Disclaimer ©Tite kubo

(Saya hanya meminjam karakter di dalamnya sebagai karakter dalam fanfik saya, tanpa berniat mengambil keuntungan apa pun selain kesenangan pribadi)

.*.

Devil Beside Me

by

Ann

.*.

Peringatan: AU, OOC (Sesuai kebutuhan cerita), Typo(s),

tidak suka? Mungkin bisa tekan tombol 'Back' atau 'Close'

Dan untuk kalian yang berniat meneruskan membaca ...

selamat menikmati.

.*.

Setiap manusia memiliki keunikan masing-masing. Kekurangan dan kelebihan pasti ada, karenanya tak patut jika membandingkan satu orang dengan orang lainnya.

.*.

Bagian Sepuluh

.*.

"Aku ingin bertemu dengan ibumu dan memastikan bahwa dia menerimaku sebagai calon menantunya."

Satu kalimat itu membuat Ichigo bergegas membawa Rukia ke basement untuk mengambil mobilnya. Sebenarnya, ia bisa saja menyuruh Rukia menunggu sementara ia mengambil mobil atau meminta seseorang mengambilkan mobilnya, tapi melihat raut wajah Rukia yang tak sabar Ichigo merasa lebih baik untuk langsung membawanya saja.

Rukia membuka kursi penumpang sebelum Ichigo membukakan untuknya, lalu duduk dan memasang sabuk pengaman. Jujur saja, ia senang dengan antusiasme Rukia. Perlahan-lahan Rukia semakin menunjukkan minatnya pada pernikahan mereka. Namun, Ichigo juga bingung melihat Rukia terburu-buru padahal pagi tadi sewaktu ia mengatakan akan membawa Rukia menemui ibunya, gadis itu tak terlalu antusias, bahkan sempat meminta Ichigo untuk menundanya. Namun, sekarang Rukia terlihat sangat ingin bertemu dengan ibunya, membuat Ichigo penasaran dengan alasan di balik hal tersebut.

Ichigo mengikuti Rukia memasuki mobil, duduk di belakang kemudi, tapi tak kunjung menyalakan mesin mobil.

"Ada apa?" tanya Rukia. "Mobilnya mogok?"

Ichigo menggeleng.

"Lalu?" Rukia mendesak.

"Harusnya aku yang bertanya ada apa," ujar Ichigo.

"Memangnya ada apa?" Rukia balik bertanya.

Ichigo mendesah. Ia merasa seperti kembali ke beberapa jam lalu, saat Rukia bersikap serupa karena cemburu. Apa kemarahan Rukia masih belum reda? Ichigo menepis pikiran itu, karena merasa masalah itu sudah selesai tadi pagi. "Apa yang terjadi selama aku pergi?"

Pertanyaan Ichigo dijawab dengan diam oleh Rukia, sehingga ia bertanya lagi. "Ayolah, katakan padaku. Kalau kau tidak mau mengatakannya, kita tidak akan pergi."

Rukia mendesah, dan Ichigo menunggu dengan tak sabar kalimat dari Rukia. Hampir Ichigo akan bertanya lagi, tapi melihat bahu Rukia turun dan terlihat tak bersemangat ia memutuskan untuk menunggu. Sepertinya, tadi memang terjadi sesuatu selama kepergiannya.

"Aku ..." Rukia memulai, lalu kembali diam.

"Ayolah, Rukia. Kau bisa membuatku mati penasaran," gerutu Ichigo tak sabar.

Rukia mencebik. "Dasar tidak sabaran."

"Ya, ya, ya, itulah aku, tidak sabaran, tukang maksa, dan─"

"Stop!" Rukia menghela napas, matanya menyorot Ichigo. "Maaf," ucapnya kemudian.

"Aku akan memaafkanmu asal kau mau bicara," sahut Ichigo.

Sembari membuang tatapannya ke luar jendela mobil, Rukia berkata, "Aku bertengkar dengan teman-temanmu."

Ichigo mengernyit. "Siapa?"

"Rangiku dan yang lainnya."

"Kenapa?" Ichigo mendesak.

Rukia mengembalikan matanya pada Ichigo. "Karena aku marah."

Jawaban Rukia membuat sebelah alis Ichigo terangkat. "Kau marah? Pada Rangiku? Kukira kau hanya bisa marah padaku," tanggapnya geli.

Tawa Ichigo membuat Rukia memberengut. "Silakan saja tertawa sepuasmu."

