A/N:
Di sini sebenarnya saya pengen bikin Sehun jadi atlet snowboard (iya, seperti yang biasa Chanyeol post di IG. Dan maafkan saya karena mungkin membuat kalian bingung sebenernya Sehun itu snowboarding atau skiing /deep bow/). Tapi di sini ceritanya Sehun bisa mainin(?) semua jenis olahraga salju kok :( Terserah kalian enaknya bayangin Sehun kayak gimana yg penting kan hunhan nya ya ga ehe ehe ehe (?)
Dan maafkan typo yang luar biasa bodoh karena seharusnya penulisan yang benar itu 'atlet' bukan 'atlit' huhuuhuh maafin ya ngetiknya setengah sadar plus blom diedit sih :")
.
.
Ronghuale
Sehun x Luhan
.
Romance, fluff
One-shot
.
.
Happy (belated) Valentine's Day, Hunhan!
.
.
.
(2/2)
.
Liburan terkadang dibutuhkan, terkadang malah tidak diinginkan.
Memang segala hal yang kuantitasnya terlalu banyak malah akan membawa repot bagi diri sendiri. Contohnya seperti saat ini, setelah pengumpulan tugas, kegiatan belajar diliburkan. Luhan sudah mulai kehabisan ide apa yang harus ia lakukan selama di rumah. Habis ide dan habis uang, lebih tepatnya.
Mahasiswa semester enam itu bahkan sudah mengunjungi rumah neneknya di daerah Ilsan, bermain arcade bersama teman-temannya, bolak-balik mengirim CV untuk magang di beberapa media dan hanya tinggal menunggu hasil.
Menunggu, dan menunggu.
Termasuk menunggu di layar ponselnya muncul nama 'Oh Ski-hun'.
Sebetulnya, Luhan merasa tidak enak karena pulang begitu saja tanpa berpamitan pada si atlet tampan. Tidak ada alasan khusus. Ia hanya... tidak ingin saja. Lagipula di antara mereka tidak ada apa-apa, bukan? Jadi seharusnya Sehun tidak mungkin marah. Buktinya saja ia tidak menghubungi Luhan sama sekali.
Luhan berusaha keras menghilangkan sosok Sehun yang selalu saja muncul di dalam benaknya di setiap waktu. Tanpa henti. Apalagi ketika ia tidak sengaja melihat foto-foto Sehun dari kameranya, membangkitkan memori yang ingin ia pendam dalam-dalam hingga terlupakan, namun nyatanya masih belum bisa.
Hujan lagi-lagi dengan santainya mengguyur hampir seluruh kota di Korea Selatan. Bukan hujan deras, hanya gerimis biasa. Tapi meski hanya gerimis tipis, gelapnya langit sudah seperti sedang hujan badai. Bau tanah khas hujan menyeruak menusuk indera penciuman setiap pejalan kaki berpayung yang lewat. Beberapa terbatuk, beberapa hanya biasa saja. Bunyi kecipak akibat langkah kaki dan laju roda mobil yang lewat juga turut meramaikan suasana kota yang sedang sibuk-sibuknya.
Luhan tadinya sedang berjalan santai di trotoar sambil memegangi payung bening yang baru saja ia beli itu. Namun tiba-tiba ujung payungnya bertabrakan dengan payung orang lain yang berpapasan. Sontak kedua manik mereka saling bersua, dan setelah itu senyum lebar merekah di wajah kedua lelaki itu.
"Kyungsoo-ah!"
"Luhan!"
Selepas bercengkerama singkat di sisi trotoar sambil masih diguyur rintik air dari langit, Luhan yang sedang tidak ada kerjaan pun mengikuti Kyungsoo ke apartemennya yang terletak tidak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang untuk melepas rindu.
Dulu di sekolahnya, Luhan dan Kyungsoo terkenal lebih lengket daripada perangko dan amplop. Ke mana-mana selalu berdua, melakukan semua hal berdua. A partner in crime. Orang-orang bilang bahkan maut tidak bisa memisahkan kedua sahabat itu. Akan tetapi, waktu tetaplah waktu. Waktu terus berjalan tanpa kenal lelah. Akhirnya datang waktu di mana mereka terpaksa berpisah mengejar mimpi masing-masing, berjanji untuk bertemu lagi saat keduanya sudah berada di atas.
Dan tampaknya garis takdir mereka lagi-lagi bersilangan, bertemu di satu titik yang sama sekali tidak mereka sangka-sangka. Jutaan kata terlontar dari bibir ceriwis Luhan, berbagi manis-pahit kehidupannya setelah mereka terpisah. Kyungsoo turut mengimbangi, ikut berbagi kisah yang tak kalah seru.
"Jadi, sekarang kau adalah perancang pakaian formal?" tanya Luhan seru.
Lelaki bermata bulat itu mengangguk. "Pakaian formal kalangan atas. Aku saat ini sedang merancang jas untuk kostum red carpet EXO." tambahnya sambil menaik-turunkan kedua alisnya.
Luhan sekali lagi mengucap kata 'wah' panjang-panjang. "Enak sekali kau lulus lebih cepat. Aku masih harus menunggu sekitar satu tahun lagi." keluh Luhan seraya mengerucutkan bibirnya lucu.
"Setahun tidak akan terasa, kok." kekeh Kyungsoo lalu melanjutkan, "Waktu berlari lebih cepat daripada ninja."
"Kenapa ninja?" tanya Luhan skeptis. Menjadi seorang mahasiswa jurnalistik memang harus terus menumbuhkan rasa penasaran dan bertanya pada setiap detil.
