warning! boys' love. mentions of homophobic. single dad!Ong.


Daniel mengusak rambutnya, membenamkan muka ke syal tebal sambil mengeluh dalam hati, mau seberapa dingin lagi di musim salju ini? Bahkan di dalam kereta masih terasa dinginnya. Dia menghembus nafas, menggosok-gosokkan kedua telapak tangan guna mencari kehangatan. Dia berharap semoga Seongwoo tidak melupakan hot pack-nya, Seongwoo sudah terlalu sering melakukan kecerobohan itu.

Dia masih laru dalam pikiran sendiri ketika seseorang berdiri di sampingnya. Park Woojin berdiri di samping, tersenyum menampakkan gingsulnya. Daniel menyapa dengan senyum, menepuk pundaknya. Sudah lama juga Daniel tidak melihatnya setelah dia hengkang dari pekerjaan sambilannya di kafe Big Bun. "Hyeong. Lama tidak bersua." sapa lelaki surai merah itu.

Sambil tersenyum, Daniel mengangguk. "Lumayan lama. Berangkat kuliah?" tanyanya kepada Woojin, meraih bungkus hot pack di dalam saku mantel dan memberikannya kepada yang lebih muda.

Woojin menggumam terima kasih. Dia memasukkan hot pack ke dalam kantung, mendesah lega ketika hangat meresap ke dalam kulit. "Bukan hyeong, aku mau ke rumah kerabat. Ada kerabatku yang mau menikah minggu ini, aku ditunjuk jadi best man."

"Oh ya?" tanggapnya tertarik. "Ada rencana menyusul dengan pacarmu?"

Lantas wajah lelaki itu berubah merah padam. Dia menghindari tatapan Daniel yang setengah geli setengah menggoda. "Ngomong apa hyeong, kami baru saja kuliah, masa menikah?" balasnya. Woojin kemudian menoleh kepada Daniel, wajah bertekad membalas dendam. "Harusnya aku yang tanya, hyeong nggak ada niat menikah?"

"Tentu saja ada." jawab Daniel singkat, nyengir penuh kemenangan pada raut muka Woojin yang kecewa, gagal membuat Daniel kelabakan. "Kamu mengharapkan apa? Aku sudah lulus kuliah, pacarku sudah, aku sudah kerja, pacarku juga sudah."

Kereta berhenti pada stasiun tertentu. Daniel pamit turun, memang di situ tujuannya. Woojin mengangguk, mengucapkan salam pendek tentang sampai jumpa nanti atau apalah itu. Daniel meremat hot pack yang tersisa di kantung mantelnya karena cuaca semakin dingin begitu dia turun dari kereta, membenarkan posisi syalnya dan berjalan diantara kerumunan orang-orang di jalanan.

Pikirannya meruam-ruam tentang perkataan Woojin.


Ayahnya telah duduk di meja restoran, melambai senang melihat sosok Daniel masuk. Daniel duduk di seberang, tersenyum sambil meletakkan tasnya di samping. Hari sudah sore, Daniel baru saja mau pulang ketika menerima telepon dari ayahnya yang minta bertemu. Baiklah, dia menyetujui, apa salahnya? Sudah lama juga dia tidak bertemu dengan ayah mengingat jarak antara Seoul dan Busan bukan main-main.

"Nak," sapa ayahnya riang, "Lama tak jumpa. Bagaimana kerjanya, kamu ada kesulitan?"

Daniel menggeleng. Dia tersenyum menerima buku menu dari pelayan. "Tidak, aku baik-baik saja di lingkungan kerjaku. Senior kenalan ayah—Yoon Jisung—baik, dia membantuku beradaptasi."

"Bagaimana dengan kerja ayah, apa baik-baik saja? Ayah sampai repot-repot jauh dari Busan ke Seoul hanya untuk mengurus pekerjaan." kata Daniel sambil tertawa pelan. Dia kemudian menggumamkan pesanannya kepada pelayan. "Ayah mau pesan apa?"

"Baik, nak, aku akan di Seoul selama beberapa minggu, menginap di rumah bibimu yang punya taman kanak-kanak itu." jawab ayahnya pelan. "Ayah sudah pesan." tambahnya kemudian.

Keduanya jatuh ke dalam hening yang nyaman. Daniel mengaduk gula di dalam teh panasnya, pikiran melayang ke mana-mana. Ayahnya telah berubah banyak, pikir Daniel, ayahnya maupun dia sendiri telah berubah banyak. Meski di awal ayahnya sungguh tidak suka dengan ide dia memiliki pacar seorang laki-laki, Seongwoo memperbaiki ide itu dengan sungguh baik. Kini ayahnya mungkin lebih suka dengan Seongwoo dari pada dia, Daniel tersenyum geli.