"Maaf, maaf," ucap Ichigo sambil berusaha menghentikan tawa. "Silakan lanjutkan, kali ini aku tidak akan tertawa. Janji. Katakan padaku kenapa kau marah?"

Tak langsung terdengar jawaban dari Rukia. Gadis itu terlihat ragu untuk menjawab pertanyaan Ichigo. "Aku marah karena mereka membanding-bandingkanku dengan Hime-mu." Dengan sengaja Rukia menekankan kata terakhir dalam kalimatnya.

Ketika nama Orihime Inoue disebut, Ichigo langsung mengerti mengapa Rukia tampak begitu tidak senang. Ichigo pun tak terlalu senang. Bukannya tak menyukai Orihime, Ichigo hanya merasa tak senang Orihime menjadi batu sandungan dalam hubungannya dengan Rukia. "Aku akan bicara dengan mereka," kata Ichigo.

"Tak perlu. Aku sudah bicara," ujar Rukia sembari menatap Ichigo dan menampilkan ekspresi bersalah. "Sepertinya, aku harus minta maaf padamu. Karena ucapanku mungkin akan membuat teman-temanmu lepas tangan dari persiapan pernikahan kita."

"Kalau begitu, aku harus bicara dengan mereka."

"Jangan!"

Ichigo menautkan alis.

"Maksudku, tunggulah sampai besok untuk bicara dengan mereka," kata Rukia.

Bisa saja Ichigo bertanya mengapa ia harus menunggu sampai besok, tapi tak dilakukannya. Rukia pasti punya alasan sendiri mengapa meminta hal itu padanya, dan ia akan menurutinya.

"Aku hanya berharap, hubunganmu dengan Rangiku dan yang lain tidak terpengaruh karena ucapanku," ujar Rukia.

"Semua akan baik-baik saja," sahut Ichigo. "Sekarang, ayo temui ibuku. Aku yakin Kaa-san tidak akan membandingkanmu dengan in-siapa pun."

Ichigo menyalakan mesin mobil, baru ia akan melajukan mobil ponselnya berbunyi. Ia menunda keberangkatan beberapa saat dan menjawab panggilan di ponselnya.

Rukia mengamati Ichigo sementara pria itu berbicara di telepon. Ia menduga Ichigo tengah berbicara dengan salah satu temannya.

"Semua akan baik-baik saja."

Kalimat itu dikatakan dengan nada biasa, tapi sanggup membuat perasaan Rukia menjadi lebih baik. Kalimat itu terdengar seperti janji dan Rukia percaya akan ditepati. Betapa mudahnya Rukia mempercayai Ichigo, betapa cepatnya ia merasa nyaman dengan kebersamaannya dengan Ichigo padahal pria itu baru ia kenal dalam hitungan hari.

"Apa ada sesuatu di wajahku?"

Suara Ichigo menyadarkan Rukia dari lamunan. Cepat-cepat dialihkannya pandangan, menyembunyikan wajahnya yang memerah. "Tidak ada apa-apa," kilahnya.

"Begitu ... padahal aku berharap kau menjawab lain," ujar Ichigo.

"Menjawab apa?"

"Kau bisa bilang kalau aku kelihatan tampan."

Rukia mendengus. "Narsis." Jawabannya disambut tawa oleh Ichigo. "Sudah. Berhenti tertawa. Cepat berangkat."

"Tidak sabar bertemu dengan ibuku, eh?"

Diingatkan kembali pada tujuan mereka, membuat kegugupan menghinggapi Rukia. Tadi pikirannya sempat teralihkan karena kekesalannya pada Tatsuki, Rangiku, dan Nanao, sekarang setelah rasa kesal itu tersapu ia kembali panas-dingin. Bahkan Rukia lebih gugup daripada saat ia memukul orang dengan tongkat bisbol tempo hari.

Kini saat duduk di samping Ichigo dalam mobil yang melaju, Rukia sibuk memikirkan bagaimana reaksi wanita yang melahirkan Ichigo itu ketika melihatnya nanti. Apakah wanita itu akan marah karena mereka merencanakan pernikahan tanpa menemuinya terlebih dahulu? Atau justru akan menyambut mereka dengan tangan terbuka dan senyum lebar? Dan yang terpenting akankah wanita itu membandingkannya dengan Orihime Inoue?

Rukia benar-benar tak tahu akan bagaimana sambutan untuknya nanti, bahkan yang terburuk ia belum tahu siapa nama ibunya Ichigo.

