Disclaimer: 17 Pledis Entertainment


.

.


Metaphorical Heart


.

.


11


"Aku betul-betul serius ingin menikahimu." Mingyu memberitahu Wonwoo berulang kali setelah malam itu. Sambil memandang Wonwoo dengan tatapan menuntut dan kedua tangan diletakkan di bahu yang lebih tua, mencegahnya melarikan diri untuk menghindar dari pembicaraan itu.

"Jangan konyol Gyu." Itu respon Wonwoo keesokan harinya ketika Mingyu memojokkan dan memaksanya untuk membalas tatapan pemuda itu di lorong depan kelasnya sepulang sekolah. Tidak ada orang kecuali mereka berdua di sana sore itu sehingga nyaris tidak ada celah untuk Wonwoo melarikan diri. Ke arah mana saja dia melayangkan pandang, tidak terlihat satu sosok manusia pun yang bisa membantu dia melarikan diri dari Mingyu dan lamaran konyolnya.

Mingyu membalas dengan mengerutkan kening dan pandangan bingung. "Konyol? Menurutmu ajakanku untuk menikah itu konyol?"

"Kita masih terlalu muda," bisik Wonwoo tidak berdaya. Namun mengingat sirkumtansi mereka, tidak ada masalah bagi Mingyu untuk bisa mendengarnya jelas.

"Persetan dengan usia," jawab Mingyu kasar. Jari-jarinya tenggelam di daging bahu Wonwoo, memancing erang kesalitan lolos dari bibirnya. Mingyu berbicara seraya mengeraskan rahang geram. "Kita berdua saling mencintai hyung. Tidak ada istilah terlalu muda untuk dua orang yang saling cinta mengikat hubungan dengan pernikahan."

Wonwoo menghela napas lemah sebelum menjawab, "Entahlah Gyu, aku tidak ingin kita terlalu terburu-buru dengan hubungan kita dan menyesal."

"Menyesal? Aku tidak akan pernah menyesal menikah denganmu." Mingyu mendengus. Sesaat kemudian melempar tatapan menuduh ke arah kekasihnya itu. "Atau apa kau mengatakan kalau kau takut menyesal seandainya menikah denganku?"

"Tentu saja tidak." Nyaris sekencang lari Usain Bolt Wonwoo menyangkal. "Ya Tuhan. Orang seperti apa yang akan menyesal kalau sudah mendapatkan kau sebagai suami?"

Mingyu mengernyit. Bertanya dalam hati mengapa Wonwoo begini? Bukan hanya satu atau dua kali. Tapi dia sudah terlalu sering menghadapi Wonwoo yang seperti ini. Tindakan dan kata-katanya sangat bertolak belakang. "Lalu kenapa? Apa kau hanya tidak ingin menikah denganku? Kau tidak yakin denganku?"

"Bukan begitu, oke?" Wonwoo menarik napas panjang. "Tentu saja aku ingin menikah denganmu. Tapi coba bayangkan Gyu. Kita sekarang saling mencintai. Hubungan kita masih baru dan tentu saja perasaan kita masih sangat kuat. Karena itu kau sangat menggebu-gebu ingin menikah sekarang. Tapi bagaimana kalau... bagaimana kalau kita sudah menikah setelah lulus SMA. Aku masih sembilan belas, kau masih delapan belas. Sama-sama naif dan hanya tahu satu sama lain. Lalu kita masuk kuliah. Bertemu orang-orang baru dan...dan jatuh cinta. Tapi kita sudah terlanjur menikah. Lalu apa yang akan kita lakukan?"

"Apa kau berencana mencari kekasih baru saat kuliah?"

"Tentu saja tidak. Tapi selalu ada kemungkinan kan?"

"Tentu saja selalu ada kemungkinan. Dengan 50 persen kemungkinan buruk dan 50 sisanya yang baik. Misalnya: kita akan menikah, masuk kuliah, bertemu orang-orang baru dan memperluas jaringan pertemanan, di penghujung hari kembali ke satu sama lain, memakan popsicle berdua sambil menonton Home Alone di ruang tengah apartemen kita, mengadopsi seekor anjing yang lucu, dan kalau kau ingin, kita bisa mengadopsi anak juga suatu hari, lalu saling mencintai sampai tua sambil mengawasi anak kita tumbuh dewasa. Bukankah itu gambaran masa depan yang indah?"

Sepanjang Mingyu melontarkan idenya tentang masa depan pernikahan indah mereka, Wonwoo tidak sadar dirinya ikut terlena. Selama beberapa detik yang singkat itu dia membiarkan imajinasinya melayang seturut perkataan Mingyu. Potongan-potongan potret berisi gambaran masa depan yang berwarna dan penuh bunga (sama seperti dadanya), sebuah rumah di pinggir kota yang tenang dengan halaman yang luas dipenuhi tanaman herbal miliknya seperti yang ditanam ibunya di halaman belakang, pulang ke rumah dan menyantap hidangan yang sudah dimasakkan Mingyu, Wonwoo menginginkan seorang anak perempuan dan seekor anjing yang mirip dengan Mingyu, menghabiskan sabtu sore di ruang tengah sambil menonton film keluarga dan menghisap popsicle dengan kaki saling mengait di bawah selimut. Sangat domestik.

"Karena itu kenapa kau malah membuat perencanaan yang payah seperti itu untuk kita?" Mingyu berbicara lagi, segera menghentak Wonwoo keluar dari lamunannya

Wonwoo membuang napas lemah. "Aku tidak tahu Gyu," ujarnya. Kerutan di atas dahinya bertambah satu setiap satu kata yang terucap. "Aku sudah pernah membuat janji seperti ini dulu dengan Sejeong." Raut wajah Mingyu seketika berubah masam saat nama Sejeong mengudara dari bibir Wonwoo tetapi dia berpura-pura tidak menyadarinya. Hanya melanjutkan santai. "Lihat saja bagaimana kami sekarang. Aku bahkan sudah tidak melihat bagian belakang tubuhnya selama berapa bulan. Aku tidak mau membuat janji yang sama dan terpaksa mengingkari janji itu lagi."

Mingyu membalas dengan mengeluarkan suara yang tidak koheren. Kedengarannya seperti raungan putus asa. "Tapi ini berbeda hyung. Kita berbeda." Mingyu menekankan 'kita'. "Memangnya waktu kau berjanji dengan Sejeong umurmu berapa? Dan kalian membuat perencanaan untuk kapan? Lagi pula kau tidak betul-betul jatuh cinta dengan Sejeong. Terlalu tidak adil untuk membandingkan itu dengan situasi kita sekarang."

Wonwoo bergeming tidak menjawab. Apa yang diucapkan Mingyu sebenarnya masuk akal. Tidak benar kalau Wonwoo membandingkan ajakan menikah Mingyu sekarang dengan janji yang dia ucapkan sebagai bocah tiga belas tahun yang naif dan merasa tahu banyak hal lebih dari lima tahun lalu kepada Sejeong. Sirkumtansinya terlalu berbeda. Sejujurnya Wonwoo hanya ingin keras kepala. Karena dia takut. Pernikahan adalah sesuatu yang besar. Mereka tidak boleh bermain-main dan terlalu lancang mengambil keputusan untuk hal serius begitu. Tidak ada yang tahu kapan dan bagaimana cinta berakhir. Hubungan berakhir. Pernikahan berakhir. Manusia juga bisa berakhir hanya karena cinta. Seperti Guru Jung. Lagi-lagi Wonwoo bergidik mengingat gurunya yang malang.

Selagi Wonwoo tersesat dalam bayangan mengerikan di kepalanya, dia tidak menyadari Mingyu sudah menginvasi ruang bernafasnya. Saat dia menoleh, tanpa diharapkan hidung Mingyu sudah bersentuhan dengan ujung hidungnya, mata pemuda itu mengunci pandangan di iris coklat Wonwoo seolah tidak rela membiarkannya menggunakan mata itu untuk memandang objek lain yang bukan wajah Mingyu. Berkat gerakan tidak adil Mingyu itu, Wonwoo segera lupa dengan apa yang dia pikirkan tiga detik yang lalu atau bagaimana cara yang benar untuk bernafas.

"Apa yang kau takutkan?" Mingyu berbisik tepat di atas kulitnya. Sensasi menggelitik dari napasnya yang hangat secara aneh membuat Wonwoo merasa damai.

Wonwoo menutup mata pasrah dan menggigit bibir bawahnya. "Mingyu, kau sudah tahu tentang Guru Jung..."

"Yeah?"

Masih dengan posisi yang identik dengan detik sebelumnya, Wonwoo menelan liurnya sebelum bergumam. "Yeah."

"Kau takut aku selingkuh?"

Wonwoo tidak menjawab.

"Atau takut kau yang selingkuh?"

Wonwoo membuka mulutnya, siap dengan seribu sangkalan namun segera mengurungan niatnya dan menelan kembali katanya. Bukan tidak mungkin hal seperti itu terjadi.

"Jeon Wonwoo, berhenti berpikir dengan kepalamu yang penuh paranoia." Selagi membisikkan kata-kata itu di atas kulitnya, Wonwoo merasakan tangan Mingyu mencari tangannya di bawah sana. Meraih tangan kanannya dengan tangan tangan kiri Mingyu, meletakkan setiap jemarinya di antara celah jemari Wonwoo. Wonwoo tidak bisa tidak memikirkan betapa jari-jari Mingyu yang panjang dan besar sangat sesuai dengan miliknya yang lebih kurus dan sedikit lebih kecil. Seolah memang dirancang khusus untuk mengisi celah jemari satu sama lain. Entah bagaimana sentuhan kecil itu membuat Wonwoo merasa sedikit percaya diri. Menggugah alter egonya. Ini rasanya sangat tepat, pikir Wonwoo. Dia memang seharusnya ada di sini. Bersama Mingyu. Menggenggam tangannya seolah seluruh hidupnya tergantung pada itu.

"Aku sudah mencintaimu sejak aku tahu cinta. Aku mencintaimu sekarang. Dan akan mencintaimu besok, lusa, selamanya. Sampai maut memisahkan kita."

