Bonus lengkap dari versi yang telah saya upload sebelumnya di wattpad. Semoga terhibur.

Disclamer : Masashi Kisimoto

Pairing : Naruto-Hinata

Original Story & cover : Atharu

Warning : Typos, AU, Marriage life, OOC, no FLAME, NC, lemon implisit-eksplisit

Bukannya tidak menghargai karya sendiri, tapi bahasa yang saya gunakan bukanlah bahasa yang diperdayakan.

Rated : M baik segi bahasa maupun adegan (Seriously for 18+)

anak dibawah umur silahkan skip atau lebih berpahala untuk mundur menunggu cukup umur OKEY.

No copas!

SKRIP-LOVE (Special chapter)

.

.

.

.

.

"Naru- please." Dua tangan itu mengatup satu sama lain. Bola mata bulat menatap penuh minat dan hasrat. "Aku tidak akan nakal, janji." Bibir bawahnya digigit pelan, wajah dengan pipi penuh seperti cinnamon roll digunakan sebagai senjata pemanis.

Seharusnya Naruto tahu bahwa istrinya punya kemampuan merayu yang tak perlu diragukan. Sejak hamil sifat Hinata menjadi lebih manja dan perasa. Yang paling parah terjadi akhir-akhir ini, tidak bisa ditinggal meski cuma hitungan jam.

Manipulatif, wanita ini dapat dengan mudah memerintah seseorang hanya dengan satu kedipan mata. Berbahaya jika dibiarkan keluyuran sendirian.

"Aku ingin jalan-jalan. Bolehkan?"

Desahan lirih terdengar tak rela. Naruto benar-benar merasa dirinya dijebak dalam kubangan dilemma. Melirik sekilas, Hinata yang duduk di atas sofa masih menatapnya tak berkedip. Perut buncitnya tersembunyi nyaman di balik kaos tebal, sesekali akan diusap Hinata seolah mengatakan pada calon bayi bahwa dirinya adalah calon ayah yang tidak baik.

"Kau di sini saja, aku tidak akan lama. Hanya menghadiri pertemuan untuk membahas rencana kerjasama Universitas Konoha dengan Institut Suna." Kesalahan bagi Naruto karena memboyong istrinya ikut bersama ke Suna. Calon ibu dengan usia kandungan sembilan bulan itu merengek ingin ikut tak peduli jika Naruto secara tegas menolak.

Naruto lebih merasa aman jika Hinata tetap di rumah, bisa juga memilih ingin menginap di rumah keluarga Hyuuga atau mengungsi ke kediaman utama Uzumaki daripada mengikutinya sampai ke luar kota. Meski Suna masih dalam satu wilayah namun kondisi alam yang sedikit berbeda dengan Konoha membuat Naruto lebih khawatir dan cemas.

Takut istrinya alergi debu atau panas. Musim panas di Suna bisa membuat seseorang sampai halusinasi akibat dehidrasi.

"Tiga hari di sini dan aku bosan. Sama sekali tidak keluar untuk jalan-jalan." Awalnya Hinata mengira ia akan ikut suaminya dalam kegiatan relasi. Dia bahkan sudah menyiapkan pakaian terbaiknya jaga-jaga jika ada undangan acara formal. Namun Naruto malah menguncinya di kamar hotel, sama sekali tidak membiarkan dirinya keluar tanpa persetujuan.

Jalan-jalan rasa tawanan. Bukan ini yang Hinata inginkan melainkan kebebasan.

"Di sini atau pulang?"

"Tidak mau!" Hinata ngotot, ia memalingkan muka dengan tangan bersendekap kesal.

Naruto jengah dengan sikap keras kepala Hinata yang sama sekali tak berubah meski telah berbadan dua. Naruto tak mau mengambil resiko jika sewaktu-waktu istrinya mengalami kontraksi. Hamil tua sembilan bulan rawan melahirkan secara tiba-tiba. "Sakura juga di sini, ia bisa menemanimu-"

Hinata sumringah, berharap kali ini bisa melihat kota Suna sesuka hati. Meski tanpa suami setidaknya Sakura bisa menjadi pengganti.