"Kau belum memberitahuku siapa nama ibumu," ujar Rukia.

Ichigo menoleh padanya. "Belum, ya?" Rukia mengangguk. "Maaf, aku lupa. Masaki, Masaki Kurosaki."

"Apa kau punya keluarga lain selain ibumu?" Ketika mengajukan pertanyaan itu, Rukia menyadari sangat sedikit yang ia tahu tentang Ichigo.

"Ada satu wanita lagi yang bersamaku sejak kecil, dia teman ibuku. Yoruichi, istri pemilik restoran yang pernah kita kunjungi."

Rukia mengingat pria pirang bertopi itu. Pertemuannya dengan pria bernama Urahara itu tak bisa dikatakan buruk, hanya saja meninggalkan kesan bahwa Urahara terlihat belum menyetujui dirinya menjadi calon mempelai Ichigo. Nah, kalau Urahara saja bersikap demikian, bagaimana dengan ibu Ichigo. Rukia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan terburuk.

"Sebenarnya, aku ingin membawamu bertemu Ibu kemarin, tapi banyak hal yang terjadi." Ichigo kembali bicara.

"Apa ibumu tahu tentang rencana pernikahan kita?"

"Dia orang yang pertama kali tahu," jawab Ichigo.

Rukia menoleh ke arah Ichigo, menatap pria itu dengan pandangan tak percaya.

"Bahkan sebelum melamarmu aku sudah memberitahunya," Ichigo menambahkan.

"Serius?" Rukia masih belum dapat memercayai ucapan Ichigo.

"Ya."

"Apa reaksinya?" Rukia terlalu penasaran untuk tidak bertanya.

"Sesuatu yang baik harus disegerakan, begitu dia bilang."

Jawaban Ichigo membuat Rukia tak bisa bereaksi selama tiga detik. "Apa?! Kau tidak bercanda, kan?" Rukia tak dapat memercayai ucapan Ichigo.

Ichigo tertawa. "Temui dia dan tanyakan sendiri, oke?"

"Sama sekali tidak oke." Tanpa sadar Rukia menyuarakan dengan lantang apa yang ia niatkan ucap dalam hati.

Tawa Ichigo terhenti, berganti dengan kernyit di dahinya. "Kenapa?"

Rukia menghela napas, mau tak mau menjawab, "Jangankan untuk bertanya, aku ragu bisa bersuara di depan ibumu. Sekarang saja aku sudah sangat gugup memikirkan bagaimana reaksinya saat melihatku nanti. Bahkan rasanya lebih mendebarkan daripada mengayunkan tongkat bisbol untuk menolongmu waktu itu."

Tawa Ichigo kembali. "Tenang saja, ibuku tidak menggigit orang."

"Mana kutahu, aku kan belum pernah bertemu dengannya," sahut Rukia. Kegugupan membuatnya mudah sekali kesal.

Ichigo menggenggam tangannya, meremasnya pelan sembari berkata, "Kau akan menyukainya, Rukia."

"Bagaimana kalau dia tidak menyukaiku?"

"Dia akan menyukaimu."

"Bagaimana bisa kau sangat percaya diri? Bisa saja dia lebih menyukai Inoue daripada aku." Rukia benar-benar tak bisa menghilangkan keberadaan Inoue di antara mereka.

"Aku tidak suka kau membandingkan dirimu dengan Inoue," ujar Ichigo tak senang.

"Tapi─"

"Kalian tidak untuk dibanding-bandingkan."

Rukia tak lagi mencoba menyanggah. Benar kata Ichigo, dirinya dan Inoue tak bisa dibandingkan. Mereka adalah dua pribadi yang berbeda, tak layak untuk diperbandingkan karena masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.

"Bagaimana kau yakin ibumu akan menyukaiku?" Rukia bertanya lagi.

"Karena kau memang mudah disukai, layak dicintai."

Rukia membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, tapi kemudian urung berucap. Ia lebih memilih menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan semburat merah muda yang menghiasi wajahnya.

"O ya, aku punya sesuatu untukmu," ujar Ichigo. Rukia menelengkan kepala, bertanya tanpa suara. Ichigo menjawab dengan memberi isyarat menggunakan dagu pada laci dashbor mobil. Menuruti isyarat Ichigo, Rukia membuka laci.

Iris violet Rukia melebar. "Ichigo, kau benar-benar punya kelainan, ya?"

"Ekh?!" Ichigo mengalihkan tatapan dari jalan dan mengarahkan matanya pada Rukia. "Kelainan? Aku?"

