Happiness, Love and War

Disclaimer: Semua karakter dari anime 'Naruto' dan 'High School DxD' bukan milik saya, semua itu hanya pinjaman belaka.

Pair: Naruto .U X Shizuka X Harem

Summary: Keputusan untuk meninggalkan tempat kelahirannya adalah jalan yang terbaik, luka tak terobati pergi bersamanya. Tanggung jawab terberat kembali berada diatas pundaknya, satu pilihan yang akan mengubah seluruh pandangan hidupnya.

Genres: Fantasy, Supranatural, Adventure, Matrial Art, Hurt/Comfort, and Romance.

Warning: Semi-Canon, Semi-OOC, No OC, Typo(s), Very Mainstream, Miss Typo(s), Alur cepat dan rumit, Newbie' Author, Not Like Don't Read, Read 'n Review.

.

.

.

[Arc I: Kembalinya Tanggung Jawab]

Chapter 1: Perginya Sang Matahari Konoha.

.

.

.

Wuuush!

Udara bergerak sangat cepat menabrak apapun yang dilewatinya layaknya pasukan yang sedang menyerbu musuhnya, menerbangkan apapun yang tidak lebih berat daripada dirinya baik debu, dedaunan kering atau apapun yang penting benda itu tak berat seperti batu. Membawa sesuatu yang tidak berharga dari satu tempat ke tempat yang lain adalah sedikit dari sekian banyak manfaat angin.

Tepat diatas pahatan patung wajah Sang Yondaime Hokage sesosok remaja pirang menjadikan permukaan tanah berdebu menjadi alas tidurnya, salah satu kakinya mengayun bebas diatas kakinya yang lain. Surai keemasannya melambai-lambai seakan ingin ikut bersama angin, kulit tan yang dibalut dengan baju putih cream berlengan pendek berlambang pusaran di tengahnya serta celana panjang berwarna biru gelap dengan saku di bagian pinggang kanan kirinya, dua tangan yang salah satunya terbalut perban putih menjadi bantalan empuk untuk sang empunya.

Iris shappire menenangkan menatap lurus langit yang senada dengannya, awan yang menggumpal layaknya kapas bergerak kemanapun angin membawa mereka. Awan putih yang beratnya sama dengan molekul uap air membiarkan angin membawanya, tak peduli jika itu adalah dunia yang tak pernah mereka jamah sedikitpun.

Hangatnya sinar matahari tak membuat remaja pirang itu terganggu sedikit'pun, organ dalamnya membutuhkan sinar matahari pagi yang menyehatkan ini. Akhir-akhir ini pemilik surai pirang itu lebih suka menikmati alam terbuka, semua masalah yang timbul di otaknya sedikit demi sedikit tersapu bersama angin lembut yang membelai wajahnya.

"Satu tahun berlalu, hm?"

Ucapan yang terlontar dari mulutnya seolah mengantarkan pikirannya untuk kembali membuka kenangan-kenangan di tahun tersebut, mulai dari Perang Dunia Shinobi, kembalinya rival-saudara-nya, pernikahan antara perempuan pewaris klan Hyuga dengan laki-laki yang menjabat Kage di Desa Suna untuk memperkuat hubungan antara Konoha-Suna, lalu puncaknya pengangkatan satu-satunya orang dari klan Uchiha sebagai pemimpin Desa Konoha.

Darahnya berdesir cepat mengingat semua itu, perjuangan yang selama ini ditempuhnya tidak membuahkan apa-apa selain kekecewaan dan amarah. Dia seperti bukan apa-apa lagi untuk desa kelahirannya sendiri, desa yang sudah ia perjuangkan mati-matian dan desa yang bahkan tak akan pernah menyebut namanya lagi.

Kelopak matanya menutup untuk beberapa saat, menghapus semua kenangan yang berkelebatan di depan matanya.

Ironis? Bahkan ada kata yang lebih buruk lagi untuk menyatakan keadaannya sekarang. Senyuman lebar yang sering ditunjukannya pada seluruh penduduk Konoha sudah tergantikan senyum tipis tak berarti, bahkan dia sudah lupa caranya untuk tertawa.

"Keluarlah! Aku tahu sedari tadi kau mengawasi dari sana."

Sedari tadi sensornya memperingatkan jika ada seseorang yang mengawasinya dari jarak 80 meter sebelah barat daya dari tempatnya berbaring saat ini, dia hanya ingin mencoba seberapa sabarkah orang ini mengawasinya selama 30 menit. Hatinya memuji jika orang yang mengawasinya terlalu sabar.

"Yare-yare~ ternyata kemampuanmu tak tumpul sama sekali," orang itu akhirnya keluar dari tempat persembunyiannya. Rambut berwarna silver yang menantang hukum gravitasi dengan topeng di samping kepalanya, memakai rompi ANBU beserta dalamannya yang tak berlengan dan celana hitam panjang khas ANBU, tanto berada di belakang punggungnya, lalu yang terakhir masker yang selalu menutupi bagian bawah wajahnya.

"Kau terlalu meremehkan kemampuan veteran perang sepertiku, Kakashi-sensei," ucap remaja pirang tersebut pada orang yang dulunya memang pernah menjadi guru pembimbing Tim 7 dan sekarang'pun dia masih menganggap orang itu sebagai gurunya.

"Aku sudah bukan gurumu, Naruto. Berhenti memanggilku dengan suffix '-sensei'."