"-mengobrol di sini sampai aku kembali."

Hinata berdecak sebal, selalu seperti itu lagi. "Kejamnya. Naruto-kun tidak mau memenuhi rasa ngidamku ya?"

"Jangan gunakan adik bayi sebagai alasan." Kali ini Naruto menolak secara tegas. Ia melirik arloji Casio di pergelangan tangan kiri, 15 menit lagi pertemuan kerjasama akan diadakan. Waktu berdebat dengan sang istri hampir berlangsung satu jam dan ia tidak bisa lagi menunda untuk berangkat.

"Tapi bila aku melahirkan nanti bagaimana? Aku tidak ingin sendirian, kau harus menemaniku."

"Hey, tentu saja. Tapi dokter mengatakan masih ada banyak waktu sebelum baby lahir. Jangan terlalu lelah. Ku telpon Sakura, ia akan ke sini lima menit lagi." Sebisa mungkin Naruto menghindari tatapan memelas dari sorot mata bulan istrinya, takut akan kalah dan kembali mengalah. Pria itu mengambil kunci mobil, sedikit terburu-buru berlari sebelum Hinata berhasil mencegahnya.

.

.

"Sudahlah Hinata, meski sedikit berlebihan, Naruto sebenarnya menghawatirkanmu." Wanita dengan wangi tubuh buah-buahan itu menyerahkan segelas susu ibu hamil pada Hinata. Sekertaris Naruto itu tentu juga berada di sini mengingat agenda Naruto di Suna adalah untuk menjalin hubungan kerja sama antara dua universitas terkemuka.

Dan jangan lupakan bahwa baik Sakura dan Hinata telah menjadi teman akrab meski dalam waktu yang singkat. Sedikit kesalahpahaman di masa lalu bisa menjadi jembatan dalam bersahabat.

"Aku rasa ia menghindariku."

Kedua alis Sakura menukik heran. "Menghindari? Maksudmu?" Lebih dari Naruto, Sakura tahu sifat moody Hinata akan capet naik turun seperti permainan jungkitan. Apalagi jika mendekati bulan kelahiran, akan ada rasa was-was berlebih mengenai semua hal.

Sekura tentu sudah berpengalaman.

"Naruto-kun tidak menyentuhku. Sejak kami tiba di sini, ia seolah sibuk entah kemana dengan berbagai agenda." Hinata menatap kosong pada jendela terbuka. Susu dalam gelas sudah habis isinya, namun ia tetap memegang gelasnya dengan pandangan melamun.

"Baru tiga hari Hinata, mana mungkin suamimu tega melakukannya. Kau justru akan kelelahan nanti. Bila jatuh sakit nanti bagaimana."

Hinata mengelengkan kepalanya sekilas. "Tidak biasanya Sakura-san. Kemarin-kemarin suamiku tidak akan membiarkanku tidur dengan pakaian lengkap. Minimal sehari sekali kami akan melakukannya."

"Bahkan sebelum hamil, ia bisa tiga kali sehari menyentuhku." Tambahnya disertai bibir mengerucut seperti anak kecil.

"Euhh, rajin sekali ya." Sakura bingung antara ingin tertawa atau tersedak. Lucu ketika melihat wajah imut Hinata yang risau dan hendak terbatuk ketika mendengar apa yang dirisaukan calon ibu ini. "Jangan memaksakan diri. Calon bayimu akan terguncang jika keseringan melakukannya." Nasehat Sakura yang dibalur candaan.

"Tapi, Naruto-kun bilang itu akan bagus untuk proses melahirkan nanti. Asal aku berada di atas atau posisi do-do-ggy ah apalah itu, maka tidak akan apa-apa." Diakhir kalimat, pipi Hinata bersemu merah mirip apel masak siap dipetik.

Sontak Sakura mengibaskan tangan ke depan wajahnya. Entah kenapa ia merasa udara mendadak panas dan sangat yakin jika wajahnya tengah memerah. Perkataan polos Hinata sungguh membuat Sakura membayangkan bagaimana bos yang sangat ia hormati itu bisa sangat berbahaya dan memiliki trik muslihat dalam memenuhi kebutuhan biologisnya.