Mingyu menyuarakan kata-kata menenangkan itu dengan lembut di telinganya. Dan meski ini bukan kali pertama telinga Wonwoo dimanjakan dengan pernyataan itu, jantungnya masih tetap berdebar gila seperti saat dia mengecup Mingyu pertama kali. Hatinya masih terasa begitu tersentuh seperti malam itu di kamar Mingyu saat mereka memutuskan untuk jujur mengenai isi hati mereka. Tanpa Wonwoo sadari, itu membuatnya menangis. Bukan karena kesedihan. Melainkan akibat perasaan penuh di bawah dadanya. Rasa yang sama seperti bunga-bunga bermekaran di setiap cabang alveoli di dalam paru-parunya (lagi dan lagi sampai penuh seluruh darahnya bukan oleh oksigen tapi oleh kelopak bunga cinta yang indah).

"Wonwoo aku menicntaimu. Sangat sangat mencintaimu. Tidak bisa berhenti mencintaimu. Kau dan sikap egoismu. Kau dan sifat tukang perintahmu. Kau dengan seluruh insekuritimu. Aku sangat sangat sangat sangat mencintaimu. Tidak ada dan tidak akan pernah ada orang lain. Bagaimana caranya untuk membuatmu mengerti hatiku?"

Suara Mingyu terdengar lembut namun rasa frustasinya sangat kentara dalam penekanan setiap katanya. Wonwoo bisa merasakannya. Oleh karena itu dia memaksa suara yang seakan terperangkap dalam tenggorokannya untuk membalas, "Aku juga mencintaimu Mingyu."

Hanya itu. Tidak ada rentetan kalimat panjang untuk mengimbangi pernyataan Mingyu. Tapi itu sudah cukup untuk memunculkan kembali senyuman pemuda itu. "Wonwoo?"

"Ya?"

"Ayo kita menikah setelah lulus SMA."

Tangisan Wonwoo menjadi semakin kencang setelah itu. Bukan hanya sekedar air mata yang mengalir dan hidung yang memerah tapi juga diikuti raungan keras yang menyebabkan Mingyu panik. Elusan penuh afeksi dan puluhan kata menenangkan diberikan Mingyu demi meredakan tangisnya. Wonwoo meletakkan punggung tangan kanannya di depan mulut untuk meredam suaranya, membawa tangan Mingyu serta karena dia belum melepas tautan tangan mereka sama sekali (Mingyu sama sekali tidak keberatan).

Di antara raung tangis dan suara-suara yang nyaris terdengar tidak manusiawi lolos dari tenggorokan Wonwoo, terselip satu kata "ya" singkat.

.

.

.

Dua hari kemudian Wonwoo menemukan dirinya duduk di salah satu kursi ruang makan Kelurga Kim. Kim Mingyu di sisi kanannya, membiarkan jari mereka tertaut sama seperti kemarin. Tangan Wonwoo berkeringat hebat diakibatkan rasa gugup yang menjadi. Wajahnya ditundukkan menghindari kontak mata dengan ayah-ibunya serta Tuan-Nyonya Kim. Meski begitu, dia tidak gagal merasakan tatapan tajam (entah marah atau lelah atau campuran keduanya) yang ditujukan ke arah dirinya dan Mingyu. Mereka seperti sedang berada di meja persidangan. Mingyu menggerak-gerakkan jempolnya di atas kulit Wonwoo, mencoba menghilangkan rasa gugup Wonwoo dengan gerakan sederhana itu. Wonwoo, sama sekali tidak hilang gugupnya.

"Ini akan baik-baik saja. Kita akan baik-baik saja." Mingyu sudah mengulangi kalimat yang sama setiap dua menit sekali selama dua hari. Keringat di pelipis dan telapak tangan Mingyu berkata sebaliknya.

"Jadi..." suara Tuan Kim sangat berat, jauh melebihi Wonwoo. "Kalian serius tentang rencana ingin menikah."

Mingyu, melawan rasa gugupnya berada pada tekanan atmosfer yang berat berusaha menjawab percaya diri. "Ya, ayah."

Wonwoo mendengar suara dengusan nafas yang keras. Lalu hening selama beberapa detik sebelum ibunya berbicara. "Pernikahan bukan sesuatu yang main-main. Kalian berdua sadar itu kan?" Persis apa yang dipikirkan Wonwoo begitu mendengar lamaran Mingyu kali pertama malam itu.

Lagi-lagi Mingyu menjawab. "Tentu saja, Bi." Dia mengeratkan pegangannya pada tangan Wonwoo. "Kami juga tidak bermaksud bermain-main dengan ini."

Dengusan lain lolos dari hidung salah satu orang dewasa itu. "Mingyu, Wonwoo..." Itu adalah suara Ayah Mingyu lagi. "Kami mengerti perasaan kalian. Sangat mengerti."

Tapi kalian tidak mengerti.

"Kami juga pernah muda," Tuan Kim terdengar jengah. Mereka sudah ada dalam sesi diskusi ini selama lebih dari sepuluh menit. Mingyu yang memberitahu rencana mereka untuk beberapa bulan yang akan datang dengan lantang begitu piring-piring disingkirkan dari atas meja. Awalnya mereka pikir itu hanya salah satu dari lelucon kedua remaja itu. Tapi setelah melihat lebih jauh ke dalam determinasi di bola mata gelap Mingyu dan kepala Wonwoo yang ditundukkan tidak percaya diri seolah baru saja tertangkap basah melakukan kejahatan, keempat orang dewasa itu paham bahwa Mingyu betul-betul serius dengan perkataan dan keinginannya.

Sekarang yang menjadi masalah adalah kedua anak itu masih terlalu muda. Keputusan yang mereka ambil untuk masa depan mereka sekarang belum bisa dipercaya sepenuhnya. Bukan berarti bahwa pasangan Kim dan Jeon berharap bahwa suatu hari nanti—kalau tidak sekarang—Mingyu dan Wonwoo akan sadar bahwa mereka tidak diciptakan untuk bersama dan akhirnya memutuskan untuk menjalani hidup sendiri-sendiri. Satu-satunya harapan mereka untuk hubungan kedua anak lelaki mereka adalah jalan penuh kebahagiaan supaya mereka bisa bersama sampai tua. Tapi tetap saja, tidak ada yang tahu kehidupan. Bisa saja mereka bertengkar hanya satu bulan setelah pernikahan mereka, mereka masih sangat muda. Ditambah lagi jika mempertimbangkan rekam jejak hubungan mereka sejauh ini, tidak satu pun dari mereka yang percaya kalau Wonwoo dan Mingyu—khususnya Wonwoo—akan cukup bijak menghadapinya.

"Menikah bukan hanya soal bersumpah di altar, mendaftarkan diri di catatan sipil sebaga suami istri, lalu hidup bahagia selamanya," kata Nyonya Jeon hati-hati. "Ibu harap kalian mengerti, nak. Ada lebih banyak hal-hal rumit yang harus kalian hadapi setelah menikah. Wonwoo belum siap untuk itu. Aku sangat mengenalmu."

"Tenanglah Bi, aku bisa mengatasi itu semua." Mingyu bersikeras. "Percaya pada kami. Kami sangat saling mencintai."

Lalu seseorang di antara mereka berempat, terdengar kesal dan sudah habis kesabaran menantang dengan pertanyaan, "Sebenarnya apa yang kalian takutkan? Sampai-sampai memaksa menikah secepat itu? Apa yang kau takutkan Mingyu?"

"Aku..." Mingyu berhenti sejenak. Tangannya yang menggenggam Wonwoo sedari tadi dilepas dari sana dan diletakkan begitu saja di atas pahanya sendiri. Seperti diserang tepat pada titik terlemahnya. Apa yang dia takutkan? Entahlah. Mungkin ketidakpercayaan Wonwoo pada hubungan mereka. Mungkin adanya probabilitas 50 persen yang diucapkan Wonwoo padanya dua hari lalu. Mungkin ketakutannya kalau Wonwoo tidak ada di sampingnya selalu maka akan ada Hoshi Hoshi dan Sejeong Sejeong lain yang menggoyahkan perasaan Wonwoo kepadanya. Mungkin itu adalah bentuk ketidakpercayaan dirinya. Jika dia tidak mengikat Wonwoo sekarang, dia takut suatu hari nanti dia akan menyesal. Bukan hanya Wonwoo yang takut bahwa salah satu dari mereka akan berubah. Mingyu juga memiliki ketakutan yang serupa. Dia hanya lebih pandai menyembunyikannya selama ini. Bahkan sampai detik ini. Dia menutupi insekuriti itu dengan berpura-pura bahwa semuanya akan baik-baik saja. Lalu memanipulasi Wonwoo dengan memaksakan ide-ide tentang masa depan ke dalam kepalanya.

Pada akhirnya Mingyu itu pendusta. Dia tidak betul-betul percaya dengan perkataan orang "jika kau mencintai seseorang, kau melepaskannya jika dia ingin pergi". Itu adalah omong kosong. Dia persis seperti yang dikatakan Hoshi dan Sejeong kepada kekasihnya ini. Cintanya itu egois dan serakah. Dia ingin memiliki Wonwoo seorang diri. Selamanya. Kalau Wonwoo ingin lepas darinya suatu hari nanti, dia ingin punya alasan untuk tetap menahannya.

"Aku sangat mencintai Wonwoo," ujar Mingyu pelan. Seperti seseorang yang sudah kalah. Akhirnya menyadari kesalahan dalam niatnya.

"Kami tahu Gyu. Tentu saja kami tahu." Ibu Mingyu berujar lembut di depannya. Dia tidak terlihat menghakimi atau merasa lelah. Hanya sekelebat pemahaman tergambar di iris matanya yang kelam seperti milik Mingyu. Mingyu mewarisi mata itu dari Ibunya, persis serupa. "Tapi cinta bukan berarti kalian harus terburu-buru meresmikan hubungan kalian sekarang. Ibu takut itu hanya akan menjadi beban untuk kalian."

"Tidak Bu," erang Mingyu. "Aku tidak akan pernah merasa terbeban."

Nyonya Kim tersenyum paham. "Ibu tahu. Tetap saja, Ibu ingin kalian menjalani masa muda kalian senormal mungkin. Lulus SMA, masuk universitas, bertemu orang-orang, berpacaran seperti orang muda lain, bersosialisasi dengan orang lain secara normal. Kalau kalian memaksa langsung menikah setelah lulus SMA, ibu takut kalian akan melewatkan kesempatan untuk menjadi dewasa dengan normal. Ibu ingin kau mengerti itu."