"Kau tahu. Tak ada yang namanya mantan guru di kamusku, aku menghormatimu sebagai guruku," jelasnya tanpa sedikit'pun mengubah pandangannya pada Hatake Kakashi –Sang copy-an ninja dari Konoha- yang sudah berdiri tepat di sampingnya.

"Tumben sekali Kakashi-sensei menemuiku disini, ada hal penting 'kah?"

"Kau selalu tahu apa yang kupikirkan dan memang itu tujuanku," sepasang iris onyx kelam milik Kakashi sudah menatap wajah Naruto yang dihiasi tiga goresan tipis di masing-masing pipinya "Aku hanya ingin mengatakan jika Sasuke dan Sakura akan menikah sore nanti, dia ingin aku mengatakannya langsung padamu," jelasnya memperhatikan tak ada perubahan raut wajah sedikit'pun dari murid pirangnya.

"Secepat itukah?" hanya satu intonasi yang keluar dari mulutnya, tetapi setiap huruf yang keluar dari tenggorokannya seakan menyayat hatinya yang sudah terluka sangat parah. Dia selalu ingin terlihat tegar di depan orang lain meskipun ia meraung keras di dalam hati terdalamnya.

"Ya, dan sepertinya itu akan menjadi pesta pernikahan termewah selain pesta pernikahan antara Gaara dan Hinata beberapa bulan yang lalu," jawab Kakashi yang sebenarnya tak ingin melakukan hal ini pada Naruto.

Hembusan angin keluar dari mulutnya saat mendengar nama yang bahkan tak ingin ia dengar, tapi asumsi yang keluar dari mulut gurunya memang selalu benar. Ditambah lagi Sasuke adalah pemimpin Desa Konoha yang pastinya akan mengundang kelima negara besar untuk datang ke pesta pernikahannya.

"Aku tak mengira jika dia akan mengundangku, tapi baiklah, akan kuusahakan untuk datang," seulas senyum tipis terukir di bibirnya, senyuman yang menyembunyikan jutaan rasa sakit. Kakashi juga membayangkan jika dirinya ada di posisi Naruto sekarang.

"Lalu kenapa kau juga tak memikirkan untuk masa depanmu, Naruto? Semua teman-teman seangkatanmu sudah menikah, hanya kau saja yang belum," berusaha mencairkan suasana adalah usaha yang sedang dilakukan oleh Kakashi, Naruto adalah anak dari gurunya. Jadi, dia berusaha untuk menghiburnya.

"Entahlah, aku sendiri tak punya rencana untuk hal seperti itu. Mungkin hanya waktu yang menjawabnya."

Tatapan Kakashi perlahan-lahan menyendu, sosok matahari yang selalu bersemangat dimana'pun dan kapan'pun sekarang perlahan-lahan mulai meredup seakan tak mempunyai tenaga lagi untuk menyinari yang lainnya. Pria itu hanya berharap jika remaja pirang itu tak memiliki keinginan untuk menjadi Madara atau Obito atau Kaguya untuk kedua kalinya, dengan kemampuannya yang sekarang Naruto bisa memporak-porandakan Konoha dengan sekali libas.

"Hanya itu saja yang aku ingin katakan padamu, Naruto," ucap Kakashi yang tersenyum dari balik maskernya lalu satu tangannya merapalkan segel sederhana dan menghilang dengan sekejap tanpa jejak dari monumen patung wajah Hokage itu.

Lagi-lagi...

Entah sampai kapan dirinya harus melihat teman-temannya meraih kebahagiaan atau kesuksesannya dari jauh, mereka bahkan lebih baik dari dirinya. Semua cita-citanya dulu hanya angan-angan sekarang, angan-angan yang menguap ke langit lalu mencapai angkasa dan hanya menjadi sampah luar angkasa yang tak ada gunanya.

Sepasang iris shappire menatap burung-burung yang terus terbang kesana kemari dengan bebasnya tanpa penghambat sedikit'pun, jika saja dia bisa memilih untuk hidup seperti apa. Dia lebih baik memilih hidup seperti burung, burung yang melayang-layang bebas di angkasa tak bertuan itu. Tapi sekarang dirinya harus kembali memilih takdirnya, membusuk di tempat ini atau mencari kebahagiaan di luar sana.

Tapi jika dipikir lagi tak akan ada ruang untuknya hidup bahagia...

"Uhuk... Uhuk..." tiba-tiba saja remaja pirang itu terbatuk tanpa sebab, membuatnya harus bangkit dari rebahannya di tanah. Rasa layaknya karat besi menyeruak dari indra penciumannya, lalu memuntahkan darah segar dari mulutnya dan membuat tanah yang ada di sampingnya dikotori oleh darah.

"Heh... Heh... Luka ini... Geeh...," masih ada untungnya Kakashi sudah pergi dari sini, semua penduduk bahkan teman-temannya tidak mengetahui perihal penyakit yang diidap Naruto sekarang. Luka karena serangan Kaguya yang membuat sebagian organ dalamnya terluka dalam jangka waktu yang sangat panjang, bukannya tak punya uang untuk mengobatinya. Tapi ini percuma, sepertinya lukanya tak bisa disembuhkan.

