupun Rias sendiri sudah mempunyai Akeno pada saat itu. Rias berhasil membujuk Sona dengan mengatakan bahwa ini adalah kesempatan bagus untuk mencari anggota Peerage.

Ia ikut karena ia merasa ditinggalkan oleh Sona dan Rias.

Pada akhirnya, ia mulai menikmati kehidupan sebagai murid SMA biasa. Ini jauh lebih baik daripada menjadi pewaris Keluarga Astaroth.

"Okaeri, Master."

Suara Hilda terdengar dari arah dapur, sementara Naruto sendiri masih berada di ruang depan. Dari aroma makanan yang ia cium, berarti Hilda masih belum selesai menyiapkan makanannya.

Ia membuka sepatunya, menaruhnya di rak sepatu yang sudah disediakan.

"Oh Master, Ajuka-sama ada di sini."

Mendengar itu, Naruto mengedipkan kedua matanya. Ia kemudian berjalan ke ruang utama rumah, melihat kakaknya, sang Ajuka Astaroth sendiri sedang duduk di meja makan. Secangkir teh yang setengah habis berada di depan mejanya.

Ruang utama rumah ini yang besar juga terdapat dapur, dan meja makan yang kecil juga. Sebuah TV yang menayangkan anime hari Minggu terlihat berada di depan ruangan. Di depan TV itu ada sebuah meja kopi dan sofa kecil. Di belakang sofa itu adalah meja makan kecil yang bisa diduduki oleh 4 orang, dan kemudian sebuah dapur yang hanya dibatasi oleh konter meja dapur.

"Ah, Otouto-kun, lama tak jumpa." Ajuka menyapa, senyuman berada di wajah yang biasanya impasif itu.

Naruto mengangguk, "Ajuka."

Mendengar itu, Ajuka membuang nafasnya. "Aku merindukan saat-saat kau masih memanggilku dengan 'Onii-chan.'"

Naruto hanya terkekeh sambil duduk di kursi yang berhadapan dengan Ajuka.

"Apa kau akhir-akhir ini kau bergaul dengan Sirzechs? Karena itu satu-satunya alasan yang bisa kupikirkan jika kau tiba-tiba ingin aku memanggilmu dengan sebutan 'Onii-chan.'" Ucap Naruto, senyuman terlihat di wajahnya. Sudah bukan rahasia lagi kalau Ajuka dan Sirzechs adalah sepasang sahabat. Dan juga bukan rahasia lagi kalau Sirzechs mempunyai sister complex. Naruto kemudian menengokan kepalanya ke dapur, masih melihat Hilda memasak. "Hilda? Apa jus jeruknya masih ada?"

Ia melihat Hilda menghentikan aktivitas memasaknya sebentar untuk mengecek kulkas.

"Sepertinya sudah habis, Master. Aku akan membelinya lagi ketika aku belanja. Untuk saat ini, apa teh tidak apa-apa?"

Naruto cemberut sedikit, menyadari es jeruk kesukaannya sudah habis. Ia lalu menghela nafasnya.

"Es teh dingin saja kalau begitu, jika tidak keberatan." Ucapnya, yang hanya dibalas dengan anggukan oleh Hilda.

Melihat semua itu, Ajuka hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ah, seperti biasanya, kau masih memanjakan dia, Hilda." Kakak dari Naruto itu berkata, nadanya terdengar seolah ia kecewa.

"Sebagai pelayan pribadi untuk Naruto-sama, ini sudah kewajibanku untuk melayaninya dalam segala hal untuk membantunya." Hilda menjawab sambil berjalan kearah meja makan, segelas teh manis dingin berada di tangannya. Ketika sampai di meja makan, Hilda menaruh tehnya di depan Naruto. "Tehnya, master." Ucapnya sambil membungkuk sedikit.

"Terimakasih, Hilda."

Hilda hanya mengangguk dan kembali lagi kearah dapur.

Ajuke membuang nafasnya dengan lelah. "Jika tetap seperti ini, dia akan menjadi malas, kau tahu?"

"Salah satu kewajibanku adalah memastikan Naruto-sama tumbuh besar menjadi seseorang yang pantas untuk menjadi Ketua Keluarga Astaroth selanjutnya. Aku sudah memastikan untuk melarang kemalasan ketika memberinya pelajaran dalam hal etika dan sopan santun." Hilda menjawab dengan tenang sebelum kembali memasak makan siang.

"Ehem. Ehem. Orang yang kalian bicarakan ada di sini, kau tahu." Sela Naruto, melirik Hilda dan Ajuka dengan jengkel.

Hilda menengokan kepalanya ke meja makan untuk melihat Naruto, dan kemudian memiringkan kepalanya.

"Oh, maafkan aku, Master. Ketika aku bangun tadi pagi, aku tidak melihatmu dimana-mana. Aku dalam presumsi kalau kau tidak ingin dilihat olehku, dengan bagaimana sepertinya kau senang selalu menyelinap keluar tanpa sepengetahuanku."

"Ugh!"

Melihat itu Ajuka hanya sweatdrop. 'Kadang aku tidak tahu mana yang 'Tuan' di hubungan ini…' Menggelengkan kepalanya, Ajuka kemudian melihat ke Naruto yang kini bagaikan bunga yang layu karena celaan tajam Hilda.

"Kau tidak mengatakan padanya kalau kau akan menemui Azazel?" Tanyanya.

Ketika Ajuka selesai mengucapkan hal itu, banyak hal yang terjadi bersamaan.

Mata Naruto melebar, keringat dingin mengucur di kepalanya, dan tubuhnya yang tadinya layu karena celaan tajam Hilda yang menusuk hatinya kini siap segap dengan panik berada di wajahnya, seolah sudah siap lari dari sesuatu yang mengancam nyawanya.

Disaat yang bersamaan, Hilda menengokan kepalanya, yang tadinya membelakangi meja makan, kearah meja makan dengan perlahan, matanya menyipit, dan melirik kearah Ajuka dengan tajam, membuat Ajuka meneguk air liurnya dengan takut. Aura hitam seolah mengelilinginya.

Perlahan, mulut Hilda mulai terbuka.

"Apa ini… yang kudengar.. tentang Azazel?" Tepat ketika mengucapkan itu, tatapan tajam Hilda yang tadinya menuju kearah Ajuka menggantikan targetnya kepada Naruto.

Mendengar itu, Naruto langsung saja menghadapkan badannya ke Hilda sambil mengangkat kedua tangannya dalam posisi menyerah. Keringat dingin masih saja mengucur dari sekujur tubuhnya.

"A-ah, tenang Hilda… A-aku sudah bilang padamu kalau aku akan bertemu dengan seseorang kan? Ahahaha…"

"Kau hanya bilang kalau kau akan bertemu dengan seseorang. Kau tidak bilang kapan, siapa, dan dimana."

Menyadari kesalahannya, keringat dingin semakin mengkujur dari tubuh Naruto.

"A-ah…." Ucapnya, sudah menyadari bahwa ia tidak bisa menghindari ini lagi.

"Master…."

"Y-ya?"

"Apa kau…." Naruto mengedipkan kedua matanya, ketika daripada mendengar suara agresif marah milik Hilda, ia mendengar Hilda menggumam dengan halus. Matanya melebar ketika melihat Hilda menundukan wajahnya, menyembunyikan raut wajahnya dari Naruto. Pundaknya terjatuh dengan lalai, badannya seolah layu. "Apa kau… Apa kau tidak mempercayaiku…?"

Mendengar itu, mata Naruto melebar. Melihat Hilda yang selalu tangguh, dingin, dan stoic, kini terlihat sangat lemah seperti itu… Itu membuatnya hatinya sakit.

"….."

Mendengar Naruto tidak menjawab apa-apa, Hilda hanya tersenyum pahit, tetap menundukan wajahnya.

"Begitu ya..." Gumam Hilda, berusaha menahan tangisannya. Mungkin, ia terlalu agresif dengan Naruto. Mungkin ia terlalu strict. Mungkin sebenarnya Naruto bukanlah tipe orang yang suka untuk didorong untuk melakukan sesuatu. Mungkin Naruto selama ini tidak menyukai keberadaannya, hanya terpaksa untuk bersamanya karena ia memaksa Naruto untuk menjadikannya Ratu-nya…

"Baka." Mata Hilda melebar, merasakan Naruto menyentil dahi-nya. Hilda mengangkat wajahnya, menyadari Naruto kini berada tepat di depannya. Naruto yang sedikit lebih tinggi dari Hilda membuat Hilda harus menengokan kepalanya keatas sedikit untuk melihat wajah Naruto.

Mata biru safir Naruto menatap mata emerald milik Hilda.

Rona merah menghiasi pipi Hilda, menyadari bagaimana Naruto melihatnya dengan sangat intens.

Tanpa mengatakan apa-apa, Naruto memeluk Hilda dengan erat.

Mata Hilda melebar. Wajahnya berada di pelukan Naruto. Ia bisa merasakan kedua tangan Naruto yang melingkari tubuhnya dengan kuat. Tanpa ia sadari, senyuman kecil terukir di wajahnya. Rasa aman seperti ini... Ini membuatnya mengingat kembali bagaimana Naruto menyelamatkannya, ketika ia sudah putus asa. Bagaikan seorang ksatria yang menyelamatkan putri kerajaan di dongeng-dongeng yang pernah ia baca sewaktu kecil.

"Apapun yang kau pikirkan itu di kepalamu, aku bisa mengakatannya dengan kepastian, kalau semuanya itu salah." Ucap Naruto dengan halus. Hilda hanya melebarkan matanya. "Aku tahu raut wajahmu itu. Aku sudah mengenalmu selama 7 tahun, kau tahu. Aku tahu raut wajah itu. Dan aku bisa bilang dengan kepastian penuh, kalau apapun yang kau pikirkan di pikiranmu itu, kau salah."

Naruto melepaskan pelukannya dari Hilda, dan kemudian menggenggam erat bahu Hilda dengan kedua tangannya. Aksi ini membuat Hilda tersentak sedikit dan memaksanya untuk melihat kearah Naruto.

Naruto menatap mata emeraldnya dengan senyuman di wajahnya.

"Tanpamu, aku ini bukan apa-apa. Aku tidak bisa memasak. Aku tidak bisa membersihkan kamarku sendiri, apalagi membersihkan rumah. Aku tidak bisa mencuci bajuku. Aku tidak bisa mengurusi uang, karena itu Kaa-san memberikan uang bulanannya kepadamu. Aku tidak bisa mengerjakan PR-ku dengan tepat waktu. Heh, bahkan aku tidak bisa bangun tepat waktu sendiri, setiap hari harus selalu dibangunkan. Karena itu, Hilda, kau adalah orang yang sangat berharga untukku. Kau adalah sahabatku. Aku mempercayaimu seratus persen. Aku bahkan mempercayaimu dengan nyawaku sendiri." Dengan itu, Naruto melepaskan genggamannya dari Hilda, tidak menyadari Hilda yang menatapnya dengan terkejut, disertai rona merah yang berada di pipinya.

Naruto mengambil nafasnya dalam-dalam, dan membuangnya.

"Kau tahu, ada alasan lain kenapa aku ke Jepang dan bersekolah disini, daripada hanya untuk mengikuti Sona dan Rias saja." Naruto kembali melanjutkan. Hilda menaikan alisnya bingung, begitupun juga Ajuka, yang daritadi hanya melihat kejadian ini terjadi dengan penasaran.

Naruto memandang Hilda dengan senyuman halus. "Kau selalu bekerja keras untukku, kau tahu? Aku selalu merasa bersalah, walaupun berkali-kali kau sudah mengatakan kalau itu adalah tugasmu. Karena itu, ketika melihat Rias dan Sona akan bersekolah di Jepang, aku menyadari sesuatu. Ini adalah sebuah kesempatan." Naruto kemudian menutup matanya, dan menarik nafasnya dalam-dalam, dan membuangnya. Ketika membukanya, ia kembali menatap mata Hilda dengan serius. "Ini sebuah kesempatan, untukmu hidup seperti orang biasa."

Hilda melebarkan matanya terkejut ketika mendengar itu.

"Kau sudah menceritakan masa kecilmu padaku," Naruto kembali melanjutkan. "Dan sejak kecil, sampai sekarang pun, kau selalu bekerja keras untuk orang lain. Entah itu untuk Iris, atau untuk aku. Kau selalu bekerja keras untuk orang lain, kadang kau lupa untuk rileks, santai dan menikmati hidup untuk dirimu sendiri. Karena itu, ke sekolah ini, jauh dari dunia bawah, jauh dari dunia supernatural, aku ingin kau santai dan menikmati hidup dengan bahagia, tanpa khawatir dengan apapun. Karena itu, kadang aku tidak memberitahumu apa-apa tentang hal supernatural yang terjadi…"

Naruto mengedipkan kedua matanya ketika melihat Hilda dengan diam melangkah untuk mendekatinya, baru berhenti ketika mereka sangat dekat, dada Naruto menyentuh dada Hilda yang besar.

"Hil– Ugh!"

Sebelum ia bisa menyelesaikan perkataannya, ia dipatahkan oleh sebuah tinjuan keras pada perutnya.

"Baka." Kali ini, kata-kata itu diucapkan oleh Hilda. "Kau sepertinya tidak mendapatkannya walaupun aku mengatakannya berkali-kali. Jadi, dengarkan ini baik-baik." Hilda mengambil nafasnya dengan dalam. "Jika aku tidak senang melakukannya, maka aku tidak akan melakukannya. Intinya," Hilda memalingkan wajahnya, rona merah terlihat di kedua pipinya. "A-aku senang menjadi pelayanmu, baka…" Hilda kemudian menggelengkan kepalanya, seolah mencoba mengusir rasa malunya. "Aku tahu, sejak kecil, yang aku lakukan hanyalah bekerja. Tetapi, bukan berarti aku membencinya. Sebaliknya, karena sejak kecil aku sudah melakukannya, itu sudah menjadi kebiasaanku, dan aku senang melakukannya. A-apalagi untukmu… Karena itu! Jika aku tidak melakukannya, malah aku akan merasa ada yang salah dan sangat terganggu."

Mata Naruto melebar mendengar itu.

"Dan kau!" Hilda menunjuk kearah Naruto dengan cemberut. "Tidak mengatakan apa-apa agar tidak mengkhawatirkanku? Apa kau idiot? Tidak. Aku rasa kau lebih pantas untuk dipanggil sesuatu yang lebih rendah daripada idiot. Super idiot, mungkin?" Naruto hanya sweatdrop mendengar itu. "Malah, jika kau tidak mengatakan apa-apa, aku makin khawatir, baka. Apa kau tidak tahu, seberapa khawatirnya aku, ketika tadi pagi aku bangun dan tidak menemukanmu dimana-mana?!"

Naruto melebarkan matanya lagi, terkejut ketika mendengar itu.

Hilda kemudian menghela nafasnya. "Seperti yang kau bilang, aku adalah sahabatmu. Begitupun juga sebaliknya, kau adalah sahabatku. Coba bayangkan, bagaimana jika ketika pagi-pagi kau bangun, kau tidak menemukanku di rumah?"

Masih melebarkan matanya, Naruto membuka mulutnya, mencoba mengatakan sesuatu, tetapi memberhentikannya. Ia hanya melirik kearah lantai. Jika Hilda menghilang begitu saja tanpa mengatakan apa-apa, ia akan sangat khawatir, sekaligus panik. Menyadari itu, ia mulai merasa bersalah. Dan ia sudah melakukannya sejak 3 tahun…

Naruto menundukan kepalanya.

"Maaf…." Gumamnya dengan penuh rasa bersalah.

Hilda menghela nafasnya melihat itu. Ia kemudian melihat kearah Naruto dengan serius. "Kalau begitu, janji padaku. Janji serius, kau tidak bisa mematahkannya."

"Eh?' Naruto hanya bisa mengedipkan kedua matanya bingung.

"Janji kalau kau akan mengatakan padaku semua masalahmu. Aku adalah Ratu-mu, aku seharusnya menjadi tangan kananmu untuk semua hal seperti ini." Ucap Hilda dengan cemberut.

Mendengar itu, Naruto hanya menghela nafasnya pasrah, senyuman halus terukir di wajahnya.

"Baiklah, aku janji." Ucap Naruto dengan senyuman di wajahnya.

"Ka-kalau begitu…." Naruto mengedipkan kedua matanya dengan bingung ketika melihat Hilda berkata dengan sedikit gagap, wajahnya terpaling darinya. Wajahnya yang biasanya stoic dan impasif kini mempunyai rona merah. "A-aku sadar kalau a-aku mungkin te-terlalu bekerja keras da-dan tidak pernah santai… Ka-karena itu! Ji-jika kau ingin aku santai… Ah…"

Naruto mengedipkan kedua matanya dengan bingung. "Hi-Hilda?"

"U-um…. Ka-karena kau komplain aku selalu bekerja terus dan tidak pernah rileks… Ba-bagaimana ka-kalau kita berdua u-um, ja-jalan jalan bersama… Ti-tidak sebagai sepasang Raja dan Ratu, a-ataupun sebagai sepasang Pelayan dan Tuannya… Ta-tapi.. se-sebagai sepasang lelaki dan pe-" Hilda menghentikan perkataannya. Wajahnya sudah sangat merah saat ini, bagaikan tomat. Naruto memiringkan kepalanya dengan bingung sekaligus khawatir melihat keadaan Hilda. "Se-sebagai sepasang sahabat, maksudku. Ba-bagaimana?"

Mendengar itu, Naruto tersenyum lebar.

"Tentu saja, kenapa kau tidak bilang itu daritadi!"

Hilda tersenyum ketika mendengar itu. Matanya terlihat berkilau cemerlang, sebelum akhirnya ia tutupi dengan menggeleng-gelengkan wajahnya sambil menutup matanya. Menutup matanya, Hilda menarik nafasnya dalam-dalam, dan menghembuskannya. Ketika ia membuka matanya, wajah Hilda kini sudah kembali stoic seperti biasa.

"Kalau begitu Master, kembalilah ke tempat dudukmu. Jangan salahkan aku jika makanannya gosong, karena kau menghabiskan waktuku selama beberapa menit terakhir."

Melihat Hilda kembali normal, Naruto tersenyum halus, merasa lega. Walaupun begitu, Hilda yang tadi, yang wajahnya memerah seperti itu, sangat lucu. Pipi Naruto merona merah sedikit membayangkan itu. Ia kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya, dan kembali ke meja makan, dimana Ajuka hanya dengan diam menyaksikan semuanya.

Ajuka menghela nafasnya. 'Sebelumnya, mereka seolah akan berargumen, dan tidak lama kemudian, mereka seperti ini. Hubungan mereka memang aneh, sejak awal…' Ajuka menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Aku merasa kalau aku baru saja menyaksikan sesuatu yang harusnya tidak aku lihat." Ajuka dengan bosan berkata.

Menyadari kalau Ajuka daritadi ada di sana, mata Naruto melebar, rona merah di pipinya, merasa malu ia melakukan hal itu di depan kakaknya.

"Ajuka-sama…."

Ajuka meneguk air liurnya dengan takut ketika mendengar suara tajam Hilda.

"Ada baiknya jika kau melupakan apa yang terjadi di depanmu tadi."

Ajuka hanya mengangguk dengan takut.


"Oh sebelum itu," Ajuka berkata, tepat ketika Hilda menaruh semangkok oyakodon di depan Naruto. Mengambil sesuatu dari kantung dalam jaketnya, Ajuka mengeluarkan sebuah folder selagi Hilda menaruh semangkuk oyakodon yang sama di depan Ajuka.