"Ya terserah padaku."
Semakin deras hujan di luar, semakin keras pula suara tawa mereka. Sudah pukul tujuh malam dan Luhan harus pulang, jika tidak, ia akan melewatkan acara TV favoritnya—TV Kyungsoo bukan TV Cable. Lalu Luhan pun berpamitan, berharap suatu saat diberi kesempatan lagi untuk bertemu dengan si sibuk Kyungsoo.
Kebetulan sekali bus sudah berada di depan halte ketika Luhan sampai. Ia pun naik dan berdiri, memberikan tempat duduknya untuk seorang ahjumma. Goncangan bus yang melaju membuat kepala Luhan terantuk-antuk. Jadi sambil berpegangan, ia memejamkan mata sejenak. Mengurus surat-surat magang begitu melelahkan dirinya.
Rekaman suara perempuan yang mengucapkan nama tempat setiap kali bus berhenti ditambah rem mendadak membangunkan Luhan. Masih setengah sadar, Luhan pun berjalan menuruni tangga bus lalu selanjutnya yang terdengar adalah bunyi 'gabruk'.
"Kau tidak apa-apa, nak?" tanya seorang tante-tante yang baru akan menaiki bus, cemas.
Luhan menggeleng pelan. Masalahnya, insiden terpleset tadi membuat tubuhnya terhempas mencium aspal yang masih setengah basah dengan mesra. Alhasil, wajah mulus Luhan sedikit ternodai.
"Kau mimisan, nak."
Lengkap sudah penderitaannya. Ia memegang hidungnya kemudian berteriak kesakitan. Uh-oh, sepertinya hidungnya patah. Apes sekali...
Tak ada klinik di dekat sana, hanya ada rumah sakit besar nan mewah setahu Luhan. Mau tidak mau, ia terpaksa ke sana sebelum darah di hidungnya mengucur lebih deras. Oh, terima kasih pada segepok tisu yang diberikan sang ahjumma sehingga baju Luhan tidak berdarah-darah seakan habis membunuh orang.
Seusai menyelesaikan urusan administrasi di kasir dengan setengah hati karena ia membayar hanya untuk dikompres air dingin dan obat pereda nyeri, juga hansaplast bening yang melintang melintasi batang hidungnya. Ia kira hidungnya benar-benar patah parah, ternyata hanya retak biasa dan akan sembuh dalam beberapa hari saja.
Memasukkan kedua tangan ke dalam saku mantel, ia menunggu pintu lift terbelah. Kakinya mengetuk-ketuk lantai sambil berdiri bertumpu kaki yang satu lagi. Tak lama bunyi ting khas lift membuat Luhan yang tadinya merunduk mendongak, lalu mata terbelalak, bibir terbelah penuh keterkejutan.
"Sehun?"
Mendengar suara yang begitu familiar, sang pria tinggi berkulit bening itu mencari sumber suara yang tengah berdiri kaku di depannya.
Butuh beberapa detik sampai akhirnya Sehun memanggilnya. "Lu...han?"
Begitu dramatis dan klise. Lift seakan jengah melihat kedua lelaki penuh kecanggungan itu, lift menutup pintunya secara otomatis, yang sontak membuat Sehun buru-buru menekan kembali tombol buka agar Luhan bisa masuk dan berdiri di seberangnya.
"Kau—" ucap mereka di waktu bersamaan. Sehun dan Luhan berdehem mengusir kecanggungan yang masih betah menyelimuti mereka berdua.
"Kau duluan." kata Sehun.
"Tak apa, kau duluan saja yang bicara." sanggah Luhan, mengundang tatapan Sehun yang memaksanya untuk berbicara lebih dulu.
Luhan meneguk liurnya gugup. "Uhm, kau sedang apa di sini?"
"Chanyeol cedera."
"Apa? Kenapa bisa? Dia terjatuh? Kapan? Apa lukanya parah? Di mana dia sekarang? Bagaimana bisa dia terjatuh?"
Lelaki yang lebih tinggi mendengus mendengar pertanyaan 5W+1H itu. "Dasar jurnalis." gumamnya lalu menjilat bibirnya sendiri. Lift seakan sengaja berjalan begitu lama.
"Kau habis tawuran?"
Luhan memiringkan kepalanya bingung. "Eh?" Si atlet ski menunjuk hidungnya yang terplaster.
"Oh, ini. Tadi aku habis tergelincir lalu mencium aspal." kekehnya tanpa dosa. Melihat wajah cantik Luhan menjadi ternoda membuat Sehun sedikit merasa kesal. Andai saja ia bisa menghukum aspal yang mengotori wajah favoritnya itu.
Hening.
Beberapa detik.
Pintu lift terbuka lagi. Kali ini lift yang tadinya hanya berisi mereka berdua dipadati oleh beberapa suster yang membawa ranjang pasien ke dalam lift lebar tersebut, membuat Luhan terpaksa merapat ke arah Sehun. Ranjang itu tidak kosong. Di atasnya terdapat seorang pria paruh baya yang Luhan asumsikan akan menjalani operasi, luka parah terlihat di bagian kakinya. Seketika Luhan bergidik ngeri. Ia tidak takut darah, tapi luka itu membuatnya merinding setengah mati. Tubuhnya sontak menegang. Sehun yang melihat pundak Luhan mengkaku merasa tidak tega. Ia membalik tubuh Luhan agar tidak menyaksikan pemandangan tidak mengenakkan di hadapan mereka.