"Heh... Setidaknya... aku tak akan mati di tempat ini...," bernapas'pun terasa sangat berat, remaja pirang itu berusaha untuk mengatur napasnya agar deru napasnya kembali seperti sedia kala. Perlahan-lahan kaki dan tangannya menumpu pada tanah membangkitkan tubuhnya yang terasa tak karuan.

"Kau tak apa-apa, Bocah?" siapa'pun pasti akan langsung kaget saat mendengar suara menyeramkan melalui pikirannya, tapi dia sudah terbiasa dengan kebiasaan Bijuu yang ada di dalam tubuhnya. Dia bahkan sudah menganggap Bijuu itu seperti keluarganya sendiri.

"Tak apa-apa, Kurama. Hanya... kondisiku sedikit buruk," senyum pahit terpatri di bibirnya, hanya satu makhluk yang mengetahui tentang penyakitnya yang tak lain dan tak bukan adalah Kyubi no Yoko.

Kyubi no Yoko atau lebih tepatnya Kurama yang merupakan Bijuu terkuat setelah Juubi no Ookami dengan mempersonifikasikannya dirinya sebagai rubah berekor sembilan yang memiliki bulu berwarna oranye agak gelap, ditambah raut wajahnya yang menyeramkan membuatnya malah ditakuti oleh orang-orang. Hanya satu orang yang tak pernah takut padanya yaitu Naruto Uzumaki, dimana pemuda itu juga yang sudah mengingatkannya pada pesan yang disampaikan oleh Rikudo Sennin yang pergi setelah memecah mereka bersembilan.

"Kau masih bilang ini 'lumayan', kau tak tahu jika beberapa organ vitalmu hampir tak berfungsi sama sekali. Berobatlah segera, Naruto. Masa depanmu masih panjang dan tidak seharusnya kau menyelamatkan Uchiha bangsat itu dari serangan Kaguya," amarah yang ada di dalam diri Kurama sedikit meningkat, dia hanya bisa merutuki kebodohan si pirang ini "Kau tak pernah memikirkan kebahagiaanmu sendiri, Bocah!" geraman kekesalan dan amarah terdengar sangat jelas.

"Jika aku masih bisa menyelamatkan seseorang, maka aku akan melakukannya walaupun ragaku sendiri yang akan menerima akibatnya," ucapnya dengan kedua tangan berusaha bangkit dengan bertumpu pada lututnya, dia bisa melihat ekspresi kesal, marah dan sedih bercampur menjadi satu di wajah Kurama yang berada dalam alam bawah sadarnya.

"Terserah kau sajalah," Kurama sudah lelah menghadapi sikap keras kepala yang dimiliki oleh anak dari Minato Namikaze dan Kushina Uzumaki itu, namun sekarang dia berusaha untuk mengobati tubuh Naruto dari dalam "Kau ingat apa yang dikatakan Minato sebelum dia pergi?" Kurama berusaha kembali membuka memori otak Naruto agar kembali mengingat perkataan ayahnya satu tahun silam.

Naruto terdiam di tempat saat mendengar pertanyaan dari Kurama, jiwanya seperti ditarik kembali pada saat Perang Dunia Shinobi berakhir –dimana itu juga terakhir kalinya Naruto bersama dengan ayahnya. Ayahnya memang sempat berkata sesuatu sebelum pergi.

"Naruto –anakku, aku memiliki perasaan buruk terhadapmu tapi semoga saja perasaan ini tak terbukti menjadi kenyataan. Dalam pahatan patung Hokage milik Ayah, disana ada tempat untuk menyimpan gulungan rahasia milik Ayah. Gulungan rahasia itu bisa membawamu menuju dimensi lain, dengan kata lain jika kau tak menemukan kebahagiaan disini, kau bisa pergi menuju tempat lain dan mencari kebahagiaanmu disana. Semoga saja itu hanya firasatku saja."

"Aku baru ingat, Kurama," perkataan dari ayahnya mulai terngiang di kepalanya, mengingatkan kembali pada Naruto tentang gulungan rahasia itu. Dia harus mencari gulungan itu kemudian pergi dari tempat ini, dia tak akan peduli dunia apa yang akan disinggahinya nanti. Dirinya tak tahu harus bagaimana berterima kasih pada ayahnya yang sampai memikirkan itu untuknya.

"Baguslah jika kau ingat," Kurama bisa bernapas lega sekarang mendengar jawaban dari pemuda pirang itu, setidaknya dia bisa melihat Jinchuuriki-nya bahagia di tempat barunya nanti.

"Naruto, ada yang datang."

Ucapan Kurama sontak saja membuat Naruto mengedarkan penglihatannya ke segala penjuru arah dan tak menemukan apapun...

Syuuut!

Kunai tak bertuan melesat menargetkan kakinya yang masih berpijak di tanah, tanpa membuang waktu Naruto melompat menghindari kunai tersebut. Iris shappirenya berusaha untuk mengetahui siapa yang melemparkan benda tajam itu padanya, tangan kanannya yang dililit perban merogoh kantong peralatan ninjanya dan mengeluarkan satu kunai serupa untuk pertahanan dirinya.

Kesiagaan penuh terlihat dari sorot matanya meskipun tak ada pergerakan sama sekali di sekitar tempatnya berdiri...

Katchin!

Jeritan insting bertarungnya menyelamatkannya, kunainya beradu dengan kunai yang lain memuntahkan bunga api berskala kecil. Iris shappirenya melebar menyaingi bola pingpong saat mengetahui jika otak penyerangan padanya adalah seorang... "Perempuan?"