Ajuka melemparkan foldernya ke meja, membuat Naruto menaikan alisnya.

"Aku tidak menyangka kau akan mengantarkannya sendiri." Ucap Naruto, selagi mengambil sendok dan garpu yang sudah disediakan Hilda, matanya melihat kearah folder berwarna abu-abu tersebut. Walaupun sudah terbiasa dengan budaya Jepang, memakan apapun selain mie memakai sumpit sangatlah tidak nyaman untuk Naruto.

"Yah, aku mencoba mengambil kesempatan ini sekaligus untuk mengecek keadaanmu." Balas Ajuka, yang kini sudah mengambil sepasang sendok dan garpunya, bersiap untuk makan juga. Mencium bau oyakodon yang disajikan Hilda, Ajuka tersenyum. "Lezat seperti biasa sepertinya, Hilda." Pujinya, selagi mengambil sesendok oyakodon.

Hilda hanya mengangguk, tetap dengan wajah impasif seperti biasanya selagi melangkahkan dirinya untuk berdiri di belakang Naruto.

"Mmm, mengecek keadaanku? Apa kau terlalu sering bermain dengan Sirzechs sekarang kau mulai mempunyai brother complex kepadaku?" Naruto berkata sambil mengunyah makanannya.

"Jangan berbicara ketika mengunyah, Master. Telan dulu makanannya." Hilda menegur dari belakang. Naruto hanya bisa mengangguk dan melirik kearah Hilda dengan apologetik.

"Aku tidak seekstrim itu…" Jawab Ajuka dengan deadpan. "Bukankah itu normal untuk seorang kakak mengkhawatirkan adiknya? Mempunyai adik sepertimu, aku rasa wajar aku khawatir. Masalah selalu mendatangimu, lagipula." Lanjut Ajuka dengan tenang, melanjutkan kembali makannya.

Naruto hanya memasang wajah lugu, seolah tidak tahu apa yang dikatakan oleh Ajuka.

"Jadi, bisa ceritakan kepadaku apa yang terjadi untukmu tiba-tiba saja mengirimku surat, menanyakan dimana Azazel, ketua Malaikat Jatuh, tinggal?" Ajuka bertanya sambil memakan makanannya, melirik kearah Naruto dari sudut pandangnya selagi ia fokus memakan makanan yang disajikan.

"Itu, aku juga ingin mengetahuinya, Master." Suara tajam Hilda dari belakang Naruto juga menyahut, membuat Naruto menghela nafasnya.

"Aku hanya ingin memastikan sesuatu." Ucap Naruto. Ajuka menaikan alisnya, memberi tanda kepada Naruto untuk melanjutkan selagi ia mengunyah makanannya. "Aku sudah menceritakan tentang Malaikat Jatuh yang berada di teritori ini kepadamu, kan?" Tanya Naruto, melihat kearah Ajuka.

Ajuka mengangguk.

"Ya. Satu kelompok Malaikat Jatuh yang bermarkas di gereja tua di pinggir Kuoh untuk mengawasi pengguna Sacred Gear, bukan? Walaupun begitu, Azazel sudah melakukan semuanya dengan legal. Lagipula, Azazel bukanlah tipe orang yang ingin masalah dengan faksi lain, Iblis ataupun tidak. Orang itu konten dengan situasi sekarang."

Naruto mengangguk. "Karena itu, aku harus memastikan sesuatu." Ucapnya. "Sebuah Sacred Gear yang bahkan Azazel sendiri tertarik…"

"Hmm, kalau begitu Longinus, bukan?" Tanya Ajuka. "Satu-satunya alasan Azazel mencoba sejauh ini untuk mengawasi, atau meneliti sebuah Sacred Gear adalah jika Sacred Gear itu adalah Longinus." Ajuka menutup matanya, memikirkan sesuatu. "Salah satu dari 13 Longinus, ya." Ajuka, seorang ilmuwan sendiri, tidak asing lagi dengan 13 Longinus, dan kekuatan mereka. Ia sudah tahu idenititas dari beberapa pemilik Longinus, masing-masing identitasnya susah ia dapatkan, melihat setiap faksi selalu menjaga pemilik Longinus mereka, jika ada.

"Ya." Jawab Naruto. "Sebelumnya, aku hanya mempunyai dugaan tentang apa Sacred Gearnya. Tetapi kini setelah bertemu dengan Azazel, aku bisa mengatakannya dengan pasti." Naruto menyeringai.

Ajuka menaikan alisnya, penasaran. Begitupun juga dengan Hilda, yang daritadi saja diam menyimak konversasi sepasang adik-kakak ini.

"Ketika aku menyelinap ke markas mereka, sepertinya benar, mereka telah mengawasi dan meneliti pemilik Sacred Gear ini, sekaligus mencoba mendeteksi Sacred Gear apa yang ia punyai. Ada banyak dugaan, tetapi ada satu nama yang sepertinya, mereka yakin dengan besar kalau itu adalah Sacred Gearnya."

"Nama itu adalah," Naruto memberikan pause sebentar, untuk memberikan efek dramatis. "Twice Critical." Lanjutnya dengan seringaian di wajahnya, seolah ia mengatakan sesuatu yang bisa merubah dunia.

Ajuka terdiam sebentar, sebelum melebarkan matanya, menyadari sesuatu.

Sementara itu, Hilda hanya memiringkan kepalanya kebingungan dari belakang Naruto.

"Twice Critical? Bukankah itu Sacred Gear yang tidak jarang? Kemampuannya hanyalah menggandakan kekuatan pengguna dalam jangka waktu tertentu. Bukanlah hal yang spesial." Ucap Hilda dengan bingung.

Ajuka menggelengkan kepalanya. "Bukan, bukan Twice Critical. Tim yang dikirim oleh Azazel adalah sekumpulan amatir dalam Sacred Gear." Ajuka menunjuk kearah folder yang daritadi berada di meja. "Twice Critical adalah dragon-type Sacred Gear. Jika tim amatir menelitinya sebagai Twice Critical, berarti ini adalah Sacred Gear yang mirip dengan Twice Critical. Tetapi melihat Azazel sendiri yang tertarik dengan Sacred Gear ini, bisa dipastikan kalau Sacred Gear ini bukanlah Sacred Gear biasa seperti Twice Critical, namun, sebuah Sacred Gear seperti Twice Critical, tetapi dalam tingkat Longinus." Ajuka menjelaskan.

Naruto menyeringai, "Mid-tier Longinus, Boosted Gear."

Hilda membelalakan matanya terkejut mendengar itu. Ia tidak asing lagi dengan Boosted Gear, legenda pertarungannya dengan rivalnya, pengguna Divine Dividing sudah tersebar luas. Untuk lelaki seperti Hyoudou Issei mempunyai kekuatan seperti itu di dalam tubuhnya….

"Tetapi, ini mengkhawatirkan." Ajuka berkata, melipatkan kedua tangannya di dadanya. Di depannya, mangkuk yang tadinya penuh dengan oyakodon sudah habis. "Selama tiga tahun kau, Sona, dan Rias berada di kota ini, kalian tidak mendeteksinya, ataupun menemukannya. Sementara yang pertama menemukannya adalah faksi Malaikat Jatuh sendiri."

Naruto mengangguk. "Awalnya, aku mempunyai dugaan kalau ini Boosted Gear. Tetapi setelah bertemu dengan Azazel, aku yakin aku benar. Pertemuanku juga menjelaskan bagaimana dia bisa mendeteksi Sacred Gear-nya, walaupun kita sudah berada di sini selama tiga tahun. Ketika aku bertanya bagaimana dia mendeteksi Sacred Gear-nya, dia berkata bahwa dia mempunyai orang yang sensitif dengan Sacred Gearnya."

Ajuka menaikan alisnya mendengar itu sebelum menganggukan kepalanya mengerti. "Mm, bukan sebuah rahasia besar lagi kalau Azazel mempunyai pemilik Divine Dividing di bawahnya. Jika kita asumsikan kalau Sacred Gear yang dimaksud adalah Boosted Gear, bukanlah sebuah kejutan jika rivalnya, Divine Dividing, bisa mendeteksinya." Ajuka menghela nafasnya. "Untuk saat ini, semuanya masih sebuah asumsi. Mungkin Sacred Gear yang dimaksud adalah Boosted Gear, mungkin tidak. Dan lagipula, ini adalah waktu yang bagus untuk menanyakan pertanyaanku selanjutnya." Ajuka melihat kearah folder yang daritadi terbaring di atas meja. "Apa yang ingin kau lakukan dengan itu?" Tanya Ajuka, melihat kearah folder yang dimaksud.

Naruto menyeringai. Ia meminum habis segelas teh manis dinginnya tadi yang diberikan Hilda setelah ia menyelesaikan makanannya. Mengambil folder yang dimaksud, Naruto membukanya.

Di dalamnya terlihat beberapa dokumen, dan ketika Naruto mengambil dokumen pertama, ia menyeringai melihat foto salah satu Malaikat Jatuh yang ia lihat ketika ia berada di gereja tua itu berada di dokumen yang ia pegang.

Hilda mengedipkan kedua matanya, melihat sebuah foto wanita di dokumen yang Naruto pegang.

"Siapa itu?" Tanya Hilda.

Naruto menyeringai, dan mengeluarkan dokumen yang dimaksud Hilda sepenuhnya dari folder. Dokumen itu tidak terlalu tebal, hanyalah 3 halaman yang disatukan.

"Raynare." Naruto menjawab, membaca nama yang tertera di dalam dokumen itu. "Dari apa yang aku lihat ketika aku menginvestigasi gereja itu, sepertinya ketua grupnya." Ia kemudian membaca dokumennya sebentar, membiarkan matanya menyapu dokumen itu, terkejut dengan sebarapa detailnya informasi profil tentang Raynare ini yang bisa Ajuka dapatkan, walaupun Raynare hanyalah Malaikat Jatuh biasa.

"Seperti biasa, intel yang dimiliki Divisi Intel milikmu sangatlah luar biasa." Naruto berkata, memasukan kembali dokumen itu ke dalam folder, berniat untuk membacanya dengan teliti pada lain waktu.

Ajuka menaikan pundaknya dengan kasual.

"Jaringan informasi yang dimiliki kita sangatlah luas. Aku merencanakan untuk memberikan posisi sebagai ketua Divisi Intel padamu ketika kau sudah besar, kau tahu." Ajuka berkata, membuat Naruto mengedipkan kedua matanya terkejut ketika mendengar itu. Ajuka kembali melanjutkan, "Divisi ini harusnya dihandal oleh Falbium, melihat Falbium adalah ketua Divisi Militer, dan Divisi Intel berada di bawah jurisdiksi Divisi Militer. Sayangnya, Falbium tidak tahu apa-apa tentang mengandalkan informasi, dan membuang Divisi Intel ini kepadaku." Ajuka berkata semua itu dengan wajah jengkel. "Aku memfokuskan seluruh pekerjaanku pada penelitian, jadi Divisi Intel sedikit terabaikan. Aku hanya memberikan instruksi untuk mereka memberiku laporan sebulan sekali."

"Kembali ke topik," Ajuka berkata itu, matanya menatap langsung mata Naruto dengan tajam. "Kau mempunyai rencana, bukan, Naruto?"

Naruto hanya membiarkan seringaian terlihat di wajahnya.

"Aku tahu kau sudah menyimpulkan apa yang ingin aku lakukan, Nii-san." Balas Naruto.

Hilda menghela nafasnya melihat ini. Kadang ia sedikit jengkel ketika mendengar Masternya dan Ajuka-sama mengobrol. Mereka mengobrol dengan asumsi bahwa satu sama lain sudah mengetahui apa yang dipikirkan masing-masing. Itu membuat mencoba mendengarkan dan mengikuti konversasi mereka sedikit susah. Mereka berdua sudah mengetahui jalan pikiran satu sama lain, lagipula. Jika Naruto hanya mengatakan, 'Aku akan melakukan itu.' Tanpa konteks, atau konversasi sebelumnya, Ajuka entah bagaimana mengetahui apa yang Naruto maksud. Mengikuti konversasi mereka sangat sulit, karena kau harus bisa mengetahui jalan pikiran mereka berdua.

Ajuka menghela nafasnya, dan kemudian berdiri dari tempat duduknya.

"Asalkan kau tidak melanggar peraturan, atau membuat pekerjaanku merepotkan, aku tidak terlalu perduli." Ajuka melihat kearah jam dinding yang memperlihatkan pukul 1 siang. "Aku rasa aku sudah terlalu lama disini. Jaga dirimu baik-baik, Otouto-kun."

"Sebelum itu," Naruto memanggil. Matanya menatap Ajuka, yang hanya menaikan sebelah alisnya, dengan serius. "Diadora, apa dia baik-baik saja?" Tanyanya.

Ajuka hanya terdiam. Spell teleportasi, yang mempunyai lambang keluarga Astaroth sudah menyala di bawah kakinya.

"….Entahlah." Adalah apa yang dikatakan Ajuka sebelum dirinya menghilang.

Naruto hanya menghela nafasnya dengan lelah ketika mendengar itu.

"….Jadi Master, apa yang ingin kau lakukan sekarang?" Hilda bertanya, ketika keheningan menghampiri mereka berdua.

Naruto terdiam sebentar sambil menutup matanya, terlihat seperti memikirkan sesuatu.

"Untuk saat ini, aku rasa yang bisa kita lakukan hanyalah menunggu." Naruto berkata sambil membuka matanya. Ia kemudian menyenderkan badannya di bangkunya dan menengok kearah Hilda dengan bosan.

"Ne, Hilda, ini hari Minggu, bukan? Ayo kita ganggu Sona. Atau Rias."

Hilda hanya bisa menghela nafasnya.


"Naruto Astaroth, huh?"

Melihat dokumen yang dipegangnya, matanya memerhatikan sebuah foto yang terlampir di dalam dokumennya. Terlihat seorang remaja biasa, dengan rambut pirang yang jabrik. Dari luar, remaja ini terlihat seperti remaja biasa. Tidak ada yang aneh dengannya, selain apa yang terlihat seperti 3 kumis kucing yang berada di setiap pipinya.

Pemilik tangan itu menjentikan jarinya, dan dalam sekejap, sebuah figur muncul berlutut di depannya.

"Ini adalah targetmu selanjutnya. Seseorang membayar mahal untuk mengeleminasi dia." Orang yang memegang dokumen itu berkata, melemparkan dokumennya ke meja di depannya.

Figur yang tadinya berlutut berjalan kearah meja dan mengambil dokumen yang diberikan Tuannya itu.

Naruto Astaroth

Rank: S

FIgur itu menyipitkan matanya ketika membaca itu.

"Ranking S? Dia terlihat seperti remaja biasa." Figur itu berkata, suara lembut yang tidak mempunyai emosi di dalamnya sedikit berdengung di ruangan sepi nan kecil ini.

"Dia adalah adik dari Beelzebub sendiri," Sebuah suara berkata, tepat ketika pintu ruangan yang mereka tempati terbuka, menunjukan sesosok figur lainnya. "Dia hanyalah Iblis lemah, bagaikan manusia biasa, jadi jangan khawatir. Alasan kenapa ini diberi Rank S hanyalah karena dia adik dari Beelzebub sendiri." Pemilik suara itu melanjutkan.

Figur yang memegang dokumen itu mengangguk, dan mengembalikan dokumen itu ke mejanya. Tanpa mengatakan apa-apa, figur yang tadinya memegang dokumen itu melangkah keluar.

"Naruto Astaroth, huh? Ini misi yang mudah untuk Shi." Sebuah suara berkata, pemilik suara itu adalah sebuah figur yang daritadi duduk belakang meja.

"Ahahaha…. HAHAHAHA!"

"Tch… Apa ada yang lucu?" Figur itu menyipitkan matanya.

"Jangan meremehkan Naruto."

"Hmph. Bukankah kau sendiri yang mememberikan kita request untuk membunuhnya karena dia terlalu lemah dan tidak pantas untuk menjadi pewaris Keluarga Astaroth, Glazya-sama?"

Figur yang dipanggil Glazya itu menyeringai.

"Dia mungkin sangat lemah, tetapi dia adalah seorang Astaroth. Dia tidak akan mati dengan mudah."

"Mencoba mengasasinasi cucumu sendiri…. Kau cukup kejam, Glazya-sama."

Glazya menyeringai.

"Aku hanya ingin memastikan Klan Astaroth kembali berjaya ketika nanti Diadora menjadi Ketua Klan daripada membusuk seperti saat ini dibawah pimpinan anak bodohku itu."


Himejima Akeno saat ini merasakan beberapa hal. Terkejut, bingung, penasaran, sekaligus heran.

Bagaimana tidak? Tinggal di kuil, setiap hari ia selalu bangun dalam keheningan. Suara ayam berkokok adalah alarmnya setiap pagi. Ia menyiapkan sarapan sendiri, mandi sendiri, dan membersihkan kuilnya sendiri. Tidak banyak yang mengunjungi kuil ini, lagipula. Ia sudah terbiasa hidup sendiri, menikmati hari liburnya ini bersama dirinya sendiri.

Jadi ketika ia melihat dua figur, sepertinya sedang berargumen di ruang utama di dalam kuil, ia bisa dibilang, terkejut.

"Sepertinya pelajaranku tentang etika itu tidak menyangkut dalam otakmu, Master. Benar benar membuatku penasaran apakah memang kau mempunyai otak atau tidak." Pause. "Dan aku tidak yakin walaupun kau mempunyai otak, otakmu itu mempunyai kapabilitas untuk berfungsi 100% sebagaimana orang pada umumnya."

Ouch. Seperti biasa, kata-kata yang keluar dari mulut Hilda selalu tajam, pikir Akeno. Itu kadang membuat Akeno berpikir apakah Naruto diam-diam seorang machosist, dari bagaimana ia sepertinya sama sekali tidak terganggu dengan celaan tajam Hilda, seolah menganggapnya sebagai hal yang normal.

"Kau mengatakan itu, tetapi kau tidak menghentikanku untuk masuk, Hilda."

Sebuah seringaian terlihat di wajah Naruto. Akeno hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan mereka berdua.

Ketika ia bertemu dengan mereka berdua, 7 tahun lalu, sebagai Ratu dari Rias, mereka berdua selalu mempunyai dinamis hubungan yang aneh. Dari aksi dan bahasa tubuh mereka berdua, terlihat sekali mereka berdua perduli, mungkin bisa dibilang, menyayangi satu sama lain. Tetapi tingkah, dan perkataan yang keluar dari mulut mereka berdua seolah menunjukan hal yang sebaliknya. Itu sedikit mengingatkan Akeno kepada pasangan suami istri yang sudah hidup bersama bertahun-tahun.

"Aku tidak menghentikanmu karena aku tahu kau adalah orang yang keras kepala, Master. Membuatku berpikir kalau kepalamu isinya hanyalah tulang dan tengkorak, tanpa ada otak sama sekali, dari bagaimana keras kepalanya kau."

Hilda berkata lagi. Akeno menggelengkan kepalanya dengan senyuman di wajahnya ketika melihat mereka berdua seperti ini. Mereka berdua kini sedang duduk di atas tatami yang berada di ruang utama kuil, dengan Hilda duduk di samping, namun sedikit kebelakang dari Naruto. Sebuah meja di depan mereka. Ruangan ini biasanya adalah ruangan yang dipakai untuk menjamu tamu yang mengunjungi kuil.