"Kau adalah anak muda yang cerdas, kami percaya kau bisa mengerti dengan keinginan kami ini."

Mingyu bungkam. Aku tidak ingin menjadi normal kalau itu berarti aku bisa saja kehilangan Wonwoo nanti. Aku tidak ingin bertemu orang-orang baru yang tidak kupedulikan sementara seseorang mendekati Wonwooku dan berusaha merebutnya dariku. Aku tidak ingin...

Wonwoo meletakkan tangannya di atas punggung tangan Mingyu. Memberikannya remasan yang dimaksud untuk menenangkan emosi Mingyu yang tidak karuan. Saat Mingyu mengangkat kepala untuk melihat Wonwoo, pemuda itu sedang menatap lurus ke arah orang tua mereka. Tersenyum percaya diri, tidak seperti Wonwoo yang akhir-akhir ini sering dia tunjukkan kepada Mingyu. Untuk sesaat dia kembali menjadi Wonwoo tujuh tahun. Yang membawa Mingyu dari depan gerbang rumahnya dan menghentikan tangisannya dengan sebatang popsicle dan game di kamarnya. Hyung yang sangat dikagumi oleh Mingyu.

"Tentu saja kami mengerti," kata Wonwoo. Membuka suara untuk pertama kali malam itu. "Mungkin kami memang belum cukup dewasa untuk menikah sekarang."

Oh tidak. Itu tidak sama seperti yang dipikirkan Mingyu. "Wonwoo apa yang..."

Wonwoo tidak memberi kesempatan untuk Mingyu berbicara. "Karena itu kami akan pergi kuliah, menikmati masa muda kami dan kembali mengumpulkan kalian seperti ini setelah itu untuk meminta restu menikah."

"Cukup adil."

Lalu perbincangan itu ditutup. Diganti dengan membicarakan nilai-nilai sekolah dan rencana untuk masuk universitas. Mingyu sama sekali tidak diberi kesempatan untuk protes lagi mengenai rencana pernikahannya. Dia juga tidak punya energi tersisa untuk melakukannya. Merasa terkhianati oleh kepatuhan Wonwoo pada keinginan orang tua mereka.

.

.

.

"Berikan jari kelingkingmu."

"Untuk apa?"

"Tentu saja untuk membuat sumpah."

Wonwoo dengan ragu menjalankan jari kelingkingnya yang teracung menyongsong milik Mingyu yang sudah menggantung di udara selama beberapa detik. Dalam waktu singkat kedua jemari mereka sudah tertaut. Wonwoo menadah untuk memandang wajah Mingyu dan segera bertemu dengan mata pemuda itu yang nampaknya sudah memandanginya sejak beberapa menit lalu dengan pupil yang mengecil, menunjukkan seberapa jatuh cintanya dia dengan Wonwoo. Mingyu memamerkan salah satu senyum lembut dengan taringnya.

"Kita akan bersama selamanya," Mingyu berkata lembut seraya menautkan kelingking mereka.

Melihat Mingyu yang seperti itu membuat Wonwoo tidak kuasa melawan dorongan dari dalam dirinya yang tanpa pikir panjang menggerakkan otot-otot di sekitar rahangnya sehingga dia membalas senyum kekasihnya itu.

Wonwoo ingat. Mereka pernah melakukan ini. Bertahun lalu di saat satu-satunya yang penting bagi mereka hanyalah berbagi popsicle dan menonton Home Alone berdua di ruang tengah. Dia dulu membuat Mingyu berjanji untuk tidak sekali pun menghabiskan popsicle tanpa dirinya dan dia akan melakukan hal yang serupa. Popsicle itu adalah simbol persahabatan mereka bahkan hingga hari ini, setelah persahabatan berganti menjadi sesuatu yang lebih.

Kali ini Mingyu mengacungkan jari kelingkingnya untuk disambut Wonwoo bukan hanya untuk mengulang sentimen yang sama lantas membuat janji serupa.

"Berjanjilah," katanya lambat. Kelingking meremas jari terkecil Wonwoo lebih erat "Walau kita tidak diijinkan langsung menikah setelah lulus SMA, kau tetap akan mempertahankan cinta kita. Hatimu tidak akan berubah."

Wonwoo membiarkan senyumnya semakin merekah mendengar Mingyu. "Janji."

"Kau tidak akan pernah jatuh cinta dengan orang lain dan kita akan menikah setelah kita cukup dewasa menurut orang-orang."

"Janji."

"Berjanjilah..."

"Mingyu." Wonwoo memotong sebelum Mingyu membuat janji lain yang konyol. Dia meletakkan satu tangannya di atas pipi Mingyu dan memandangnya lembut. "Ayo kita menjalani hubungan ini dengan normal seperti kata Bibi."

Mingyu menghela napas lemah."Aku tidak pernah ingin kehilanganmu."

"Kau tidak akan," jawab Wonwoo dengan bisikan. Tangannya digunakan untuk mengelus-elus pipi Mingyu. Saat melihat yang lebih muda seolah meleleh di bawah sentuhannya, Wonwoo menyadari betapa jatuh cintanya dia dengan Mingyu. Bukan hal baru tapi rasanya sepeti itu. "Mingyu!"

"Hm?"

"Cinta itu apa?" Wonwoo bertanya.

Mingyu diam sejenak. "Cinta..."

"Apakah cinta itu sangat sederhana? Ingin menikah karena kita jatuh cinta. Tidak ingin menikah jika kita tidak jatuh cinta."

Mingyu tertawa ringan. "Kau betul-betul membuatnya terdengar sederhana sekali. Kata orang tua kita pernikahan bukan sesuatu yang sederhana."

"Hoshi bilang cinta tidak sederhana. Tidak ajaib seperti dalam buku cerita."

"Cinta itu..." Mingyu berujar pelan. "Perasaan hangat saat bersama seseorang." Mengulangi sesuatu yang sudah dia katakan lima tahun lalu. "Seperti saat aku memandang matamu. Seperti saat kau memberitahu kau mencintaiku. Seperti tanganmu yang ada di atas kulitku dan membuat dadaku seperti akan meledak. Seperti melihat seseorang yang sudah tumbuh bersamaku selama sepuluh tahun membicarakan tentang cinta dengannya dan menyadari bahwa aku ingin selalu melihatnya seperti ini di atas tempat tidurku, aku sangat ingin menikahinya lalu sebuah suara yang lain dalam kepalaku memberitahuku 'Bodoh, untuk apa mengarang-ngarang arti cinta yang lain, ini adalah cinta.'"

Wonwoo tertawa pelan, lalu membalas lagi, "Berbagi popsicle dan menonton Home Alone berdua."

"Apa hyung?"

"Dulu kau pernah bilang kalau cinta di antara kita adalah berbagi popsicle, mengobrol, atau saat kita menonton Home Alone berdua, makan popcorn buatan eomma atau bibi, itu adalah cinta."

"Benar," jawab Mingyu. "Kita sudah melakukan itu sejak kecil. Ayo kita tetap melakukannya sampai tua. Karena itu... karena itu jangan pernah mencari defenisi lain dari cinta dengan orang lain."

Wonwoo tidak mengeluarkan sepatah kata pun sebagai balasan. Hanya meletakkan satu tangan di atas dada Mingyu, tepat pada titik yang menyembunyikan organ inti seluruh peredaran darah di bawah kulit kekasihnya. Dia bisa merasakan detak brutalnya di bawah berlapis-lapis benang dan kulit yang menutupinya. Begitu memburu hingga dia takut arteri utamanya akan pecah dan venanya kian membelit satu dengan yang lain. Itu bisa membunuh Mingyu. Tapi Wonwoo tidak senaif itu. Dia tahu pasti bukan itu yang tengah terjadi. Kekacauan di bawah kulitnya tidak akan betul-betul membunuhnya. Ketika memikirkan bahwa dialah yang menjadi alasan kekacauan itu di sekitar dada Mingyu, Wonwoo tidak bisa tidak merasa puas diri.

Dia memiliki efek seperti ini kepada Kim Mingyu. Yang dari yin nya. Segala sesuatu yang baik yang sudah terjadi dalam hidup Wonwoo. Yang mengisi paru-parunya penuh dengan kelopak-kelopak indah yang sekarang dia tahu tidak akan pernah menyakitinya lagi.

Malam itu Wonwoo tidur. Satu tangan di atas dada Mingyu. Dia delapan belas tahun. Membiarkan matanya yang lelah menutup tanpa rasa khwatir akan hari esok. Karena jika dia terlelap malam ini, besok dia akan bangun dan Mingyu masih akan tetap mencintainya. Dia tidak takut dengan apa pun yang menanti mereka di masa depan. Wonwoo percaya, malam ini, besok, lusa, sampai lima puluh tahun ke depan, bunga-bunga di dalam dada mereka tidak mungkin layu begitu saja, mereka tidak akan kehabisan popsicle untuk dibagi, sama halnya dengan cinta di dalam hati mereka.

.

.

.

.

Waktu berlari terlalu cepat seperti sedang melarikan diri dari kejaran orang gila. Tiba-tiba saja hujan bulan November sudah digantikan oleh butir-butir putih es yang dingin. Temperatur dengan sangat cepat menurun di kota kecil mereka. Wonwoo tidak bisa meninggalkan rumah jika tidak dengan setidaknya empat lapis baju hangat.

Mereka membuat perayaan natal bersama keluarga Mingyu. Dengan pohon natal yang tidak lebih tinggi dari Wonwoo diletakkan di ujung ruangan, ada kalkun panggang untuk makan malam dan segelas coklat hangat yang dibagikan kepada setiap orang saat acara bertukar kado. Wonwoo membeli sweater pasangan yang mirip untuk dia dan Mingyu lalu sarung tangan untuk bepergian di musim dingin kepada keempat orang tua mereka. Sementara Mingyu menghadiahinya dengan cincin titanium yang sederhana tapi terlihat sangat cantik melingkar di jari manis Wonwoo.

"Anggap saja sebagai pengganti cincin pernikahan kita yang ditunda," kata Mingyu sambil tersenyum. Gigi taringnya yang mencuat dari balik senyumnya, mengalahkan dinginnya temperatur dua puluh empat september dan membuat pipi Wonwoo terasa hangat.