Perempuan bersurai hitam panjang yang diikat ponytail itu hanya tersenyum kecil menanggapi reaksi yang dikeluarkan oleh Naruto, dia mendaratkan sebuah tendangan di perut Naruto sehingga pemuda pirang itu terpelanting ke belakang.

Dengan sigap, Naruto mengalirkan chakra pada kedua kakinya untuk meredam laju tubuhnya. Dia berdiri tertatih sambil memegangi perutnya dan mengarahkan pandangannya pada perempuan itu untuk kesekian kalinya, reaksi yang sama masih terlihat di wajah perempuan itu.

"Ada masalah apa sehingga kau menyerangku, nona?" Naruto berusaha meredam ringisannya, kalau bukan karena penyakitnya yang kambuh tak mungkin tendangan itu tak akan sesakit ini.

"Jadi, setahun tak bertemu membuatmu melupakanku, heh? Naruto-kun?" perempuan berpenampilan seperti Kuniochi pada umumnya dengan baju yang menutupi leher jenjangnya namun di bagian dada atasnya sengaja tak tertutup sehingga semua orang bisa melihat belahan dadanya dan juga obi hitam melingkar di perutnya, pelindung bahu di kanan-kirinya, sarung tangan membungkus kedua tangannya, dan terakhir celana panjang hitam dengan perban di paha kanannya.

Naruto menurunkan kesiagaannya saat mendengar namanya disebut-sebut oleh perempuan itu, jika perempuan itu mengetahui namanya maka mereka pernah bertemu di suatu waktu. Otaknya berusaha menggali lagi ingatannya tentang orang-orang yang pernah ditemuinya.

"Masih tak mengingatku?" perempuan itu memutar-mutar kunai di salah satu jarinya dengan tangan lainnya yang berkacak pinggang, lama-lama mengesalkan juga dilupakan oleh pemuda pirang ini "Apa kita harus bertarung lagi agar kau mengingatnya?" tawar perempuan tersebut.

"Pertarungan?" jika perempuan itu berkata seperti begitu berarti sebelumnya mereka pernah bertarung dan hanya satu perempuan yang pernah bertarung dengannya saat pertama kali bertemu "Kau –Shizuka? Kunoichi dari Desa Nadeshiko itu?" Naruto berusaha memastikan jika nama itu sesuai dengan kunoichi yang ada di depannya.

Kunoichi itu mengangguk pelan dengan senyum manis terkembang di bibir tipisnya setelah Naruto menyebutkan namanya "Syukurlah kau tak melupakanku," ucap Shizuka dengan nada lega, diingat namanya saja dia sudah sangat senang.

"Hee?! K-kenapa kau bisa ada di Desa Konoha?" Naruto kaget bukan main mendengar ucapan yang keluar dari mulut Shizuka, ini memang tak biasa ketika masih ada yang mengingatmu selagi kau dilupakan. Tapi, bisa saja pemimpin Desa Nadeshiko itu datang ke tempat ini untuk tujuan yang lain.

"Tak perlu kaget seperti itu, aku hanya ingin mengunjungi seorang shinobi yang sudah menjadi pahlawan perang dan juga laki-laki yang pernah mengalahkanku untuk pertama kalinya," Shizuka melangkahkan kaki jenjangnya kearah tempat Naruto berdiri sekarang, sepasang iris emeraldnya menatap tangan kanan Naruto yang ditutupi perban "Kenapa dengan tangan kananmu, Naruto-kun?" tanya Shizuka sedikit khawatir.

"Oh, sebelumnya tangan kananku ini putus karena pertarunganku dengan Sasuke."

Shizuka tak bisa menyembunyikan raut wajah kekagetannya mendengar jawaban dari shinobi pirang ini, dia seakan tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Naruto bahkan tangan itu masih ada di tempatnya "Lalu kenapa tangan kananmu masih ada?"

Naruto hanya tersenyum kecil memaklumi ketidaktahuan dari kunoichi yang ada di depannya, tangan kanannya langsung menyimpan kunai di kantong peralatan ninja yang ada di belakang pinggangnya "Berkat sel dari Hokage Pertama, Tsunade-baa-chan bisa mengembalikan tanganku yang putus itu. Walaupun harus beberapa bulan menunggu."

Perlahan tapi pasti kedua tangan halus nan putih mulai memegang tangan Naruto seolah ingin meyakinkan dirinya jika tangan itu adalah tangan buatan "Maaf, seharusnya aku tidak menanyakan hal seperti itu padamu," sesal Shizuka diiringi dengan kedua tangannya yang terus melihat-lihat tangan kanan Naruto yang terasa seperti asli.

"Tak apa-apa, itu bukan salahmu."

Kedua pasang mata yang berbeda warna saling bertatapan satu sama lain, menandakan mereka berdua sangat nyaman satu sama lain. Pemilik iris emerald langsung memutuskan kontak visualnya dengan pemilik iris shappire, dia tak tahan jika harus bertatapan selama itu dengannya.

"Apa kau masih ingat perjanjian diantara kita, Naruto-kun?" tanya Shizuka sambil menggenggam tangan Naruto lalu menurunkannya, membuat kedua tangan berbeda saling bertautan satu sama lain.