"Oy oy, jika aku tidak mempunyai otak, aku tidak bisa berfungsi sebagai makhluk hidup."

Terdengar balasan dari Naruto. Hilda hanya mengangkat bahunya dengan kasual.

"Entahlah. Aku mendengar sebuah legenda bahwa hanya idiot, yang sangat idiot daripada para idiot, memiliki kemampuan itu. Siapa tahu Master, kau mungkin mempunyai kemampuan itu."

Akeno hanya tertawa kecil. Bukan dari perkataan Hilda, namun dari melihat tingkah mereka berdua. Tawa melodisnya membuat sepasang Raja dan Ratu itu mengalihkan perhatian mereka berdua kearahnya.

"Ah, Akeno! Maaf datang kesini tanpa mengatakan apa-apa." Naruto yang pertama berkata, memberikannya cengiran sambil menggaruk belakang lehernya, kebiasaan yang ia lakukan ketika ia merasa malu.

"Maafkan idiot ini, Akeno-san. Sepertinya dia tidak mempunyai kepahaman dasar tentang etika." Hilda berkata juga, walaupun wajahnya stoik seperti biasanya, Akeno bisa melihat Hilda sedikit merasa apologetik.

"Fufufu, tidak apa-apa. Sepertinya kalian berdua berisik seperti biasa." Akeno berkata dengan senyuman manisnya, sembari duduk di hadapan Hilda dan Naruto, terpisahkan oleh sebuah meja kecil. Akeno kemudian memberikan Naruto sebuah seringaian, "Jadi, apa ada alasan kau mengunjungiku, Naruto-kun? Hilda tidak cukup untuk memuaskan nafsu buasmu, dan kini kau mengincarku? Ara~" Mengatakan itu, rona merah terlihat di pipi Akeno.

Alis Hilda berkedut sedikit mendengar itu.

Wajah Naruto merona merah sedikit, mengetahui arti tersirat di balik perkataan Akeno.

"Ugh, Akeno-san, tolong hentikan itu. Aku tidak terlalu baik dengan godaan seperti itu…" Ucap Naruto dengan malu.

"Fufufu, itu malah membuatku semakin ingin menggodamu, Naruto-kun." Akeno membalas sambil menjilat bibirnya, menatap Naruto bagaikan ia adalah makanan.

"Ahahaha…." Mendengar itu, Naruto hanya bisa tertawa garing, tidak tahu harus bereaksi apa.

Akeno hanya bisa terkikih mendengar itu. "Fufu, kau sangat lucu ketika kau malu seperti itu, Naruto-kun." Ucap Akeno. "Jadi, bisa bilang alasan kenapa kau mengunjungiku?"

"Entahlah." Jawab Naruto. Ia kemudian menguap dan menjatuhkan badannya ke tatami. "Aku bosan. Awalnya aku mengunjungi Sona, tetapi sepertinya dia sibuk melatih bidak barunya. Aku ingin mengunjungi Rias, tetapi melihat Rias tinggal di ruangan klub, aku tidak jadi kesana. Aku tidak ingin pergi ke sekolah pada hari Minggu."

Akeno terkekeh mendengar itu. "Jadi sepertinya aku beruntung, eh?"

Naruto kembali membangunkan tubuhnya dari tatami untuk memberikan Akeno cengiran besar. "Yup~! Aku tidak tahu dimana Kiba dan Koneko tinggal."

"Maafkan kita untuk gangguannya, Akeno-san." Hilda berkata, membungkuk badannya sedikit kepada Akeno.

Akeno hanya menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa. Tidak usah formal denganku Hilda. Kita sama-sama Ratu, lagipula. Panggil aku Akeno saja." Ucap Akeno. "Atau mungkin kau lebih memilih Akeno-onee-sama?" Akeno mengedipkan sebelah matanya kepada Hilda.

Hilda hanya menatap Akeno dengan stoik. "Akeno-san." Ia akhirnya berkata, membuat Akeno cemberut ketika melihat Hilda tidak memberikan reaksi apa-apa.

"Jadi, Akeno," Naruto berkata kembali, mengalihkan perhatian Akeno kepada Naruto lagi. "Bagaimana dengan Peerage Rias? Semua berjalan baik? Tidak ada masalah?" Tanya Naruto dengan kasual.

"Ara ara Naruto-kun, apakah itu tujuanmu sebenarnya? Mencoba memata-matai kita?" Akeno memberikan seringaian godaan kepada Naruto. Sebelum Naruto bisa menjawab, Akeno melanjutkan, "Semuanya baik-baik saja. Kita bersiaga sedikit karena Malaikat Jatuh yang berada di area, tetapi selain itu, semuanya normal. Menerima kontrak seperti biasa, dan melakukannya." Akeno kemudian mengedipkan kedua matanya, menyadari sesuatu. "Itu membuatku berpikir, aku tidak pernah melihat kalian berdua melakukan kontrak." Akeno kemudian melihat kearah Hilda dan Naruto dengan penasaran.

Bahkan saat pertama kali ia direinkarnasi menjadi Iblis sebagai Ratu untuk Rias, Akeno melakukan pekerjaan standar seorang Iblis baru, seperti memberikan pamflet untuk mengadakan kontrak, dan melakukan kontrak tersebut.

Naruto dan Hilda menatap satu sama lain.

"Apakah kita pernah melakukan itu, Hilda…?" Ucap Naruto dengan tidak yakin.

Hilda menggelengkan kepalanya. "Aku tidak pernah melakukannya semenjak aku menjadi Ratu."

Mendengar itu, Akeno mengedipkan kedua matanya terkejut, mulutnya menganga sedikit. Dari apa yang ia ketahui, bukankah seluruh Iblis harus melakukan kontrak?

"Bukankah semua Iblis harus melakukan kontrak?" Akeno mengucapkan apa yang ada di pikirannya saat itu. "Untuk menambah kekuatan dan kedudukan, sekaligus menyebar reputasi di Dunia Bawah…" Akeno melanjutkan, memberikan penjelasan yang diberikan Rias dan yang lainnya padanya ketika mereka menjalaskan tentang kontrak.

"Aku tidak tertarik dengan semua itu."

"Aku hanya ingin melayani Master."

Mendengar itu, Akeno hanya sweat drop. Sebetulnya, Akeno juga tidak terlalu perduli dengan semua itu. Tetapi melihat itu adalah kewajiban, Akeno melakukannya. Akeno menganggapnya sebagai pekerjaan sampingan yang harus ia lakukan.

"Bukankah itu wajib…?" Akeno dengan ragu bertanya, ekspresinya masih sweat drop.

Naruto mengerutkan keningnya sebentar. "Mungkin….?" Ucapnya dengan ragu. Ia melihat kearah Hilda, meminta bantuan, tetapi Hilda hanya menaikan bahunya tidak tahu. Ia kemudian mengikuti aksi Hilda. "Entahlah. Kaa-san tidak mengatakan apa-apa tentang ini. Tou-san terlalu sibuk menjadi Ketua Klan, dan Ajuka tidak akan keluar dari lab-nya kecuali jika Dunia Bawah dalam masalah besar."

"Kushina-sama hanya mengatakan tugasku hanyalah untuk memastikan Naruto-sama tidak terlibat dalam masalah." Hilda berkata, sebelum akhirnya menghela nafasnya. "Tugas yang aku gagal laksanakan berkali-kali." Lanjut Hilda dengan kecewa, memberikan Naruto sebuah glare, membuat Naruto berkeringat dingin sedikit.

Akeno hanya sweatdrop. Mereka berdua ini memang mengagumkan.

"Ngomong-ngomong," Naruto kembali berkata, menarik perhatian Akeno. "Bagaimana dengan Hyoudou-san?" Tanya Naruto, penasaran.

"Ara, apa sebenarnya ini yang kau incar, Naruto-kun?" Tanya Akeno balik, seringaian godaan terlihat di wajahnya.

Naruto hanya memberikan Akeno deadpan. "Oy oy, kenapa kau selalu mengasumsikan aku mempunyai maksud tersembunyi ketika melakukan sesuatu? Aku juga suka bersosialiasi, kau tahu."

Mendengar itu, Akeno menaikan alisnya. "Fufu, benarkah?"

Naruto hanya menghela nafasnya. "Kau adalah sahabat Rias. Rias adalah teman dekatku. Itu membuatmu menjadi temanku juga, Akeno. Walaupun seperti ini, aku suka menghabiskan waktu bersama temanku, tahu?" Naruto menyelesaikannya dengan sebuah senyuman.

Akeno hanya tersenyum mendengar itu. "Seperti biasa, kau sangat ahli dalam berbicara dan menyampaikan perasaanmu, Naruto-kun." Ucap Akeno sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Untuk saat ini, Rias hanya mengirimkan familiarnya untuk mengawasi Issei Hyoudou-kun. Saat ini, kita tidak tahu apa niat Malaikat Jatuh, jadi kita sedikit hesitasi untuk melakukan kontak dengannya." Ucap Akeno dengan senyuman.

"Hmm…" Naruto hanya menjawabnya dengan gumaman. "Hal seperti ini membuatku penasaran apakah ada murid lain, atau orang lain yang berada di Kuoh, yang mempunyai Sacred Gear seperti Hyoudou, tetapi kita hanya tidak bisa mendeteksinya."

"Fufu, memangnya kenapa Naruto-kun? Ingin menambahkan peeragemu? Aku yakin Hilda sedikit kesepian, kau tahu." Ucap Akeno, memberikan kedipan satu mata kearah Hilda, yang hanya dibalas oleh pandangan stoik.

Naruto menaikan pundaknya dengan kasual.

"Aku tidak tertarik dengan hal itu." Naruto menjawab sambil menguap.

Akeno menyeringai sambil menaikan alisnya. "Kalau begitu, Naruto-kun, apa yang membuatmu tertarik? Apa tujuanmu?" Tanya Akeno dengan penasaran.

Naruto hanya mengedipkan sebelah matanya kepada Akeno.

Melihat itu, Akeno hanya tertawa.

"Fufufu, misterius seperti biasa. Kadang aku penasaran dengan apa yang ada di dalam pikiranmu." Ucap Akeno.

"Kau akan terkejut mengetahui apa yang berada di pikirannya," Kali ini Hilda yang menjawab, melihat kearah Naruto dengan datar. "Kepalanya penuh dengan informasi tidak penting." Lanjutnya. "Berapa jumlah anak tangga dari lantai dua ke lantai tiga sekolah, Master?"

Tanpa hesitasi, Naruto menjawab, "16."

Melihat itu, Akeno hanya sweatdrop. "Apa kau sebosan itu di sekolah…?" Gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada dua orang di hadapannya.

"Maa, maa. Jangan salahkan aku. Aku menganggap semua informasi itu penting. Dan mengenal jauh tentang tempat dimana aku menghabiskan sebagian besar waktuku adalah hal yang penting." Ucap Naruto, mencoba menjustifikasikan pengetahuannya.

"Aku tidak bisa melihat situasi dimana mengetahui berapa jumlah anak tangga di sekolah bisa menyelamatkanmu, Naruto-kun." Akeno berkata sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Hmph!" Naruto menyilangkan kedua tangannya di dadanya. "Jangan merengek padaku jika nanti pertanyaan itu akan ada dalam ujian nasional."

Hilda dan Akeno hanya sweatdrop mendengar itu.

Selama beberapa jam kemudian, mereka hanya mengobrol dan bersantai, membahas banyak hal, dari hal penting seperti tentang Malaikat Jatuh yang sedang berada di kota, sampai ke hal yang tidak penting sama sekali, seperti tentang kedai Ramen yang baru saja dibuka.

Sepanjang waktu itu, Akeno hanya bisa tersenyum. Ini sudah lama sejak ia mengobrol dengan santai bersama Naruto dan Hilda seperti ini. Dengan sekolah, menjadi Ratu untuk Rias, dan masalah Iblis lainnya sejak datang ke sekolah ini, Akeno sudah mulai jarang berinteraksi santai dengan mereka berdua ini.

Sebelum datang ke sekolah ini 3 tahun yang lalu, Rias, Sona, dan Naruto beserta peerage masing-masing membunyai hubungan yang kuat. Tentu saja, sampai saat ini, mereka bertiga masih mempunyai hubungan yang baik, tetapi akhir-akhir ini mereka menjadi jarang berinteraksi bersama satu sama lain, sibuk dengan urusan masing-masing.

Bisa mengobrol seperti ini lagi adalah hal yang menyenangkan, menurut Akeno. Naruto adalah tipe orang yang bisa mengobrol tentang hal apa saja. Tipe orang yang selalu mengetahui pengetahuan dasar dari segala topik. Ini membuat mengobrol dan mempunyai konversasi bersama Naruto menjadi mudah.

Akeno mungkin tidak akan mengakuinya, tetapi Naruto adalah teman laki-laki terdekatnya. Tentu, ada Kiba, dan Gasper yang berada di satu peerage sepertinya. Tetapi dengan mereka berdua, Akeno lebih menganggap mereka berdua sebagai seorang adik yang harus ia urusi.

Ketika Naruto dan Hilda sudah pulang, Akeno mulai menyadari, betapa hampa dan sunyi kuil yang ia tinggali ini.


Beberapa hari kemudian, terlihat Naruto dan Hilda sedang berjalan bersama di pusat kota Kuoh. Seragam SMA Kuoh masih dipakai oleh mereka berdua. Beberapa pejalan lain berbisik dan menunjuk kearah mereka berdua seiring mereka berjalan.

Bagaimana tidak, dari penampilan mereka, mereka berdua lebih terlihat seperti sepasang turis, daripada warga lokal.

Menggigit apel yang berada di tangan kanannya, Naruto harus menahan untuk menguap.

"Ini membosankan," Ia berkata. Selama beberapa hari ini, Naruto hanya menjalani hidupnya sebagai murid biasa di SMA Kuoh. Kadang, ia merasa konten menjadi murid SMA biasa, tetapi ada juga momen dimana ia merasa sangat bosan menjadi murid SMA biasa.

Melihat Stray Devil biasanya selalu dihandal oleh Rias dan Sona, Naruto bisa dibilang, tidak mempunyai kewajiban apa-apa. Tentu, kadang Sona atau Rias menyuruhnya mengatasi Stray Devil jika mereka berdua sibuk.

"Mmm, mungkin ini saatnya kita melakukan hal 'kontrak' yang dibilang Akeno pada waktu itu." Naruto melanjutkan ucapannya dengan bosan, sebelum memakan kembali sebuah apel yang ada di tangannya. "Setidaknya, itu memberikan kita sesuatu untuk dilakukan."

"Maafkan aku Master, tetapi aku tidak yakin kau adalah tipe orang yang bisa mewujudkan permintaan seseorang." Suara datar Hilda menjawab.

Naruto cemberut sedikit. "Apa kau mengatakan aku tidak bisa memenuhi kontrak?"

Hilda menghela nafasnya. "Kalau begitu, aku mempunyai kontrak. Aku ingin seseorang berhenti mencoba menyelundupkan cup ramen ke dalam rumah. Apa makananku sangat tidak enak kau lebih memilih ramen instan?" Pandangan tajam kini diberikan Hilda.

"Fufu~ Ini sore yang indah, bukankah begitu Hilda?"

"Jangan mencoba mengalihkan topik pembicaraan."

"Oh ayolah~ Cup ramen itu adalah cemilan! Tidak apa untuk memakannya sekali-kali!"

"Sekali-kali itu bukan berarti lima kali sehari, Master."

"…."

"…."

Membelalakan matanya kearah Hilda, mulut Naruto menganga dengan takjub. "Aku sudah memastikan untuk memakannya ketika kau tidak ada di rumah….." Naruto berkata, daripada marah, atau kesal, suara Naruto lebih seperti takjub kepada Hilda.

"Jangan meremehkanku, Master."

"….Aku akan menggeledah kamarku ketika kita sampai di rumah. Aku yakin pasti ada kamera dan mikrofon disana."

"Walaupun seperti ini, aku menghormati privasimu, Master."

Naruto hanya mendengus. "Hmph. Bilang itu pada komik shounen milikku yang kau buang hanya karena kau tidak menyukai kontennya."

Alis Hilda berkedut. "Komik shounen? Itu doujinshi, Master. Dan 'konten' yang kau maksud ini adalah konten dewasa untuk 18 tahun keatas. Kau masih 17 tahun, Master."

Pipi Naruto merona merah. "Aku membacanya karena plotnya sangat menarik!" Serunya, mencoba melindungi harga dirinya. "Tentu, ada adegan ero-nya, tetapi itu hanyalah tambahan. Jika kau membacanya, kau pasti akan tahu yang aku maksud."

"Bukankah itu doujinshi yang terkenal karena ada plot twist diakhirnya?" Jawab Hilda. "Kalau tidak salah, pada akhirnya gadis yang ia cintai adalah adik kandungnya yang hilang 10 tahun yang lalu."

"….hah?" Naruto mengedipkan kedua matanya, sebelum melebarkannya dengan terkejut ketika menyadari apa yang Hilda katakan. "HAH?!"

Hilda menaikan alisnya. "Kau tidak tahu? Aku kira kau membelinya karena plot twistnya yang terkenal itu. Kadang membuatku khawatir tentang Diadora-sama."

"Aku belum menyelesaikannya!" Seru Naruto dengan jengkel. "Aku tidak sempat menyelesaikannya karena seseorang membuangnya ketika aku masih berada di chapter 1." Naruto memberikan glare kearah Hilda.

Wajah Hilda datar seperti biasa, tidak terpengaruh oleh glare yang diberikan Naruto.

"Buku itu adalah influensi buruk untukmu." Adalah jawaban simpel Hilda.

"Hmph. Dan komik itu juga sangat menarik. Romance antara Haruto dengan Akane benar-benar mengena di hati. Dan karena kau membuang itu, aku tidak mempunyai apapun untuk kubaca, membuatku selalu merasa bosan~"

"Seharusnya kau merasa bersyukur aku hanya membuang doujinshi itu." Ucap Hilda dengan datar. "Jangan pikir aku tidak tahu tentang novel berwarna orange yang kau sembunyikan di bawah tumpukan bajumu di lemari."

Mendengar itu, mata Naruto melebar dengan terkejut. Rona merah terlihat di pipinya.

"Menghormati privasiku, ya?" Ucapnya dengan sarkastik, memberikan Hilda sebuah glare yang Hilda abaikan. "Icha Icha itu mempunyai plot yang menarik! Mereka bahkan sudah membuat filmnya. Dan juga, kau membolehkanku mempunyai Icha Icha tetapi membuang komik itu? Rasis!"

Alis Hilda berkedut. Ada alasan lain kenapa ia membuat doujinshi itu. Tidak. Tentu saja ia tidak merasa sedikit kesal karena dua karakter utama doujinshi yang melakukan tindakan '18+' itu mirip dengan dua orang yang ia ketahui. Tentu, bukan karena karakter laki-lakinya mirip dengan Master-nya. Dan tentu saja bukan karena karakter perempuannya mirip dengan seseorang yang bernama Himejima Akeno.

Ia membuangnya karena ia merasa doujinshi itu adalah influensi buruk untuk Masternya. Tidak kurang, tidak lebih.

Bukan karena hal lain. Ingat itu.

Tanpa disadari, mereka berdua kini sudah mulai berada di area yang sepi dari keramaian pusat kota Kuoh itu, menandakan kalau mereka sudah dekat ke rumah mereka.