Segera setelahnya tahun sudah berganti, Wonwoo pergi ke kuil bersama Mingyu untuk mendoakan peruntungan yang baik bagi mereka tahun ini. Wonwoo meminta agar dia bisa dikirim ke SNU bersama Mingyu pertengahan tahun ini dan supaya hubungan mereka bisa bertahan untuk jangka waktu yang sangat lama dan ketika berkata lama, Wonwoo tidak berbicara tentang hari yang banyak melainkan tahun yang banyak, kalau bisa sampai maut memisahkan. Lalu di ujung doanya, diam-diam dia berdoa untuk Hoshi dan Seokmin, juga untuk persahabatannya dengan Hoshi. Dia tidak berbicara dengan pemuda sipit itu sejak November. Kalau harus jujur, meski masih sedikit kesal, dia rindu Hoshi dengan lelucon konyolnya.

Valentine hanya dirayakan dengan dua bungkus popsicle merah yang dibeli Mingyu sepulang sekolah di toko kelontong di persimpangan jalan.

Beberapa bulan terakhir di Sekolah Menengah dihabiskan dengan berlembar-lembar soal latihan dan dua gelas kopi setiap hari, satu di pagi hari sebelum berangkat sekolah dan gelas lainnya saat dia menghabiskan nyaris sepanjang malam di tempat belajar. Tidak ada waktu untuk bermain atau sesi bermesraan seperti sebelumnya. Mingyu mencoba untuk tidak keberatan meski rasanya sulit.

Satu hari antara April dan Mei, Wonwoo datang kepada Hoshi membawa kotak bekal makan siang bersama sekotak susu strawberry. Dia menggeser buku-buku yang ada di atas meja temannya itu lalu menggantinya dengan kotak bekalnya.

Hari itu Wonwoo mengabaikan kerutan di atas dahi Hoshi yang menatapnya penasaran. Pemuda bermata sipit itu hanya menontonnya membuka tutup bekal dan menusukkan sedotan ke kotak susu strawberrynya.

Seolah tidak peduli apa pendapat si pemilik meja, Wonwoo meraih sumpitnya, menggunakannya untuk mengambil nasi dan mulai makan dengan lahap. Ini cara yang mirip dengan bagaimana Hoshi pertama menghampirinya di tahun pertama Sekolah Menengah dulu. Sama seperti saat itu, butuh waktu beberapa menit dengan beberapa suap nasi ditambah 'aku mau sedikit karimu ya' lalu mencuri sepotong kentang sebelum pemiliknya sempat bereaksi, sampai akhirnya Wonwoo berhenti memberi fokusnya kepada makan siang dan balik memandang Hoshi dengan kening sengaja dikerutkan.

"Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Wonwoo. Nada bicaranya mengindikasikan seolah-olah dia tidak melakukan sesuatu yang aneh sama sekali.

Hoshi tidak segera menjawab. Dia menaikkan salah satu alisnya, mengamati Wonwoo dengan teliti. Setelah beberapa menit, Hoshi yakin bahwa ini betul-betul terjadi, bukan hanya khayalan acak di siang hari akibat terlalu banyak mengerjakan soal, Hoshi memberanikan diri bertanya, "Apa kau yakin tidak salah tempat?"

"Hah? Salah tempat seperti apa maksudnya?"

"Emm kau makan siang di mejaku?"

"Lalu? Memangnya salah makan siang di meja temanmu? Lihat mereka," Wonwoo berbalik, hendak menunjuk kepada sekumpulan anak yang suka menyatukan meja supaya mereka bisa makan sambil berkelakar. Namun tidak ada yang seperti itu di belakangnya, atau di manapun di ruang kelas itu. Semua orang tidak terlihat menikmati makan siangnya, buku-buku terbuka di atas meja sementara mereka menyuap makanan dengan malas ke mulut. Ini adalah pemandangan yang wajar di ruang kelas tahun ketiga sepertinya. Wonwoo mengangkat bahu dan segera berbalik lagi ke Hoshi. "Tidak ada lagi yang menyatukan meja untuk makan sambil bergosip. Tapi tetap saja tidak ada salahnya memindahkan kursi dan makan di satu meja dengan sahabatku."

"Bukannya kau marah padaku?" Hoshi bertanya ragu. Satu tangannya diletakkan di belakang tengkuknya, menggaruk kulit yang sama sekali tidak gatal.

Wonwoo merespon dengan memutar bola mata. "Jangan konyol. Apa pun yang kau lakukan dengan kehidupan cintamu, walau aku sangat kesal dengan keputusanmu, pada akhirnya kau tetap sahabatku satu-satunya," kata Wonwoo. Dia memberi salah satu senyum paling tulus yang bisa ditawarkannya. Dengan cepat dia menambahkan. "Tentu saja Mingyu tidak dihitung."

"Lalu Seokmin..."

"Ssshh," Wonwoo membungkam Hoshi dengan menjejalkan sesumpit telur gulung ke mulutnya. "Aku kasihan dengan Seokmin, tentu saja. Tapi biar bagaimana pun kau itu sahabatku, seburuk apa pun kesalahanmu, aku tidak bisa mengabaikanmu."

"Wonwoo, aku... Seokmin..."

"Mari simpan cerita itu untuk nanti, aku ingin makan siang dan segera kembali belajar."

"Baiklah, Jeon Wonwoo siswa teladan yang mengincar satu kursi di SNU."

Sisa jam makan siang itu kemudian dihabiskan dengan saling mencuri lauk dari kotak bekal mereka, membicarakan rencana-rencana mereka setelah lulus SMA. Hoshi berencana untuk tidak mendaftar ke universitas begitu lulus. Dia akan pergi ke akademi dan belajar menari seperti yang selalu diinginkannya sejak SMP. Tahun berikutnya atau berkutnya lagi barulah dia akan mendaftar ke universitas. Dari determinasi yang sangat kentara dalam suaranya, Hoshi sudah terdengar sangat mantap dengan tujuan masa depannya.

Saat Hoshi membalikkan pertanyaan kepada Wonwoo dengan kasual, "Bagaimana denganmu? Mau ambil jurusan apa di SNU?" Wonwoo tersedak oleh liurnya sendiri di tenggorokan. Sama sekali tidak mengharapkan pertanyaan seperti itu datang terlalu cepat. Berbeda dengan Hoshi, Wonwoo—meski sudah menetapkan universitas tujuannya—sama sekali tidak tahu apa yang ingin dia lakukan dengan hidupnya. Kecuali untuk selalu berada dekat dengan Mingyu, Wonwoo sama sekali tidak punya rencana lain. Itu terdengar terlalu menyedihkan, Wonwoo baru sadar setelah berhadapan dengan alis Hoshi yang berjengit menunggu jawab darinya. Dibandingkan dengan rencana matang Hoshi untuk masa depannya, jawaban Wonwoo terdengar sangat kekanak-kanakan. Sehingga dia tidak bisa membiarkan jawaban konyol seperti itu lolos dari mulutnya.

"Aku... belum memikirkannya." Sebagai gantinya Wonwoo berkata.

Tapi itu pun terdengar tidak kalah memalukan setelah terucap. Dia mengharapkan reaksi mengerikan dari Hoshi mendengar jawaban tidak masuk akalnya. Tetapi Hoshi tidak melakukannya. Raut wajahnya melembut, satu per satu kerutan di dahinya dikendurkan. Seolah dia mengerti. "Tidak apa-apa, masih ada waktu," kata Hoshi. Wonwoo membalas dengan tersenyum masam. Hoshi segera menambahkan, "Tapi kuharap kau melakukan sesuatu yang kau sukai dengan hidupmu. Bukannya membiarkan mimpimu tergantung pada orang lain, siapa pun mereka."

Mingyu adalah sesuatu yang kusukai.

.

.

Hanya tiga minggu setelah pembicaraannya dengan Hoshi, sekali lagi pemuda sipit itu mengajari Wonwoo sesuatu tentang dirinya sendiri. "Kau sangat suka membaca, kenapa tidak ambil jurusan sastra?"

Terkadang itu menakutkan bagaimana Hoshi jauh lebih mengenal Jeon Wonwoo daripada Wonwoo sendiri.

.

.

.

.

Wonwoo tidak diterima di SNU. Sedikit menyedihkan mengingat betapa keras dia berusaha setahun terakhir demi mendapat satu kursi di universitas itu. Untuk tetap dekat dengan Mingyu. Wonwoo tidak menangis di depan papan pengumuman yang tidak memuat nomor ujiannya seperti calon mahasiswa lain yang tidak lolos. Juga tidak menangis saat Mingyu bersama Hoshi menepuk punggungnya sebagai bentuk penghiburan. Anehnya dia tidak sesedih yang dia dan orang-orang lain bayangkan. Semua orang berpikir kalau Wonwoo paling tidak akan merasa sedikit depresi dengan kekalahannya. Dia sudah terobsesi dengan universitas itu sejak Mingyu menerima surat penerimaannya. Tapi dia tidak. Wonwoo menerima hasilnya dengan berlapang dada. Yang sulit malah meyakinkan Mingyu untuk menerima kenyataan kekasihnya tidak cukup pintar untuk melewati ujian masuk SNU dan bahwa mereka terpaksa harus berpisah paling sedikit empat tahun lamanya.

"Aku akan melepas beasiswaku dan ikut ujian masuk universitas lain denganmu hyung." Mingyu bersikeras malam harinya.

Tetapi Wonwoo dengan persisten menggelengkan kepala dan menatap marah ke arah kekasihnya. "Apa kau bodoh? Kalau kau melepas beasiswamu supaya kau bisa mendaftar ke universitas manapun aku nanti diterima, aku bersumpah aku akan memotong kelaminmu dengan tanganku sendiri supaya kau hidup penuh penyesalan seumur hidup," ancamnya.

Mingyu meneguk paksa ludahnya. Meski tahu dengan jelas bahwa Wonwoo tidak akan mungkin melakukan tindakan sekejam itu, dia tetap ngeri. "Tapi hyung..." Dia merengek.

"Tidak ada tapi Gyu," potong Wonwoo cepat. Tidak memberi celah bagi Mingyu menginterupsi. Dia membuang napas sekali kemudian melanjutkan, "Aku sudah memikirkannya baik-baik. Mungkin ini tidak terlalu buruk. Aku takut... aku takut kalau kita terus bersama bahkan waktu kuliah, aku akan menjadi terlalu tergantung padamu dan kita jadi punya hubungan yang tidak sehat."