Bastrad old man! Umpat Sakura dalam hati. Ia berharap bahwa apapun itu semuanya akan baik-baik saja nanti. Tentunya ia akan memberikankan Naruto buku panduan tentang menjaga kesehatan ibu hamil secara cuma-cuma. Lelaki itu harus belajar untuk menahan napsu.

"Ok, lupakan tentang hal itu. Kudengar kau akan memiliki seorang anak lelaki. Selamat."

Senyum malu-malu Hinata mengambang. Dirinya suka mendapat sebuah perhatian, apalagi mengenai sang calon bauh hati. "Terima kasih. Aku bahkan sudah menyiapkan beberapa pakaian bayi dan membawanya ke mari."

"Wow, benarkah. Boleh kah aku melihatnya? Rasanya senang jika melihat pakaian lucu untuk baby. Bahkan pakaian Sarada sewaktu kecil masih kusimpan dan sering kulihat."

Hinata mengangguk, ia membawa Sakura masuk ke dalam ruang kamar tidur. Dua wanita itu nampak menikmati waktu bercengkrama, sesekali pula Sakura akan menggoda Hinata dengan mengatakan bahwa anaknya nanti akan sangat tampan.

"Ah, kau juga akan hadir dalam pesta nanti malam?" Fokus Hinata terhenti ketika Sakura bertanya tentang sesuatu yang tak tak ia pahami.

"Pesta?"

Sakura mengangguk. Dia menunjuk pada beberapa pakaian pesta Hinata. "Bukan pesta besar-besaran, hanya perayaan kecil yang diadakan oleh pihak Suna. Naruto tadi mengatakannya padaku."

Menangkap raut kebingungan dari Hinata. Sakura baru sadar bahwa ia telah salah bicara. Namun seingatnya Naruto tidak berpesan padanya untuk tidak berbicara mengenai rencana nanti malam pada Hinata, dan Sakura tak harus berbohong kan?

"Bilangnya cuma rapat biasa ternyata menyembunyikan rencana berpesta. Sudah kuduga, Naruto-kun memang ada apa-apa. Ia malu menggandengku, takut ditertawakan membawa wanita hamil yang seperti buntalan karung di muka umum."

Sakura mencoba menjadi pihak netral, penengah dan pemberi nasehat. "Tidak seperti itu Hinata. Mungkin Naruto punya alasan lain, jangan biarkan pikiran buruk mempengaruhimu. Ingat jabang bayi."

"Katakan Sakura-san, apa aku terlihat jelek? Tidak usah berbohong, aku menghargai kejujuran meski hasilnya mengecewakan." Ucap Hinata penuh keyakinan.

"Kau cantik, manis dan semakin imut dengan perut buncit di tengah perut, seriously." Sakura berkata apa adanya, Hinata memang seperti yang ia katakan. Wanita berbadan dua itu punya suatu daya pikat. "Jika kau tidak percaya, hanya dengan mengenakan kemeja kedodoran kau bisa menjatuhkan mental Naruto yang rapuh."

Kedua mata Hinata berkedip lucu, tercenung untuk beberapa saat sebelum memekik senang mendapat sebuah ide agar suaminya cepat pulang. Sedangkan untuk Sakura, ia seperti mengatakan hal yang begitu salah dan berdosa.

"Sakura-san, terima kasih." Hinata memeluk Sakura dengan penuh rasa gembira.

.

.

Firasat buruk Sakura terbukti benar. Ia seperti dituntun untuk menuju galian lubang kubur.

"Kubilang kemeja, kenapa malah menyewa sweater virgin killer. Perutmu bisa sesak." Dan Naruto bisa membunuhku.

"Bukan masalah, ini ukuran XL. Sangat nyaman dipakai."

Mata emerald Sakura tercengang, dalam hati ia berdoa Naruto punya ketahanan iman dari tampilan penuh goda istrinya. "Dan kenapa pula harus menggunakan sabuk?"

Berkali-kali Sakura menepuk jidatnya. Jika keterusan begini ia yakin Naruto bakal menuntutnya dengan tuduhan penghasutan atau pencucian otak. Ia bisa mati sebelum kembali. Hinata malah nampak senang, perut buncit besarnya terlihat sengaja dipamerkan lewat rongga sweater yang terbuka lebar.