Area sepi ini jarang di lewati orang, dan juga salah satu area rentan dengan kejahatan, karena banyaknya gang, dan juga berandalan sekolah berkumpul di area ini. Walaupun begitu, ada peraturan tidak resmi ketika berada di area ini. Selama kau tidak menganggu mereka yang melakukan.. 'bisnis' di area ini, maka kau tidak akan ada masalah.

Naruto dan Hilda menghentikan langkah mereka ketika jalan mereka dihalangi oleh seseorang.

Orang itu mempunyai figur yang besar. Tingginya bisa mencapai dua meter, disertai dengan otot yang besar. Dengan rambut mohawk berwarna kuning dicat, dan juga piercing di hidung, dan juga bibirnya. Walaupun mempunyai wajah yang tua, orang itu terlihat sekali masih memakai seragam sekolah. Bukan seragam SMA Kuoh, melainkan seragam SMA lain yang berada di kota Kuoh. Di belakang orang itu, terlihat banyak orang lainnya, dengan seragam yang sama seperti orang di depannya ini.

"Fufufu, apa ini?" Orang itu berkata, memberikan seringaian besar. "Apa kalian berdua tersesat?" Melihat seragam SMA Kuoh yang dipakai mereka berdua, seringaian orang itu membesar. "Mami dan papi tidak menjemput kalian di mobil mewah kalian?"

Suara tawa terdengar.

Hilda hanya melihat semua ini dengan datar, sementara Naruto hanya menaikan alisnya, seolah penasaran.

"Permisi. Kita ingin lewat." Suara datar Hilda berkata.

"Lewat, eh?" Ketua gang itu menyeringai. Ia melihat kearah Hilda dan menjilat bibirnya. "Mungkin jika kau melakukan sesuatu untukku, kau boleh lewat."

Wajah Hilda yang biasanya impasif mempunyai cemberut sedikit.

"Bos! Dia orangnya!"

Naruto dan Hilda mengedipkan kedua mata mereka dengan bingung ketika salah satu anak buah orang itu menunjuk kearah Naruto.

Mata ketua gang itu melihat kearah Naruto, menelitinya, sebelum akhirnya mengeluarkan seringaian besar.

"AHAHAHA! Ini sepertinya hari keberuntunganku." Ketua gang itu berkata. Ia kemudian melihat kearah Naruto. "Dan ini adalah hari burukmu. Maaf gaijin, tetapi seseorang membayar kita mahal untuk menghabisimu."

Ketika mendengar itu, Naruto hanya menaikan alisnya, terkejut. Begitupun juga Hilda. Naruto bukanlah murid yang mempunyai banyak musuh di Kuoh. Menghabiskan waktunya bersama Hilda, dan kadang mengobrol dengan murid lain, lelaki atau perempuan, Naruto hampir sama sekali tidak melakukan hal yang bisa membuat seseorang membencinya sampai-sampai mereka membayar seseorang untuk melukainya.

Seseorang dari sekolah luar, apalagi.

"Apa kau mempunyai masalah denganku?" Naruto bertanya sambil memiringkan kepalanya, bingung.

Ketua gang itu hanya menyeringai, dan menggelengkan kepalanya. "Aku tidak mempunyai masalah denganmu. Tetapi orang lain sepertinya iya." Orang itu kemudian menengok ke belakang, "Oy Genji, berikan aku tongkatnya." Orang yang dipanggil Genji itu langsung saja memberikan sang Ketua Gang tongkat baseball.

Hilda menghela nafasnya. "Sepertinya kalian keras kepala untuk melakukan konfrontasi.." Gumam Hilda, lebih kepada dirinya sendiri daripada ke ketua gang yang berada di depannya.

Sang Ketua Gang itu melihat kearah Hilda dengan seringaian. "Heh, kita tidak mempunyai masalah denganmu, sayang. Kita hanya mempunyai urusan dengan dia." Sang ketua gang itu menunjuk kearah Naruto, lalu mengedipkan sebelah matanya ke Hilda. "Kau tidak usah ikut campur. Setelah ini, kita akan memberikanmu pengalaman yang... enak." Sang Ketua Gang itu menjilat bibirnya.

Hilda cemberut, amarah mulai bangkit dari dadanya. Kelakuan, dan perkataan mereka mengingatkan Hilda pada memori yang tidak ingin ia ingat. Dan mengingat itu saja akan membuat dia berada di mood yang buruk. Dan ketika dia dalam bad mood….

BUKH!

Seluruh orang yang berada di sana, kecuali Naruto yang terlihat bosan, melebarkan matanya terkejut.

Sang Ketua Gang yang besar, yang tingginya dua meter, dan mempunyai otot dimana-mana, terjatuh begitu saja, pingsan. Hilda, yang tadinya berada beberapa langkah di depan sang ketua gang itu, kini berada di depan sosok ketua gang yang terbaring itu.

Yang membuat anak buah ketua gang itu merinding adalah fakta bahwa mereka bahkan tidak melihat Hilda bergerak sama sekali.

Hening.

"Master, biarkan aku menangani ini. Orang sepertimu tidak pantas menodai tangannya dengan sampah seperti mereka." Suara tajam Hilda mengiris keheningan dingin. Walaupun diberikan celaan oleh Hilda, sepertinya tidak ada satupun berandalan yang berani mengatakan apa-apa. Matanya menatap kearah 20, tidak, 30 puluh berandalah itu.

Naruto hanya menguap, wajahnya terukir dengan senyuman kecil. Hilda dengan perkataan tajam biasa yang keluar dari mulutnya. Mungkin hari ini tidak akan sebosan yang aku kira.

"Baiklah," Naruto berkata. "Jangan lama-lama." Lanjutnya. Hilda hanya mengangguk mendengar itu.

"Grr, ja-jangan meremehkan kami!" Sepertinya shocknya sudah hilang, salah satu berandalah yang berada di depan mengeluarkan sesuatu dari kantungnya.

Mata Hilda melebar ketika berandalan itu mengeluarkan sebuah pistol, dan dengan tangan gemetar, mengarahkannya kearah Naruto. Sebelum Hilda bisa bergerak untuk mengambil pistol itu, sang pemilik sudah menekan pelatuknya.

Waktu seolah melambat. Walaupun dengan tangan bergetar, entah bagaimana peluru yang ditembakan mengarah tepat ke kepala Naruto.

Walaupun mempunyai kecepatan dari pion Ratu, Hilda tahu bahkan ia tidak bisa mempunyai waktu yang cukup untuk melakukan sesuatu untuk mencegah peluru itu mengenai kepala Naruto.

Sang pemegang pistol menyeringai dengan penuh kemenangan.

Tepat ketika peluru itu hampir mengenai Naruto, Naruto membungkuk.

Mata Hilda, dan para berandalan itu melebar, tidak menyangka Naruto bisa menghindari peluru seperti itu.

Waktu seolah kembali normal, dan Hilda dan para berandalan yang tadi hanya melihat kearah Naruto dengan mata lebar, dan mulut yang menganga.

'Apa ini….?!' Pikir pemilik pistol itu, keringat dingin mulai mengucur dari dahinya. Ia kemudian melihat kearah Hilda. 'Seseorang yang bisa membuat bos pingsan dalam satu pukulan.' Ia kemudian melihat kearah Naruto, yang masih membungkuk. 'Dan seseorang yang bisa menghindari peluru! Apa mereka…. Apa mereka sangat kuat?!'

"Nah, selesai. Ternyata daritadi tali sepatuku belum terikat. Phew!"

Naruto kemudian mengedipkan kedua matanya, dan dengan panik melihat kearah Hilda. "Hilda! Tadi aku mendengar suara pistol! Apa kau tidak apa-apa?!"

….

Keheningan kembali menghampiri area itu.

"….Aku tidak apa-apa, Master." Hilda berkata. Entah ini imajinasi Naruto atau tidak, Naruto sempat mendengar nada lega dalam perkataan Hilda.

Ratu Naruto itu kemudian melihat kearah berandalan yang memegang pistol itu dengan tajam, membuat berandalan itu merinding. Dalam sekejap, Hilda sudah berada di depan berandalan itu. Ia memukul tangan yang memegang pistol itu, membuat pistol itu terlempar, dan tanpa membuang waktu lagi, meninju perut berandalan itu, membuat sang berandalan memuntah darah. Tidak puas, Hilda menendang kepala pemuda itu, membuatnya terlempar.

Hening lagi.

"Ja-jangan takut! Ia adalah satu orang! Perempuan lagi! Ayo kita serang bersama-sama!" Salah satu dari berandalan itu berkata. Seolah menyalakan api semangat teman-temannya, para berandalan itu berteriak dan kemudian bersama-sama mencoba menyerang Hilda.

Sementara di belakang, Naruto hanya tersenyum kecil melihat adegan yang terjadi di depannya. Melihat Hilda bertarung bagaikan menyaksikan seorang penari berdansa. Gerakan Hilda yang elegan, sama sekali tidak membuang-buang gerakannya. Setiap gerakannya selalu mempunyai tujuan tertentu, untuk tidak menghabiskan staminanya.

Melihat Hilda menghindari banyak pukulan kearahnya, dan kemudian membalasnya dengan cepat. Ia bagaikan menyaksikan kreasi seni sendiri.

Ada alasan kenapa Hilda membutuhkan pion Ratu untuk dihidupkan menjadi Iblis, lagipula. Mempunyai energi sihir yang sangat besar untuk anak seumurannya, dan juga mempunyai kekuatan Absolute Illusion milik salah satu Klan Iblis yang sudah punah. Melihat Hilda adalah salah satu dari banyak anak kecil yang diadopsi Klan Beelze setelah perang saudara antara Iblis, Hilda tidak mengetahui orangtuanya. Ajuka mempunyai teori kalau orang tua Hilda, atau kemungkinan besar, salah satu orangtua Hilda berasal dari Klan Iblis bernama 'Garde', Klan Iblis yang sudah punah karena memihak faksi Satan Tua. Klan Garde terkenal dengan kemampuan ilusi mereka, lagipula. Awalnya Ajuka ragu karena Klan Garde terkenal dengan rambut unik berwarna ungu mereka, tetapi Ajuka hanya menteorikan kalau Hilda adalah setengah Garde.

Itu membuat Naruto berpikir kalau nama Hilda bukanlah Hildegarde, lebih seperti Hilda Garde, dan entah Hilda, atau yang mengadopsinya, salah menyusun namanya.

Ditambah lagi dengan latihan yang diberikan Kaa-san, Naruto percaya Hilda sekuat, atau mungkin lebih kuat dari Rias ataupun Sona sendiri.

Berandalan yang tadinya berjumlah sekitar 30 orang, hanya tinggal sisa beberapa orang saja yang masih berdiri. Melawan manusia biasa, untuk seorang Iblis seperti Hilda, bukanlah hal yang menyusahkan, walaupun manusia yang ia lawan berjumlah sekitar 30 orang. Naruto bahkan tidak melihat sebuah keringat di badan Hilda.

Dan ketika berandalan terkakhir yang tersisa pingsan, Hilda merapikan seragam Kuohnya. Menepuk roknya untuk membersihkannya dari debu, Hilda terlihat cantik dan elegan seperti biasa, bagaikan seorang putri dari kerajaan, seolah tidak baru saja menghabisi 30 berandalan tanpa meneteskan keringat sama sekali.

"Kejam seperti biasa, eh?" Celetus Naruto ketika melihat Hilda sudah selesai, mengabaikan puluhan berandalan yang terbaring di jalan di depannya.

"Aku tidak ingin menghabiskan banyak waktu berurusan dengan sampah seperti mereka." Adalah balasan tajam dari Hilda dengan wajah yang datar.

Mata Hilda kemudian melebar, ketika melihat sesuatu.

Tepat di belakang Naruto, terlihat sebuah figur besar yang sudah mengangkat tongkat baseballnya, dan mengayunkan tongkatnya itu tepat ke kepala Naruto dengans seringaian besar di wajahnya.

Melihat figur itu berada di belakang Naruto, tepat di titik buta Naruto, mustahil kalau Naruto bisa melihatnya, atau menyadarinya.

Hilda mengutuk dirinya sendiri. Ia terlalu sibuk dengan berandalan yang berada di depannya, ia tidak sempat mengecek Naruto yang berada di belakangnya. Sepertinya ketua gang yang ia percayai sudah pingsan bangun lagi, dan berhasil menyelinap ke belakang Naruto.

Hilda mengepalkan tangannya, mengutuk dirinya sendiri atas kesalahan amatir yang ia lakukan.

SWISH!

Daripada mendengar suara hantaman, suara ayunan yang mengenai angin terdengar.

Sang ketua gang melebarkan matanya dengan shock, ketika murid di depannya menghindari ayunan vertikal tongkat baseballnya dengan melangkah ke samping sedikit, tanpa melihat ke belakang sama sekali.

'Apa ini?! Aku berada di titik butanya! Tidak mungkin dia melihatku, atau mungkin menyadariku!'

Murid yang dimaksud menengokan kepalanya ke belakang. Seringaian yang berada di wajahnya membuat sang ketua gang bergidik, sementara mata birunya yang tajam seolah menusuk jiwanya.

Bukankah harusnya orang di depannya ini lemah?! Dari yang ia dengar ketika seseorang membayarnya untuk melukai murid ini, dia adalah murid biasa! Tidak bisa bertarung, tidak spesial, dan tidak mempunyai apapun yang spesial.

Tetapi… apa perasaan ini?

Udara yang ia hirup berasa sangat menyesak. Seluruh badannya gemetar, dan keringat dingin mengucur dari badannya. Tanpa sadar, ia melangkah ke belakang.

Seharusnya, ia sama sekali tidak takut. Ia adalah ketua gang terbesar, dan terkejam di Kuoh. Murid di depannya ini hanya memberikan dia seringaian dan menatap matanya. Seharusnya tidak ada yang ia takuti. Bahkan, seharusnya ia marah. Marah karena sudah diremehkan oleh anak kecil ini.

Tetapi, instingnya berkata lain. Instingnya mengatakan ia untuk lari. Instingnya mengatakan bahwa murid, tidak, makhluk di depannya ini sangat berbahaya. Bagaikan sebuah harimau yang sudah mendominasi hutannya, lalu kemudian bertemu langsung dengan singa.

Perasaan ini…. Seolah dia adalah semut yang melihat kearah gajah.

"Maa, kau tahu, menginterupsi obrolan orang itu sangat tidak sopan."

Untuk pertama kalinya, Ichimiya Maeda merasakan teror menghampiri tubuhnya hanya dari kata-kata itu. Orang di depannya tidak mengatakannya dengan marah. Tidak mengatakannya dengan tanpa emosi. Yang membuat Maeda bergidik ngeri adalah bagaimana makhluk di depannya mengatakannya dengan ceria. Dengan nada seseorang yang bercanda.

Orang yang bernama Naruto itu membalikan badannya. Tangan kirinya berada di saku celananya, sementara tangan kanannya berada di luar. Dengan pelan, Naruto melangkah kearah Maeda.

Maeda tanpa sadar melangkah ke belakang setiap Naruto melangkah menuju dirinya.

SEGH!

"Uhuk uhuk!"

Tanpa sadar, Naruto berada di depannya dan memberikannya chop kepada tenggorokannya. Walaupun tenaga yang digunakan adalah tenaga seorang remaja lelaki biasa, karena mengenai tenggorokannya dengan keras, membuat Maeda terbatuk-batuk dengan sakit sambil memegang tenggorokannya.

Masih dengan satu tangan di sakunya, Naruto mengayunkan kakinya dengan kasual ke belakang lutut sang ketua gang itu. Karena tidak ada tenaga, walaupun 'tendangan' yang diberikan Naruto ke belakang lututnya bisa dibilang sangat lemah, itu berhasil membuat sang ketua gang terjatuh dengan berlutut.

Di belakang Naruto, Hilda hanya membuang nafasnya lega. Menjadi Ratu dan pelayan Naruto selama 7 tahun, Hilda tahu betul seberapa kuatnya Naruto. Itu membuatnya sedikit merasa bersalah karena sudah meremehkan Masternya.

"Nah, sekarang," Naruto kembali berkata. "Bisa beritahu aku, siapa yang sepertinya mempunyai masalah denganku?" Tanya Naruto, sebelum menghantamkan lututnya ke bagian di bawah tulang rusuk sang ketua gang itu.

"Akh!'

Walaupun tidak terlempar, Maeda mengeluarkan darah dari betapa sakitnya hantaman yang diberikan, membuat ia terjatuh terbaring di aspal. Bagian tepat di bawah tulang rusuk adalah salah satu bagian lemah tubuh manusia. Ketika dipukul dengan tenaga biasa, akan sangat sakit. Naruto menghantamkannya memakai lututnya dengan sangat kuat.

"A-apa…. A-apa aku mendapatkan o-orang yang salah?" Maeda menggumam kepada dirinya sendiri. Lagipula, dari informasi yang ia dapatkan, orang ini seharusnya sangat lemah. Apa mungkin orang yang membayarnya membohonginya?

Naruto hanya terkekeh ketika mendengar gumaman sang ketua geng yang terbaring di bawahnya ini.

"Apa… Apa kau benar…" Maeda menggumam. Naruto hanya menaikan alisnya. "Apa kau benar… Naruto… Astaroth…?"

Ketika Maeda selesai menggumam itu, ia tahu ia dalam masalah besar. Seringaian, dan aura ceria yang daritadi dimilik Naruto menghilang, digantikan dengan wajah yang serius. Maeda meneguk ludahnya dengan takut ketika mata birunya itu menatapnya dengan tajam, tanpa seringaian.

"Hilda," Naruto memanggil. Nada cerianya menghilang. "Barrir." Perintahnya tanpa melihat kearah Hilda, tidak melihat Hilda mengangguk dengan serius.

Ketika merasakan Hilda sudah membuat barrir, tangan Naruto langsung saja mencekik Maeda, membuat mata Maeda melebar karena betapa kerasnya cekikan Naruto. Ia semakin dikejutkan ketika Naruto mengangkat badannya, badannya yang tingginya dua meter dan berotot penuh, dengan mencekiknya dengan satu tangan.

Maeda mencoba melepas tangan Naruto, tetapi entah kenapa, walaupun mempunyai figur yang lemah gemulai bagaiakan remaja biasa, ia sama sekali tidak bisa melepas cekikan Naruto.

BUKH!

"AAAGH!"

Naruto menghantam Maeda ke sisi samping gedung, membuat gedung itu retak. Maeda melebarkan matanya, dan berteriak sakit. Ia bisa merasakan beberapa tulangnya retak karena ini.

Naruto melepaskan cengkramannya dari leher Maeda, membuat Maeda terjatuh dengan lemah dengan posisi duduk menyender ke dinding gedung itu. Bebatuan akibat retakan yang disebabkan diatasnya mengenai kepalanya.

Naruto membungkukan badannya untuk melihat Maeda di mata. Membuka telapak tangan kanannya, sebuah kunai muncul dengan cahaya kuning, membuat mata Maeda melebar. Terkejut melihat keanehan yang terjadi di depannya, sekaligus takut melihat apa yang akan dilakukan makhluk di depannya ini dengan pisau.

Masih dengan ekspresi serius, tangan kiri Naruto mencengkram dagu Maeda dengan kuat, sementara tangan kanannya yang memegang kunai menekankan kunainya ke leher Maeda, membuat mata Maeda melebar dan badannya bergidik.

"Bicara." Perintah Naruto dengan nada dingin. Matanya yang dingin menatap tajam Maeda.