"Bagaimana kabar pemuda Ong itu, si Seongwoo?" tanya sang ayah kepada Daniel. Ayahnya tertawa pelan, meminum beberapa teguk dari minumannya. "Aku rindu masakannya, nak, kamu tidak pernah bilang dia bisa memasak dengan handal."

"Dia nggak terlalu handal dalam memasak," jawab Daniel, mengingat satu kecelakaan Seongwoo nyaris membakar seluruh dapur karena kelupaan mematikan kompor. "Tapi yah, dia baik-baik saja. Makin hari dia makin cerewet," kekeh Daniel.

Ayahnya ikut tertawa. "Bagaimana dengan anak gempal itu—pipinya—Woojin? Sudah lama sekali aku tidak bertemu. Dia sudah kelas empat, ya? Pasti sudah besar sekali."

Daniel mengangguk. "Datang saja ke rumah kami kalau ayah ada waktu, Seongwoo dan Woojin akan senang."

"Aku akan lebih senang lagi kalau diundang begitu, nak." jawab ayahnya. "Nanti aku coba luangkan waktu sebelum aku pulang ke Busan." Mata Daniel menangkap gelang yang dikenakan ayahnya. Bandul gelang itu tak lain adalah belah pasang lain dari anting berbentuk cincin yang dikenakannya dengan bangga di telinga. Lantas, dia seperti dilempar ke masa lalu—masa pertama dia menemui ayahnya setelah dibujuk Seongwoo.

"Kamu datang," ucap ayahnya, binar mata tidak percaya dan terharu ketika Daniel duduk berhadap-hadapan dengannya. "Kamu datang. Kupikir orang tua ini akan menghabiskan satu hari lagi menunggumu tanpa ada hasil."

"Aku bukan seseorang yang pandai atau hobi mengingkar janji," jawab Daniel pelan, percikan puas meletup pelan ketika melihat raut ayahnya turun. Bagaimanapun, tidak semudah itu memaafkan ayahnya, tidak ketika dia ditendang dari rumah dan hidup menggelandang selama nyaris satu tahun setelahnya. "Silahkan bicara."

Ayahnya kemudian menghela nafas berat, tersenyum kecut. "Baiklah... sepertinya kamu masih benci aku, nak. Aku tak akan bicara bertele-tele."

"Pertama-tama," ayahnya terbatuk pelan, meraih segelas teh panas untuk meredakannya. "Ketika aku tahu kamu punya pacar laki-laki, tentunya aku sebagai ayah merasa marah. Kenapa? Karena aku pikir mereka akan membawa pengaruh untukmu. Maka saat itu, pikiranku yang paling rasional adalah membawamu kembali ke Korea—mengingat seberapa rasisnya negara ini terhadap sedikit perbedaan. Aku menitipkanmu di taman kanak-kanak bibimu sambil berharap, semoga wanita di sana dapat membuaimu barang sedikit saja, menamparmu kembali kepada wanita dibanding laki-laki."

"Saat itu aku tahu saja kalau kamu tak pernah melirik sedikit pun tentang gadis-gadis itu. Tapi aku membutakan diri, hingga akhirnya kamu sendiri yang bicara padaku bahwa sekeras apapun kamu mencoba, kamu tak akan bisa berubah. Saat itu aku sama marahnya denganmu. Sama frustasinya denganmu, karena aku tak bisa terus membutakan diri kalau kamu sendiri yang berbicara padaku. Maka kamu berteriak, aku memukul, mengatakan bahwa tidak ada satu hakpun untukmu kembali lagi ke rumah kalau kamu tidak ingin mengubah diri sendiri."

Hening. Ayah Daniel menutup bibir, menatap ke bawah, berusaha mencari kekuatan. "Daniel, hal pertama yang aku rasakan ketika aku sampai di rumah memang masih marah. Awalnya kupikir setelah satu minggu, kamu akan kembali. Tapi kamu tak pernah kembali. Tak sejejakpun. Maka marah itu menggumpal, berubah massal menjadi perasaan kesepian—menyesal, mencarimu kemana-mana."

"Pada akhirnya memang aku ini ayah yang jelek, yang telah menendangmu keluar dari rumahmu sendiri. Pada akhirnya juga, akulah yang kalah, Daniel. Aku sungguh rindu padamu, dan sungguh rasa senangku begitu besar melihatmu sehat, berkuliah dan bahkan sudah berkeluarga."

Daniel batuk. Berkeluarga maksudnya Ong Seongwoo dengannya? Dia baru mau menjawab ketika ayahnya memotong, "Biarkan orang tua ini berbicara dulu. Aku sungguh senang, Daniel," ayahnya berhenti sebentar, menarik nafas. "Maukah kamu memberi kesempatan lagi untukku?"