"Jangan longgarkan. Ikan yang kencang." Hinata berseru nyaring meminta Sakura untuk mengikat kedua tangannya dengan sabuk hitam milik Naruto. Melilitkannya sampai benar-benar sesuai dengan permintaan Hinata. "Naruto-kun pernah melakukannya di awal bulan madu kami. Dan ia bilang sangat memuaskan sampai ingin dicoba lagi." Kekeh wanita bersurai biru gelap ini tanpa melihat raut pucat pasih Sakura.

Banjir keringat dingin tak bisa Sakura tahankan. Dalam hatinya ia masih tidak percaya bila sahabat sekaligus atasannya, seorang Naruto yang begitu ia hormati ternyata bisa melakukan hal bejat macam praktek bondage, korbannya Hinata pula.

Sungguh konspirasi yang mengerikan.

Entah tipu daya macam apa yang Naruto gunakan sampai-sampai Hinata dengan suka rela mau melakukan. Bahkan mendengar dari cara Hinata bercerita, wanita berbadan dua itu seolah menikmatinya. Yang jelas saat ini tangannya gemetaran. Pikirannya mulai buyar. Visualisasi tubuh kecil Hinata yang terikat dan terhimpit serta tersentak tak karuan arah akibat kungkungan badan kukuh Naruto berhasil meracuni pikiran lurusnya.

Ya Tuhan, ia jadi merindukan Sasuke dan Sarada di rumah. Ingin segera pulang dan melupakan ini semua. Bahkan ia sudah bersumpah tidak akan menyapa Naruto jika pria itu ketahuan memakai ikat pinggang ini.

Sakura ingin terbebas dari bayang-bayang penuh dosa. Cukup sampai di sini, Sakura ingin segera ke loket kereta untuk membeli tiket pulang ke Konoha. Tak peduli gajinya dipotong atau dipindah tugaskan. Yang penting Sakura bisa tidur nyenyak tanpa memimpikan hal-hal pemicu sakit jantung.

"Bisa kau teleponkan suamiku? Bilang pada Naruto-kun bahwa aku sedang dalam keadaan gawat."

'Sebenarnya aku yang berada di posisi itu' batin Sakura meringis hampir menangis. Imajinasinya membayangkan Naruto menggedor pintu dengan membawa senjata siap untuk dikokang ke arahnya.

Ia belum pernah melihat bagaimana rupa ketika Naruto marah, tapi mendengar betapa kejamnya Naruto pada mahasiswa yang menganggu istrinya sudah cukup membuat Sakura tahu berapa kadar keposesifan Naruto.

"Kau yakin harus berpenampilan seperti itu?" Untuk yang terakhir kalinya Sakura bertanya memastikan. Naruto sudah ia hubungi, pria itu terdengar ingin bertanya lebih lanjut namun buru-buru Sakura matikan sambungannya. "Aku bisa mengendurkan ikatannya." Ruam merah di pergelangan tangan Hinata semakin membuat Sakura meneguk ludah ingin meminta pertolongan.

Siapapun tolong sadarkan Hinata jika apa yang tengah ia rencanakan adalah hal gila pencetus perang batin.

Hinata menggeleng pelan. Ia berbaring di ranjang dengan dua tangan terikat dan pakaian yang sungguh membuat tangan Sakura gatal untuk menambalnya dengan kain selimut.

"Priamu akan datang sebentar lagi. Aku pulang, jika ada apa-apa bilang padanya aku sama sekali tidak terlibat. Cari alasan atau rayuan apapun, yang penting jangan sampai namaku disebut. Aku hanya korban ok."

Anggukan Hinata masih membuat Sakura ragu apakah Hinata benar-benar paham mengenai ucapannya. "Kau banyak membantuku Sakura-san, terima kasih. Kuharap kita akan sering saling membantu."

'Tidak, ini yang terakhir. Aku tidak mau surat pemecatan terlampir di mejaku' runtuk Sakura bergegas mengambil tasnya dan segera pergi.

.