"Tidak sehat apanya?" protes Mingyu. "Hyung, dengar aku..."

"Tidak Mingyu, kau yang dengar. Kumohon untuk kali ini. Aku... tujuanku masuk ke SNU sejak awal sudah tidak benar, mungkin karena itulah aku tidak lolos ke sana. Aku sendiri belum pernah memikirkan apa yang ingin kulakukan dengan hidupku kecuali untuk bersamamu dan itu tidak adil. Tidak adil untuk diriku sendiri. Aku tidak pernah menyadari itu dulu, tapi tidak seharusnya aku memperlakukan diriku sendiri begini. Aku seolah-olah hidup hanya untukmu dan tidak pernah betul-betul untuk diriku sendiri, bukannya aku keberatan juga dengan yang seperti itu. Tapi akhir-akhir ini aku sudah memikirkannya. Dan aku sudah tahu, untuk pertama kalinya, hal yang betul-betul kusukai dan ingin kulakukan yang tidak melibatkanmu. Aku... sudah mengambil keputusan Gyu. Bahkan sebelum aku tahu kalau SNU tidak menerimaku. Aku juga sudah membuat rencana kalaupun aku diterima, aku tetap tidak akan mengambilnya. Aku mendaftar beasiswa di universitas lain dan sekarang sedang menunggu apakah mereka akan melanjutkan ke tes wawancara, kalau aku lolos wawancara, aku akan kuliah di sana."

Mingyu tidak menjawab selama beberapa saat. Hanya berdiri serta mengacak rambutnya gemas sebelum melemparkan salah satu pandangan menuduh yang membuat Wonwoo merasa bersalah. "Sudah berapa lama kau merencanakan ini?"

Wonwoo menelan air liurnya gugup. "Sebulan. Kurang lebih."

"Tanpa sekali pun membicarakannya denganku?"

"Karena ini adalah masa depanku." Wonwoo beralasan. "Aku ingin menentukannya sendiri, tanpa pengaruh orang lain. Kalau itu membuatmu merasa lebih baik, Ibu dan Ayahku juga belum tahu rencana ini. Kau yang pertama kuberitahu."

Informasi itu tidak bisa dipungkiri membuat Mingyu merasa sedikit lebih baik. Meski tetap kecewa dengan kerahasiaan Wonwoo tentang hal yang begitu penting. Seolah-olah pendapatnya sama sekali tidak berarti, tapi untuk adilnya, seperti yang Wonwoo katakan, itu adalah masa depannya sendiri dan supaya tidak ada penyesalan di kemudian hari, mungkin memang lebih baik Wonwoo mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, tidak terlalu bergantung pada apa yang dikehendaki hati Mingyu.

"Dimana?" akhirnya Mingyu dengan suara lemah bertanya. "Kau mau kuliah dimana?"

"Tidak terlalu jauh darimu." Wonwoo tersenyum lembut, merasa kalau Mingyu akhirnya sudah sepemahaman dengannya. "Hanya dua jam naik bus dari SNU. Hongik."

"Kita tidak akan tinggal bersama sepanjang kuliah." Mingyu membalas sedikit merajuk tapi Wonwoo tahu kalau Mingyu tidak akan menentang lagi keinginannya.

"Kita bisa saling mengunjungi akhir pekan."

"Aku tidak akan bisa melihatmu setiap hari."

"Dengan begitu kau tidak akan cepat bosan denganku."

"Aku sangat tidak suka ini."

"Tenang saja, pada akhirnya kita akan terbiasa. Lagi pula bukankah akan terasa lebih mendebarkan kalau kau hanya bisa melihatku di akhir minggu?"

Mingyu mengerucutkan bibirnya, jelas-jelas tidak menginginkan perasaan berdebar di akhir minggu itu kalau harus mengorbankan kesempatan terbangun untuk melihat wajah Wonwoo setiap pagi.

Wonwoo bukannya tidak mengerti atau tidak menginginkan hal yang sama dengan Mingyu. Tapi ini harus dilakukan. Kalau dia tidak ingin menyesal. Karena itu dia memaksa dirinya sendiri tertawa, mencoba menjadi yang lebih tegar dalam posisi ini dan memberi Mingyu pengertian juga penghiburan. Sekali ini saja mereka berganti posisi. "Kemarilah, bayi besar," ujarnya seraya menarik tangan Mingyu untuk mendekat padanya. "Aku berjanji jarak tidak akan membuat hati kita berubah, oke? Ini hanya empat tahun."

"Bagaimana kalau selama empat tahun itu kita jatuh cinta dengan orang lain?" kata Mingyu setengah berbisik. Akhirnya menyuarakan ketakutan mereka sejak setahun terakhir.

Wonwoo menelan ludah dan tersenyum getir. Ya, bagaimana kalau itu terjadi? "Bukankah kau sendiri yang menyuruhku untuk percaya? Kau bilang kau tidak akan bisa jatuh cinta dengan orang lain yang bukan aku. Aku mau kau juga percaya padaku Gyu. Apa kau bisa melakukan itu untukku? Untuk kita?"

"Wonwoo hyung..."

"Mingyu kumohon." Wonwoo meletakkan kedua tangannya menangkup wajah Mingyu dan memaksa mata mereka bertemu. "Ya? Kau bisa kan?"

Ada terlalu banyak konflik di wajah Mingyu, jelas-jelas menunjukkan ketidakikhlasan. Tapi Wonwoo tidak bisa peduli. Dia sudah memantapkan hatinya dan tidak akan membiarkan pendapat Mingyu menggoyahkannya untuk kali ini saja. Butuh lebih banyak usaha dan berkali-kali menunjukkan wajah memohon ke arah Mingyu hingga akhirnya pemuda itu menyerah—dengan sangat tidak rela—dan berkata, "Baiklah."

Setelah itu Wonwoo berteriak girang dan menarik tubuh bongsor Mingyu untuk jatuh bersamanya di atas kasur. Dia cemas untuk menghadapi empat tahun ke depan tidak dekat dengan Mingyu tapi menutupinya dengan sukses di bawah senyumnya.

Karena cinta tidak berarti kau harus selalu dekat dengan orang itu. Ketika dua hati memang nyata tercipta untuk satu sama lain, tidak ada jarak yang terlalu jauh, tidak ada waktu yang terlalu lama, dan tidak akan ada cinta lain yang memisahkan mereka. Setidaknya Wonwoo berusaha mempercayai sentimen itu.

.

.

.

.

Kuliah dimulai awal September. Saat mereka harus berpisah di stasiun kereta, Mingyu memeluk Wonwoo sangat erat seakan-akan melepaskannya akan membuat hilang setengah dari nyawanya. Rasanya memang seperti itu. Orang-orang memandang mereka dengan aneh meski ada juga yang hanya berjalan acuh melewati mereka. Mingyu sendiri tidak cukup peduli. Mereka menghabiskan beberapa bulan terakhir nyaris selalu menempel seperti sepasang kembar siam. Setiap malam tidur berdua kalau tidak di kamar Wonwoo maka kamar Mingyu. Setiap sore berjalan di antara gang-gang yang selalu mereka lewati sebagai anak kecil dulu. Berkunjung ke rumah di belakang bukit, membeli popsicle, menonton DVD, bermain game, untuk menggantikan empat tahun berikutnya yang pasti akan sangat berbeda setelah mereka tidak tinggal bersebelahan di Changwon lagi.

Mingyu ternyata bisa menjadi lebih cengeng dari Wonwoo. Itu yang baru dia sadari akhir-akhir ini. Perawakannya jauh lebih besar dan jantan dibanding Wonwoo yang kurus dan hanya terdiri atas kulit beserta tulang, tapi dia meringkuk manja di sisi Wonwoo setiap malam sehabis mereka bercinta. Dia menangis setelah Wonwoo menerima telepon yang memberitahu dia diterima di Hongik. Menangis sewaktu mereka berangkat pertama kali ke Seoul untuk melihat asrama Wonwoo, menangis lagi saat Wonwoo membelikannya popsicle sore hari sepulang dari Seoul.

"Kita tidak akan bisa makan popsicle berdua kalau kau kuliah begitu jauh dariku."

Wonwoo memutar bola matanya jengah, sudah terlalu sering mengulangi ini untuk Mingyu. "Aku hanya dua jam naik bus dari tempatmu. Setengah jam kalau kau mau naik taksi. Jangan berlebihan."

"Dua jam itu terlalu lama dibandingkan waktu aku hanya perlu berjalan lima langkah ke rumahmu."

"Berhenti mengeluh," jawab Wonwoo seraya menyodorkan popsicle miliknya ke depan mulut Mingyu. Yang lebih muda refleks memasukkan es itu ke dalam mulutnya. Tidak mempermasalahkan saliva Wonwoo yang menempel di sana (mereka sudah berbagi terlalu banyak cairan tubuh, sedikit saliva di es sama sekali bukan masalah). "Nikmati saja prosesnya."

Itu terasa sangat sulit pada tahun pertama, tapi mereka tetap bisa mengatasinya. Akhir pekan pertama, mereka tidak betul-betul menepati janji untuk saling berkunjung. Wonwoo terlalu sibuk beradaptasi dengan lingkungan barunya dan berusaha menyesuaikan diri dengan teman sekamarnya. Temannya seorang mahasiswa asing dari Cina yang mengambil jurusan dance modern atau sesuatu yang semacam itu. Wen Junhui adalah seorang yang kikuk dan sedikit bermasalah dalam masalah komunikasi sama seperti Wonwoo (bedanya masalah Junhui adalah karena dia belum sepenuhnya menguasai bahasa Korea sementara Wonwoo hanya tidak ingin terlalu banyak bicara). Junhui mengingatkannya sedikit pada Hoshi, teman akrab pertamanya selain Mingyu. Mungkin karena pemuda Cina itu suka melakukan trik (yang lebih sering terasa menyebalkan dari pada lucu) dan mau tertawa menanggapi lelucon garing yang diucapkan Wonwoo.

"Temanku, Soonyoung, dia lebih suka dipanggil Hoshi, dia juga suka menari dan tahun depan dia akan mendaftar di sini juga, mungkin di jurusanmu."

"Benarkah? Kau harus mengenalkan kami kapan-kapan."

"Tentu saja. Aku yakin kalian sangat cocok."