Selama tiga tahun berada di Jepang, Naruto selalu memakai nama 'Uzumaki Naruto'. Ia sama sekali tidak pernah mengutarakan 'Astaroth' selama di Jepang ini. Begitupun juga dengan Rias, Sona dan peerage mereka masing-masing. Sebagian besar yang direinkarnasi setelah mereka bertiga sudah berada di Jepang mengenalnya sebagai 'Uzumaki Naruto', dan bahkan ada beberapa yang tidak tahu bahwa nama sebenarnya adalah 'Naruto Astaroth'. Sona dan Rias juga sama sekali tidak pernah memanggil dia dengan nama Astaroth, selalu memanggilnya dengan nama depannya, dan dalam keadaan formal untuk sekolah, selalu memakai Uzumaki.

Untuk manusia ini, yang dari apa yang ia bilang, dibayar seseorang untuk menghajar Naruto, mengetahuinya dengan nama 'Naruto Astaroth', berarti ini bukanlah kejadian biasa.

Ada seseorang, seseorang yang mengetahuinya karena statusnya di Dunia Bawah, dan ingin menyakitinya.

Tetapi, menggunakan bantuan manusia biasa? Berandalan sekolahan biasa, apalagi. Itu yang sangat membingungkan.

Ia sudah tidak asing lagi dengan kejahatan yang orang-orang, iblis lain, ingin dilakukan kepadanya. Mempunyai status sebagai 'Pewaris Keluarga Astaroth' saja sudah membuat dirinya dalam bahaya. Belum lagi bahwa fakta kalau dia adalah adik dari Satan sendiri, Ajuka Beelzebub. Dan itu juga masih belum memperhitungkan bahwa dia adalah adik dari seorang jenius yang menciptakan Evil Pieces, Evil Pieces yang membuat faksi Iblis kini menjadi faksi yang sangat kuat dan membuat dua faksi lain marah. Belum lagi dengan fakta bahwa ia hampir sama sekali tidak mempunyai energi sihir sama sekali, mempunyai fisik yang lemah, dan hawa keberadaan yang kecil. Ia dilihat sebagai Iblis lemah, selemah-lemahnya seorang Iblis.

Asasinasi, manipulasi, bahkan hal sesimpel intimidasi dari orang lain, ia sudah pernah mengalami semuanya. Jadi, hal seperti ini, ia sudah familiar. Tetapi ini hampir tidak pernah terjadi lagi ketika ia pergi ke Jepang bersama Rias dan Sona. Para Iblis yang penasaran dengannya hanya tahu ia sedang berada di dunia manusia. Mereka tidak tahu tepatnya dimana. Yang mengetahui itu adalah orangtuanya, anggota Klan Sitri, Gremory, dan Astaroth.

Karena itu ketika melihat manusia ini, memanggilnya dengan nama Astaroth, ia sangat terkejut.

"A-aku tidak tahu apa-apa, sumpah!"

Lelaki besar di depannya itu berseru. Matanya menatap kearah Naruto dengan teror di wajahnya. Walaupun tangan kirinya mencengkram dagu lelaki itu dengan keras, ia masih bisa merasakan bagaimana merindingnya lelaki itu.

Naruto menekankan kunainya ke lehernya, ujung tajam kunainya mengiris kulit lelaki besar itu sedikit, mengeluarkan darah.

Lelaki itu melebarkan matanya.

"Perempuan! Se-seorang perempuan menyuruhku untuk menghabisimu!" Lelaki itu akhirnya berbicara.

Naruto menyipitkan matanya. Perempuan?

Ia menekankan lagi kunainya ke lehernya.

"Akh!" Teriak lelaki itu, merasakan kunai yang dimiliki Naruto semakin menekan lehernya. "Wa-waktu itu dia ti-tiba-tiba saja datang! Dia me-menyuruh kita untuk menghajar se-seseorang bernama Naruto Astaroth!" Lelaki itu kembali berbicara. "A-awalnya aku kira dia bercanda, karena namanya tidak terdengar se-seperti orang Jepang. Di-dia kemudian memberikan deskripsi. Rambut pirang, ma-mata biru.. Dia bahkan memberikanku foto! Fo-fotonya ada di kantung celanaku!"

Mendengar itu, Naruto melepaskan cengkraman dan kunainya dari lelaki itu untuk mengecek 'foto' yang dimaksud lelaki itu. Menemukannya, Naruto mengambilnya dari kantungnya.

Foto itu adalah foto dirinya, memakai seragam Kuoh. Di sampingnya, yang harusnya ada Hilda, telah dipotong untuk hanya fokus pada wajahnya saja.

'Berarti mereka hanya mengincarku.' Pikir Naruto. Ia kemudian mencekik lelaki itu, sambil menghantamnya lagi ke dinding yang ada di belakangnya. Tangannya yang memegang kunai kini ia tempelkan ke pipinya, membuat lelaki itu merinding takut.

"Kapan ini terjadi? Siapa perempuan ini?" Naruto bertanya lagi dengan nada tajam.

"Ke-kemarin! Sumpah kemarin!" Jawab lelaki itu dengan panik ketika Naruto menekankan kunainya ke pipinya. "Pe-perempuan itu, terlihat se-seperti remaja bi-biasa. Di-dia bi-bilang kau adalah anak SMA bi-biasa, yang ba-bahkan tidak bisa be-bertarung. A-aku ingat di-dia sangat aneh karena dia memakai pakaian cosplay!"

Naruto menyipitkan matanya. "Cosplay…?" Gumamnya pada dirinya sendiri.

Lelaki itu mengangguk dengan takut. "Y-ya! Co-cosplay ninja!" Ketika merasakan Naruto menekankan kunainya lagi ke pipinya, kali ini mengirisnya, mengeluarkan darah, lelaki itu semakin panik. "S-SUMPAH! A-aku tidak bohong! Ka-kalian bisa tanyakan pada a-anak buahku!" Ketika Naruto tidak lagi menekankan kunai di pipinya dengan kencang, lelaki itu kembali mmelanjutkan, "Dia me-memakai pakaian co-cosplay seperti ninja, kau tahu? Sp-spandex ketat berwarna hitam, sepatu boots berwarna hitam, ba-bahkan sebuah pedang di belakangnya."

Naruto hanya menyipitkan matanya. Otaknya sudah mulai berputar untuk mencoba mengetahui identitas perempuan yang dimaksud lelaki di depannya ini.

"A-aku tidak bisa melihat wajahnya, karena bagian mulut, sampai hidungnya tertutup oleh sp-spandex hitam itu, seperti di manga manga. Rambutnya hitam, se-sehitam langit malam… Te-tetapi yang pa-paling aneh… Matanya. Ma-matanya bagaiakan merah darah. Ma-mata itu tidak mempunyai kehidupan sama sekali di dalamnya. A-aku seperti melihat mayat berjalan. Ba-bahkan bagaimana ia berbicara, sama sekali tidak ada emosi di suaranya…"

Semakin Naruto mendengar deskripsi itu, semakin mengkerut keningnya karena bingung. Ia bisa merasakan lelaki di depannya tidalkan berbohong.

Naruto kemudian menghantamkan lelaki itu ke dinding di belakangnya, kali ini, dengan sangat keras, hantamannya membuat lelaki itu pingsan. Setelah melakukan itu, Naruto kembali berdiri, wajahnya yang serius sangat berbeda sekali dengan wajah cerianya yang biasa.

"Hilda," Panggil Naruto, melihat kearah Ratu-nya yang daritadi hanya diam dan melihat semua itu dengan wajah yang serius. "Hapus memori mereka. Tentang perempuan itu. Tentang kita." Perintah Naruto.

Hilda mengangguk, menyadari keseriusan yang ada di nada Naruto.

"Hai, Master."

Mereka tidak menyadari sepasang mata merah mengawasi mereka.


"Apakah ini perbuatan faksi Satan Tua?"

Hilda berkata, ketika mereka berdua sudah sampai di rumah. Atmosfir tegang masih mengelilingi mereka, masing-masing memikirkan perkataan yang diucapkan lelaki tadi. Naruto berada di ruang utama, duduk di sofa yang menghadap TV. Wajahnya mempunyai ekspresi seolah ia sedang memikirkan sesuatu.

"Kita masih belum tahu tentang itu." Adalah jawaban Naruto.

Apa yang dikatakan Hilda masuk akal. Ia terkenal sebagai Iblis yang lemah, lagipula. Malaikat Jatuh, ataupun Malaikat, malah akan senang jika Iblis lemah sepertinya mempunyai status tinggi. Akan mudah diintimadasi, atau dieleminasikan, jika mereka mau. Dan satu-satunya alasan mereka ingin mengeleminasikannya di umurnya yang muda seperti ini kemungkinan besar jika mereka ingin membuat kembali Perang Besar, melihat ia adalah adik dari Beelzebub sendiri.

Untuk kaum Iblis, ia dipandang dengan hina dan cerca. Banyak dari mereka tidak sudi bahwa Iblis yang mempunyai energi sihir lebih kecil dari manusia sendiri mempunyai status yang tinggi seperti dirinya. Dari beberapa percobaan asasinasi yang ia pernah hadapi, hampir semuanya berasal dari faksi Iblis sendiri.

Tetapi yang membuatnya hesitan bahwa ini adalah ulah seseorang dari faksi Iblis hanyalah satu. Bagaimana mereka menyuruh segerombolan berandalan biasa untuk menghabisinya.

Iblis adalah makhluk yang mempunyai harga diri yang tinggi. Mereka merasa bahwa manusia berada di bawah mereka. Manusia diasosiakan dengan kata lemah. Menurut mereka, manusia hanyalah sumber kekuatan untuk menambah kekuatan mereka.

Jadi, ia ragu ada Iblis yang menyuruh sekumpulan manusia biasa untuk mencoba melukai, atau mungkin membunuh orang dengan status tinggi sepertinya.

Kling

Ia terhenti dari pikirannya ketika ia melihat Hilda menaruh secangkir teh hangat di depannya, walaupun ia tidak memintanya. Menggeleng-gelengkan kepalanya dengan senyuman halus di wajahnya, ia menyisipi tehnya.

Ketika menyenderkan badannya di sofa, ia merasakan sepasang tangan halus memegang pundaknya dengan gentle dari belakang. Menengok ke belakang, ia mendapatkan Hilda, masih dalam seragam Kuoh-nya, tersenyum kecil kearahnya.

Melihat Hilda tersenyum, dalam keadaan apapun, selalu bisa menaikan semangatnya.

"Jangan terlalu overthinking, Master." Suara lembut Hilda berkata. Tangannya yang tadi hanya sekedar menyentuhnya kini mulai memijatnya, membuat Naruto mengerang dengan nikmat sedikit.

Mengambil remote TV yang ada di sampingnya, Naruto menyalakan TV yang berada di depannya selagi menikmati pijatan yang diberikan Hilda.

"Aku tidak bisa untuk tidak overthinking setelah kejadian itu." Naruto menjawab, mengganti channelnya ke sebuah channel yang menayangkan anime sore. Episode terbaru dari anime populer, Yaruto, terlihat tayang.

"Aku tahu." Hilda kembali berkata sambil memijit pundak Masternya. Ia bisa merasakan otot-otot kaku Masternya, membuat Hilda menggelengkan kepalanya sedikit. "Tetapi bukan berarti kau harus menghabiskan waktumu mengkhawatirkannya."

Naruto hanya tersenyum miris. "Aku hanya khawatir untukmu, kau tahu? Aku tidak ingin kau terluka karenaku."

Di TV di depan mereka, terlihat bagaimana Yaruto ini mengalahkan Niji di Ujian Juunin Ninja mereka setelah Yaruto menceramahi Niji.

"Itu harusnya apa yang kukatakan kepadamu." Hilda menjawab dengan halus sambil menghela nafasnya, kedua tangannya masih memijat leher Naruto. "Sungguh Master, kau terlalu sering mengkhawatirkan orang lain, kadang kau lupa kalau orang lain juga khawatir untukmu, tahu."

Naruto hanya terkekeh mendengar itu.

"Perempuan bermata merah dengan pakaian cosplay, huh?" Hilda kembali berkata sambil memijat pundak Naruto. "Susah dipercaya, menurutku." Lanjutnya.

"Dia tidak berbohong, aku tahu itu. Entah perempuan ini tidak tahu bagaimana caranya untuk 'berbaur', atau dia tidak terlalu perduli kalau dia menarik perhatian. Dan untuk seorang asasin, jika memang dia seorang asasin, yang terakhir bukanlah opsi yang bagus." Ucap Naruto yang harus menahan erangan nikmatnya sedikit ketika Hilda memijat bagian yang benar-benar pegal.

"Apa kita harus menghubungi Minato-sama, atau Ajuka-sama tentang ini?" Hilda bertanya lagi.

"Aku rasa tidak," Jawab Naruto. Hilda menatap kearah Naruto dengan khawatir. Melihat pandangan khawatir Hilda, Naruto menjelaskan, "Aku tidak ingin merepotkan Tou-san dan Ajuka. Tou-san masih sibuk dengan urusan yang berada di klan. Tentang Ojii-sama, Diadora, dan anggota klan lainnya yang tidak konten dengan situasi mereka. Belum lagi dengan hubungan politik dengan keluarga Pillar lainnya. Ajuka adalah orang yang sibuk. Dengan riset dan penelitiannya yang banyak, belum juga mengurusi Divisi Intel, aku tidak ingin merepotkannya lagi setelah aku baru saja merepotkan dia dengan meminta file itu."

Hilda menggelengkan kepalanya mendengar itu. "Kau adalah anak, atau adik mereka yang tersayang. Tentu mereka akan meluangkan waktu mereka untukmu. Apalagi untuk masalah seperti ini." Ucap Hilda dengan lembut. Naruto hanya diam, membuat Hilda menghela nafasnya. "Kalau begitu, bagaimana dengan Kushina-sama?"

Membayangkan ia mengatakan kepada ibunya yang overprotektif kalau seseorang sepertinya mengincar nyawanya saja sudah membuat Naruto pucat.

Hilda tertawa kecil. "Sepertinya tidak."

Selama beberapa menit, mereka hanya membiarkan keheningan yang nyaman menghampiri mereka. Atmosfir serius yang tadi sudah tidak ada lagi, masing-masing mencoba untuk tidak memikirkan kejadian yang tadi untuk sementara.

Hilda hanya terus memijit Masternya dengan senyuman yang biasanya jarang terlihat di wajahnya, sementara Master yang dimaksud hanya menyenderkan badannya ke sofa, menikmati sentuhan lembut Hilda.

Momen momen seperti ini yang membuat ia ingin waktu tidak berjalan, pikir Naruto. Hanya ia dan Hilda, ia dan sahabatnya, menikmati keberadaan satu sama lain.

"Master, aku akan pergi belanja untuk bahan makan malam nanti." Hilda berkata, menghentikan pijitannya ketika matanya menatap jam dinding yang berada di ruangan. Sudah pukul 5 sore.

Mendengar itu, Naruto juga berdiri dari sofanya. "Biarkan aku menemanimu." Ucapnya, membuat Hilda menaikan alisnya. Melihat pandangan bingung Hilda, Naruto menjelaskan, "Dengan adanya Malaikat Jatuh, dan sekarang… perempuan ini, aku rasa aku khawatir jika aku meninggalkanmu sendiri."

Mendengar itu Hilda menggeleng-gelengkan kepalanya dengan senyuman di wajahnya.

"Harusnya aku yang mengatakan itu padamu, Master." Balas Hilda, membuat Naruto terkekeh.

Melangkah keluar lagi, masih dengan seragam SMA Kuoh mereka, Naruto dan Hilda berjalan bersama kearah supermarket yang lumayan jauh, menikmati udara sore hari yang pas. Tidak terlalu hangat, dan tidak terlalu dingin juga.

Ketika sudah berada di tengah jalan, Naruto menyadari sesuatu yang aneh.

Jalan yang mereka lewati sepi. Terlalu sepi. Ini adalah waktu sore, dan mereka berada di dekat sekitar taman untuk menuju ke supermarket. Pada saat seperti ini, area ini biasanya selalu ramai, dengan banyak orang dari berbagai umur menikmati sore hari dengan menghabiskan waktu di taman.

Naruto melihat kearah Hilda, menyadari dari postur tubuhnya, Hilda lebih siaga dari biasanya. Sepertinya Hilda menyadarinya juga. Menyadari ia menatapnya, Hilda memalingkan kepalanya kearah Naruto juga. Walaupun tidak berbicara, dari matanya, Naruto tahu apa yang ingin Hilda katakan.

Berbahaya.

Naruto hanya membiarkan seringain terukir di wajahnya. Jika perempuan yang dimaksud lelaki tadi ini muncul, maka ia tidak perlu repot-repot mencarinya lagi. Ini akan membuat pekerjaannya lebih mudah. Ia akan sibuk beberapa minggu ini, lagipula, dengan masalah Malaikat Jatuh dan Hyoudou Issei yang masih belum diatasi.

WHUSH!

Disaat Naruto memikirkan itu, kupingnya mendengar suara angir yang terbelah di belakangnya.

"Bouclier."

Terdengar suara Hilda berkata, dan tepat ketika Hilda mengatakan itu, sebuah perisai tak terlihat muncul di belakangnya, memblok tiga buah shuriken yang tadinya akan menusuk badannya.

Naruto mencoba melihat kearah sumber dimana projektil itu dilempar, tetapi tidak menemukan siapa-siapa disana. Menyipitkan matanya, Naruto—

SWISH!

Naruto melebarkan matanya ketika dari arah lain, sebuah projektil yang berbentuk aneh mmeluncur kearah Hilda. Hilda dengan mudah menghindarinya dengan memiringkan badannya, tetapi tiba-tiba saja, projektil itu meledak, mengeluarkan sebuah asap berwarna hijau, mengejutkan Hilda dan Naruto.

"Hilda!" Seru Naruto dengan khawatir kepada Ratu-nya. 'Bau ini.. Tidak salah lagi, racun.' Ia kemudian melihat kemana sumber projektil tadi dilempar, kali ini mendapatkan seorang figur.

Seperti apa yang lelaki tadi bilang, itu adalah seorang perempuan. Bajunya lebih terlihat seperti cosplay daripada baju biasa, jika orang biasa melihatnya. Spandex hitam yang lebih fleksibel daripada baju biasa, membuat pemaiakan lebih fleksibel dan mempunyai gerakan penuh atas tubuhnya. Sepatu boots berwarna hitam yang digunakan agar langkahnya tidak menghasilkan suara. Sarung tangan berwarna hitam yang mempunyai besi di belakangnya, untuk memblok sesuatu yang tajam. Sebuah pedang yang berada di punggungnya.

Naruto menatap mata perempuan itu. Mata merahnya tidak memandang Naruto dengan emosi di dalamnya sama sekali. Mata itu sangat… kosong. Bukan mata seorang manusia yang mempunyai kehidupan.

Naruto tahu seseorang yang menutup emosinya. Seseorang yang menutup emosinya masih mempunyai emosi di dalam diri mereka, mereka hanya tidak membiarkan emosi mereka terlihat. Mata mereka masih memancarkan emosi.

Tetapi perempuan ini…. Matanya sama sekali bukan mata seseorang yang hidup. Seperti apa yang laki-laki itu bilang tadi, seolah menatap mata seorang mayat.

"Uhuk uhuk!"

Mendengar suara batuk Hilda, Naruto melebarkan matanya. Dengan ceroboh, ia memasuki kebulan asap yang masih mengelilingi Hilda, mencoba melihat keadannya.