Rukia mengangguk-angguk. "Yep. Kelainan. Kau punya kebiasaan aneh."

Ichigo mengerutkan dahi. "Kebiasaan aneh apa?"

Rukia mengulurkan tangannya ke dalam laci, mengambil barang yang ada di sana, lalu mengangkatnya ke depan mata Ichigo. Sekarang iris cokelat-madu Ichigo yang melebar.

"Setelah memberiku pisau sekarang kau memberiku pistol, kau benar-benar tidak romantis." Bukannya marah, Rukia malah terkikik.

Sebelah tangan Ichigo melepas kemudi, mengambil pistol dari jemari Rukia dan mengembalikan benda itu ke laci. "Bukan benda itu yang kumaksud," ujarnya dengan wajah memerah.

Senyum terkulum di bibir Rukia. "Lalu yang mana? Aku tak melihat benda lain."

Ichigo mendengus sembari memasukkan tangan lebih dalam ke laci untuk mencari. Setelah beberapa detik, Ichigo menarik tangannya. "Buka tanganmu," perintah Ichigo.

Rukia menurut, membuka tangannya, membiarkan Ichigo meletakkan sebuah kotak di telapak tangannya.

Kotak itu mungil, ditutupi kain beledu biru malam di bagian luar.

"Ini?" Rukia menatap kotak di tangannya lalu beralih pada Ichigo. Rasa geli menghilang darinya, berganti debar aneh yang menyusup ke dada. Jika seperti dugaannya, kotak itu akan berisi ...

"Bukalah," kata Ichigo pelan, setengah berbisik.

"Aku ..." Rukia tak segera menuruti permintaan Ichigo.

"Aku harap kau suka, aku menghabiskan waktu tiga jam memilihnya." Ichigo berkata tanpa mau melihat ke arah Rukia.

"Tiga jam?!" seru Rukia. Lalu sifat jailnya keluar. "Kau tidak punya kerjaan, ya?"

"Rukia!" Ichigo mengerang.

Rukia tertawa. Namun, tawa itu seketika hilang, ketika matanya kembali pada kotak beledu.

.*.

Ichigo menelan ludah, tak sabar menanti reaksi Rukia. Merasa tak bisa berkonsentrasi dengan jalan di depannya, Ichigo menepikan mobil di di bahu jalan. Memutar tubuh menghadap Rukia, ia meminta sekali lagi. "Bukalah."

Mata Ichigo tak lepas dari Rukia. Diperhatikannya setiap gerak calon istrinya itu, ketika membuka kotak beledu, sekaligus merekam ekspresi Rukia sewaktu isi kotak terlihat sempurna.

"Ichigo ... ini ...?" Mata Rukia tak bisa beralih cincin platina berhias batu amethyst.

Karena Rukia tak kunjung mengeluarkan cincin dari kotak, Ichigo yang melakukannya. Diambilnya cincin itu. "Amethyst. Menurutku batu ini yang paling cocok untukmu," ujarnya seraya meraih tangan kiri Rukia. "Ametis, atau yang sering disebut kecubung, dikatakan sebagai batu asmara juga batu kecantikan. Ada juga yang menyebutnya batu pelindung, juga batu jodoh."

"Batu jodoh?" bisik Rukia.

"Konon, batu ini bisa membantu seseorang yang ingin menikah menemukan pasangan yang sesuai," jelas Ichigo.

Rukia menatap Ichigo. Bibir gadis itu melengkung membentuk senyum yang sangat cantik. "Tapi aku tidak perlu mencari lagi, karena aku sudah mendapatkan pasangan yang benar-benar sesuai," ucapnya.

"Kalau begitu, kau tidak keberatan memakainya, bukan?"

Tak ada suara sebagai jawaban, hanya anggukkan mantap yang diperlihatkan Rukia pada Ichigo. Lalu, ketika Ichigo menyelipkan cincin di jari manis Rukia, mata gadis itu tampak berkaca-kaca.

"Aishiteru." Ucapan manis disertai kecupan di kening Ichigo berikan pada Rukia.

"Aishiteru yo." Rukia membalas, walau kata itu belum mampu terucap dari lisannya.

.*.

Kediaman Amagai di saat bersamaan:

"Ini pertukaran mudah. Seorang gadis untuk gadis lainnya," ucap Amagai. "Kau bahkan tidak perlu menyerahkan gadis itu langsung padaku, hanya perlu memberi akses pada anak buahku untuk menculiknya."