Mingyu sendiri juga sibuk dengan hari-hari pertamanya menjadi mahasiswa sehingga tidak bisa mengunjungi Wonwoo. Mereka baru punya waktu setelah satu bulan. Wonwoo naik bus dari Stasiun Hongik menuju SNU. Seperti yang sudah diramalkannya beberapa bulan ke belakang, itu terasa sangat mendebarkan. Ketika dia melakukan kunjungan pertamanya ke tempat kekasihnya. Hati Wonwoo dipenuhi rasa excited seolah dia akan melihat Mingyu lagi untuk pertama kali setelah berpisah sepuluh tahun. Hari itu mereka habiskan dengan berjalan di sekitar kampus SNU, menikmati momen kebersamaan yang singkat, setiap oksigen yang mereka hirup di ruang yang sama entah bagaimana terasa jauh lebih spesial, mereka membeli popsicle untuk dimakan sembari mengelilingi SNU. Berbagi cerita mengenai hidup mereka yang sudah tidak terlalu berpusat lagi dengan satu sama lain. Wonwoo akhirnya tahu kalau jurusan Mingyu betul-betul jauh lebih sulit dari yang dia pikirkan dibandingkan dengan jurusan sastra yang diambilnya, Wonwoo merasa sedikit kasihan dengan pemuda itu tapi malah mengejeknya karena "Kau yang sudah memilih jurusan itu untuk mempersulit dirimu sendiri."

Mingyu memukul bahu Wonwoo pelan untuk komentar tanpa simpatinya itu. Wonwoo tertawa ringan dan saat dia melihat Mingyu yang memandang kesal ke arahnya dengan mulut yang dikerucutkan, seketika Wonwoo merasakannya lagi. Seolah-olah dadanya penuh dengan kelopak bunga yang bermekaran di setiap cabang alveoli dalam paru-parunya meskipun saat itu temperatur udara sudah mulai turun menandakan musim gugur. Wonwoo sangat jatuh cinta dengan orang ini dan rasanya tidak akan pernah ada yang mengubah fakta itu, tidak jarak, tidak waktu, tidak sirkumtansi apa pun.

Malam itu mereka bercinta di atas kasur Mingyu yang baru. Kasurnya terasa asing tapi kulit yang menyentuhnya terasa sangat familiar. Wonwoo percaya mereka akan bisa melewati empat tahun ini. Keesokan harinya, saat Wonwoo terbangun, Mingyu masih memeluknya erat seperti bayi koala, tangannya melingkar di atas pinggang Wonwoo protektif. Hari itu Mingyu nyaris tidak membiarkannya kembali ke Mapo-Gu dengan alasan "Aku masih merindukanmu, tinggallah sehari lagi."

"Aku ada kelas jam sepuluh Gyu."

"Boloslah sehari saja."

"Kalau aku bolos sekali, nanti itu akan jadi kebiasaan."

"Sekali ini saja hyung kumohon."

"Tidak Gyu," Wonwoo melepas paksa tangan Mingyu yang menggenggam pergelangan tangannya. Memberi kecupan singkat di pipi kekasihnya dan berkata, "Sampai jumpa minggu depan lagi."

Akhir pekan berikutnya Mingyu yang mengunjungi Wonwoo. Tidak seperti Wonwoo, dia datang tanpa pemberitahuan. Tiba-tiba saja jumat malam dia sudah berdiri di depan pintu Wonwoo membawa kresek berisi dua popsicle dan jajanan dari Seven Eleven.

"Dari mana kau tahu kamar asramaku?" Wonwoo bertanya takjub begitu membukakan pintu untuknya.

"Apa yang tidak kutahu tentangmu Jeon Wonwoo?" balas Mingyu tersenyum mencurigakan.

Wonwoo membawanya masuk ke dalam ruangan, memarahinya karena datang tiba-tiba tanpa pemberitahuan dan menegurnya karena dia pasti menghabiskan terlalu banyak duit untuk jajanan dari Seven Elevennya. Mingyu sama sekali tidak menginterupsi ocehan Wonwoo yang mulai mirip dengan ibunya sejak menjadi mahasiswa. Dia hanya memandanginya dengan cara dia selalu memandang Wonwoo. Seolah-olah matahari terbit dari bola matanya walaupun itu sudah sangat larut malam dan yang keluar dari mulutnya adalah musik yang merdu bukannya celotehan khas ibu-ibu yang disuarakan dengan suara laki-laki yang sangat bass (itu terdengar sangat janggal kalau boleh jujur). Junhui memandang mereka dengan sedikit terhibur dari sisi ruangan miliknya.

Natal pertama, mereka kembali ke Changwon dan menghabiskan liburan hampir sama seperti cara mereka menghabiskan beberapa bulan terakhir di kota itu sebelum berangkat kuliah akhir agustus lalu. Liburannya terasa terlalu singkat. Lagi-lagi Mingyu mengatakan sesuatu yang konyol seperti "Ayo berhenti kuliah dan tinggal di sini saja selamanya," atau "Aku akan meminta transfer kuliah ke Hongik," yang ditanggapi Wonwoo dengan "Jurusanmu tidak ada di universitasku." Terkadang dia akan mengungkit pernikahan yang tidak jadi.

"Seharusnya kita menikah supaya Wonwoo hyung tidak punya alasan membantah permintaanku seperti ini."

Wonwoo membalas dengan "Kau tahu? Melihat kelakuanmu sekarang, aku sama sekali tidak menyesal menolak lamaranmu. Lagi pula siapa yang mau punya suami yang suka lari dari tanggung jawab supaya bisa bermesraan denganku sepanjang hari? Belum menikah saja, aku sudah merasa kau akan membuatku kelaparan karena malas bekerja."

Percaya tidak percaya, itu membuat Mingyu berhenti membicarakannya.

Hoshi masuk ke Hongik tahun berikutnya seperti yang sudah dia rencanakan. Mengambil jurusan modern dance sama seperti Junhui. Antara November sampai Desember entah bagaimana Wonwoo tiba-tiba sadar kalau dia sudah punya satu kelompok kecil di universitas. Anggotanya hanya empat orang. Dia, Junhui yang sekarang dipanggil Jun (katanya itu nama panggungnya), Hoshi, dan Jihoon. Wonwoo baru tahu kalau Jihoon juga ada di universitas yang sama dengannya setelah Hoshi membawanya ke acara hang out akhir minggu mereka. Wonwoo awalnya merasa sedikit awkward dengan pemuda yang lebih kecil itu, tapi mereka perlahan menghilangkan tensi yang selalu menyelimuti udara di sekitar mereka seiring banyaknya waktu yang mereka habiskan bersama. Wonwoo tidak tahu dengan pasti hubungan seperti apa yang dimiliki Hoshi dengan Jihoon, tetapi dia memutuskan kalau itu bukan urusannya. Terkadang Mingyu berkunjung di akhir minggu dan bergabung dalam acara kumpul mereka. Mingyu dianggap seperti pekerja magang yang kadang ada kadang tidak dalam kelompok kecil mereka. Pada beberapa kesempatan Wonwoo mengunjungi Mingyu tidak hanya pada weekend, dia memobolos kelas rabu satu atau dua kali untuk bertemu Mingyu.

Satu kali di bulan Maret, pada akhir tahun ketiganya, Wonwoo bertemu dengan Seokmin di perpustakaan kota. Seokmin tidak terlalu banyak berubah dari terakhir kali Wonwoo melihatnya. Pada hari-hari terakhir Wonwoo di Sekolah Menengah, Seokmin tidak lagi menunjukkan senyum secerah matahari miliknya kepada Wonwoo. Selalu hanya memberi punggung dingin ke arah Wonwoo jika dia menyebut namanya. Rasanya hampir lucu mengetahui hati seseorang bisa berubah setelah tiga tahun. Sekarang Seokmin sudah kembali ceria. Memanggilnya 'hyung' dengan nada imut yang dibuat-buat. Sisa hari itu Wonwoo habiskan dengan berbincang bersama Seokmin di coffee shop yang tidak jauh dari perpustakaan.

Mereka membahas tentang kehidupan mereka saat ini. Seokmin sekarang kuliah di Institut Seni Dong-Ah. Katanya dia ingin serius bernyanyi. Wonwoo juga memberitahu di mana berkuliah dan kalau Hoshi juga ada di sana dengannya. Wonwoo tidak tahu kenapa dia mengatakan itu. Hanya saja sedikit bagian hatinya yang egois, entah kenapa ingin Seokmin tahu keberadaan Hoshi, ingin dia tetap peduli dengan sahabatnya itu, ingin entah bagaimana caranya mereka menemukan jalan untuk kembali bersama. Seokmin menanggapi informasi kecilnya itu dengan tersenyum sopan dan mengalihkan topik pembicaraan mereka. Seketika Wonwoo merasa bodoh. Memangnya apa yang sudah dia harapkan?

"Bagaimana kau dengan Mingyu?" Seokmin bertanya sekali di sela-sela pembicaraan.

"Baik," Wonwoo menjawab cepat. Tidak sadar wajahnya langsung berubah cerah begitu nama Mingyu disebut. "Mingyu sekarang di SNU. Kami kadang bertemu akhir minggu."

"Wah kalian berhasil sampai sejauh ini," komentar Seokmin. "Kalau mengingat seberapa kacaunya hyung sewaktu SMA dulu, kukira kalian tidak akan bertahan lebih dari setahun. Ternyata aku salah."

"Hei apa maksudnya itu?"

"Maksudku," kata Seokmin ceria. "Kalian masih tetap sama. Sangat jatuh cinta walaupun sudah bersama selama itu. Katakan Wonwoo hyung, apa kau pernah merasa jenuh dengan hubunganmu?"