Degup jantung saling beradu. Posisi mereka hampir berpelukan. Wajah Luhan begitu dekat dengan dada bidang Sehun yang hanya mengenakan kaus V-neck warna hijau tentara dan ripped jeans hitam. Napas Luhan melambat, merasakan aroma tubuh Sehun yang tanpa parfum saja sudah mengeluarkan aroma maskulin. Mungkin dari sabun mandinya. Bukan hanya Luhan, lelaki dengan rahang tegas dan dagu lancip itu juga melambatkan napasnya. Surai Luhan yang tampak begitu fluffy dan beraroma seperti bayi—apa Luhan memakai shampo bayi?—membuatnya mati-matian menahan hasrat untuk mencium pucuk kepala itu.
Bahkan setelah gerombolan suster beserta ranjang itu keluar dari dalam lift, mereka masih berada di posisi yang sama. Butuh beberapa detik sampai mereka akhirnya sadar dengan sendirinya.
"Jangan jauh-jauh dariku lagi."
Kalimat itu otomatis keluar dari mulut sang atlet ski ketika Luhan mundur satu langkah. Tangan besar Sehun melingkar tanpa ragu di sekitar pergelangan tangan Luhan.
"Aku sudah lelah menyangkal perasaanku sendiri, Luhan." Sehun berjalan mendekat. "Selalu muncul sosok itu. Dia yang berhasil menanamkan perasaan menggelitik dan menyejukkan, dia yang menumbuhkan perasaan irasional bernama cinta yang terlampau dalam." Ia mengulum bibir bawahnya gugup. "Dan dia adalah kau."
Luhan hanya bisa diam saat jantungnya mulai rusuh dan resah. Kakinya melemas mendengar pengakuan tiba-tiba dari Sehun, yang sebetulnya selama ini mendarat dan berkeliling dalam pikirannya 24/7. Hanya saja gengsi yang menumpuk begitu tinggi mendominasi akal sehat dan keberanian yang ia miliki. Gengsi untuk mengakui perasaannya sendiri.
Sosok tinggi di hadapannya sama sekali tidak memalingkan kedua netranya darinya. Demikian pula Luhan.
Mereka saling bertatapan selama sesaat, sebelum Sehun mengucap sepatah kalimat lagi.
"Ayo kita bertemu lagi besok."
Dan Luhan tidak menemukan jawaban lain selain sebuah anggukan.
.
.
Tidak seperti hari-hari belakangan ini yang terus diselimuti awan temaram, hari ini matahari balas dendam menampakkan sinarnya yang paling terang. Awan kelabu itu seakan baru saja dicuci bersih hingga menjadi seputih dan sebersih sekarang. Langit saja tahu dan mengerti bahwa sudah banyak orang ingin mencipta kenangan baru.
Mulanya Luhan kebingungan harus mengenakan pakaian macam apa mengingat ia sendiri belum mendapat kabar dari Sehun di mana mereka akan bertemu satu jam lagi. Ia sudah mengobrak-abrik seisi lemarinya dan meski sudah puluhan baju ia jejerkan di atas kasur, ia masih kesulitan memastikan outfit of the day-nya.
Lalu tiba-tiba ia ingat kemarin Kyungsoo sudah memberikan nomor ponsel barunya. Secepat kilat Luhan memencet tombol hijau di layar kemudian menempelkan benda itu ke depan telinga.
"Kyungsoo, aku butuh bantuanmu!"
"Siapa ini?"
"Jahat sekali melupakan suara sahabatmu sendiri."
Kekehan menyambut dari seberang sana. "Oh, maaf. Ada apa, Lu?" Luhan pun mengatakan maksudnya menelepon.
"Tch, akhirnya sahabatku ini sudah punya kesadaran untuk mencari jodoh."
"A...Apa-apaan!" sergah Luhan.
Mendengar kepanikan dari nada bicara si surai hazel, Kyungsoo hanya terkekeh geli seperti mengetahui sesuatu. Berkat panduan dari lulusan terbaik institut fashion design itu, Luhan akhirnya mengenakan kaus hitam yang mengekspos sedikit tulang selangkanya ditambah dengan resort cardigan putih bergaris-garis merah, juga skinny jeans hitam yang membungkus kedua kaki bak perempuan miliknya. Tak lupa ia membawa backpack berwarna senada dengan surainya yang ditata sedikit messy, poni menutup seluruh dahinya. Setelah meng-apply lip balm bening tipis agar bibir plump-nya tidak kering, Luhan pun meraih ponselnya dan mengirim pesan singkat pada Sehun.
To: Oh Ski-hun
Message: Di mana kau?
Satu menit kemudian ponsel Luhan bergetar singkat.
From: Oh Ski-hun
Message: Aku sudah di Hapjeong Station. Cepatlah ke mari.
Dengan itulah Luhan menarik naik kedua ujung bibirnya tipis, kemudian melangkahkan kaki menuju tempat yang telah diberitahu pria yang satunya.
Suasana hatinya sangat bagus hari ini. Seakan semua beban terangkat, otaknya memutar semua lagu di playlist Spotify favoritnya. Tak bosan-bosannya ia tersenyum; pada orang asing yang lewat, pada anak kecil yang sedang menjilati es krimnya, pada bunga-bunga yang berjejer rapi di toko bunga yang baru saja ia lewati.
Luhan sudah nyaris lupa akan fakta bahwa ia rindu perasaan seperti ini. Perasaan ringan yang dapat membawa kedua kakinya terbang setinggi Milky Way.