Hilda kini berlutut, memegang tenggorokannya dengan sakit. Tanpa mengatakan apa-apa, Naruto merangkul Hilda, dan membawanya keluar dari kepulan asap itu.

Tepat pada saat itu, dari ujung matanya, ia melihat tiga shuriken melesat kearahnya. Dengan Hilda yang masih berada di rangkulannya, ia memanuver tubuhnya untuk menghindari shuriken itu, dan mulai lari dari tempat itu, untuk memberikan waktu untuknya dan Hilda.

Naruto bisa merasakan perempuan itu mengikutinya di belakang. Ia memberhentikan langkahnya sebentar untuk membaringkan Hilda di tanah dan mengeceknya sebentar selagi ia bisa.

Naruto menekankan jarinya ke nadi Hilda, menyadari nadinya masih berdenyut dengan normal, membuatnya membuang nafasnya lega. Mengecek suhu temperaturnya, Hilda mempunyai suhu normal seperti biasa. Yang bermasalah sepertinya hanyalah tenggorokannya saja.

SWISH!

Naruto dengan cepat mengangkat tubuh Hilda, dan menggendongnya sekaligus menghindari tiga buah shuriken lagi yang meluncur kearahnya.

Naruto melihat kearah perempuan itu sambil menyipitkan matanya. Satu-satunya hal yang membuat Naruto pasti itu adalah perempuan hanyalah karena figur, dan bentuk wajah feminimnya. Walaupun perempuan, dadanya sangat rata sekali, hampir sama sekali tidak ada tonjolan di bagian dada, walaupun perempuan itu memakai spandex. Dan juga rambutnya. Rambut hitamnya diikat menjadi high ponytail, dengan ujung ponytailnya mencapai bahunya. Dua helai poni yang panjang melingkari wajahnya. Mata merah eksotisnya menatap mata biru Naruto dengan tanpa emosi di dalamnya.

Jika perempuan itu mempunyai sebuah kehidupan di matanya, dan mungkin tersenyum, Naruto mungkin bisa mengatakan perempuan yang di depannya ini cantik.

Naruto menggelengkan kepalanya. Ini bukanlah saatnya untuk memikirkan hal seperti itu.

"Tenang saja."

Naruto mengedipkan kedua matanya ketika mendengar perempuan itu membuka mulutnya. Kata-kata yang ia ucapkan tidak mempunyai emosi sama sekali, ia seolah mendengar robot berbicara. Dan robot bahkan setidaknya mempunyai nada yang menandakan emosi jika mereka berbicara, tetapi perempuan di depannya? Tidak.

"Perempuan itu hanya menghirup racun yang tidak berbahaya. Itu hanya akan membuatnya pingsan dan tenggorokannya sakit selama beberapa hari." Perempuan itu kembali berkata, nadanya tidak mempunyai emosi sama sekali.

Naruto hanya tersenyum kecut mendengar itu. "Kau sungguh sangat baik untuk memberitahu musuhmu racun apa yang kau pakai." Ucap Naruto dengan sarkastiik.

"Targetku bukan dia. Membiarkan dia sadar, dan ikut bertarung akan menyusahkan." Suara lembut tanpa emosi itu menjawab, seolah tidak menyadari sarkasme yang digunakan Naruto.

Naruto mengedipkan kedua matanya. "Kau tahu, asasin biasa, tunggu, apa kau seorang asasin? Asasin biasa hanya akan membunuh seseorang jika seseorang itu menghalangi mereka."

"Tugasku membunuhmu, bukan membunuh perempuan itu." Perempuan itu menjawab dengan simpel.

Naruto harus menahan sweatdropnya, seolah tidak khawatir bahwa dugaannya benar, kalau perempuan itu mencoba membunuhnya.

Menghela nafasnya, Naruto membaringkan Hilda lagi di tanah. Sang asasin hanya menatap aksinya. Mengeluarkan sebuah kertas kecil dari kantungnya, dan sebuah pulpen, Naruto mulai menuulis sesuatu di atas kertas itu.

Selesai, Naruto menempelkan kertasnya di perut Hilda.

Sang asasin menyaksikan semua itu sambil memiringkan kepalanya, seolah bingung dengan apa yang Naruto lakukan.

Membuat sebuah tanda dengan tangan kanannya, Naruto menggumamkan satu kata.

"Hiraishin."

Dan dalam sekejap, tubuh Hilda menghilang, bagaikan diisap cahaya kuning yang berasal dari kertas itu.

Satu-satunya reaksi yang diberikan sang asasin hanyalah sebelah alisnya yang naik sedikit ketika melihat itu.

Selesai melakukan itu, Naruto mulai berdiri dan meregangkan lehernya, seringaian berada di wajahnya. Membuka telapak tangannya, sang asasin melihat dengan wajah penasaran sebuah kunai muncul dalam cahaya kuning.

"Baiklah," Naruto akhrinya berkata. "Sebelum kita mulai, bisa aku tahu namamu?" Tanya Naruto.

"….Aku tidak terlalu bodoh untuk memberikan namaku kepada seseorang yang mungkin bisa melacakku nanti."

Naruto harus menahan sweatdropnya. Asasin biasanya adalah orang yang sekretif. Tetapi kadang ketika Naruto menanyakan sesuatu pada mereka, mereka selalu menjawabnya, dengan kepercayaan bahwa apapun yang mereka katakan tidak akan berguna untuk Naruto karena Naruto akan mati.

Ia sudah mempunyai sekitar 3 percobaan asasinasi. Ia selamat pertama kali karena ada Ajuka bersamanya. Ia selamat yang kedua kali ketika anggota peerage Serafall, Behemoth, menolongnya. Ia selamat yang ketiga kali, ketika sang asasin meremehkan Hilda dan pingsan karena ilusi Hilda. Dan biasanya, setelah ini terjadi, ia selalu memakai informasi yang mereka berikan dengan gratis untuk membantu Ajuka mencari tahu siapa yang menginginkannya mati.

…..Intinya, yang ia lakukan hanyalah mengulurkan waktu untuk seseorang menyelematinya selama ia mengambil informasi dari sang asasin. Tetapi melihat bagaimana perempuan ini sudah menyiapkan barir, dan juga sudah mengantisipasi Hilda, Naruto tahu ia kini sendiri.

"Kalau begitu," Naruto kini mengganti pertanyaannya. "Boleh aku tahu siapa yang ingin aku mati?" Tanyanya. Dari apa yang ia rasakan, perempuan di depannya ini 100% seorang manusia. Entah perempuan itu mempunyai Sacred Gear, atau Magician, atau yang lainnya, Naruto masih tidak tahu.

"Entahlah. Aku hanya melakukan apa yang disuruh." Perempuan itu berkata sebelum mengeluarkan pedang yang berada di punggungnya, dan meluncur kearah Naruto.

Naruto melebarkan matanya sedikit, melihat kecepatan perempuan di depannya. Ia dengan sempat memblok ayunan kodachi perempuan itu ke kepalanya dengan kunai pendeknya.

'Sebuah organisasi, kalau begitu.' Pikir Naruto, selagi ia menghindari ayunan kaki perempuan itu yang mengarah pada kakinya, mencoba menjatuhkannya.

Setahunya, ada dua tipe asasin. Asasin yang bekerja sendiri, yang mendapatkan pekerjaan karena sudah mempunyai reputasi yang tinggi dan kontak yang luas, dan sebuah Asasin yang dipunyai sebuah organisasi tertentu. Untuk asasin yang bekerja sendiri, mereka melakukan asasinasi yang mereka mau, sementara yang bekerja di bawah organisasi melakukan asasinasi yang disuruh oleh atasannya.

Dan melihat jawaban perempuan itu, bisa ia asumsikan perempuan itu adalah asasin dari sebuah organisasi.

Perempuan itu mengayunkan lagi kodachi-nya ke kepalanya, yang dengan mudah ia blok oleh kunainya. Ketika sudah diblok, perempuan itu langsung saja mencoba menusuknya tepat di jantungnya. Naruto menghindarinya dengan mundur sedikit.

Perempuan itu kemudian mengeluarkan sebuah kunai, yang hampir mirip dengan miliknya, ke tangannya, lalu melemparkannya ke arah kepala Naruto sambil melompat ke belakang, mencari jarak dari Naruto.

Naruto dengan mudah menghindari kunai itu, sebelum ia melebarkan matanya, menyadari sesuatu—

Boom!

Ledakan kecil terciptka, menutupi figur Naruto dengan asap. Sang perempuan itu menatap asap itu dengan keras, ingin mengetahui apakah targetnya sudah mati atau tidak.

Ketika asapnya sudah menghilang, ia tidak menemukan siapa-siapa disana. Tidak ada tanda-tanda targetnya sama sekali.

"Sheesh, hampir saja."

Telinganya yang tajam mendengar suara dari dibalik pohon. Sang asasin mengedipkan kedua matanya, baru menyadari mereka berada di pinggiran area hutan Kuoh. Apakah targetnya dengan sengaja membawa dia kesini, agar ia bisa bersembunyi diantara pepohonan pepohonan ini?

Menggelengkan kepalanya, sang asasin itu memilih untuk tidak memperdulikannya. Mengambil kembali kunai peledaknya, ia melemparkannya kearah pohon dimana ia mendengar suara targetnya.

Boom!

Suara ledakan terdengar ketika, dan pohon yang dimaksud tumbang. Ia melihat sebuah bayangan melompat ke pohon lain, dan dengan cepatia melemparkan tiga shuriken itu ke bayangan itu.

Melihat tiga shuriken mengarah kearahnya, Naruto dengan mudah menghindari dan bersembunyi lagi di balik pohon lainnya.

"Oy oy! Sabar! Biarkan aku istirahat!" Komplainnya, yang hanya dibalas dengan suara angin, suara tancap, ledakan, dan lalu pohon yang ia jadikan tempat persembunyian tumbang.

"Akan sangat menyulitkan untukku jika aku membiarkanmu istirahat." Jawab sang asasin itu dengan monoton. Ia mulai melangkah ke dalam hutan itu. Tidak ada bagusnya jika ia hanya melempari shuriken dan kunai, melihat betapa ahlinya targetnya dalam menghindar.

Itu agak membuatnya terkejut, karena dari profil yang ia diberikan, targetnya adalah orang lemah, seperti manusia biasa.

"Jadi, ada apa denganmu, kenapa kau menjadi asasin?" Sebuah suara terdengar di telinga sang asasin itu. Walaupun sudah berada di dalam hutan, sang asasin ini agak kesulitan melokasikan suara Naruto. "Balas dendam? Loyalti pada seseorang? Terpaksa? Atau hanya karena menyenangkan? Tetapi melihatmu, aku merasa kau tidak tahu konsep menyenangkan."

Melokasikan suaranya, sang asasin langsung melesat ke pohon yang ada di kirinya, kedua tangannya memegang kodachi-nya dengan kuat. Berada di depan pohon itu, sang asasin mengayunkan kodachi-nya.

SRET!

Pohonnya terbelah dua dengan sempurna, dan di belakang pohon itu, sang asasin bisa melihat targetnya melebarkan matanya. Tanpa menunggu waktu lagi, sang asasin mengayunkan pedang pendeknya ke arah Naruto, yang dengan mudah diblok dengan kunainya sendiri. Sudah mengira hal ini akan terjadi, sang asasin mengayunkan kakinya ke perut Naruto, berusaha menendangnya, tetapi bisa dihindari dengan mudah oleh Naruto.

Naruto memutuskan untuk menyerang, kali ini melemparkan kunainya ke kepala sang asasin dari jarak dekat mereka. Sang asasin itu bisa dengan mudah menghindarinya, tetapi ia tidak siap dengan tendangan yang diberikan Naruto langsung setelah ia melemparkan kunai itu, hanya dapat membloknya dengan tangannya. Naruto menyeringai. Memutarkan badannya, Naruto mencoba menendangnya dengan kaki yang satu lagi, tetapi kali ini dapat dihindari oleh sang asasin yang hanya meloncat ke belakang.

Melihat itu, Naruto menyeringai.

Sang asasin tidak tahu apa yang terjadi. Ia melihat Naruto di depan matanya sendiri, tetapi beberapa saat kemudian, Naruto menghilang dalam cahaya kuning dan disaat yang bersamaan, ia merasakan seseorang menendang punggungnya, membuat matanya melebar terkejut.

Tendangannya menghempaskannya ke depan, tetapi karena tidak terlalu keras, ketika di udara, ia bisa memanuver tubuhnya untuk mendarat di kedua kakinya sendiri. Sang asasin meloncat ke belakang lagi, menjaga jaraknya dari Naruto, sedikit khawatir dengan kekuatan baru yang dilihatkan targetnya itu.

Naruto memakai kesempatan itu untuk kembali masuk ke dalam hutan, dan bersembunyi.

Sang asasin hanya menyipitkan matanya.

"Aku dalam presumsi kalau kau tidak bisa memakai sihir." Suara feminin nan monoton sang asasin terdengar keras di hutan yang sunyi ini.

"Maa, maa~ Sihir itu ada berbagai macam, lagipula."

Sebuah suara menjawabnya. Sang asasin tahu suaranya berada di sekitar area di depannya. Tetapi ia tidak bisa mengetahui lokasi akuratnya.

"Jadii~" Suara milik Naruto terdengar lagi. "Balik kepada pertanyaanku yang tadi. Apa ada alasan kenapa kau menjadi asasin?"

"…" Sang asasin hanya memberikan keheningan. "Aku dibuang oleh orangtuaku." Pada akhirnya, sang asasin menjawab.

Dari balik tempat persembunyiannya, Naruto hanya mengedipkan kedua matanya, terkejut. Bukan karena jawaban asasinnya, tetapi asasinnya ini tidak ingin menyebutkan namanya, tetapi dengan rela memberikan informasi personal seperti ini.

"Kau menjawab pertanyaan seperti itu tetapi tidak rela memberikan namamu?" Nada sweatdrop Naruto bisa terdengar.

"Aku tidak bisa melihat bagaimana informasi seperti itu bisa berguna untukmu." Adalah jawaban monoton asasin itu. Menemukan lokasi Naruto, asasin itu melemparkan salah satu kunai peledaknya.

Boom!

Tetapi ketika pohon itu tumbang, ia tidak melihat targetnya.

"Jadi, kau diabaikan orangtuaku, dan menjadi asasin. Itu cukup tidak masuk akal." Suara Naruto terdengar lagi.

Sang asasin melangkahkan kakinya ke area dimana suara Naruto berada, ingin cepat menemukannya.

"Apa berarti itu balas dendam?" Suara Naruto terdengar lagi. "Kau ingin balas dendam kepada orangtuamu dan menjadi asasin?"

Ketika melangkah ke area itu, sang asasin melihat kunai yang tadi Naruto lempar. Kunai itu agak berbeda dari yang ia sendiri pakai, karena bentuknya yang aneh. Daripada kunai biasa, kunai milik Naruto lebih seperti pisau belati bermata tiga. Design-nya yang aneh itu agak membuat sang asasin penasaran.

Sang asasin mengambil kunainya. Daripada menghabiskan stok kunainya, mungkin ia bisa memakai kunai milik musuhnya saja.

Tepat ketika ia mengambil kunainya, Naruto tiba-tiba saja muncul di depannya dalam cahaya kuning. Tidak sempat bereaksi dengan cepat, sang asasin membiarkan Naruto mengayunkan kakinya ke perutnya, membuat ia terlempar ke belakang, masih dengan kunai Naruto di tangannya.

Ia mencoba memanuver tubuhnya untuk mendarat lagi, tetapi kali ini ia merasakan tendangan ke punggungnya, membuat matanya melebar dengan terkejut, sekaligus mencoba menahan erangan sakitnya.

'Kecepatan macam itu?!' Seru sang asasin. Targetnya tadi berada di depannya dan menendangnya, jelas sekali. Tetapi dalam sekejap ia tiba-tiba saja berada di belakang dan menendangnya lagi.

Masih berada di udara karena hantaman Naruto, sang asasin lagi-lagi melebarkan matanya terkejut ketika dalam kilat kuning, Naruto muncul lagi di depannya, dan kali ini meninju perutnya dengan keras, membuatnya terbatuk mengeluarkan darah.

Menggertakan giginya, sang asasin melempar kunai milik Naruto yang ia pegang tadi kearah pemiliknya, mencoba setidaknya memperlambat Naruto.

Naruto dengan mudah menghindari kunai miliknya. Daripada menyerangnya lagi, Naruto kini meloncat ke belakang, kembali mencoba bersembunyi di balik pohon.

Mendarat dengan susah payah, sang asasin memegang area perutnya yang baru saja ditinju Naruto. Ia mengutuk dirinya sendiri, terlalu meremehkan targetnya ini. Sepertinya 'Naruto' ini lebih kuat dari apa yang ia, dan profilnya duga.

Mengontrol nafasnya, sang asasin kembali berdiri. Ia memperhatikan bagaimana Naruto berhenti menyerang ketika ia melemparkan kunai lagi kearah Naruto, dan bagaimana Naruto tiba-tiba saja dalam mode menyerang tepat ketika ia mengambil kunai itu.

Ia sudah dalam banyak pertarungan. Hal seperti ini bukanlah kebetulan biasa. Kunai itu sepertinya sebuah katalis untuk sesuatu. Apa sesuatu itu, ia masih tidak tahu.

"Jadiiii," Suara Naruto, dari balik pepohonan yang berada di hutan ini terdengar. "Balas dendam kepada orangtuamu, apa aku benar?"

"Tidak." Adalah jawaban perempuan itu. "Orangtuaku memberikanku ke seorang dokter ketika aku kecil. Dokter ternyata dari sebuah organisasi. Kemudian dilatih menjadi asasin." Lanjut perempuan itu. Ia menaruh menancapkan kodachi-nya di tanah di sampingnya, sebelum kemudian merogoh tas kecil yang terikat kakinya, mengeluarkan sebuah pill. Ia langsung saja memakan pill itu, merasakan rasa sakitnya menghilang.

"…..Kau tahu bukan, kalau itu lebih terdengar seperti penculikan daripada orangtuamu menelantarkanmu?" Suara sweatdrop Naruto kembali terdengar.

"Mereka tidak pernah mencoba mengambilku lagi. Jadi aku hanya mengasumsikan mereka menelantarkanku." Perempuan itu menjawab tanpa emosi di nadanya, seolah apa yang dia alami bukanlah suatu hal yang penting. Melihat Naruto tidak akan keluar dari tempat persembunyiannya lagi, perempuan itu kemudian menutup matanya, dan mengatur nafasnya. Mencoba menenangkan dirinya, dan memikirkan lagi apa yang telah terjadi beberapa saat yang lalu.

"Apa kau tidak pernah berpikir untuk mencari orangtuamu, atau meninggalkan 'organisasi' ini? Jelas sekali organisasi ini yang berada di pihak yang salah."

Kunai itu. Perempuan itu tahu jelas apa yang membuat Naruto tiba-tiba menyerang adalah kunai itu. Tepat disaat ia mengambilnya, Naruto muncul di depannya dengan sekejap, menendangnya, lalu muncul di belakang dan menendangnya lagi.

"Tidak terlalu perduli." Perempuan itu menjawab pertanyaan Naruto yang tadi. Kepalanya masih penuh dengan kejadian yang terjadi beberapa saat yang lalu, mencoba mengetahui kekuatan sebenarnya targetnya ini.

