Sasuke baru menginjakkan kaki di mansion saat hampir tengah malam. Pekerjaan yang menumpuk yang menghalanginya untuk segera beristirahat hari ini. Agenda satu minggu yang padat akhirnya berakhir, besok ia berencana untuk bersantai menikmati dua hari waktu liburnya.

Saat ia melewati ruang tamu mansion yang besar, matanya menangkap siluet hitam pendek yang sedang duduk di salah satu sofa. Posisinya yang sedikit menjauh dari temaram lampu, membuat Sasuke tidak begitu jelas melihat wajahnya. Namun dia tahu siapa siluet itu.

"Apa yang kau lakukan disini?" Sasuke berjalan menghampirinya. Suaranya yang terkesan dingin membuat kelopak mata itu terbuka perlahan.

"Anda sudah pulang." Kuapan yang ia sembunyikan tidak bisa mengelabuhi mata Sasuke. Hampir tiap malam mendapati tubuh itu duduk tertidur, membuat Sasuke setidaknya menyuruh seseorang untuk membawanya kembali ke kamar. Tapi ia terlalu lelah malam ini. Sehingga ia mengambil keputusan untuk membangunkannya.

"Kembalilah ke kamarmu."

Setelah mengatakannya, Sasuke melenggang pergi. Meninggalkan bocah yang menunduk memandangi kakinya sendiri. Baginya, keberadaan lelaki dewasa itu tetap saja membuatnya kurang nyaman. Pembawaan yang serius dan penuh wibawa semakin menambah kesan segan hanya untuk sekedar menyapa. Meskipun mereka terhubung dengan darah, tidak membuat hubungan keduanya akrab satu sama lain. Tidak pula dengan anggota keluarga lainnya.

Bocah itu mengangguk pelan sebagai balasan, meskipun lelaki itu tak mungkin tahu karena sudah menghilang di balik lorong. Mulutnya tercekat untuk langsung menanggapinya tadi, seolah-olah lidahnya kelu untuk mengucapkan sebutan pantas untuk lelaki itu.

'Baik...ayah.'

.

.

.

.

.

.

Dakishimetai

Tokoh yang saya pakai milik Kishimoto Masashi-sensei, saya cuma pinjem doang

Warning: typo, alur cepet, dan masih banyak lainnya

Pairing: Sasuhina

Don't Like, Don't Read

.

.

.

.

.

.

Sarapan di keluarga Uchiha terlihat normal seperti kebanyakan keluarga lain. Sang kepala keluarga, Uchiha Fugaku, tentu saja duduk di kursi ujung. Sedang istrinya, Uchiha Mikoto, berada di sebelah kanannya. Tempat yang strategis jika sewaktu-waktu suaminya membutuhkan sesuatu. Putra sulungnya duduk di sebelah kiri, bersebalahan dengan seorang wanita yang merupakan menantunya, beserta kedua anak kembar mereka. Lalu ada Uchiha Sasuke yang duduk di sebelah ibunya, sangat jarang bisa mendapati putra bungsunya bisa sarapan bersama seperti pagi ini. Dan terakhir, tepat disamping kanan Sasuke, ada bocah berusia sekitar delapan tahun dengan model rambut jabrik.

Meskipun Fugaku sedikit senang bisa makan bersama dengan keluarganya, namun keberadaan anak laki-laki itu membuat moodnya selalu rusak. Semenjak kehadirannya disini, ia merasa tidak ada satupun kebaikan yang terjadi.

Bagi anak laki-laki itu sendiri, tatapan tajam dari kakeknya selalu membuatnya menunduk takut. Dihadapannya, ada si kembar yang tidak pernah mendapat tatapan seperti ini dari sang kakek. Begitu juga dengan ayah mereka, Paman Itachi selalu memandang kedua anaknya dengan tatapan menyejukkan. Dia iri. Sangat iri dengan kedua sepupunya yang bisa mendapat kasih sayang. Berbeda dengan dirinya.

Masakan enak yang selalu tersaji sama sekali tidak menggugah seleranya. Berbeda dengan masakan ibunya, meskipun ibunya hanya memasakkan masakan seadanya, dia akan senang hati menghabiskannya. Berbicara mengenai ibunya, dia sangat merindukan perempuan itu.

"Nanti malam, keluarga Haruno akan datang untuk makan malam." Sangat jarang ada percakapan saat makan, tapi ada kalanya jika ada hal yang penting.

"Dalam rangka apa mereka kemari?" Bocah itu mendongak saat ayahnya menyuarakan suaranya.