.

Sebenarnya pikiran Naruto sama sekali tidak pernah berhenti untuk mengkhawatirkan istrinya yang ia tinggal di penginapan. Andai bukan hal penting maka sudah Naruto limpahkan ke dosen yang lain untuk mewakilinya. Apalagi kini kandungan Hinata memasuki masa-masa genting menjelang kelahiran.

Anak pertamanya diprediksi akan lahir kurang dari dua minggu lagi, tentu Naruto tidak boleh lengah sedikit pun. Menjadi suami siap siaga sudah ia persiapkan sejak Hinata dinyatakan positif hamil untuk yang pertama kali.

Dan sekarang ia tengah berlari menuju arah pintu lift. Sejak ditelepon Sakura satu jam yang lalu Naruto merasa tidak tenang, batinya was-was dan pikirannya dipenuhi dugaan macam-macam. Semua agenda yang seharusnya ia datangi sudah ditinggalkan, rencana menghadiri perayaan nanti malam pun tanpa perlu pertimbangan ia batalkan.

Semua ini karena rasa cemasnya ketika sudah menyangkut istri tercinta. Naruto takut Hinata mengalami kontraksi berat atau bahkan melahirkan lebih cepat.

Napasnya menjadi berat ketika melihat pintu kamarnya berada di ujung penglihatan. Tanpa mengetuk Naruto langsung membuka kuncian pintu.

Tidak ada Hinata ataupun Sakura. Jantungnya berpacu begitu layar televisi dan AC dibiarkan menyala begitu saja. "Hinata, kau dimana?"

"Naruto-kun." Suara istrinya terdengar menyahut dari dalam kamar tidur. Naruto bergegas ke sana, menekan saklar lampu dan betapa terkejutnya ia mendapati keadaan Hinata yang terlentang tanpa tutupan selimut dan dengan pose tangan terikat.

Hinata menggeliat mencoba bangun, namun kesulitan akibat ketidak keseimbangan dalam menopang massa tubuh.

"Apa-apaan ini! Hinata, apa yang kau lakukan!" Naruto tidak pernah merasa semarah ini. Luapa emosi yang keluar adalah bentakan serupa makian. Pria itu dengan langkah lebar mendekati istrinya, melepas lilitan sabuk dengan kasar menghiraukan raut keterkejutan Hinata.

"Kau gila, kepalamu terbentur atau akalmu berpindah tempat, hah? Apa yang ada di otakmu sampai berani berpenampilan seperti ini?!" Tanpa terkontrol suara bassnya menyentak galak. Benar-benar kemarahan luar biasa yang baru Hinata lihat.

"Ta-tapi kau dulu bilang menyukai diriku yang terikat." Bela Hinata sedikit takut.

"Ya Tuhan, itu sebelum kau hamil Hinata. Jika kita nekat melakukannya, adik bayi akan terluka. Jangan egois hanya memikirkan dirimu sendiri." Naruto masih belum bisa menahan amarahnya, kelakuan Hinata telah berhasil membuat pita suaranya naik beberapa oktaf. "Ganti pakaianmu, kau terlihat murahan jika memakainya."

Hati Hinata tersengat sakit mendengarnya. Sama sekali tak terpikir bahwa sang suami akan sebegini marahnya. Hinata membayangkan pelukan romantis atau ciuman penuh kasih ketika Naruto pulang, bukan sebuah bentakan keras yang berhasil membuat matanya berkaca-kaca.

Sesuatu dalam dirinya menendang keras namun Hinata menganggapnya hanya kontraksi akibat reaksi keterkejutan.

Seharusnya Naruto sadar bahwa wanita yang tengah ia marahi adalah ibu hamil dengan hormon labil yang bisa dengan cepat berubah perasaan dan memiliki kesensitifan yang peka. Dirinya pun sadar bahwa ia telah berkata kejam pada istrinya. Namun, amarahnya benar-benar tak dapat Naruto kontrol hingga tanpa sengaja melukai wanitanya.

Tangis kecil mulai terdengar sayup-sayup. Hinata menundukkan wajahnya, berusaha menghapus air mata meski nyatanya semakin banyak yang mengalir keluar. Naruto jadi merasa bersalah, ia berjongkok di depan Hinata dan mengelus pipinya yang basah.