Tak butuh waktu lama baginya untuk sampai di Stasiun Hapjeong. Ia clingukan mencari sosok tinggi yang tidak sengaja ia temukan di rumah sakit kemarin. Oh, ya. Andai saja luka di hidung itu tidak ada, mungkin Luhan sudah bisa mendapat gelar pria tercantik di muka bumi. Sambil mengulum kedua bibirnya serta membiarkan kakinya berjalan autopilot, maniknya masih mencoba menemukan pria yang mengajaknya kencan hari ini.
Ah... Kencan. Apa ini bisa disebut kencan dan bukan jalan-jalan biasa? Luhan mengendikkan bahunya, bermonolog pada dirinya sendiri.
Ia sudah berkeliling dan kembali berdiri di tempat awal ia sampai, di depan sebuah reklame bergambar seorang wanita cantik yang ia yakini adalah idol yang sedang berulang tahun karena terdapat tulisan 'Happy Birthday, Irene' di sana. Menghela napas, Luhan membalikkan badannya dan seketika tubuhnya terhuyung ke belakang akibat terkejut. Tiba-tiba saja ada sosok tinggi di sana, dan sosok itu reflek menahan tubuh Luhan agar tidak jatuh dengan melingkarkan sebelah tangannya di sekeliling pinggang Luhan.
Wajah mereka begitu dekat, nyaris tanpa jarak. Setiap milimeter fitur wajah itu... Luhan sangat familiar.
"Se-Sehun."
Sosok itu membantu Luhan berdiri dengan benar kemudian tersenyum.
Ya, tersenyum.
"Sudah siap?" Luhan mengangguk lucu.
Sehun mengacak surai pria di hadapannya seraya terkekeh pelan, gemas melihat semburat merah di kedua pipi Luhan. "Ayo."
Klakson kereta terdengar. Kereta monorail kebetulan baru sampai, menurunkan ratusan orang, lalu ratusan orang lainnya naik bergantian. Termasuk mereka berdua. Butuh waktu sekitar kurang dari setengah jam untuk sampai di Stasiun Hongdae.
"Mau ke mana kita?" tanya Luhan penasaran, karena sedaritadi ia hanya mengekori Sehun dari samping, seperti anak bocah yang mengikuti kakaknya jalan-jalan. Pertanyaan Luhan langsung terjawab karena tiba-tiba pria yang satunya masuk ke dalam sebuah kafe berpintu hijau tua dan tepat ketika ia menapakkan kakinya masuk, suara-suara anjinglah yang menyambut.
Corgi gemuk berlarian mengejar Toy Poodle coklat tua, Golden Retriever duduk manis di samping salah seorang pengunjung sambil menjulurkan lidah, Siberian Husky putih duduk di depan pendingin ruangan ditemani oleh Siberian Husky abu-abu. Namun seekor Bichon putih nan kecil menghampiri Sehun kemudian menggoyang-goyangkan ekornya.
"Vivi-ya." panggil Sehun sambil mengelus bulu yang selembut wol itu lalu menggendongnya santai. Anak anjing itu tidak memberontak. "Ayo kita cari tempat duduk." ucapnya pada si hazel.
Mereka bertiga—ya, dengan Vivi—dibawa menuju sebuah meja yang tadinya diberi tanda 'reserved' di pojok lantai satu Bau House Dog Cafe yang tengah mereka kunjungi itu. Setelah memesan beberapa snack dan dessert, Luhan menatap sosok Sehun yang sedang menyisir dan memijat Bichon kecil di pangkuannya.
"Dia akrab sekali denganmu."
Sehun mengangguk. "Aku sering mampir ke sini. Dan Vivi adalah anjing yang kutemukan di sebuah gang di dekat rumahku."
Luhan membenarkan posisi duduknya, ingin mengetahui lebih lanjut ceritanya. Ia penasaran dan ingin tahu. Heh. Jurnalis. Sehun yang menyadari ketertarikan pria imut di depannya pun melanjutkan ceritanya.
"Lalu kubawa dia ke rumahku. Kuberi makan dan kurawat. Dan karena aku sudah jarang di rumah belakangan ini hingga tak ada yang bisa menjaga Vivi, jadi ya kutitipkan saja dia di sini."
"Aku tak tahu kau punya sisi sehangat itu." celetuk Luhan sambil tersenyum jahil.
Menyendokkan Mango bingsu yang baru diantar ke dalam mulut, Sehun memutar bola matanya. "Aku bisa jadi hangat dan dingin. Seperti dispenser."
"Bukankah kalau dispenser itu panas dan dingin?"
"Well, I'm hot too, though." Sehun mengerlingkan matanya hingga Luhan tersedak potongan mangga.
Seusai puas bermain, ternyata Sehun memiliki rencana selanjutnya. Mereka berjalan beriringan sambil berbagi apa saja yang terjadi ketika mereka tidak saling bertemu, seperti teman lama yang bersua kembali.
Tibalah Sehun dan Luhan di sebuah gedung yang Luhan yakini adalah sebuah bioskop. Tunggu. Tadi mereka berduaan di kafe. Sekarang di bioskop? Jantung Luhan berdegup, otaknya sibuk meneriakkan kata 'Ini kencan! Kencan!' hingga ia menggigit bibirnya sendiri, gugup.
"Uhm, Sehun. Apakah kita akan menonton film?"
Sehun menggeleng. "Itu klise. Ikuti saja aku. Mengerti, sayang?"
'A brat who loves to tease. Psh.' gumam Luhan pelan, amat pelan.