"Kau akan tahu nanti." Sasuke hanya diam saja setelahnya. Paham betul dengan maksud ayahnya mengundang keluarga Haruno untuk datang. Namun bukan hanya dirinya saja yang paham, sang kakak beserta istri juga sepertinya tahu, begitu pula dengan bocah di sampingnya.

.

.

.

Mereka berdua hanya berbincang-bincang ringan di ruang kerja, saat salah satu menyeletuk.

"Bukankah kau harus lebih memperhatikannya?"

Itachi tahu membahas hal ini pada adiknya bukanlah topik yang disukai laki-laki tigapuluh tahun itu. Tapi mau bagaimana lagi, ia tidak tega melihat keponakannya terlihat begitu tersiksa tinggal di sini.

"Aku sudah melakukannya." Jawab Sasuke sambil menyesap kopi, satu teguk cairan panas itu mengalir di tenggorokannya.

"Menyekolahkannya di salah satu sekolah terbaik, membelikannya baju, mainan, bahkan aku memanggilkan tutor terbaik untuk–"

"Bukan itu yang dia butuhkan." Itachi segera menyanggah adiknya. "Memang benar kau memberikan yang terbaik padanya, tapi bukan hanya itu." Itachi berjalan mendekat ke jendela.

Sasuke yang berada dibelakangnya juga mendekat. Mengikuti arah pandang Itachi yang mengarah pada pemandangan di luar sana. Dan seketika oniksnya mendapati seorang bocah kecil yang sedang duduk di sebuah kursi taman dengan melamun.

"Dia juga butuh kasih sayang, Sasuke."

Pemandangan seperti itu, menjadi yang pertama bagi Sasuke. Selama ini, dia yang jarang berada di rumah tentunya hanya memiliki sedikit waktu untuk berinteraksi dengannya. Dan di sedikitnya waktu itu, Sasuke mendapati anaknya hanya terdiam.

"Meskipun umurnya baru delapan, aku tahu dia mengerti. Tentang kondisinya, kondisimu, dan juga kondisi ibunya. Dia diam bukan berarti dia tidak tahu apa-apa. Dia diam karena baginya itu yang terbaik."

Sasuke mendengar penuh apa yang diucapkan kakaknya. Meresapi apa yang dirasakan anaknya selama ini.

"Aku tahu aku juga kurang memperhatikannya." Itachi membuat jeda untuk menghela nafas. Dia juga sedikit menyesal karena kurang memperhatikan keponakannya karena perkerjaannya. "Tapi setidaknya ajaklah dia bicara. Dia butuh setidaknya pengakuan darimu untuk membuktikan keberadaanya di sini."

Sasuke meletakkan cangkir kopinya daripada menanggapi Itachi. Namun hal itu membuat Itachi tersenyum.

"Dia akan berada di taman belakang." Itachi sedikit meninggikan suaranya saat Sasuke melenggang pergi, bersamaan dengan anak laki-laki itu yang berdiri dari tempat duduknya.

.

.

.

.

.

Kenichi hanya berjongkok memperhatikan kolam ikan. Satu tangannya membawa sebuah buku untuk ia baca. Kebiasaan yang selalu ia lakukan setiap hari saat senggang. Biasanya pada jam-jam seperti ini ia masih berada di sekolah, kemudian ada seorang guru yang didatangkan untuk mengajarinya sepulang sekolah. Begitu kegiatannya setiap hari, dan saat ia tidak memiliki hal apapun yang dilakukan, dia akan pergi kemari untuk membaca.

Tapi sepertinya agenda rutinnya akan sedikit terinterupsi saat mata hitamnya menangkap bayangan laki-laki yang tercemin di jernihnya air. Bocah itu sontak mendongak untuk menatap ayahnya. Tapi hal itu tidak bertahan lama, ia lebih memilih untuk berdiri.

Berdiri si samping ayahnya sedikit membuatnya kikuk. Ia tidak tahu harus melakukan apa saat tanpa sengaja ayahnya datang kemari.

"Apa yang kau lakukan?" Bahkan suara ayahnya membuatnya tersentak. Ayahnya memang berkata dengan nada dingin seperti biasanya, namun bukan itu alasannya.

"Aku...em...aku..."

Sasuke tidak tahu pertanyaan simpelnya membuat anaknya terlihat kebingungan untuk menjawab. Satu tangannya ia masukkan ke dalam sakunya, dan satunya lagi mengambil buku yang di pegang Kenichi.

"Alice? Untuk anak seumuranmu kau memilih membaca Alice?" Kenichi semakin mengkerut mendengar nada suara ayahnya.

"I...ya." Kenichi menggigit bibirnya.