Raut wajah bingung tercetak jelas di wajah tampannya, selama satu tahun ini masalah terus menghampirinya sehingga dia melupakan hal-hal kecil seperti ini. Tapi seingatnya, dia tak pernah membuat janji pada kunoichi yang ada di hadapannya.

"Perjanjian yang mana, ya?" dia menyerah untuk urusan ini, otaknya sudah penuh dengan masalah yang membuatnya lupa akan perjanjian yang dibicarakan oleh Shizuka.

"Dulu, Jiraiya-sama dan Tokiwa membuat perjanjian bagi penerusnya. Jika dari pihak Jiraiya-sama bisa mengalahkan pihak Tokiwa maka penerus Jiraiya-sama bisa menikahi penerus dari Tokiwa, tapi jika sebaliknya maka perjanjian itu akan batal. Dan kau tahu siapa pemenang pertarungan kemarin?" Shizuka kembali menatap kearah Naruto setelah melontarkan pertanyaannya lagi.

"Pertarungannya seri dengan kata lain tak ada yang menang atau'pun kalah," sedikit demi sedikit memori di otaknya mulai terbuka, gambaran jika mereka berdua sepakat untuk memutuskan jika pertarungan itu berakhir dengan seri. Terlebih lagi, Naruto harus kembali melanjutkan perjalanannya dengan berlayar.

"Sudah dua kali kau menyentuhku dan kau masih bilang itu seri?" lagi-lagi senyuman manis itu kembali tercetak di bibir tipisnya, sekarang ditambah semu merah di kedua pipinya.

Naruto jadi bingung sendiri, bukankah itu kesepakatan mereka untuk memutuskan bahwa pertarungan itu berakhir tanpa pemenang sekali'pun "Dengan kata lain aku pemenangnya dan kau memintaku untuk menikah denganmu, begitu?" ungkap Naruto dengan ekspresi biasa-biasa saja.

"Yap, sesuai dengan perjanjian," berbeda dengan Naruto, Shizuka terlihat sangat senang mendengar kata-kata itu meluncur dari mulut shinobi pirang yang ada di depannya.

"Bai~... APAAAA?!"

Respon otaknya yang lambat membuatnya terlambat menyadari apa yang sebelumnya dia katakan, ini tak seperti apa yang ada di dalam pikirannya. Jangan bilang jika Shizuka datang ke Desa Konoha untuk mengajaknya menikah, tapi dari ekspresi wajah Shizuka sepertinya dia tak mungkin mengatakan 'tidak'.

.

.

.

Matahari sudah menancapkan dirinya di bagian tertinggi dari langit biru tersebut, semakin tinggi matahari naik semakin panas juga sinar yang dihasilkannya. Orang-orang memilih untuk keluar dari rumah mereka hanya sekedar untuk mencari udara segar, di dalam ruangan membuat mereka seperti kue yang ada di dalam oven.

Dari banyaknya orang yang berlalu lalang, terlihat sepasang manusia yang memiliki warna rambut berbeda sedang duduk di bangku yang sudah disediakan tepat di bawah rimbunnya pepohonan. Sang perempuan terlihat sangat asyik sekali menikmati es krim putih yang ada di tangannya, berbeda dengan sang laki-laki –dia- hanya duduk termenung sambil memegangi kaleng softdrink-nya.

Mata shappire itu berusaha melirik perempuan tersebut dari ekor matanya, seulas senyum bulan sabit terukir di bibirnya. Entah mengapa dia merasa sangat senang jika melihat kunoichi yang ada di sebelahnya ini bahagia. Jika saja ia bisa berkata jujur, pasti dia sudah mengatakan jika perempuan itu datang di waktu yang sangat tidak tepat.

"Kenapa kau memandangiku seperti itu, Naruto-kun?" seakan tahu apa yang dilakukan oleh Naruto, Shizuka mulai membuka suaranya. Dia memang senang bisa diperhatikan oleh Naruto, tapi jika diperhatikan terlalu intens dirinya juga merasa risih akan hal itu.

"A-ah, ti-tidak. Aku hanya... tak menyangka jika akan bertemu denganmu lagi," ucapannya memang terbukti benar, tapi sebenarnya bukan itu yang dipikirkannya sekarang. Shinobi pirang itu tak mau menyakiti perasaan Shizuka jika dirinya akan pergi ke suatu tempat dan tak akan pernah kembali, yang berujung pada tidak ditepatinya janji tersebut. Dia hanya tak mau menorehkan kekecewaan seperti yang dialaminya.

"Hm?" Shizuka sedikit tertarik dengan perkataan Naruto, tapi berbanding terbalik dengan raut wajahnya saat ini "Katakan saja apa yang ingin kau katakan, Naruto-kun. Aku siap mendengarkan," usul Shizuka yang menyadari gelagat keragu-raguan di wajah Naruto.

Iris shappire itu melebar sebentar setelah mendengar apa yang dikatakan perempuan disampingnya, dirinya pasti terlalu kontras menunjukan ekspresinya. Dirinya mulai berpikir merangkai kata-kata di dalam otaknya agar bisa dimengerti Shizuka, karena ini menyangkut dirinya juga.

"Shizuka?"

"Apa?"

Pemuda pirang itu berusaha untuk mengumpulkan semua keberaniannya, remasan tangannya di kaleng softdrink-nya mulai mengeras membuat penyokannya semakin lama semakin meluas. Dia menghembuskan napasnya untuk menenangkan dirinya terlebih dahulu.