Langit senja bak lukisan terpampang bebas di luar kaca lift yang membawa mereka naik ke lantai paling atas. Sehun selalu suka langit senja. Akan tetapi jauh lebih indah ketika langit senja itu terpantul ke dalam manik berkilau pria di hadapannya. Jauh lebih indah hingga jantungnya terasa seperti tertinggal di lantai dasar. Sehun meneguk liurnya, tanpa memalingkan fokus sama sekali. Bahkan bunyi lift sudah sampai saja masih tidak sanggup membuat Sehun kembali ke alam nyata.
"Ayo." Genggaman pada jari telunjuknyalah yang membuat kesadaran Sehun kembali pulang. Dengan sebuah anggukan kecil dan gumaman singkat, Sehun berjalan mengikuti Luhan, masih sambil dituntun padahal seharusnya ia yang menuntun Luhan.
Ratusan pot bunga mawar berbagai macam warna membuat kedua manik Luhan berbinar-binar. Begitu indah dan harum. Aroma mawar menyeruak ke mana-mana. Lampu-lampu remang yang menghiasi rooftop itu memperindah langit senja yang sebentar lagi akan menghitam. Ia tak lagi menggenggam jemari Sehun. Kakinya menuntunnya berkeliling di tempat ini.
"Tolong potret aku!" seru Luhan sambil mengeluarkan ponselnya dan memberikannya pada Sehun, kemudian berpose di bawah tulisan 'Sky Rose Garden' yang berhiaskan mawar-mawar segar di sekelilingnya. Sesaat Sehun terpana, bukan pada kecantikan mawar, tapi pada pria yang tengah berpose itu. Sampai-sampai jarinya tidak menekan tombol bulat pada layar.
"Sehun! Sudah belum? Kok lama sekali, sih." Luhan memberengut lucu seperti anak kecil.
"Rest in peace, my feels." batin Sehun. Luhan yang keheranan pun menghampirinya untuk mengecek hasil jepretan si atlet ski.
"Aish, blur semua." Luhan memukul lengan Sehun pelan. "Ayo, kita selfie saja." Ia mengangkat ponselnya, menampakkan wajah mereka berdua dengan mawar-mawar dan sisa sinar mentari senja di langit.
Kedua wajah mereka saling berdekatan, hingga Sehun dapat merasakan tekstur lembut pipi pria di sebelahnya. Begitu menggoda untuk dicium.
"Satu, dua, ti...,"
Sebuah kecupan di pipi berhasil dicuri.
.
.
"Corndog-nya enak sekali!" ucap Luhan sambil mengunyah dengan mulut penuh dengan sosis yang digulung dengan roti goreng itu.
Mereka masih berada di Chungmuro, Seoul, tak jauh dari kebun mawar tadi. Berjalan sambil mengunyah jajanan pinggir jalan sambil mengisi perut mereka. Sehun tersenyum melihat tingkah Luhan. Sehun suka bagaimana Luhan terus menjadi apa adanya, masih sama seperti pertama kali bertemu di Alpensia. Sehun suka bagaimana Luhan terus tersenyum bahagia, seakan membagi kebahagiaan itu pada dirinya. Sehun suka bagaimana seluruh sistem tubuhnya dengan ajaib bereaksi pada semua yang Luhan lakukan. Rasanya menggelitik dan membuat ketagihan.
"Apa hari ini membuatmu senang?" tanya Sehun tiba-tiba, lagi-lagi mengunci tatapannya pada wajah pria di sebelahnya.
Ia mengangguk penuh antusias. "Terima kasih sudah repot-repot mau menemaniku jalan-jalan."
"Hanya jalan-jalan?"
Kali ini ia mengangguk ragu.
"Padahal aku menganggap ini sebagai kencan." ucap Sehun santai sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Lagi-lagi semburat itu datang tanpa diundang. Belakangan ini Luhan bingung kenapa dirinya jadi mudah merona dan berdebar. "K-Kencan?"
Sehun berhenti melangkah, yang mana membuat Luhan ikut berhenti. Ia menatap manik berkilau itu dalam-dalam. "Tidakkah kau ingat apa yang kukatakan padamu di lift rumah sakit kemarin?"
Tidak mungkin Luhan melupakan hal itu. Setiap katanya masih terekam jernih di dalam benaknya. Terus terngiang hingga masuk dunia mimpi. Jantung Luhan seketika berdebar hebat. "Aku—"
"Ayo ikut aku lagi. Masih ada yang terakhir."
Sehun tidak mau mendengar apa pun dulu dari mulut Luhan mengenai perasaannya. Rasa takut untuk ditolak sangat mendominasi benaknya, ia masih belum siap mendengar penolakan apa pun dari si jurnalis muda. Jadi, mereka kembali menaiki sebuah taksi karena antrean bus di jam pulang kerja seperti ini pasti sepanjang ular naga.
Perjalanan diisi oleh kesunyian. Masing-masing disibukkan oleh asumsi liar dalam pikiran. Luhan menatap ke luar jendela, menyaksikan setiap lampu jalan dan pepohonan yang lewat begitu cepatnya. Hanya bulan sabit yang masih berdiam di tempat bersama bintang. Sehun sebetulnya tidak tahan dengan kecanggungan seperti ini, ia ingin membuka mulut tapi takut salah bicara mengingat dirinya adalah tipe introvert yang sulit menyampaikan maksudnya dengan baik. Ia tidak mau menciptakan kesalahpahaman. Apalagi di momen-momen penting seperti ini.