Sasuke tahu bagaimana gugupnya anaknya sekarang, sehingga ia memilih mengembalikan buku itu dan duduk di salah satu kursi yang tertupi bayangan pohon.

"Kemari." Sasuke memandang anaknya, pertanda menyuruhnya untuk segera duduk di sebelahnya.

Kenichi dengan ragu berjalan mendekat. Duduk tepat di samping ayahnya.

Mereka terdiam cukup lama. Sasuke tidak begitu tahu percakapan apa yang biasanya dibicarakan ayah dengan anaknya. Tapi melihat kakaknya bisa bicara selancar itu dengan kedua anaknya, membuat Sasuke menemukan topik.

"Kau tidak bermain dengan si kembar?"

"Yui dan Shun pergi bersama kakek ke taman hiburan." Seketika Sasuke menoleh, pandangan anaknya mengarah lurus ke arah kolam. Mulut mungilnya kembali menutup setelah berkata demikian. Sasuke sangat yakin itu adalah kalimat terpanjang yang pernah ia dengar dari mulut anaknya.

Mereka kembali terdiam. Sasuke ingat, anaknya tidak pernah keluar sekalipun dari mansion kecuali untuk sekolah. Dan sepertinya Sasuke kembali menemukan bahan pembicaraan.

"Kau ingin pergi juga?"

Kenichi menggeleng pelan. "Yamato-san pergi mengantar mereka."

Sasuke paham apa maksud anaknya. Yamato adalah sopir yang biasanya mengantar Kenichi sekolah. Jadi anaknya menganggap kalau Yamato-lah yang akan menemaninya bukannya malah dirinya. Sepertinya Sasuke harus meluruskan kesalah pahaman ini, dia sendiri yang akan mengantar anaknya pergi kesana. Tapi sesaat sebelum Sasuke membuka mulutnya, anaknya malah mendahuluinya.

"Jika aku tidak dibutuhkan, lalu kenapa aku ada di sini?"

Sasuke terpaku. Perkataan anaknya membuat jantungnya diremas keras. Apalagi ditambah dengan wajah Kenichi yang mengahadp ke arahnya. Menampilkan raut wajah yang memiliki banyak makna.

Sedih, terluka, dan juga kecewa.

Apa rasa kecewa itu ditujukan untuknya?

"Aku tahu kenapa ibu membawaku kemari. Ibu bilang aku bisa hidup enak, aku akan tinggal bersama dengan keluargaku, termasuk bersama ayahku. Tapi ibu tidak tahu jika aku tidak bahagia di sini." Kenichi kembali memandang kolam saat bicara, kali ini pandangannya nampak kosong. Sasuke bisa mendengar ada nada kesedihan di akhir kalimatnya.

"Aku lebih memilih tinggal bersama ibu meskipun hari-hari kami dilalui dengan sulit."

Sasuke bungkam. Dia yang berniat untuk bicara dengan anaknya, bukannya malah sebaliknya.

"Nanti malam, bukanlah malam yang biasa, kan?"

Sasuke tahu dia menyadarinya. Anaknya yang berumur delapan tahun terlalu mengerti dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Dan Sasuke menjadi sedikit takut karenanya.

"Anda akan bertunangan dengan perempuan pilihan kakek. Lalu kalian akan menikah dan memiliki seorang anak. Dan di saat itulah aku akan diasingkan–salah," Kenichi menggeleng pelan. "mungkin kakek sudah akan melakukannya setelah pulang nanti. Aku akan berada di kamarku. Menyembuyikan keberadaanku agar tidak ada satupun orang yang tahu."

"Kau tahu darimana?" Sasuke tidak akan menampik kebenaran yang akan terjadi pada anaknya. Dia tahu sedari awal, keberadaan Kenichi akan disembunyikan rapat oleh Fugaku. Tapi mendengar anaknya sendiri yang bicara seperti ini, membuat hatinya serasa teriris. Jadi hal ini yang selalu dirasakan anaknya. Ketidak pastian akan posisinya sebagai salah satu cucu Uchiha Fugaku.

Kenichi menggeleng pelan.

Sasuke paham gelengan itu. Semua itu berasal dari kepala luar biasanya.

"Menurut Anda, apakah aku menjadi penghalang? Jika iya, aku akan pergi. Tidak perlu khawatir, aku akan menutup mulutku sehingga tidak akan ada orang yang tahu siapa ayahku."

Kenichi tersenyum lebar, hingga membuat matanya menutup. Dia tahu itu hanya senyum terpaksa. Sasuke tidak kuat. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak memeluk anaknya. Itachi benar, Kenichi tidak membutuhkan semua hal yang ia berikan. Dia hanya perlu memberikannya kasih sayang. Hanya itu.