"Untuk kali ini kau memang yang salah Hinata. Tapi aku minta maaf jika perkataanku melukaimu."

Hinata diam dan Naruto semakin merasa bersalah. "Jika kau minta aku membawamu untuk keliling Suna menggunakan motor balap ataupun helicopter, aku tidak keberatan. Sekalian kusewakan puluhan mobil mewah beserta pengawal agar terasa seperti kunjungan kenegaraan-

-namun jangan pernah bertindak bodoh seperti ini lagi. Jangan membuatku jantungan."

"Tidak perlu." Hinata berucap dengan suara parau. "Tidak harus jalan-jalan, suamiku tengah sibuk dan aku hanya merasa kesepian." Terdengar menyindir dan menyeruakan rasa kesedihan. Hinata hanya ingin menghabiskan waktu bersama sang suami, tidak lebih.

Apakah permintaannya terlalu berat untuk dilakukan? Coba pikirkan keadaannya, meski tak mau mengakui namun Hinata cukup gelisah mendekati hari-hari kelahiran. Wanita itu ingin suaminya tetap dekat dengannya, entah mengobrol atau menemani menonton televisi. "Aku minta maaf, aku akan tidur di ruang tamu."

Jelas sekali Hinata tengah merajuk ingin perhatian. Naruto menghela napas sebelum menarik Hinata ke dalam pelukannya. "Coba pahami aku Hinata. Aku sangat takut terjadi apa-apa pada calon ibu dan bayi kita. Jangan marah atau sedih, apa aku menakutimu tadi, hm?" Usapan sayang diterima Hinata di puncak kepala. Dirinya rindu diperlakukan penuh cinta kasih.

Hinata menghirup dalam-dalam aroma campuran citrus dan pinus yang melekat di baju suaminya. "Lalu aku harus bagaimana? Perasaanku sedang tidak menentu, rasanya tidak ingin jauh dari Naruto-kun." Naruto memeluk istrinya semakin erat, mengecup seluruh bagian di wajah Hinata dengan membisikkan kata maaf.

"Kau menakutkan ketika marah, membuat bayimu menendangku dengan keras."

Naruto buru-buru mengelus perut besar istrinya yang memang terasa tegang. "Maafkan ayahmu ini, nak. Ayah hanya menghawatirkan ibumu juga dirimu." Dan baru Naruto sadari pakaian macam apa yang dikenakan oleh Hinata.

Sungguh cobaan melihat baju kekurangan bahan melekat bukan untuk menutupi malah melucuti pertahanan mata. Mencetak jelas tiap sudut tubuh yang berlekuk meski –with a bump in the middle – Naruto merasa Hinata tidak dalam pertahanan yang prima. Terlalu terbuka dan mengundang untuk minta disusupi hingga merah merekah.

Pakaian entah apa itu membangkitkan apa yang sebelumnya tertidur di balik celana katun. Sisi bagian kanan kiri menampilkan bentukan dua payudara tanpa sokongan kain bra, sintal dan padat yang Naruto yakini menampung banyak cairan ASI untuk calon buah hati.

Tidak sebatas hanya terbuka di bagian atas. Baju rajutan kelewat minim ini juga menampilkan punggung telanjang Hinata, terbuka sampai memperlihatkan lipatan belahan pantat.

"Kau ingin sex ya. Tinggal meminta tak usah berbuat macam-macam." Hidungnya membauhi ceruk leher sampai tulang selangka dibalik rajutan sweater. Bibir kenyal itu ia usap enuh sensual mengirim sengatan listrik menyenangkan sampai membuat bulu kudu Hinata meremang.

Tangan Naruto sudah bersiap meremas dan membanting Hinata terlentang di kasur jika saja istrinya tidak memekik memeluk punggungnya erat.

"Akkhh, Na-naru," Distraksi, ada kepanikan yang ingin Hinata ungkapkan. Namun ia malah terkikik menyadari bahwa bayinya aktif bergerak mencari pintu keluar. "Se-pertinya aku akan segera melahirkan."