Butuh waktu setengah jam untuk sampai di tempat terakhir. Tempat ini harus membuatnya berhasil membawa pulang kabar baik.
Debur ombak di laut Siheung, Gyeonggi, yang begitu menenangkan jiwa, angin bertiup sedikit kencang hingga Luhan harus memeluk dirinya sendiri. Sehun sontak meraih sebelah tangan Luhan lalu menggenggamnya erat, membawanya berjalan menuju ke sebuah mercusuar merah.
Oido Lighthouse. Begitu yang tertulis di depan pintu. Pintunya tak dikunci, juga tidak ada larangan maupun penjagaan. Luhan pikir ini adalah mercusuar tua yang tak lagi terpakai, namun lampu di lantai paling atas masih menyala dan berputar dengan baik.
"Sehun, apa tidak apa-apa jika kita masuk?"
Sehun tidak mengindahkan pertanyaan Luhan. Ia terus berjalan dengan tangan masih saling bertautan serasi, menaiki setiap anak tangga yang membawa mereka ke lantai paling atas. Sambil terengah-engah, Luhan menyeka keringat tipis yang membasahi keningnya ketika sampai di lantai paling atas. Belum sempat mengambil napas dalam-dalam, Sehun membalikkan tubuh Luhan menghadap ke arah laut.
Lampu-lampu yang menerangi beranda rumah para nelayan yang tinggal di sekitar mercusuar beradu dengan hamparan langit penuh bintang. Indera pendengaran Luhan dimanja oleh bisikan angin juga nyanyian ombak di laut sana. Luhan tak kuasa menutup mulutnya. Pemandangan yang sangat indah, sampai ia tak bisa berkata-kata. Bagaimana bisa Sehun tahu kalau dirinya suka dengan pemandangan laut? Luhan terus bertanya dalam hati.
"Aku melihat buku jurnalmu, maaf." Ah, pantas saja. Luhan pikir Sehun bisa membaca pikiran. Jika ia betul-betul bisa, maka ia berada dalam bahaya karena beberapa bulan belakangan ini, yang ada dalam pikirannya hanyalah Sehun, Sehun, dan Sehun.
Baru saja Luhan ingin angkat bicara, Sehun kembali memotong. "Dan tidak, aku tidak bisa membaca pikiranmu."
"Kau baru saja membaca pikiranku, Sehun."
Sehun menarik napas dalam lalu membuangnya panjang. Ia coba alihkan semua fokusnya pada lelaki bermanik bak rusa di hadapannya. Tangannya reflek meraih kedua tangan Luhan, menggenggamnya erat-erat seakan takut Luhan terbang dibawa angin.
Ia menarik napasnya lagi sebelum akhirnya bicara.
"Aku bersyukur nyaris ditabrak olehmu di perempatan jalan waktu itu. Kau, seorang jurnalis cerewet yang nekat ke Alpensia hanya demi mewawancarai aku, yang hanya seorang atlet pemula—"
"Tidak, tidak. Kau bukan—"
"Shh." Sehun meletakkan jari telunjuknya pada muka bibir Luhan, tidak membiarkan pria itu menyelesaikan kalimatnya. "Jangan interupsi, oke? Nanti aku lupa."
Luhan terkekeh lalu mengangguk pelan. "Teruskan."
Sehun berdeham sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya sendiri. "Aish, kenapa aku jadi gugup begini." gumamnya pelan, namun masih bisa tertangkap oleh telinga pria di hadapannya.
"Intinya, aku ingin menjadi orang pertama yang kau lihat setiap kali kau bangun, dan menjadi orang terakhir yang bibirnya kau kecup sebelum tidur. Aku... mencintaimu, Luhan. Sejak hari pertama kau ke Alpensia, hingga detik ini."
"Jadi kau tidak mencintaiku lagi setelah detik ini? Besok? Lusa?"
Si atlet tinggi menatap Luhan frustrasi sambil termangu, kesulitan mencari kata-kata di dalam otaknya yang seketika tidak bisa berfungsi dengan baik. "B-Bukan begitu, Luhan. Maksudku—"
Sedikit menjinjit, Luhan meraih tengkuk pria di hadapannya lalu menempelkan bibirnya pada bibir yang ternyata terasa memabukkan itu. Ia tersenyum sebelum Sehun meraup bibirnya lebih dalam. Sontak ia memiringkan kepala, menyatupadukan tautan yang murni penuh cinta itu tanpa terburu-buru. Lengan panjang Sehun menahan sisi pinggang ramping Luhan, yang mana membuat Luhan sedikit merinding. Perutnya bergejolak, dadanya bergemuruh tak sabaran. Oh, Luhan tidak tahu Sehun sehebat ini dalam berciuman, semakin menambah nilai plus dalam dirinya yang berparas bak dewa itu.
Setelah beberapa menit tautan itu akhirnya terlepas, namun kontak mata mereka tidak. Kekehan yang terlepas dari bibir mereka membuang jauh segala kecanggungan.
"Apa itu sudah menjawab?" tanya Luhan.
"Aku bahkan belum bertanya apa pun." Luhan memukul lengan atas Sehun yang tertawa pelan.
Yang lebih tinggi lalu memeluk si rusa kecil. "Terima kasih. Aku tak pernah merasa sebahagia ini."
"Aku hanya tidak mau kau loncat dari mercusuar ini, Sehun-ah." goda Luhan.
"Whatever."
Dan mereka kembali memagut bibir, memadu kasih atas nama cinta.
.
.