Tak terdengar jawaban dari lawan bicara Amagai di line telepon.

"Kau tidak perlu memikirkannya begitu keras. Aku hanya meminta bantuan kecil sebagai balasan dari apa yang akan kulakukan untuk kekasihmu."

"Dia bukan kekasihku," sahut seseorang di seberang sana.

Bibir Amagai mengulas senyum. "Mungkin setelah ini kau bisa menjadikannya kekasihmu."

"Itu sama sekali bukan urusanmu." Lawannya menjawab dengan dingin.

"Baiklah, aku tidak akan mengomentari hubunganmu dengan gadis itu. Aku hanya ingin tahu, apakah kita sepakat?"

Ketukan pintu terdengar sebelum Amagai mendapat jawaban. Pintu terbuka, kepala pelayan rumahnya masuk diikuti seorang pria bertopi bisbol. Untuk sesaat muncul keterkejutan di raut muka Amagai, tapi dengan cepat pria itu menormalkannya. Amagai memberi isyarat agar tamunya menunggu sementara ia menyelesaikan pembicaraan.

"Beri tahu aku di mana dan kapan gadis itu sendirian, hanya itu yang kau perlu lakukan. Lalu, aku akan melakukan sisanya. Setelah itu, gadismu akan aman." Amagai kembali berbicara di telepon. Sang tamu terlihat memerhatikannya dengan intens sembari menyamankan diri duduk di sofa tunggal berwarna cokelat.

"Kau tak akan menyakitinya?"

"Tidak. Aku tidak akan melakukannya. Dia hanya akan kujadikan alat tukar. Tapi kau harus memastikan bahwa tidak akan ada perlawanan dari pihakmu."

"Akan kupikirkan."

"Kuharap tidak lama, aku bukan orang yang sabar." Amagai memutuskan sambungan dan meletakkan ponselnya di meja.

"Kau tidak akan menyakiti gadis itu?" Sang tamu buka suara.

"Aku? Tidak." Amagai mengembangkan senyum. "Tapi aku tak tahu denganmu. Setelah kudapat posisiku sebagai ketua Black Sun, aku akan melepaskan mereka. Selanjutnya, terserah padamu."

"Kau orang yang tak bisa dipercaya."

Amagai melangkah ke mini bar, mengeluarkan sebotol minuman berwarna keemasan dari lemari dan menuangkannya ke dua gelas. "Benarkah? Kalau begitu kenapa kau mau bekerjasama denganku?" Ia membawa dua gelas itu, menyerahkan satu kepada tamunya.

Sang tamu mengambil gelas dari Amagai. "Karena aku membutuhkan bantuanmu."

Mengambil tempat di seberang sang tamu, Amagai duduk menghadap pria yang sudah melepaskan topi, menampilkan warna kelabu rambutnya. "Nah, itu. Setelah kau tak membutuhkan bantuanku lagi, maka kau akan kembali menjadi musuhku?"

"Kita tak pernah menjadi musuh."

"Akan kupegang itu," sahut Amagai. "Sekarang, katakan padaku apa yang membawamu ke sini?"

"Bantuan."

Sebelah alis Amagai terangkat.

"Aku membawakan bantuan untukmu."

Seseorang masuk dari pintu balkon yang terbuka.

Amagai menyipitkan mata, mencoba mengenali orang itu. "Dia?"

"Ulquiorra Schiffer. Orang yang akan menculik Kuchiki Rukia untukmu."

.*.

"Klinik?" Rukia mengarahkan tatapan bingung pada Ichigo, lalu memandang bangunan bercat biru-putih yang menjulang di depannya.

"Ya. Klinik." Ichigo membeo.

"Apa yang kita lakukan di sini?" tanya Rukia masih kebingungan.

"Menemui ibuku," jawab Ichigo.

"Ibumu ... dia ..."

"Tidak seperti yang kau pikirkan. Ibuku sehat, sangat sehat bahkan."

"Lalu kenapa?"

"Karena ibuku tinggal di sini." Ichigo meraih tangan Rukia, membawanya mendekati pintu.

"Ibumu tinggal di klinik?" Rukia kembali bertanya.

"Yep. Ibuku menikah dengan pemilik klinik ini, jadi dia tinggal di sini."

Langkah Rukia terhenti. Jemarinya mencengkeram lengan Ichigo dengan kuat. "Bukan hanya ibumu, aku juga akan bertemu ayah tirimu?"