"Huh?"

"Air ketubanku pecah, baby ingin segera berjumpa dengan kita."

"Apa?!"

.

.

.

Tidak membutuhkan waktu lama setelah Hinata mengatakan akan segera melahirkan. Naruto bergegas melajukan mobilnya ke pusat rumah sakit terdekat. Baru tiga jam Hinata dibawa ke ruang bersalin, Naruto sudah mendengar tangis kencang anaknya yang baru lahir.

Dirinya resmi menjadi seorang ayah.

Seorang suster keluar dan mengatakan bahwa dirinya boleh menemui Hinata. Bola mata biru melihat sosok wanita yang telah berubah menjadi seorang ibu itu tengah tersenyum bahagia manatapnya meski baru melalui proses melahirkan secara normal.

"Sayang, selamat. Kau berhasil menghadirkan putra kita ke dunia. Kalian sama-sama telah berjuang." Naruto mengecup kening Hinata sebagai tanda terima kasih yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. "Aku mencintaimu, Uzumaki Hinata."

"Dan aku juga mencintaimu, Naruto-kun."

Dua pasangan yang baru menjadi orang tua itu menoleh ketika salah seorang perawat datang dengan menggendong buntalan kain hangat berisi bayi yang masih memerah. Hinata melihat rupa putranya dengan bangga. Menangis haru menyadari sang anak hampir memiliki kesamaan paras dengan sosok ayahnya selain kontur wajah yang lebih condong pada dirinya.

"Dia tampan seperti dirimu."

Naruto jadi menyadari bahwa intuisi seorang ibu tidaklah salah. Semua sikap manja Hinata yang tidak mau ditinggal memiliki arti tersembunyi. Jika saja ia menghadiri pesta perayaan atau meninggalkan istrinya di Konoha tentu dia tidak akan bisa mendampingi Hinata sekarang, bahkan Naruto tak mampu membayangkan jika Hinata akan berjuang kesakitan sendirian.

"Firasatmu benar, merasakan bahwa anak kita akan lahir sebentar lagi. Maaf karena sebelumnya aku berteriak padamu. Kupikir aku cukup menjagamu, namun aku nyaris meninggalkanmu." Jemarinya ia kaitkan dengan milik Hinata, satu tangan lagi mengusap lemput penuh kehati-hatian pada rambut halus bayi mereka.

Kepala itu masih sangat rapuh, Naruto seolah mengelus lembaran sutra yang sangat tipis. Mudah hancur jika salah pegang. "Kau ingin memberinya nama?"

"Kupikir Naruto-kun yang lebih berhak untuk hal itu."

Naruto tersenyum sekilas. "Bagaimana dengan Uzumaki Boruto. Seseorang dengan sifat pantang menyerah, perpaduan antara kita berdua."

"Boru-boruto. Terdengar sangat bagus." Meski sedikit lelah namun Hinata terlihat ingin mengatakan sesuatu."Sayang, boleh aku meminta sesuatu?"

"Tentu saja, apapun itu." Sang ayah baru masih gemas melihat bayi kecilnya yang sedang menempel erat di dada ibunya untuk mendapatkan asupan ASI.

"Boleh aku melanjutkan S2 ku?" Sudah lama Hinata ingin menanyakannya, ia berharap kali ini Naruto akan memberinya ijin. Tentunya Hinata sudah berkomitmen akan tetap memprioritaskan keluarganya.

"Ya, suka-sukamu." Hinata hampir memekik senang mendengar persetujuan itu, memang benar bahwa pembicaraan mengenai rencana pendidikannya harus dilakukan pada waktu suaminya sedang dalam luapan kebahagiaan.

"Tapi nanti, setelah kau melahirkan anak ke sebelas kita."

"Na-nani?" Belum genap sehari umur bayi mereka lahir namun Naruto sudah berencana untuk menghadirkan banyak adik bayi. Andai saja tangan Hinata tidak digunakan untuk memeluk putranya sudah ia pastikan akan melempar bantal atau kantong infus ke arah Naruto sekarang. "Aku bukan lapangan sepak bola, apalagi pabrik bayi!"

.

.

.

END