Wonwoo membiarkan udara kosong yang menjawab pertanyaan Seokmin. Kalau pertanyaan itu diberikan tiga tahun yang lalu, dia akan dengan percaya diri menjawab kalau tidak satu kali pun dia merasa jenuh dengan hubungan mereka. Tapi sekarang, bohong besar kalau Wonwoo memberi jawaban yang mirip seperti itu. Banyak yang terjadi dalam tiga tahun. Pertengkaran-pertengkaran kecil di sana dan di sini, perasaan-perasaan cemburu tidak berdasar, curiga yang tidak bisa dihindarkan, tidak hanya sekali atau dua kali Wonwoo merasa hatinya hampa saat berbicara dengan Mingyu melalui telepon, jantungnya tidak berdebar gila seperti saat pertama kali mencium Mingyu, terkadang dia takut bahwa bunga-bunga di dada mereka akan layu dan digantikan dengan rantai yang menghimpit pernapasan. Tetapi pada penghujung minggu, saat Mingyu mengunjunginya dan menculiknya dari grup kecilnya untuk dimonopoli sendiri, secara ajaib musim seminya akan kembali dan hatinya akan berkata "Ah ini dia perasaan berdebar yang kucari itu." Seperti momen eureka. Lalu bunga-bunga layu itu akan kembali bermekaran, hatinya kembali menghangat meski dia menjejali mulutnya dengan popsicle dingin. Jadi mereka bisa bertahan sejauh ini.

"Wow hyung." Seokmin berseru di depannya, menyadarkan Wonwoo dari lamunan singkat. "Kuharap suatu hari nanti seseorang akan memasang wajah seperti itu ketika orang lain menyebut namaku di depannya. Mingyu sangat beruntung memilikimu."

Wonwoo pikir dia juga beruntung memiliki Mingyu yang bisa membuat hatinya hangat hanya dengan mendengar seseorang menyebut namanya meski tiga tahun sudah berlalu sejak pertama kali perasaan itu ada, meski ada saat-saat dia merasa ingin melepaskannya.

Pertengahan musim semi pada tahun terakhirnya di Hongik, Wonwoo putus dengan Mingyu.

.

.

end—

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

(becanda hehe)

Pertengahan musim semi pada tahun terakhirnya di Hongik, Wonwoo putus dengan Mingyu. Itu adalah satu masa di mana mereka mencapai titik terjenuh dalam hubungan panjang mereka. Mereka ada di apartemen Wonwoo—sejak pertengahan tahun kedua dia menyewa apartemen itu bersama Jun dan Hoshi, Jihoon ikut pindah pada awal tahun ketiga—sepulang dari mengikuti salah satu acara seminar yang rajin diikuti Wonwoo. Wonwoo tidak pernah ingat apa masalah tepatnya yang membuat mereka kembali ke apartemen sambil adu tinggi teriakan. Tiga penghuni apartemen lainnya dengan tahu diri menyingkir dari sana pelan-pelan begitu mereka mendengar suara pintu dibanting. Itu bukan pertengkaran pertama Wonwoo dengan Mingyu tapi jelas pertengkaran paling dahsyat yang pernah terjadi sepanjang sejarah hubungan mereka. Mingyu tidak tinggal malam itu. Dia menelepon taksi dan menghilang di balik pintu lalu tidak pernah kembali sampai berbulan-bulan lamanya.

Wonwoo yang meneriakkan kata itu pada Mingyu saat kekasihnya sudah ada di depan pintu, memakai mantelnya dan bersiap pergi. "Kau tahu?" Wonwoo mengeluarkan seluruh sisa tenaga yang dia miliki untuk satu kalimat itu. "Silahkan pergi. Aku tidak peduli. Tapi begitu kau melangkah keluar, jangan sekali-kali kembali ke sini atau ke hidupku."

Mingyu membalas dengan kadar emosi serupa. "Terserah." Dia menarik pintu dengan kasar lalu membantingnya.

Wonwoo, sama sekali tidak mengharapkan jawaban acuh seperti itu dari Mingyu, semakin tersuut emosinya. Dia berteriak ke arah pintu yang baru menutup, "Persetan denganmu Kim Mingyu."

Mingyu mengatakan sesuatu sekali lagi dari balik pintu sebelum hening sepenuhnya di tempat itu. Wonwoo tidak bisa mendengarnya dengan jelas, tertutup oleh suara dengungan di telinganya akibat berteriak melebihi yang dianjurkan. Atau mungkin dia sebenarnya masih bisa mendengarnya, hanya menolak untuk percaya karena Mingyu mengatakan sesuatu seperti "Aku lelah dengan semua omong kosongmu Jeon Wonwoo, aku menyesal pernah menginginkanmu menjadi pasangan hidupku."

Hati Wonwoo tidak pernah terasa sehancur saat membiarkan kalimat itu merasuk ke dalam seluruh dirinya.

Ada setidaknya waktu empat bulan yang mereka habiskan secara menyedihkan mendamba yang lain untuk hadir di sisinya pada masa-masa sulit itu tapi gengsi menghalangi untuk bersikap jujur. Sebelum akhirnya rasa kosong di sebelah kiri dadanya menjadi tidak tertahankan dan Wonwoo menerima Mingyu yang datang satu tengah malam ke depan apartemennya dalam keadaan setengah mabuk dan tidak mau berhenti meracau tentang betapa dia merindukan Wonwoonya.

"Dasar bodoh," ejek Wonwoo malam itu seraya mendekap Mingyu di dadanya seperti malam beberapa tahun lalu saat Mingyu melakukan hal yang sama untuknya sepulang melayat Guru Jung. Ejekan itu tidak secara spesifik ditujukan kepada Mingyu. Lebih kepada dirinya sendiri atau mungkin mereka berdua. Karena bagaimana bisa mereka percaya kalau mereka bisa hidup tanpa satu sama lain? Itu ide paling konyol yang pernah terbersit di kepala Wonwoo.

Lucunya keesokan harinya begitu Mingyu terbangun, masih dengan posisi yang persis serupa dengan saat Wonwoo menghantarnya tidur kemarin, sangat hangat dalam pelukan kekasihnya, hal pertama yang terucap dari bibir Mingyu yang tidak sepenuhnya sadar dan kepalanya serasa nyaris pecah pengaruh hangover adalah, "Wonwoo hyung ayo kita menikah."

Wonwoo tertegun. Senyum lembut yang setia bertengger di wajahnya sejak bangun pagi dan melihat wajah damai Mingyu yang tertidur segera terganti oleh ekspresi terkejut. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakan dan lagi wajah serius Mingyu membuatnya ingin tertawa. Sehingga akhirnya tertawalah yang ia lakukan.

"Kau benar-benar..." Wonwoo berkata di sela-sela tawanya yang tidak bisa dia kontrol.

"Aku serius hyung, jangan tertawa."

"Oh halo serius, aku Wonwoo."

"Hyuuuuung..."

"Baiklah, baiklah." Wonwoo meredam tawa seraya menghapus air mata geli yang mengintip sepanjang tawanya tadi. Kemudian dia meluruskan duduk. Mencoba memasang wajah serius. "Tapi ada apa dengan lamaran tiba-tiba ini?"

"Ini bukan lamaran tiba-tiba. Aku hanya..." Mingyu menghela napas. Kemudian dia juga ikut-ikutan mengangat tubuhnya yang ternyata adalah ide buruk karena saat dia berusaha mengangkat kepala, rasanya seperti seluruh rambutnya berubah jadi duri dan sedang menekan tempurung kepalanya sekarang. Dia mengaduh kesakitan, membuat Wonwoo segera bergerak untuk membantunya duduk. Setelah itu baru dia melanjutkan, "Sebentar lagi kita akan selesai kuliah. Dan kurasa dalam beberapa bulan ini aku sadar kalau aku sangat sangat sangat sangat mencintaimu. Kalau ada kata yang jauh lebih hebat dari cinta, aku akan menggunakan itu unuk mengungkapkan perasaanku ini. Aku tidak bisa membayangkan untuk hidup seperti beberapa bulan yang mengerikan itu sampai aku tua. Aku... tidak akan bisa melakukannya. Aku membutuhkanmu hyung dan tidak pernah mau lagi kehilanganmu. Kurasa kita sudah cukup dewasa. Ayo kita menikah."

Dalam sekejap itu Wonwoo melihat Mingyu seperti seorang bocah enam tahun lagi. Yang menangis di depan rumahnya karena tidak bertemu Ibu. Yang membangkitkan naluri seorang kakak dalam diri Wonwoo dan membuatnya ingin melindungi anak itu. Mingyu yang sama sepuluh tahun kemudian tumbuh menjadi lebih tinggi darinya dan membuatnya berbalik ingin berlindung di balik tubuh kekarnya. Wonwoo pun tiba-tiba merasa tujuh tahun lagi, lebih besar dari Mingyu dan memberinya popsicle yang kemudian menjadi lambang persahabatan mereka sampai hari ini. Lalu dia sembilan tahun, memaksa Mingyu berjanji untuk selalu membagi popsicle dengannya. Segera dia menjadi sebelas tahun lalu dengan sok tahu mengajari Mingyu tentang cinta di saat dia sendiri tidak sepenuhnya paham dengannya. Tiga belas tahun-Wonwoo berpikir dia jatuh cinta untuk kali pertama hanya untuk mengerti kemudian bahwa tidak itu bukan cinta tapi cinta adalah perasaan hangat ketiga dia berbagi popsicle dan menonton Home Alone berdua di ruang keluarga Mingyu. Dia belajar tentang seksualitasnya di usia enam belas, menyadari kalau dia jatuh cinta dengan sahabatnya di usia tujuh belas, menimbulkan banyak masalah di usia delapan belas.

Wonwoo berhenti di sana. Membiarkan matanya larut bersama tatapan Mingyu yang terlihat begitu tersihir olehnya. Sekarang dia merasa delapan belas lagi. Melakukan ciuman pertamanya, merasakan dadanya yang penuh dengan bunga-bunga yang timbul karena rasa cintanya kepada Mingyu yang terbalas. Wonwoo meletakkan satu tangan di atas dadanya dan tangan yang lain di atas dada Mingyu. Tepat pada titik yang menyembunyikan organ inti seluruh peredaran darah di bawah kulit mereka masing-masing. Sama seperti saat pertama, dia masih bisa merasakan detak brutal kedua organ itu di bawah berlapis-lapis benang dan kulit yang menutupi mereka. Begitu memburu hingga dia takut bahwa bisa-bisaitu membunuh mereka berdua. Tapi Wonwoo tidak senaif itu. Dia tahu pasti bukan itu yang tengah terjadi. Kekacauan di bawah kulit mereka tidak akan betul-betul membunuh. Jantung itu, mereka berdetak seperti gila adalah karena cinta. Dan sama seperti paru-paru yang penuh dengan bunga, Wonwoo tidak membenci perasaan itu. Karena jantungnya tidak berdebar sendiri. Itu malah membuatnya merasa aman meski dadanya terasa seperti akan pecah. Segala macam bentuk kecemasannya sebagai remaja berubah menjadi perasaan yang menyenangkan.