"Juga Yoruichi dan suaminya," ujar Ichigo santai.

"Ekh?!" Rukia balik arah, hendak pergi.

"Kau mau ke mana?" Ichigo menahan langkah Rukia.

"Pulang."

"Hei, kau yang mengajakku ke sini kenapa sekarang mau pulang?"

Rukia menghentikan langkah. Kepalanya tertoleh pada Ichigo. "Tapi─" Rukia menggigit bibir, terlihat benar-benar gugup.

"Tenanglah." Ichigo meraih tangan Rukia. "Kau tahu kegunaan lain dari batu kecubung?"

Gelengan kepala menjadi jawaban Rukia pada Ichigo.

"Batu itu akan meningkatkan kepercayaan diri dan membuat orang lain menyayangimu."

Rukia menatap batu di cincin barunya.

"Kau bisa berpegangan pada batu itu untuk meningkatkan kepercayaan dirimu," tambah Ichigo.

Tatapan Rukia terangkat, menangkap mata Ichigo. "Lebih baik aku berpegang padamu," ujarnya disertai senyum.

"Nah, itu lebih baik lagi." Ichigo menggenggam erat jemari Rukia. "Ayo, kita temui ibuku."

.*.

bersambung ...

.*.

Holla, ketemu lagi sama saya. Kali ini nggak terlalu lama kita berpisah. *Aish, gaya lu, Neng*

Makasih buat kalian yang sudah ngedukung saya selama ini. Dukungan kalian sangat berarti, dan saya harap kalian tetap ngasih saya dukungan sampai nanti, ya.

.*.

Review's review:

Zanara Aoi

Halo, Aoi-san. *boleh saya panggil Aoi-san?*

Kabar saya baik. Alhamdulillah.

Jadi sider pun tak masalah. Terima kasih sudah baca.

Sudah saya apdet nih, dua chapter, 9 dan 10.

Yep. Hidup Ichi nggak mudah di fanfik ini makanya tangannya kapalan.

Makasih dan RnR, ya

hendri69

Makasih dah RnR, ya.

Aamiin ... doakan biar lancar proses ngetiknya.

Rukichigo

Iya, nggak akan saya hapus. Lagian, outlinenya udah saya bikin sampai tamat, tinggal sayanya aja bisa nyisipin waktu buat ngetik atau nggak. Hehe ...

Fic ini keren sekeren yang baca. 😊

Ouw, thank you.

Makasih dan RnR, ya.

Loly jun

Iya. Dibandingin sama orang lain tuh nggak enak pake banget. Makanya, Rukia bersikap begitu.

Chap ini mulai diperlihatkan siapa musuh Ichigo sebenarnya.

Semoga setelah baca nggak lupa lagi.

Makasih dah RnR.

Azura Kuchiki

Makasih dah RnR, ya.

Rasanya pengen nabokin Rangiku cs atu-atu saking gemesnya.

Wkwkwk ... terus mereka kudu diapain biar kamu puas?

Yep. Kita liat chapter depan, ya.

Yuliita

Wkwkwk ... andai yang kayak Ichigo di fic ini ada di dunia nyata saya juga mau.

Makasih dah RnR, ya.

IchiRuki HF

Kan digantung nggak enak, jadi diapdet deh. Wkwkwk ...

Yep. Dibandingin itu kagak enak, makanya Rukia jadi marah gitu.

Aamiin ... semoga pernikahan mereka lancar, tapi kayaknya bakal masih ada batu sandungan besar nih.

Iya kah? Saya nggak merasa ada yang berbeda, sih, tapi nanti coba saya baca-baca lagi. Kalaupun berubah gaya nulis saya, semoga jadi lebih baik bukan lebih buruk.

Makasih dah RnR, ya.

Nad-Ru15

Halo, Nad-Ru. Makasih dah mampir, ya.

Nah, ada lagi yang bilang tulisan saya berubah. Semoga perubahannya ke yang lebih baik, bukan sebaliknya.

Salah satu novel saya ada di playstore, judulnya Oranye nama penulisnya Ann Soe, tapi kamu harus beli, meski ada sampel bab-bab awalnya sih di sana.

Novel-novel saya masih dalam bentuk indie (self publish) jadi belum ada di toko buku, hanya bisa dipesan online. Kalau mau bisa kepoin fb saya: Ann Soe Marni.

Sankyu. 😊

.*.

Akhir kata, maaf jika masih banyak ada kekurangan dalam penulisan fanfik ini.

See ya,

Ann *-*