"Sepertinya aku tidak bisa menepati perjanjian itu," Shizuka terkaget mendengarkan ucapan yang terlontar dari mulut Naruto, dia seakan-akan bermimpi saat Naruto mengatakan kalimat itu padanya.

"Kenapa? Kenapa kau tak bisa menepatinya?" raut wajah yang sebelumnya terlihat bahagia tergantikan oleh raut wajah sedih, seperti saat dirinya ditinggalkan oleh Sagiri. Bahkan ini lebih menyakitkan daripada ditinggalkan oleh Sagiri.

Sebenarnya Naruto tak tega mengatakan hal ini pada Shizuka, terlihat dari raut wajahnya yang berubah menjadi sendu. Baru kali ini dia tak bisa menepati janjinya "Aku sudah berencana untuk pergi dari sini. Dengan memanfaatkan gulungan peninggalan ayahku, aku berencana ingin berpindah ke dimensi lain," inilah yang harus diketahui oleh Shizuka cepat atau'pun lambat.

"Berpindah dimensi?" beo Shizuka. Dia juga pernah mendengar jika Sang Pencipta Dunia Shinobi ini pernah melakukan perjalanan dimensi, hanya ninja selevel Dewa lah yang bisa melakukannya. Pemuda yang ada disampingnya, memang termasuk kedalam golongan tersebut.

"Bawalah aku bersamamu, Naruto-kun," Naruto tak bisa menyembunyikan ekspresi keterkejutan untuk kesekian kalinya, ditambah kedua tangan Shizuka yang bertumpu di salah satu pundaknya dengan kelopak matanya yang hampir menumpahkan air mengisyaratkan permohonan dari dalam hati terdalamnya.

"Tapi, Shizuka...," dia berusaha mencari alasan yang logis agar pemimpin Desa Nadeshiko itu mengurungkan niatnya, dia bahkan tak yakin jika perjalanan dimensi itu aman "Bagaimana jabatanmu sebagai Pemimpin Desa Nadeshiko? Mereka pasti mengira jika pihak Desa Konoha telah menculikmu, kau tak mau 'kan jika terjadi konflik antar desa lagi?" Naruto bisa melihat perubahan raut wajah dari Shizuka.

Wajah cantik tanpa cacat sedikit'pun bak seorang model mulai mendekat kearah Naruto "Aku bisa mengirimkan pesan pada Tokiwa agar mengambil alih kursi kepemimpinanku di Desa Nadeshiko, aku yakin dia pasti akan mengerti," iris mata emerald itu menyorotkan keyakinan yang sangat besar.

Kelopak mata tannya mulai tertutup, tekad baja sudah tertancap di dalam hati Shizuka "Bagaimana jika jutsu itu gagal? Kita berdua bisa~...," kelopak matanya langsung terbuka saat benda halus menyentuh salah satu pipinya.

"Setidaknya aku masih bisa bersamamu."

Udara yang bergerak cepat kembali menerpa kedua insan yang duduk berhadapan, mereka seakan membiarkan angin itu menyejukan suhu tubuhnya yang tinggi karena teriknya matahari. Salah satu tangan laki-laki blonde itu menyentuh dan meremas tangan perempuan yang menyentuh pipinya, senyuman tulus dari hatinya yang terdalam kembali terlihat.

"Jika itu keputusanmu...," pemuda blonde itu menggantungkan kalimatnya, manik shappire yang sebelumnya kehilangan cahaya menatap kearah Shizuka "...kita akan berangkat sore ini," lanjutnya.

Shizuka mau tak mau harus mengulum senyum di bibirnya, walaupun mereka berdua baru bertemu beberapa jam yang lalu. Tapi hati mereka terasa nyaman satu sama lain, ada untungnya guru mereka terdahulu mengikat perjanjian diantara mereka.

.

.

.

Duuuar! Duaaar!

Luncuran kembang api membelah langit yang mulai menjingga, suaranya menggelegar di langit yang tak berujung, memecah diri menjadi partikel-partikel berwarna menghiasi langit menjadi lebih indah lagi. Banyak sekali pasang mata yang menatap keindahan tersebut, terkecuali shinobi pirang yang berlari membelah lautan manusia di depannya.

Lampion-lampion tergantung sepanjang jalananan Desa Konoha, semua penduduk desa sedang menikmati pesta pernikahan antara Uchiha terakhir yang menjabat sebagai Hokage keenam dengan Kunoichi medis yang melampaui kemampuan Hokage kelima.

Pakaiannya yang terlalu mencolok membuatnya menjadi pusat perhatian dari semua penduduk desa, kesukaannya dengan warna oranye membuatnya dikenal sebagai Orenji no Shinobi. Sesekali mengedarkan pandangannya seperti mencari sesuatu, sementara kakinya terus bergerak mengikuti jalan desa.

"Itu dia," gumamnya saat menangkap sepasang manusia yang baru saja menjalin ikatan yang sangat sakral sedang menikmati pesta pernikahan mereka dengan melibatkan semua penduduk desa, laju kakinya semakin melambat seiring jarak dengan rekan setimnya sudah mulai menipis.

Kedua terlihat sangat serasi ditambah dengan pakaian mereka yang mereka kenakan, senyuman bulan sabit terlihat di bibirnya. Kunoichi bersurai buble gum melambaikan tangan kanan kearahnya mengajak si pirang itu agar mendekat, mau tak mau dia harus melangkahkan kakinya mendekati kedua orang tersebut.