"Kau perempuan yang aneh, kau tahu itu?" Suara sweatdrop Naruto terdengar lagi.

Kali ini, perempuan itu mengeluarkan kunai peledaknya lagi dan melemparkannya ke area sekitar dimana suara Naruto terdengar. Untuk saat ini, perempuan itu memutuskan, ia mencoba tidak akan mendekati kunai milik Naruto lagi.

Suara ledakan terdengar, tetapi seperti yang apa ia duga, tidak ada siapa-siapa disana.

"Jadiii, aku akan mengabaikan fakta bahwa kau dengan mudahnya mengikuti pihak yang salah disini, walaupun aku masih tidak tahu apakah orangtuamu baik atau tidak, tetapi aku menganggap pihak yang mencoba ingin membunuhku adalah pihak yang salah, jadi.. ya, kau berada di pihak yang salah."

Mengetahui dimana suara Naruto berada, perempuan itu melesat kearah lokasi itu, dan mengayunkan kodachi-nya, membelah pohon tersebut. Ia bisa mmelihat Naruto disana. Naruto melemparkan sebuah kunai kearahnya. Sang asasin itu menaikan sebelah alisnya ketika kali ini, kunai yang dilemparkan Naruto adalah kunai biasa, daripada kunai seperti pisau belati tadi.

Sang asasin itu melompat ke belakang untuk menghindari kunainya. Itu momen yang cukup untuk Naruto untuk kembali bersembunyi dibalik pohon yang lainnya.

"Jadi, apakah kau tidak pernah merasa bersalah? Membunuh orang yang kau bunuh, aku maksud." Suara Naruto kembali terdengar. Suaranya lebih terdengar penasaran, daripada menjudge perempuan yang ingin membunuhnya ini.

Perempuan itu melemparkan kunai peledak lagi kearah sumber Naruto, tetapi seperti biasa, tidak ada siapa-siapa disitu.

"Aku tidak bisa merasa bersalah." Perempuan itu berkata tanpa emosi. Naruto hanya mengedipkan kedua matanya terkejut dari tempat persembunyiannya ketika mendengar ini.

Perempuan itu kemudian melesat kearah dimana ia pikir Naruto bersembunyi. Daripada menebang pohonnya seperti biasa, ia kini memutarinya, bertemu dengan Naruto yang bersembunyi di belakangnya.

Ia mengayunkan pedang kecilnya kearah Naruto. Dengan cepat, Naruto mensummon sebuah kunai di tangannya dan memakai kunai itu untuk memblok ayunan kodachi sang asasin.

"Apa maksudnya tidak bisa merasakan bersalah?" Naruto bertanya selagi mereka berdua berada di posisi lock, masing-masing ingin mengoverpower satu sama lain.

Naruto agak bergidik sedikit ketika mata kosong merah itu menatap matanya.

"Aku lahir tanpa emosi."

Perkataan itu membuat Naruto terkejut. Momen terkejut Naruto dimafaatkan perempuan ini, yang bisa mengoverpower kunai milik Naruto dengan pedangnya, membuat kunai itu terlempar jauh. Memanfaatkan ini, perempuan itu menendang perut Naruto, membuat Naruto terlempar ke belakang pohon di belakangnya. Tidak memberikan Naruto sebuah momen, perempuan itu langsung mencoba menusuk kepala Naruto. Naruto bisa menghindarinya dengan menjongkok ke bawah, membuat pedang itu melewati kepalanya dan menancap pohon di belakangnya. Melihat musuhnya itu tersangkut, dengan pedangnya yang masih menancap ke pohon di belakangnya, Naruto memanfaatkan momen ini untuk menendang perutnya, membuat sang asasin itu terhempas ke belakang.

Asasin itu mendarat di kedua kakinya, mengabaikan rasa sakit yang berada di perutnya.

Lahir tanpa emosi, ya? Naruto pikir, selagi ia meneliti musuh di depannya. Jika apa yang dikatakan perempuan itu benar, berarti semuanya masuk akal. Manusia, bahkan semua makhlukpun dipandu oleh emosi mereka. Mereka mencintai orangtua dan teman-teman mereka, jadi ketika mereka pergi, orang yang dimaksud akan merasa sedih. Orang yang tidak bisa merasakan cinta, hanya akan merasa biasa-biasa saja jika mereka ditinggalkan, bahkan oleh orangtua mereka sekalipun.

Itu menjelaskan bagaimana perempuan itu bisa biasa-biasa saja tentang orangtuanya yang meninggalkannya. Dan bagaimana dia biasa-biasa saja memberikan Naruto informasi, yang menurut orang biasa, informasi personal yang harusnya hanya diberikan kepada orang dekat.

Perempuan ini dituntun oleh logikanya, bukan emosinya. Selama di pikirannya, apa yang ia katakan tidak akan memberikan Naruto sebuah keuntungan atau manfaat, ia tidak akan segan memberikannya.

"Lahir tanpa emosi, eh? Apakah itu memang bisa?" Naruto bertanya, kepada dirinya sendiri dan kepada orang yang mencoba membunuhnya ini di depannya.

Dari yang ia tahu, bagian otak yang memproses emosi dan logika adalah bagian otak yang sama. Satu tidak bisa berfungsi tanpa yang lain. Emosi membutuhkan logika, dan logika membutuhkan emosi. Emosi tanpa logika adalah orang yang naïve, sementara logika tanpa emosi adalah orang yang dingin. Walaupun begitu, masing-masing masih mempunyai emosi dan logika. Manusia, ataupun makhluk lainnya, tidak bisa hidup tanpa salah satunya.

Satu-satunya kasus dimana ia pernah mendengar seorang manusia tidak mempunyai emosi adalah ketika seseorang mengalami kecelakaan parah, dan bagian otak mereka yang memproses emosi shut down selama beberapa hari, paling lama beberapa minggu. Ketika itu terjadi, orang tersebut dikatakan selalu labil dalam memutuskan suatu hal yang simpel, seperti memilih ingin memakai baju apa, memakai dasi warna apa, memakai sendok atau sumpit, dan memutuskan untuk menonton apa. Masuk akal, karena semua hal yang biasa itu kita lakukan menurut 'mood' kita. Mood adalah emosi, dan untuk seseorang yang emosi, mereka akan kebingungan untuk memutuskan suatu hal yang simpel.

Sang asasin menatap Naruto, matanya tidak mempunyai emosi seperti biasa. "Ketika aku masih dikandungi, ibuku mengalami kecelakaan." Perempuan itu berkata, seolah kata-kata itu menjelaskan semuanya.

Perempuan itu merogohkan tas kecilnya, mengeluarkan 6 shuriken, masing-masing ia pegang di sela-sela jari tangannya. Naruto menegakkan posturnya sedikit, bersiaga ketika melihat itu. Perempuan itu melemparkan ke-enam shurikennya itu disaat yang bersamaaan kearah Naruto.

Ketika ia sudah siap untuk menghindar, ia menyipitkan matanya ketika melihat tidak ada shuriken yang mengarah kearahnya.

Ia melebarkan matanya ketika ia menyadari sesuatu.

Benang.

Tetapi ia terlambat ketika menyadari itu. Benang yang terikat di shuriken itu melilitnya, menahannya ke pohon yang di belakangnya. Melihat ini, perempuan itu langsung saja melesat kearah Naruto, menggunakan kecepatan yang jauh lebih cepat daripada seorang manusia biasa.

Perempuan itu mengangkat pedangnya, mencoba menusuk langsung kepala Naruto.

Tuk!

Perempuan itu mengedikan kedua matanya, ketika diakhir-akhir, Naruto memiringkan kepalanya, membuatnya menusuk pohon yang berada di belakangnya. Darah terlihat tertetes, dari pipi kanan Naruto yang sedikit tersayat oleh pedang miliknya, tidak bisa menghindari sepenuhnya.

"Hidup tanpa emosi, eh? Hidupmu terdengar membosankan." Naruto berkata, seolah sama sekali tidak khawatir dengan situasinya saat ini.

"Hidupku biasa-biasa saja." Perempuan itu menjawab, sambil merogohkan tas kecilnya dan mengeluarkan sebuah kunai.

"Biasa-biasa saja terdengar membosankan bagiku." Naruto kembali menjawab. Perempuan itu mengabaikannya, dan kali ini mengayunkan kunainya ke leher Naruto, yakin Naruto tidak bisa menghindar dengan keadaannya.

!

Perempuan itu melebarkan matanya dengan kaget, merasakan rasa sakit di perutnya. Ketika melihat kebawah, ia melihat sebuah kunai, yang dipegang oleh Naruto, menusuk perutnya. Benang yang harusnya tadi menahan tangan Naruto terlihat robek.

Perempuan itu menggertakan giginya, mengutuk dirinya sendiri atas kesalahan yang ia buat, melupakan bagaimana Iblis di depannya bisa memunculkan sebuah kunai di telapak tangannya.

Menggertakan giginya, perempuan itu memegang kunainya dengan erat lagi, mengabaikan rasa sakit di perutnya, perempuan itu mengayunkan lagi kunainya ke leher Naruto, mencoba membunuh Naruto.

Srek!

Benang yang mengikat Naruto terobek, di saat yang bersamaan Naruto menunduk, membuat perempuan itu lagi-lagi menancapkan kunainya ke pohon yang berada di belakang Naruto. Memenfaatkan ini, Naruto menendang dada perempuan itu, membuat perempuan itu terhempas ke belakang dan terjatuh di tanah.

"Fuh! Hampir saja." Naruto berkata dengan kasual, memegang bagian pipinya yang tersayat tadi. Melihat perempuan yang terbaring dengan sakit di depannya, Naruto sedikit merasa kasihan.

Lahir tanpa emosi, dunia perempuan ini tidak mempunyai warna. Ia tidak bisa merasakan kasih sayang yang diberikan orangtuanya, dan tidak bisa memberikan mereka rasa sayang yang sama. Ia tidak bisa merasakan rasa senang ketika memakan semangkok ramen. Ia tidak bisa merasakan sedih ketika ramennya dibuang oleh seseorang. Terlebih lagi….

PEREMPUAN ITU TIDAK BISA MENGETAHUI BAGAIMANA HEBATNYA RAMEN!

Naruto menggelengkan kepalanya dengan sedih, ketika menyadari itu.

Itu membuat Naruto berpikir, apa tujuan pribadi perempuan itu? Seseorang selalu mempunyai tujuan. Sebuah ambisi untuk dicapai. Sebuah cita-cita. Dan biasanya, itu terkait dengan emosi mereka.

Seseorang melihat bagaimana senangnya orangtua mereka melakukan suatu pekerjaan, karena itu mereka ingin menjadi seperti orangtua mereka. Seseorang merasa sedih dan marah melihat lingkungan di sekelilingnya, karena itu mereka mempunyai ambisi untuk merubahnya. Sona merasa marah ketika melihat bagaimana dalam hal edukasi, Iblis yang direinkarnasi tidak diberikan edukasi yang sama dengan Iblis biasa, karena itu ia ingin merubahnya.

Tujuan, dan ambisi seseorang selalu terkait dengan emosinya. Untuk seseorang yang tidak mempunyai emosi, apa tujuannya?

"Kau tahu," Naruto berkata, kedua tangan berada di sakunya. Perempuan itu, yang kini sedang memegang perutnya yang berdarah, hanya menyipitkan matanya kearah Naruto, sedikit waspada kepada Naruto. "Kenapa kau menetap dengan organisasi itu? Apa manfaat yang kau dapatkan dengan bersama mereka? Orang sepertimu pasti tidak akan terikat dengan sesuatu." Tanya Naruto dengan penasaran.

Gadis itu hanya menatap Naruto dengan wajah impasif. Wajahnya mengerut sedikit, merasakan kembali rasa sakit di bagian perutnya. Ia adalah manusia biasa, lagipula. Walaupun kunai Naruto tidak mengenai bagian yang vatal, kunai Naruto masih memberikannya luka yang menyebabkan pendarahan. Jika ia tidak mengatasi pendarahan ini, ia bisa mati.

"Apa kau selalu secerewet ini ketika seseorang mencoba membunuhmu?" Tanya gadis itu dengan monoton. Jawaban yang ia dapatkan hanyalah senyuman ceria dari tagertnya.

"Dan apakah kau selalu mengatakan hal personal kepada orang yang ingin kau bunuh?" Naruto bertanya balik dengan ceria.

"Biasanya mereka terlalu sibuk takut akan nyawa mereka untuk menanyakanku sesuatu."

Naruto hanya terkekeh mendengar itu.

"….Bertahan hidup."

Naruto mengedipkan kedua matanya ketika ia mendengar gadis di depannya menggumamkan sesuatu. Untuk pertama kalinya, ia melihat hal yang lain daripada wajah mayat seperti biasa. Gadis itu mengerutkan wajahnya, seolah memikirkan sesuatu.

"Untuk bertahan hidup." Gadis itu mengatakan kembali, kali ini dengan suara yang lebih jelas. Asasin itu menutup matanya, dan membukanya. Ketika membukanya, matanya terlihat berbeda. Matanya masih mata merahnya, tetapi kali ini, Naruto melihat sesuatu di mata yang biasanya tidak mempunyai kehidupan di dalamnya itu. Apa itu, Naruto tidak tahu. "Di dunia ini, banyak hal yang berbahaya. Dari hal kecil seperti perampok, pembunuh, kriminal, sampai ke sesuatu yang besar seperti Iblis, Malaikat Jatuh, Malaikat, dan makhluk supernatural lainnya. Sebagai manusia biasa, aku pasti akan mati jika aku bertemu dengan mereka. Organisasi itu… Mereka memberikanku banyak hal. Mereka melatihku. Mereka memberikanku kekuatan untuk selamat jika aku bertemu dengan makhluk seperti itu. Mereka melatihku untuk menjadi pembunuh yang sempurna."

Naruto hanya mendengarkannya dengan simak. Ia terkejut sedikit. Untuk orang yang tidak mempunyai emosi, pastinya mereka tidak masalah jika mereka mati, bukan? Mereka tidak bisa merasakan takut untuk mati. Dan mereka tidak mempunyai alasan untuk hidup. Itu semua adalah emosi.

"Aku….. aku tidak ingin mati, kau tahu? Aku ingin hidup…. Aku ingin mencoba merasakan sesuatu…."

Naruto melebarkan matanya. Untuk pertama kalinya sejak ia melihatnya, Naruto melihat suatu kehidupan yang berada di gadis itu, walaupun kecil. Wajah itu. Daripada wajah seseorang yang tidak mempunyai emosi, wajah itu menunjukan sesuatu.

Desperasi.

Wajah seseorang yang sudah putus asa. Logika dan emosi. Seseorang tidak bisa hidup tanpa salah satu dari dua aspek itu. Gadis ini…. Bukannya ia tidak mempunyai emosi, tetapi sama seperti korban kecelakan yang pernah ia baca itu, mungkin otak bagian emosinya hanyalah terbenam.

Naruto mengulurkan tangannya ke gadis itu—

BOOM!

Naruto melebarkan matanya ketika melihat sebuah bola api menghantam gadis itu. Memalingkan kepalanya ke sumber bola api itu, ia menemukan seorang lelaki.

Lelaki itu berdiri di atas batang salah satu pohon yang berada di hutan. Dari wajahnya, laki-laki itu terlihat berada di umur 20 tahunan. Rambut merahnya seolah melawan gravitasi sendiri, dengan bagaimana rambut itu jabrik keatas.

"Ryder…"

Ia mendengar sebuah gumaman. Memalingkan wajahnya lagi, ia melihat perempuan yang seharusnya tadi membunuhnya itu. Luka bakar terlihat di tubuhnya Tangannya masih memegang perutnya, di tempat yang tadi ia tusuk. Naruto melihat kearah gadis itu dengan khawatir.

"Heh! Perempuan tidak berguna. Bukankah kau seharusnya asasin terbaik yang dimiliki organisasi?!" Lelaki itu berkata dengan kencang. Seringaiannya penuh dengan kesombongan. "Orang yang tidak mempunyai sihir memang tidak berguna. Aku tidak tahu apa yang organisasi lihat di dalam dirimu ketika kau bahkan gagal untuk membunuh seorang iblis lemah yang bahkan tidak bisa memakai sihir sama sekali!"

Naruto menyipitkan matanya. Ah. Itu menjelaskan banyak hal. Ia sedikit bingung bagaimana gadis ini bisa membuat sebuah barrir ketika ia tidak bisa merasakan energi sihir sama sekali di dalamnya. Gadis itu hanyalah manusia biasa, lagipula.

Melebarkan seringaiannya, lelaki yang dipanggil 'Ryder' itu membuka telapak tangannya. Ketika ia membukanya, sebuah bola api yang besar tercipta di telapak tangannya.

"Kau lebih baik mati saja!"

Boom!

Bola api itu mengenai tempat dimana sang asasin yang mencoba membunuh Naruto tadi berada. Asap terlihat tercipta akibat ledakan tadi, membuat Ryder tidak bisa melihat apa-apa. Ketika asapnya sudah tak terlihat lagi, Ryder menyipitkan matanya ketika hanya melihat sebuah lubang karena hasil ledakannya, tidak melihat gadis yang dimaksud sama sekali.

"Mencoba membunuh rekanmu sendiri? Kau cukup kejam."

Sebuah suara terdengar. Di batang pohon yang berada di sebrang Ryder, terlihat Naruto. Di tangannya ada perempuan yang tadi, yang ia rangkul bagaikan seorang pengantin. Naruto melihat kebawahnya, mendapatkan perempuan yang tadi mencoba membunuhnya melihat kearahnya dengan mata yang setengah tertutup. Matanya mungkin hanya setengah tertutup, tetapi Naruto bisa melihat bahwa matanya itu tidak monoton seperti biasa. Walaupun begitu, Naruto tidak tahu apakah itu emosi, atau yang lainnya.

"Apa yang kau..." Adalah gumaman terakhir gadis itu, sebelum matanya benar-benar tertutup dan pingsan.

Naruto hanya tersenyum kecil. Melompat kebawah dari batang pohon yang ia tempati, ia kemudian menurunkan gadis yang dirangkulnya dengan hati-hati, menyenderkannya ke pohon yang tadi.

"Naruto Astaroth, eh?" Lelaki itu menyeringai. "Kenapa? Merasa kasihan kepada musuhmu?" Ryder berkata, masih berdiri di atas cabang pohon.

Naruto hanya tersenyum kecil. "Tidak. Aku hanya tidak suka jika seseorang terbunuh di wilayah yang dimiliki temanku ini."

Ryder hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, seringaian masih terlihat di wajahnya. "Cih. Perempuan itu. Aaah~ Sekarang membunuhmu malah akan menjadi tugasku. Mendokusei…."

Naruto hanya mengabaikan perkataannya.

"Perempuan itu." Naruto berkata, menarik perhatian Ryder. "Dari yang kau bilang, dia adalah asasin terbaik organisasi bukan? Bukankah kau akan mendapatkan masalah jika kau membunuhnya?" Tanya Naruto, penasaran.

Ryder hanya tertawa.

"AHAHAHAHA, masalah, kau bilang? Perempuan itu mungkin adalah asasin terbaik, menurut si pak tua, tetapi kita bukanlah organisasi asasin. Perempuan itu tidak mempunyai loyalti karena kondisinya itu, lagipula. Kita menggunakannya, dan dia menggunakan kita. Dan aku, sebagai pemimpin selanjutnya untuk Karyoku, menganggap dia tidak penting lagi untuk kita."