"Ya, Mingyu." Wonwoo berbisik lembut. Dadanya terasa penuh dan dia merasa bahagia tapi di sepanjang hidungnya ada air yang mengalir jatuh dari kelopak matanya. Bukan air mata kesedihan. Beberapa orang terkadang menangis saking bahagianya. "Ayo kita menikah."

.

.

.

Mereka tidak menunggu lebih lama untuk mempertegas ikatan mereka. Begitu Wonwoo wisuda, dua minggu kemudian mereka melangsungkan pernikahan. Jeon Wonwoo berubah menjadi Kim Wonwoo. Orang tua mereka menentang pernikahan itu awalnya—mereka masih merasa usia dua puluh tiga terlalu buru-buru untuk melangsungkan pernikahan. Tidak hanya orang tua, teman-teman mereka juga terlihat skeptis dengan ide pernikahan itu. Mereka tidak memberi tanggapan baik.

"Empat bulan lalu kalian saling berteriak di apartemen ini, kalian baru baikan tiga hari lalu dan sekarang tiba-tiba mau menikah?" Jun berkata sinis. Empat tahun tinggal di Korea dan menjadi teman sekamar Wonwoo, bukan hanya dia menjadi lancar berbahasa Korea tetapi juga lidahnya sangat tajam mengkritisi keputusan-keputusan Wonwoo (apalagi segala sesuatu yang berhubungan dengan Mingyu).

"Aku ingin mengatakan sesuatu tentang cinta yang bisa berakhir, tapi bajingan yang tidak bisa setia sepertiku tidak berhak mengomentari keputusan buru-burumu untuk menikah dengan Mingyu. Jadi yah, aku bilang semoga sukses saja." Itu kata Hoshi. Dan Wonwoo tidak pernah ingin menenggelamkan kepalanya di wastafel sampai mati sebesar saat itu.

Jihoon (yang selalu terlihat tidak peduli) secara mengejutkan menjadi satu-satunya orang yang optimis menanggapi. "Yah kalau kuingat Mingyu yang tergila-gila denganmu sepanjang SMA, aku malah terkejut kalian tidak langsung kawin setelah SMA."—Wonwoo ingin menyela "Em maaf mungkin maksudmu menikah karena kalau kawin, kami bahkan sudah melakukannya sebelum lulus" tapi menahan lidahnya untuk tidak bergerak karena bukan saja itu memalukan untuk diakui, dia juga tidak punya keberanian menginterupsi Lee Jihoon—"Jangan dengarkan si bodoh Jun dan Hoshi. Kau sendiri tahu mereka. Payah dengan percintaan sendiri jadi membagikan energi negatif mereka pada kalian."

Saat mengatakan Jihoon satu-satunya yang optimis menanggapi pernikahan itu, artinya dia memang benar satu-satunya. Seokmin mengatakan sesuatu seperti "Apa kau tidak takut menyesal?" kepada Wonwoo saat mendengar berita itu. Sejeong mengatakan "Kau mengundang mantan pacarmu ke pernikahanmu dengan seseorang yang menjadi alasan hubungan kalian berakhir, dimana hatimu Jeon Wonwoo?" Wonwoo tahu Sejeong tidak mengatakan itu dengan unsur dendam, tapi dia tetap menyesal karena menelepon untuk mengundangnya. Orang tua mereka tidak berhenti menjejali keduanya tentang betapa tidak baik terlalu cepat menikah, bahwa mereka takut kedua anak mereka akan melewatkan kesempatan untuk menjadi orang dewasa normal—Mingyu memutar bola mata sangat keras mendengar ini—dan kalau mereka memang berjodoh, pada akhirnya mereka akan bersatu, tidak perlu terlalu memaksakannya sekarang.

Mingyu menjawab "Kapan pun kami menikah tidak akan ada bedanya. Kami saling mencintai. Aku sudah memutuskan untuk menikah dengan Wonwoo hyung sejak lima belas tahun. Apa pun yang kalian semua katakan, aku tidak peduli lagi. Aku bisa memutuskan masa depanku sendiri. Dan aku sudah memutuskan kalau itu adalah Jeon Wonwoo. Dia adalah masa depanku. Lagi pula kalau sudah tahu berjodoh, untuk apa menundanya lama-lama dan mehabiskan waktu untuk bertemu orang lain?"

Setelah Mingyu mengatakan itu, yang lain bisa bilang apa lagi? Mereka membiarkan Mingyu dan Wonwoo mengambil keputusan dan bertanggung jawab untuk keputusan itu sendiri. Jadi Mingyu dan Wonwoo menikah. Dengan restu setengah hati orang-orang terdekat mereka.

Saat itu Wonwoo dua puluh tiga, Mingyu dua puluh dua. Kata orang itu usia yang terlalu muda untuk menikah. Tapi tidak ada istilah terlalu muda atau terlalu tua untuk cinta. Cinta adalah cinta. Mingyu pikir Wonwoo yang akan membuat dirinya lengkap, apa kata orang sama sekali tidak signifikan. Karena satu-satunya yang berarti baginya adalah dadanya yang dipenuhi oleh segala jenis kelopak bunga indah yang bermekaran dan popsicle beku yang menghangatkan seluruh kulit mereka di bulan November yang dingin.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Hari ini Mingyu enam puluh tujuh, Wonwoo enam puluh delapan. Duduk berdua di sofa mereka yang hampir berusia lima puluh, sama seperti pernikahan mereka. Sedari pagi beberapa kali telepon mereka berdering. Itu panggilan dari anak perempuan mereka, ketiga anaknya, juga Jun. Hoshi baru selesai meninggalkan pesan suara beberapa detik lalu. Baik Wonwoo maupun Mingyu tidak mau lagi mengangkat gagang telepon untuk sisa hari itu. Memutuskan untuk menikmati sepanjang sore hingga malam menjelang hanya berdua. Ini hari yang spesial, tidak seharusnya diinterupsi dengan dering telepon dan basa-basi tidak penting dari orang-orang.

Seraya membiarkan kaki tua mereka saling membelit di bawah selimut, Mingyu dan Wonwoo membiarkan ujung kepala mereka bertemu. Memandang layar televisi yang menampilkan gambar-gambar yang jauh tertinggal oleh jaman. Di tahun ini, mungkin sudah tidak ada lagi yang menonton Home Alone tapi itu tetap adalah film favorit mereka berdua.

Beberapa menit setelah film dimulai, Wonwoo menyodorkan popsicle miliknya ke depan wajah Mingyu. Yang lebih muda hanya tersenyum selama beberapa detik, masih bisa mengingat dengan kepala jeniusnya yang sudah tua setiap sentimen yang disimpan setiap satu batang popsicle.

Hari ini, selagi merayakan hari jadi mereka yang kelimapuluh, setelah segala yang mereka jalani berdua dalam hidup, mereka akhirnya memperoleh sebuah kesadaran. Bahwa cinta—cinta berarti berbagi popsicle walaupun mereka memiliki satu masing-masing (bukan hanya karena mereka harus berhemat seperti di usia lima belas), membeli satu sama lain boneka-boneka hewan yang sama sekali tidak urgent jika dibandingkan dengan sewa apartemen mereka yang sudah menunggak tiga bulan pada awal pernikahan muda mereka, dan menonton Home Alone di sofa ruang keluarga (milik mereka berdua), saling menyuapkan popcorn ke mulut pasangannya meskipun setelah itu mereka sama-sama mengeluh tentang bijinya yang sangkut di gigi.

Cinta adalah sesi bermesraan di kamar mandi (milik mereka) sebelum mandi walau mereka sangat sadar akan terlambat jika tidak segera selesai berbasuh, pertengkaran-pertengkaran kecil di kamar tidur ketika mereka tidak bisa memutuskan film apa yang harus ditonton sebelum tidur, dan minum terlalu banyak alkohol pada acara kumpul-kumpul yang tidak satu pun dari mereka ijinkan atau permisi untuk pulang lebih cepat dari acara-acara itu hanya supaya mereka bisa pulang ke rumah dan tidur berpelukan di rumah.

Singkatnya, mereka belajar bahwa cinta berarti mau berurusan dengan hal-hal di atas dan tidak mau berhenti.

Cinta berarti ingin melakukan hal itu selamanya, untuk seseorang yang spesial, itu saja.

Malam itu Wonwoo meletakkan satu tangan di atas dadanya dan tangan yang lain di atas dada Mingyu. Tepat pada titik yang menyembunyikan organ inti seluruh peredaran darah di bawah kulit mereka masing-masing. Dia masih bisa merasakan detak brutal kedua organ itu di bawah berlapis-lapis benang dan kulit yang menutupi mereka. Begitu memburu hingga dia takut bahwa bisa-bisaitu membunuh mereka berdua. Tapi Wonwoo tidak senaif itu. Dia tahu pasti bukan itu yang tengah terjadi. Kekacauan di bawah kulit mereka tidak akan betul-betul membunuh. Jantung itu, mereka berdetak seperti gila adalah karena cinta. Wonwoo tidak membenci perasaan itu. Karena dia tahu bahkan setelah seluruh waktu yang terlewat, jantungnya tidak berdebar sendiri. Itu membuatnya secara aneh merasa aman meski dadanya terasa seolah akan pecah. Segala macam bentuk kecemasannya sebagai remaja kini berubah menjadi perasaan yang menyenangkan.

Sama seperti bunga-bunga yang bermekaran di bawah dadanya.

.

.


end—


a.n. i'm so so so so so sorry for this suuuuper late update. Terima kasih banyak buat semua yg sudah dukung ff ini, sori gak nulis nama-nama dan balas komen karena ini updatenya buru-buru, besok aku edit lagi wkwk. Aku gak tau harus bilang apa soal chapter end ini, jujur aku sendiri kurang puas, jadi maapkan aku kalo kalian juga tidak puas :( Sebenernya aku update lama bukan karena writer block but something has always got in the way when i want to continue writing this. Tapi sekarang mudah2an aku udah bisa nulis lagi. Aku masih berencana bikin sequel buat au! ini tentang masa-masa kuliah sama pernikahan mereka, kalau kalian tertarik mau baca hehe.

Tell me what you think about this :)