"Selamat untuk kalian, Sakura-chan, Teme," Naruto langsung mengatakan hal itu setelah tak ada jarak lagi dengan rekan setimnya, cengiran lebar yang menjadi topeng yang menutupi perasaan yang sebenarnya terlihat kembali.

"Hn, terima kasih, Naruto," balas hokage muda berambut raven emo dengan senyuman setipis benang di bibirnya "Kenapa kau tak hadir saat upacara pernikahanku, huh?" tanya pemuda raven emo itu pada si kuning jabrik yang ada di depannya.

"Ahh, aku ada sedikit urusan tadi. Masih untung aku datang untuk memberikan ucapab selamat pada kalian berdua," tangannya yang diperban menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal sama sekali, hanya dengan cara ini dia bisa mengatasi kegugupannya.

"Sudahlah, Sasuke-kun. Terima kasih padamu juga, Naruto," kunoichi yang memiliki surai seperti permen karet stroberi itu mulai angkat bicara "Hari ini kau terlihat sangat... berbeda, Naruto," lanjutnya sambil terus menilik-nilik tubuh Naruto dari atas sampai bawah.

"Hahaha... itu hanya perasaanmu saja, Sakura-chan," Naruto hanya tertawa menanggapi tatapan menyelidik dari Sakura, berusaha bersikap senatural mungkin agar kedua rekan setimnya dulu tak mencurigai jika dirinya hanyalah klon bayangan dari yang aslinya.

"Benar apa yang dikatakan Sakura. Kau Kagebunshinnya 'kan?"

Perubahan ekspresi terlihat di wajah Naruto dengan wajah terkejut ditambah sepasang matanya yang membulat seperti bola pingpong, kemampuan Sang Hokage keenam ini memang tak bisa dipandang sebelah mata. Hanya selang beberapa detik, ekspresinya berubah seperti sedia kala.

"Apa yang kau katakan, Teme? Aku Naruto –sahabatmu," ucap Naruto yang tertawa garing diiringi tangannya yang menggaruk kepalanya.

Shiiing!

"Jangan coba-coba berbohong padaku," mata Eien no Mangenkyo Sharingan dan Rinnengan Chaku Tomoe milik reinkarnasi Indra itu menatap datar kearah Naruto, namun sangat tajam bagi orang yang ditatapnya.

"Hmm, sebenarnya~...,"

Buuuuzz!

Cahaya keemasan membelah langit Konoha, semua atensi terarah pada sinar keemasan yang menembus patung wajah Yondaime Hokage. Sebagian penduduk yang ada disana memasang raut wajah takut melihat berkas sinar tersebut, bahkan ada sebagian dari mereka yang sudah tak sadarkan diri.

Menjulangnya cahaya tersebut pasti akan terlihat oleh beberapa desa yang dekat dengan Konoha. Cahaya tersebut memang tak memiliki aura kekuatan yang menandakan bahwa cahaya itu tak akan berbahaya bagi orang-orang yang ada disekitarnya, semua orang ingin tahu siapa yang membuat sinar itu.

"Naruto?"

Hanya beberapa detik atensinya terarah pada sinar itu, sahabat sekaligus rivalnya sudah menghilang dari tempat berdirinya. Asumsinya tentang klon bayangan milik sahabatnya memang terbukti benar, ikat kepala berlambangkan Desa Konoha teronggok di tanah.

Sasuke melepas rangkulan Sakura yang sudah resmi menjadi istrinya, dia langsung berlutut lalu membawa ikat kepala tersebut. Otaknya merespon dengan cepat saat menyadari si Orenji no Shinobi lah pemilik ikat kepala ini, mata onyxnya juga melihat secarik kertas terselip di bagian besi pelindungnya.

Tangannya mengeluarkan kertas tersebut, sepasang matanya mulai bergerak membaca deretan tulisan tangan yang pasti dibuat oleh Naruto.

"Maaf jika aku hanya bisa meninggalkan sepucuk surat saja padamu, aku hanya mengirim bunshin untuk menemuimu. Aku turut senang melihatmu diangkat menjadi Hokage lalu sekarang menikah dengan Sakura-chan. Tapi aku rasa kebahagiaanku bukanlah di tempat ini, mungkin itu dasarku pergi. Jangan pernah mencariku! aku tak pernah tahu akan kembali atau tidak ke Konoha.

Jaga Konoha baik-baik, jangan pernah berniat untuk menghancurkannya lagi, Teme. Semoga kau bahagia."

Rasa panas disertai dengan aliran air meluncur bebas dari kedua pasang mata berbeda warna, kepalanya menunduk menyembunyikan raut wajahnya dengan surai ravennya "Tidak seharusnya kau pergi, Dobe," suara yang tidak lebih dari bisikan keluar dari mulut Sasuke.

Tangan kanannya meremas kertas tersebut, dia sangat menyesalkan keputusan yang dibuat oleh si kuning bodoh itu. Rasa bersalah muncul dalam hatinya karena dirinya mendapatkan impian yang selalu diagung-agungkan oleh Naruto, cara lain masih bisa di tempuh. Ini semua bukan keinginannya, tapi semua ini keputusan dari Daimyo dan juga tetua Konoha.