"Tidak, kau sama sekali bukan penghalang." Dan sepertinya pelukan ayahnya merobohkan dinding yang selama ini ia bangun. Apalagi ia juga mendengar ayahnya berkata jika keberadaannya di sini bukanlah penghalang. Sasuke semakin memeluk anaknya saat telinganya mendengar suara isakan.

"Aku takut, ayah."

Sasuke terpana.

Benar. Seharusnya seperti ini. Kenichi yang memanggilnya ayah, entah kenapa seperti membuat ribuan bunga yang bermekaran di hatinya. Dia menyesal. Sungguh dia menyesal, mengabaikan putranya selama ini.

"Aku takut harus berpisah juga denganmu." Kenichi menenggelamkan kepalanya di dada ayahnya. "Aku tidak bisa bertemu ibu, dan semakin menakutkan jika aku tidak bisa bertemu denganmu juga."

"Itu tidak akan terjadi. Ayah–ayah akan selalu di sampingmu." Sasuke sekuat tenaga untuk tidak meneteskan air matanya. Meskipun suaranya sedikit tersendat, tapi setidaknya ia berhasil meyakinkan anaknya untuk percaya padanya.

Kenichi masih belum mau melepas pelukannya saat Sasuke mendorongnya menjauh. "Dengar. Semua ketakukanmu tadi tidak akan pernah terjadi. Ayah janji." Sasuke menghapus lelehan air mata yang membasahi pipi putranya.

Putranya mengangguk. Dan kembali memeluknya lagi, tapi kali ini dia melihat ada senyum bahagia di wajahnya tidak seperti tadi.

"Ingin pergi bersamaku?" Sasuke berbisik. Untuk pertama kalinya ia bisa menggendong putranya.

Kenichi menggeleng. Saat ini dia hanya ingin bersama ayahnya selama mungkin sebelum malam datang.

"Di taman bermain nanti bertemu kakek." Kenichi menjelaskan. Sasuke tersenyum, bukan itu maksud tujuannya. Dengan sudah mengantongi kunci mobilnya, Sasuke yang menggendong Kenichi berjalan ke arah garasi.

"Siapa bilang kita akan ke taman bermain." Kenichi mendongak, menatap wajah ayahnya dengan bingung.

"Kita temui ibumu."

.

.

.

.

.

halah kok nggaya banget nulis fic baru, sedangkan masih ada fic yang belum kelar. la gimana lo, mumpung dapet ide ya langsung tulis aja. maaf jika ceritanya absurb kayak gini

lagi-lagi saya ngasih nama kenichi untuk nama anaknya sasu, maaf kalau kurang kreatip, tp entah knp saya suka banget sama nama itu. sama kayak salah satu nama seiyuu fav saya, suzumura kenichi-san, hehehe. tapi fic ini gak ada hubungannya sama FbA yang saya buat, fic ini berdiri dengan ceritanya sendiri.

judulnya saya conteks dari film jepang dengan judul 'dakishimetai' film bagus yang membuat saya mewek kayak bayi lagi. recommend banget,

sekian, sampai bertemu di kesempatan berikutnya

jaa adios

.

.

.

.

"Ibuuuu!"

Hinata yang sedang menjemur rumput laut langsung menoleh saat mendengar suara yang selama ini begitu ia rindukan. Di ujung jalan, ia bisa melihat seorang bocah yang berlari ke arahnya. Mengabaikan pekerjaan yang masih menumpuk, Hinata menyambut anaknya dengan tangan terbuka yang siap merangkul tubuh kecilnya.

"Aku merindukan ibu." Kenichi tentu langsung memeluk erat tubuh ibunya. Menyalurkan rasa rindu yang selama ini ia tahan. Akhirnya ia bisa kembali bertemu dengan ibunya setelah satu tahun terpisah.

"Ibu juga." Hinata mengecup kepala jabrik anaknya. Matanya berkaca-kaca saat mendapati tinggi putranya yang setara dengan pundaknya. Menandakan anaknya tumbuh sehat tanpa pengawasannya. Dia sangat bahagia anaknya kembali ke pelukannya. Tapi seketika Hinata tersadar, bagaimana mungkin anaknya bisa kemari?

Lalu mata amethyst itu menangkap sesosok laki-laki yang berdiri tidak jauh dari mereka. Meskipun samar, Hinata bisa tahu laki-laki itu tengah tersenyum.

Bibir Hinata tanpa sadar berucap. "Sasuke-sama."