Hiruk pikuk senantiasa memadati setiap kegiatan Luhan tepat setelah dirinya mulai kembali masuk kuliah. Jadwal wawancara dan liputan bertebaran ke sana ke mari, belum lagi jadwal tidur dan makan yang semakin amburadul, Luhan merasa tubuhnya sudah mau terbelah-belah jadi beberapa bagian. Bahkan untuk menyentuh kasur saja baginya sulit.
Ia bahkan selalu tertidur di meja dengan laptop menyala, buku-buku referensi terbuka dan tercecer seperti kapal pecah, gelas-gelas yang di setiap sisinya ternodai oleh ampas kopi, di salah satu sudut terdapat sebungkus obat migrain dan obat maag. Kacau balau.
"Luhan."
"Luhan."
"Luhan-ah."
"Xiao Lu."
Respon nihil.
"LUHAN!"
Reflek tubuh Luhan duduk tegak dengan mata masih setengah terpejam. Sambil mengucek matanya, ia bergumam dengan suara serak khas orang baru bangun. "Sudah jam berapa sekarang, eomma?"
"Tujuh pagi. Sekarang sana cepat mandi."
"Tapi hari ini hari Minggu, eomma..." rengeknya sambil menggoyang-goyangkan sekujur badannya seperti sepupunya yang masih bocah sekolah dasar.
"Kau akan menyesal jika tidak mandi sekarang." Sang ibu melempar dua buah amplop ke atas meja lalu keluar dari kamarnya begitu saja. Ibunya memang sedikit jutek dan sudah pasrah dengan kelakuan Luhan.
Lelaki bersurai acak-acakan itu menguap sekali lagi sambil meraih asal salah satu amplop. Amplop itu ternyata sudah dibuka, mungkin oleh ibunya. Karena masih separuh sadar, ia sedikit kesulitan mengeluarkan secarik kertas dari dalam sana. Lalu ia pun membacanya setelah berhasil membuka lipatannya.
Manik Luhan sontak membelalak lebar, kesadarannya langsung pol. Apakah ini masih mimpi? Luhan menggeleng-geleng sambil mengucek matanya, mencoba membaca satu persatu kata yang tertulis jelas di sana, bahwa dirinya lulus tahap interview untuk magang di stasiun televisi yang paling ia inginkan. Perusahaan itu memuji hasil liputan yang Luhan kirim sebagai portfolio yang juga adalah tugas akhir semesternya. Hasil liputan tentang seorang atlet snowboarding muda dan latar belakangnya.
"EOMMA! AKU AKAN MAGANG DI NOT TV!" teriaknya histeris sambil meloncat-loncat dan melayangkan kedua tangannya ke atas, lalu berjoget kegirangan. Namun sesuatu tiba-tiba terbersit dalam pikirannya, yang mana membuatnya berhenti berjoget ria.
"Aku harus beritahu Sehun! Aku harus beritahu Sehun!"
Ya, mereka telah resmi menjadi sepasang kekasih semenjak kejadian di mercusuar itu. Meski mereka jarang bertemu tatap muka akibat kesibukan masing-masing, mereka tetap menjalin komunikasi dengan baik via media sosial dan juga chatting. Tapi belakangan ini Sehun tidak membaca pesan singkat dari Luhan. Mungkin dia sibuk mempersiapkan pertandingan audisi babak final untuk olimpiade yang seingatnya sebentar lagi—
"ASTAGA! AKU LUPA HARI INI PERTANDINGAN SEHUN!"
Yang selanjutnya terjadi, Luhan berlarian di dalam rumahnya sendiri. Hanya mengenakan sweater abu-abu seadanya dan bahkan dengan rambut masih sedikit acak-acakan. Concealer yang biasa ia pakai saja ia lupakan karena sudah tidak ada waktu lagi. Pertandingan dimulai jam delapan pagi dan butuh waktu paling cepat satu jam untuk sampai ke Phoenix Park di Gangwon. Ia hanya bisa berharap jalan tol bebas dari kemacetan.
Luhan sampai lupa akan fakta bahwa ia baru saja berhasil mendapat kesempatan untuk magang di tempat impiannya, namun yang menurutnya paling penting saat ini adalah ia harus hadir di momen paling berharga kekasihnya.
Lapangan parkir terisi penuh oleh mobil-mobil, entah itu mobil pemain, pelatih, penonton, pengunjung. Mengingat Phoenix Park di hari Minggu selalu ramai dipadati penggemar ski dan ditambah lagi dengan adanya acara besar yang sedang berlangsung. Setelah berputar di tempat yang sama sebanyak empat kali, Luhan pun memutuskan untuk mengeluarkan jurus andalannya. Dan ternyata berhasil. Sedikit aegyo saja sudah meluluhkan hati sang petugas parkir, yang akhirnya memberikannya tempat VIP, khusus untuk pemain yang ternyata masih kosong sepertiganya.
Ia berlari secepat mungkin menggunakan sepasang kakinya yang tidak sepanjang milik Sehun. Tapi terima kasih pada hobinya bersepak bola, larinya lebih cepat dari orang-orang biasa.
Tidak perlu waktu lama bagi Luhan untuk sampai pada daerah penonton yang sangat ramai oleh teriakan untuk mendukung kesukaan masing-masing. Tampaknya pertandingan sudah berlangsung tiga perempat jalan karena para pemain, termasuk Sehun, mulai tampak mendekati garis finish.
"Kau datang, Luhan-ssi."