"Semoga kau juga bahagia disana, temanku,"

Kepalanya mendongak kembali, menatap awan yang berubah bentuk karena tertembus cahaya keemasan tadi. Seharusnya dari awal dirinya tidak menerima posisi ini, kemungkinan terbesar perginya Naruto adalah karena Hinata malah menikah dengan Sang Kazekage –Sabaku Gaara.

Sosok matahari yang selalu menyinari Konoha akhirnya pergi dengan kekecewaan besar di dalam hatinya, meskipun matahari itu pergi tapi orang-orang belum tentu mengingatnya lagi.

.

.

.

-beberapa menit sebelum sinar keemasan menembus langit-

"Jadi, itukah gulungan rahasianya?" manik emeraldnya terlihat penasaran saat menatap gulungan emas yang berada di tangan kanan shinobi blonde di depannya.

"Ya, hanya gulungan ini yang aku temukan," jawaban itu seolah menjadi akhir dari kepenasaran pemilik manik emerald tadi, shinobi pirang itu mulai berlutut dan membuka gulungan tersebut diatas permukaan tanah.

Shizuka juga melakukan hal yang sama dengan pemuda pirang itu, dia berlutut berhadapan dengan Naruto. Penglihatannya mulai teralihkan pada rentetan tulisan tangan di gulungan tersebut, matanya bergerak mengikuti arah tulisan tersebut.

"Shizuka, kita harus meneteskan darah kita diatas gulungan ini kemudian merapalkan segel tangan secara bersamaan. Dengan begitu gulungan ini akan bekerja," jelas Naruto yang sudah menyimpulkan isi gulungan yang ditinggalkan oleh ayahnya.

"Baiklah, ayo kita lakukan."

Mereka berdua menggigit jempol tangannya demi mendapatkan darah yang dibutuhkan oleh gulungan tersebut, seakan terbiasa dengan darah mereka membiarkan darah dari jempolnya menetes di atas kertas gulungan yang terbuka. Kedua pasang manik berbeda saling berpandangan satu sama lain.

Salah satu tangan mereka bertautan satu sama lain lalu mulai merapalkan segel tangan sesuai dengan petunjuk yang diberikan gulungan tersebut, tiba-tiba Naruto menghentikan gerakan tangannya. Dia tahu satu segel tangan lagi akan mengaktifkan gulungan tersebut.

Manik shappirenya menatap Shizuka dengan lekat seakan meminta kejelasan pada kunoichi itu atas jawabannya, Naruto tak mau jika Shizuka menyesal suatu hari nanti karena keputusannya sendiri dan mereka tak dapat kembali ke tempat ini lagi.

Shizuka menganggukan kepalanya tanpa ragu sedikit'pun. Dia sudah terlanjur, terlanjur jatuh cinta pada laki-laki yang ada di hadapannya sejak perpisahan terakhir mereka. Lagipula dia sudah menerima perjanjian itu dengan senang hati, dia akan hidup bersama-sama dengan Naruto.

Naruto akhirnya membimbing Shizuka untuk menyelesaikan segel tangan tersebut, keduanya bangkit berdiri dengan tangan yang saling bertautan satu sama lain. Keduanya saling bertatapan dengan senyuman menghiasi bibir masing-masing.

Dalam hitungan detik, tubuh mereka berdua sudah di selubungi oleh cahaya keemasan. Naruto sudah mengaktifkan mode Ashuranya untuk menghindari kegagalan jutsu perpindahan dimensi, tubuhnya sudah didominasi dengan warna kuning keemasan dengan aksen hitam sebagai hiasannya.

Shizuka sudah merapatkan tubuhnya dengan Naruto, melingkarkan salah satu tangannya yang bebas di pinggang shinobi pirang tersebut. Cahaya keemasan yang menyelubungi tubuh mereka semakin terang, meletup-letup pelan seperti air mendidih.

Buuuzzz!

Kelopak mata memejam erat, saling merangkul satu sama lain membuat rasa khawatir akan jutsu ini menghilang. Gravitasi bumi seolah tak mempengaruhi mereka lagi, kedua tubuh itu terasa dilemparkan sekuat tenaga oleh sesuatu kekuatan.

Seberkas sinar keemasan menjulang menuju langit yang tak terbatas itu beriringan dengan tubuh keduanya yang menghilang, sedetik kemudian gulungan yang terbuka diatas tanah mulai terbakar. Seakan-akan ingin melenyapkan barang bukti jika sebelumnya ada orang yang datang ke tempat tersebut, gulungan emas berubah menjadi debu yang langsung menguap ke udara.

Reinkarnasi Ashura itu memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahirannya, mencari kebahagiaannya sendiri di dunia barunya. Daripada harus terjebak dengan impian semunya, lebih baik dia hidup di dunia yang baru dan memulai kehidupan baru. Kehidupan layak yang penuh dengan ketentraman bersama dengan mantan pemimpin Desa Nadeshiko, sesuai dengan perjanjian.

To Be Continued...

Salam kenal untuk semuanya dari author baru ini...

Maaf jika jalan ceritanya tak begitu dimengerti oleh kalian, semoga saja kalian bisa memberikan kritik dan saran ke depannya. Saya hanya coba-coba saja, jika cerita ini memang mendapat respon negatif dari orang yang sudah membaca maka saya sendiri yang akan menghapusnya langsung.

Terima kasih sudah meluangkan waktunya hanya untuk cerita tak jelas milik saya...

[TTD: Yami Ikuto]