Naruto hanya membiarkan wajahnya impasif. Karyoku? Ini pertama kalinya ia mendengar organisasi seperti itu. Dari apa yang Ryder ini bilang, sepertinya ini bukanlah organisasi yang hanya fokus dalam asasinasi.

"Naruto Astaroth, bukan? Aku membaca profilmu. Adik dari Beelzebub sendiri. Pewaris keluarga Astaroth. Tetapi kau sangat lemah, kau lebih seperti manusia biasa daripada Iblis. Sangat lucu!"

Naruto hanya membiarkan senyuman kecil terukir di wajahnya. Membuka telapak tangannya, sebuah kunai bermata tiga muncul.

"Kalau begitu, boleh aku tahu nama seseorang yang akan membunuhku?"

Ryder menyeringai.

"Ryder Bazalgette. Magician."

Naruto tersenyum kecil. "Ryder, eh? Namamu terlalu mirip dengan seseorang yang tidak aku sukai." Gumam Naruto, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada orang yang akan ia hadapi.

"Ada kata-kata terakhir?" Ryder berkata sambil melipatkan kedua tangannya di dadanya, seringaian berada di wajahnya.

"Kau tahu…." Naruto memulai. "Ketika aku melawan perempuan itu, aku tidak melawannya dengan serius, karena aku sama sekali tidak merasakan killing intent untuk membunuhku darinya. Tapi kau... seseorang yang rela membunuh rekannya sendiri... Aku rasa aku harus mengeluarkan seluruh kemampuanku untuk ini."

"Oh? Kau bahkan tidak mempunyai energi sihir. Tidak, energi sihirmu sangat sedikit, bahkan aku sedikit kesulitan mendeteksimu hanya dengan energi sihir. Walaupun kau mengeluarkan seluruh kemampuanmu, kau tidak akan bisa mengalahkanku." Ryder berkata.

Tepat ketika Ryder mengatakan itu, 6 magic circle yang besar muncul di depannya.

Menyeringai, Ryder berkata,

"Sampai jumpa."

Dan dengan itu, dari 6 lingkaran itu, keluar 6 bola api yang sangat besar. Para bola api itu meluncur kearah Naruto.

Naruto hanya menyeringai.

"Teknik ini masih dalam prototype... Menggunakannya sesering ini dalam sehari…" Gumam Naruto kepada dirinya. "Tetapi…." Naruto melihat kearah perempuan yang berada di belakangnya. Tersender dengan tenang di sebuah pohon.

"Aku….. aku tidak ingin mati, kau tahu? Aku ingin hidup…. Aku ingin mencoba merasakan sesuatu…."

Naruto menyeringai, walaupun keenam bola api itu sudah mulai dekat.

"Hiraishin."


Ketika ia membuka matanya, yang pertama kali ia lihat adalah sebuah atap yang tidak ia kenali. Ia melihat ke sekelilingnya. Ruangan dimana ia berada sepertinya adalah kamar biasa. Tempat tidur, yang ia tempati, meja belajar, dan beberapa rak buku.

Yang ia tahu pasti, ini bukanlah ruangan yang dimiliki oleh organisasi.

Terakhir yang ia ingat adalah melawan targetnya. Karena kelalaiannya, ia tertusuk di bagian perut. Lalu Ryder muncul, dan menyerangnya dengan bola api. Entah bagaimana, ia kemudian berada di rangkulan targetnya, setelah itu, hitam.

Dari ujung matanya, ia melihat sebuah foto. Di dalam foto itu, terlihat dua orang. Ia mengenali dua orang itu. Yang satu adalah seorang perempuan, dengan rambut pirang yang dikuncir, poninya menutupi sebelah matanya, memakai seragam sekolah. Di sampingnya, ada seorang lelaki dengan senyuman besar. Rambut pirang, mata biru, tiga kumis kucing.

Ia mengenali lelaki itu. Targetnya.

Ia sudah ditangkap, kalau begitu. Ia sedikit terkejut, melihat ia tidak merasakan apapun yang menahannya, seperti tali, borgol atau apa. Ia bisa melihat rute kaburnya. Ia hanya bisa membuka jendela, dan kabur.

Apa orang-orang ini sangat bodoh?

Cklek

Suara pintu terbuka. Ia memalingkan kepalanya ke arah pintu. Disana terlihat perempuan yang berada di foto tadi, perempuan yang sebelumnya ia racuni. Perempuan itu terlihat memakai seragam sekolah yang berada di foto, sekaligus seragam sekolah yang dipakai pada waktu itu. Di tangannya ada sebuah nampan yang diatasnya terlihat sebuah mangkok berisi makanan.

Ketika melihatnya, perempuan itu menatapnya dengan dingin. Ia tidak terkejut.

"Kau sudah bangun, rupanya." Perempuan itu berkata sambil berjalan kearahnya. Ketika sudah sampai di sampingnya, perempuan itu mengambil mangkoknya dan menaruhnya di meja yang berada di samping tempat tidur.

"Makanlah." Perempuan itu berkata dengan impasif, sebelum berjalan keluar lagi, tidak lupa menutup pintunya.

Ia hanya bisa mengedipkan kedua matanya dengan bingung, dan melihat kearah mangkuk yang diberikan perempuan tadi. Sebuah bubur. Ia mendekatkan wajahnya ke bubur itu, dan mencium baunya, mencoba mendeteksi racun, tetapi yang ia hirup hanyalah bau nikmat bubur.

Ia mendengar perutnya bersuara, menandakan kelaparannya. Sudah berapa lama ia tertidur? Dari apa yang ia rasakan di badannya, ia tahu badannya terikat dengan banyak perban, walaupun ia memakai sebuah baju.

Mengambil mangkoknya, beserta sendok yang sudah disediakan, ia memutuskan untuk memakannya saja. Lagipula, jika mereka ingin membunuhnya, mereka bisa membunuhnya ketika ia pingsan. Yang berarti, ia mempunyai sesuatu yang mereka butuhkan. Informasi, kalau begitu.

Memakan buburnya, ia menikmati rasanya dilidahnya. Ini enak. Makanan terenak yang pernah ia makan. Bagaikan makanan restoran bintang 5, walaupun sebenarnya ia belum pernah ke restoran bintang 5. Tetapi jika ia pergi ke restoran bintang 5, ia yakin rasa makanannya akan seperti ini.

Cklek

Pintunya terbuka lagi, dan kali ini ia menyipitkan matanya, dan badannya tanpa sadar menjadi lebih siaga.

Masuk ke dalam ruangan, terlihat targetnya. Memakai seragam dari sekolah yang sama seperti perempuan yang tadi.

"Makanlah yang banyak." Lelaki itu berkata. "Kau sudah tidak sadar selama 3 hari." Lanjutnya.

Ah. Itu menjelaskan kenapa ia sangat lapar. Walaupun begitu, ia tidak menggerakan tubuhnya, masih berhati-hati pada lelaki yang kini sudah berada di dekatnya, berdiri di samping tempat tidur yang ia tempati.

Lelaki itu menghela nafasnya. "Tenanglah. Kita sudah bukan musuh lagi. Lelaki yang kemarin, Ryder, mencoba membunuhmu, bukan? Organisasi itu mengkhianatimu, jadi kau tidak perlu lagi mengikuti instruksi organisasi itu untuk membunuhku."

Mendengar itu, ia tahu lelaki itu benar. Ryder adalah anak pemimpin. Jika Ryder mencoba membunuhnya, berarti ia sudah tidak lagi dibutuhkan oleh organisasi.

"Kalau begitu, kenapa kita tidak ulang dari awal?" Lelaki itu berkata lagi. "Namaku Uzumaki Naruto, atau Naruto Astaroth, sebagaimana kau mengenalku. Dan kau?"

Ia melihat Naruto dengan hati-hati, masih tidak tahu apa yang Naruto ini incar. Jika lelaki itu ingin informasi, kenapa tidak langsung saja menanyakannya?

"…..Kanata. Kanata Haruna." Ia berkata, setelah beberapa detik hening, memikirkan apakah ia memberikan namanya atau tidak. Melihat Naruto tidak akan mendapatkan apa-apa dari mengetahui namanya, ia memberikannya.

"Kanata Haruna? Yang mana nama keluargamu?" Naruto berkata sambil memiringkan kepalanya.

"Kanata." Ia menjawab.

"Jadi," Naruto kembali berkata. "Apa yang sekarang kau lakukan, Kanata-san?"

Mendengar itu, Haruna terdiam. Apa yang akan ia lakukan? Ia tidak mempunyai tujuan. Tujuannya hanyalah untuk bisa bertahan hidup. Selama ini, ia melakukan sesuatu karena ia harus melakukan sesuatu itu. Orangtuanya menyuruhnya untuk bersekolah, ia pergi bersekolah. Ia disuruh mengerjakan PR, ia mengerjakan PR. Ia disuruh membersihkan kamarnya, ia membersihkan kamarnya. Ia melakukan semuanya tanpa komplain. Ketika ia berada di organisasi, ia melakukan apa yang mereka suruh. Ia diinstruksikan melakukan sesuatu ketika latihan, ia melakukan itu. Ia disuruh membunuh seseorang, ia melakukan itu.

Jadi ketika ditanyakan apa yang ingin ia lakukan, ia tidak tahu harus menjawab apa.

"Apa tujuanmu?" Ia akhirnya berkata, tidak menjawab pertanyaan Naruto. "Jika kau menginginkan informasi, kau bisa menanyakannya padaku. Bukankah itu kenapa kau menangkapku?"

Ketika mendengar itu, Naruto tertawa.

Haruna hanya memiringkan kepalanya.

"Menangkapmu? Tidak, tidak." Naruto berkata, setelah ia selesai tertawa. "Aku hanya merawatmu. Well, sebenarnya, Hilda yang merawatmu karena aku tidak tahu apapun tentang mengobati seseorang. Kau bebas melakukan apa yang kau mau setelah ini."

Haruna mengedipkan kedua matanya. Sebagai seseorang yang selalu dituntun oleh logikanya, apa yang ia dengar sama sekali tidak masuk akal. Ia mencoba membunuhnya. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam mencoba membunuh satu sama lain. Dan kemudian ketika ia hampir mati, lelaki ini malah merawarnya, dan kini hanya membebaskannya begitu saja?

Apa ini… Apa ini sebuah perangkap?

Poke

Haruna mengedipkan kedua matanya dengan bingung ketika melihat lelaki ini dengan kasual menyentil dahinya, sesuatu yang Haruna pikir tidak masuk akal, karena ini sama sekali tidak membuatnya sakit, dan sama sekali tidak ada alasan untuk Naruto menyentilnya di sana.

"Jangan berpikir selalu ada udang di balik batu," Naruto berkata. "Apa serius tentang semua yang aku katakan, tanpa maksud apa-apa."

Haruna hanya diam saja, menatap semangkuk buburnya yang belum habis. Apa yang akan ia lakukan? Ia sungguh tidak tahu.

"Tidak mempunyai tujuan, atau alasan untuk hidup adalah sesuatu yang menyedihkan." Naruto kembali berkata, membuat Haruna memalingkan kepalanya kearahnya. Naruto memberikannya sebuah senyuman. "Untuk saat ini, kenapa kau tidak menetap disini dulu? Kau bisa tidur di kamarku, atau kamar Hilda." Lanjut Naruto. "Kau bahkan boleh ikut bersekolah, bersama kita." Naruto mengedipkan sebelah matanya kearah Haruna.

Haruna memiringkan kepalanya. "Sekolah….?"

"Jika kau mau." Ucap Naruto sambil menaikan pundaknya dengan kasual. "Baiklah, kau habiskan dulu makananmu. Jika kau membutuhkan sesuatu, panggil aku. Atau Hilda. Tapi lebih baik kau panggil Hilda, jika kau membutuhkan sesuatu." Naruto berkata, sebelum pergi keluar ruangan, meninggalkan Haruna disana sendiri.

Haruna mengedipkan kedua matanya, baru mengingat sesuatu.

Apa yang terjadi dengan Ryder?


"Apa kau yakin, Master? Membiarkannya menetap sementara disini?"

Hilda berkata, tepat ketika Naruto keluar dari kamar yang ditempati Haruna.

"Maa, jangan terlalu khawatir, Hilda. Lagipula, aku tidak bisa mengabaikan seseorang yang memerlukan bantuan seperti itu." Naruto menjawab.

Hilda menghela nafasnya. "Dia mencoba membunuhmu, Master."

"Karena dia diperintahkan oleh seseorang."

"Itu tidak mengubah fakta kalau dia mencoba membunuhmu."

Naruto hanya terkekeh. "Dia hanyalah orang yang belum menemukan jalannya. Lebih tepatnya, tidak bisa menemukan jalannya, ia hanya menjalani jalan yang diberikan orang lain. Aku hanya ingin membantunya menemukan jalan untuk dirinya sendiri. Tujuan untuk dia hidup."

Hilda menghela nafasnya. "Akan lebih mudah jika kau menghidupkannya dengan Evil Pieces. Dengan itu, dia mempunyai tujuan, setidaknya."

Naruto hanya menggelengkan kepalanya mendengar itu. "Jika begitu, aku tidak ada bedanya dengan orang yang melatihnya untuk menjadi asasin. Membentuk jalan untuk dilewati olehnya. Dia harus membuat jalannya sendiri."

Berada di ruangan utama, Naruto menjatuhkan badannya ke sofa, sementara Hilda pergi ke dapur untuk menyiapkan suatu minuman untuk Masternya.

"Walaupun begitu, aku masih tidak mempercayai wanita itu. Meracuniku seperti itu…."

Naruto hanya sweatdrop. "Aku mempunyai perasaan kalau alasan kau tidak menyukai Haruna bukanlah karena dia mencoba membunuhku."

"Oh? Haruna? Memanggilnya dia dengan nama depannya, sekarang?" Ucap Hilda selagi menaruh segelas jus jeruk di depan Naruto dan kemudian duduk di samping Naruto.

"Aku memanggilmu dengan nama depanmu juga ketika kita pertama kali bertemu, kau tahu." Balas Naruto.

"Itu karena aku tidak mempunyai nama keluarga."

Naruto hanya terkekeh mendengar itu. "Ngomong-ngomong," Ucap Naruto, mengambil segelas jus jeruk yang sudah Hilda suguhkan dan memninumnya. Menghabiskannya, Naruto melanjutkan, "Bagaimana dengan Malaikat Jatuh kita?"

"Sepertinya mereka memakan umpannya."

Mendengar itu, Naruto membiarkan seringaian terukir di wajahnya.


-Chapter 2: END-


Author Note: Oke, biarkan aku mengakui suatu hal yang sangat penting.

Aku… sangat payah menulis scene bertarung, seperti yang kalian lihat. Mendeskripsikan pertarungan itu sangat sulit.

Oh, dan hal yang lainnya. Siapa sangka ini udah satu tahun lebih?! Waktu memang berlalu dengan cepat, guys. Maaf kalian harus menunggu satu tahun untuk chapter ini. Seperti yang aku bilang di cahpter selanjutnya, chapter ini tidak akan keluar dengan waktu cepat. Aku menulis kita aku ada ide. Tentu, aku tahu apa outline story ini, dan arah yang aku inginkan untuk story ini, tetapi memikirkan arahnya dan menulisnya langsung adalah hal yang berbeda. Jadi, jangan terlalu berharap untuk mendapatkan chapter selanjutnya dengan cepat.

Sejujurnya, aku agak kecewa dengan chapter ini, karena menurutku ini tidak sebanding dengan chapter pertama yang banyak disukai orang. Chapter ini lebih ke pengembangan karakter, memperlihatkan interaksi lebih jauh antara Naruto dan Hilda, dan kedekatan mereka. Begitu juga kedekatan Naruto dengan Iblis lainnya yang berada di sekolah, seperti Akeno. Aku harap aku setidaknya berhasil dalam hal pengembangan karakter ini, melihat dalam hal scene bertarung, aku gagal.

Kenapa scene bertarungnya sangat… sangat biasa aja, kalian tanya? Pertama. Seperti yang kalian tahu, energi sihir Naruto sangat dikit sampai-sampai ia sama seperti manusia biasa saja, jadi, tidak ada spell/jutsu destruktif yang bisa ia pakai. Kedua. Kanata Haruna adalah seorang asasin. Dia membunuh seseorang dengan cepat, simpel, dan efisien.

Dan ya, Kanata Haruna ini adalah OC. Maafkan aku. Agak susah menulis fic seperti ini tanpa OC. Tetapi tenang saja, Haruna adalah satu-satunya OC penting yang ada di story ini. OC lainnya, jika ada, hanya untuk sebuah Arc original yang aku buat untuk Naruto, melihat Naruto tidak akan selamanya mengikuti jalan cerita peerage Rias yang berada di canon. Bukan berarti cerita ini tidak mengikuti canon sepenuhnya. Tetapi melihat Naruto bukanlah anggota peerage Rias, tidak akan masuk akal jika Naruto ikut campur dalam Arc untuk Rias, seperti Riser Arc. Untuk Kokabiel Arc, dan perkumpulan para pemimpin, tentu Naruto akan ada, karena itu akan terkait dengan dirinya. Tetapi Arc yang hanya untuk Rias, Naruto tidak akan ikut campur.

Oke, baiklah, saatnya aku menjawab pertanyaan yang menurutku kalian akan punya setelah melihat cerita ini.

Hiraishin? – Oke, pertanyaan ini pasti akan kalian tanyakan ketika melihata scene bertarung itu. Aku tidak ingin mengatakan terlalu banyak jadi aku hanya bisa bilang: Hiraishin masih belum sempurna. Karena itu Naruto jarang memakinya.

Hilda Overpowered? – Ketika melihat Hilda dengan mudah melawan 30 orang dan menang, mungkin terlihat Overpowered. Tetapi 30 orang itu hanyalah manusia biasa. Dan Hilda adalah seorang Iblis.

Karyoku? Ryder? – Mereka hanyalah organisasi biasa. Tidak akan mempunyai peran penting. Walaupun begitu, aku mempunyai rencana untuk mereka.

Harem? – Aku hanya go with the flow dengan cerita ini. Tidak ada confirmed pairing untuk cerita ini. Tentu, mungkin ada beberapa adegan romance Naruto/Hilda, dan Naruto dengan beberapa karakter lain, tapi untuk saat ini, tidak ada konfirmasi.

Kekuatan Naruto? – Oke, aku akui, pasti kalian bingung dengan ini. Di satu scene, Naruto terlihat kuat banget. Di scene lainnya, Naruto terlihat lemah. Sebenernya seberapa kuat Naruto? Aku hanya bisa bilang: sabar aja. Aku sengaja membuat kekuatan Naruto sedikit misterius. Aku ingin me-revealnya sedikit demi sedikit.

Diadora? – Aku masih bingung dengan karakter Diadora di DxD. Sepertinya dia bukan adik dari Ajuka, seperti apa yang aku (dan kebanyakan orang) kira. Walaupun begitu, disini dia tetap akan menjadi adik dari Naruto dan Ajuka disini. Aku mempunyai rencana untuk dia.

Oke, itu adalah seluruh pertanyaan yang bisa aku jawab. Jika kalian punya pertanyaan, tanya di review. Dan jika kalian reviewnya pake akun, aku mungkin bisa menjawabnya dengan PM. Kalau tidak, mungkin kalian bisa tahu di chapter depan.

Chapter selanjutnya adalah chapter yang ditunggu-tunggu: mulainya canon DxD.

Baiklah, Jaa ne~