Luhan menoleh ke samping dan menemukan sesosok tinggi berambut ikal yang amat familiar. Maniknya spontan menemukan gips pada sebelah kakinya, dan juga seorang pria mungil menggenggam tangannya. Mungkin kekasihnya.
"Halo, Chanyeol-ssi." senyumnya pada sejoli di sebelahnya.
"Sehun bilang kalau ia menemukanmu di rumah sakit tempatku dirawat."
Si jurnalis mengangguk. "Terima kasih pada kaki patahmu, jika tidak kami tidak mungkin jadi sepasang kekasih sekarang." kekehnya ketika melihat ekspresi kaget berlebihan di wajah Chanyeol.
"Kukira dia akan jadi perjaka sampai tua nanti." canda Chanyeol yang mana membuat Luhan ikut tertawa.
Tawa mereka mengiringi seluncuran Sehun yang semakin cepat namun tetap seimbang. Beberapa lawannya ambruk karena salju mulai mencair karena matahari semakin naik. Ia tidak mau kalah. Ia tidak boleh kalah. Ia mau bertanding di olimpiade musim dingin dunia tahun depan. Ia ingin mewakili Korea Selatan dan mengharumkan namanya. Ia ingin membuat ibu dan terutama ayahnya bangga. Ia ingin membuat Luhan bangga.
Dengan mindset seperti itulah Sehun akhirnya berhasil menyalip lawan terberatnya dan menyentuh garis finish terlebih dulu. Pluit panjang terdengar nyaring. Sorak sorai penonton semakin membahana. Luhan menutup mulutnya, mencoba menahan airmatanya. Chanyeol memeluk kekasihnya kegirangan. Sehun menang.
Pertandingan tidak usai begitu saja. Para pemain, baik yang terpilih dan juga yang tidak, dibawa ke sebuah ruangan besar seperti aula untuk diserbu oleh wartawan dari seluruh pelosok. Luhan dan Chanyeol memutuskan untuk menunggunya di ruang tunggu yang terletak di seberang aula itu.
Pintu kaca ruang tunggu menampakkan jelas sosok tampan yang baru keluar dari aula lalu masuk ke dalam dengan senyuman yang tak henti-hentinya ia pamerkan. Luhan ingat jelas saat pertama kali ia bertemu Sehun, untuk senyum saja ia benar-benar enggan. Tapi hari ini adalah senyuman terlebarnya setelah saat Luhan menerimanya beberapa minggu lalu.
Luhan langsung menghamburkan dirinya memeluk Sehun yang juga langsung membalas pelukannya. "I'm so proud of you." bisik Luhan.
"I know."
Wajah mereka semakin dekat dan hampir saja berciuman jika saja Chanyeol tidak berdehem keras-keras. "Guys, get a room later."
Sehun menghampiri sang pelatih yang menghujaninya dengan ucapan selamat dan juga pujian. Merasa pasangan kekasih baru itu butuh momen untuk berduaan, Chanyeol dan kekasihnya pun keluar dengan alasan ingin mencari makanan.
Dan sekarang hanya tersisa Sehun dan Luhan.
"Terlambat bangun?"
Itulah pertanyaan pertama yang keluar dari bibir Sehun, Luhan pun memajukan bibir bawahnya lucu. Aih, sudah berapa lama ia tidak mencicipi bibir plump itu. "Bagaimana kau tahu?" tanya Luhan.
"Aku bisa membaca pikiran."
"Psh. Omong kosong macam apa itu."
"Uji saja aku."
Luhan mengetuk-ketuk dagunya, mencoba memikirkan sesuatu. "Sekarang tebak aku sedang memikirkan apa."
Si atlet ski menatap Luhan dalam-dalam, menggali sedalam yang ia bisa arti tersirat yang terpancar dari manik berkilau bak bintang itu. "Aku."
"Hmm... Benar, sih. Tapi coba lebih spesifik."
"Aku, menghimpitmu ke dinding, lalu kau memberikanku 'hadiah' tanda selamat atas kemenanganku?"
Tepat sasaran.
Dengan wajah memerah sempurna, Luhan memukul-mukul lengan Sehun sambil menahan malu.
Mungkin Sehun benar-benar bisa membaca pikirannya.
.
.
Cinta tak tertangkap oleh mata, tapi diserap oleh pikiran.
Maka bagi si buta, cinta seperti bidadari yang bersayap.
Logika cinta pun tak bekerja seperti penilaian atas selera.
Ia bersayap tetapi buta, ia tak ubahnya seperti anak-anak.
Karena di dalam memilih, ia seringkali terpikat.
—William Shakespeare
.
.
.
end.
Chingchongs:
Ronghuale (dalam bahasa Mandarin) berarti 'telah mencair', melted.
.
YOOOOSSH FINIISSSHH!
Setidaknya satu judul kelar yehet :"D masih banyak draft di archive ha ha ha :""D
Maapkan kalo kurang fluff, dan juga ditambah saya sembari curhat terselubung ttg kehidupan kuliah sayah :") Maapkan juga kalo ada beberapa bagian yang aneh karena aku ini orangnya sotoy dan sok ide :( mohon dimaklumi ya/? aku tau kalian akan memaklumi kok/?
.
Terima kasih banyak kalian atas review2nya (terutama Perawan-ssi, ilysm) karna berkat itu saya bisa tau di mana letak kesalahan saya agar ke depannya saya bisa jadi yang lebih baik lagi (halah,,,)
See you guys on the next story! (ehm, doain aja)
.
REVIEW will be much appreciated!
.
saranghaja,
exoblackpepper