Mata Daniel menetap pada figur ayahnya. Dia terlihat tirus, letih, tapi menyegarkan diri demi bertemu dengan Daniel.

Ibu Daniel meninggal sejak dia masih usia kecil sekali. Menyisakan Daniel, anak satu-satunya dengan ayahnya yang sibuk dipendam kerjaan. Sejak ibunya pergi, Daniel dijaga dua kali lipat oleh ayahnya, seperti takut kehilangan Daniel juga.

Tapi Daniel kecil tentu sadar kantung mata ayahnya makin tebal, tubuhnya makin tirus. Kalau mengurus sendiri saja tidak bisa—bagaimana bisa mengurus orang lain? Daniel remaja waktu itu benci benar, ayahnya seperti menggunakan dirinya supaya lupa dengan ibu. Daniel sekarang tersenyum pahit, melihat kerutan di kemeja ayahnya dan gelang yang terikat tidak rapi.

Seberapa kesepian ayahnya, tinggal di Busan seorang diri? Daniel hidup dikerumuni teman-teman, dan dia masih merasa kesepian di beberapa titik. Seberapa kesepian orang tua ini?

Tangan Daniel meraih tangan ayahnya dan membenarkan ikatan gelang itu dalam diam. Tiba-tiba gerakan tangannya terhenti dan matanya terpaku. Dia kenal bandul itu. Itu anting peninggalan ibunya, yang Daniel remaja sengaja tindik di telinganya sebagai peringatan kepada ibunya.

"Daniel," ayahnya kemudian berkata lembut, "Tidak sedetikpun aku pernah lupa tentang ibumu. Tidak pernah. Aku tahu kamu memakai anting ibumu, sebelahnya kupakai sebagai bandul gelang. Anting milikmu yang kau lempar tiga tahun yang lalu, kucari kemana-mana tapi tak pernah ditemukan. Aku minta maaf."

Maka waktu itu Daniel meneguk air mata yang hendak mengalir. Dia merogoh kantung, mengeluarkan pasang anting yang lain. Berterima kasih sungguh pada Seongwoo. "Ayah," kata Daniel kemudian, "Temani aku menindik telinga."

Ayahnya menangis, memegang tangan Daniel erat. "Aku minta maaf," katanya diantara isak pelannya. "Mari kita mulai ini dari awal, Daniel. Aku sungguh minta maaf."

"Daniel," tegur ayahnya, menarik lelaki itu kembali ke masa sekarang. "Makanan sudah sampai. Jangan melamun, segera makan makananmu sebelum dingin."

Daniel tersentak. Dia mengangguk, tersenyum dan segera menggali makanannya setelah mengucapkan salam. Mereka tak berbicara sesuatu yang penting lagi selama makan itu. Obrolan ringan mengalir, hingga akhirnya keduanya selesai makan, hari sudah mulai gelap. Ayahnya menepuk lengan Daniel sebagai tanda sampai jumpa.

"Kapan-kapan main ke Busan, Daniel." ajak ayahnya. Daniel sopan menyanggupi.


"Tadi kamu ketemu ayah?" tanya Seongwoo.

Daniel mengangguk. Dia menatap figur Seongwoo yang bolak-balik mengambil baju dan handuk, bersiap-siap untuk mandi. "Dia akan menetap disini kurang lebih seminggu di rumah bibi. Tadi ayah bilang kapan-kapan kita harus main ke Busan. Dia juga menanyakan kabarmu."

"Undang ke sini," jawab Seongwoo, matanya lembut. "Sudah lama Woojin tidak ketemu."

Lelaki itu melirik Daniel untuk terakhir kalinya sebelum menghilang di balik pintu kamar mandi. Suara deras air mulai terdengar—Daniel relaks, berbaring dengan mantel mandinya. Dia sibuk bermain ponsel ketika ada suara berdering. Suara itu bukan dari ponselnya, melainkan dari ponsel Seongwoo. Secara refleks, dia melirik ponsel itu. Letaknya tak jauh, di meja nakas sebelah Daniel berbaring.

Seongwoo tidak pernah mengunci ponselnya. Maka tertampanglah satu pemberitahuan pesan masuk beserta dengan tulisan, bunyinya, "Kapan menikah?"

Mata Daniel mengerjap bingung. Setengah dari dirinya merasa semangat—dia tidak mau mengakuinya—ternyata Seongwoo juga ditanyai hal seputar pernikahan. Pesan itu tak lain dari ibu Seongwoo seorang. Tak tahu harus bagaimana, tiba-tiba ponselnya berdering lagi. "Ayah tanya kapan kau mau menikah."

"Kenapa dengan ponselnya?" tanya Seongwoo. Daniel menoleh, mata tak disengaja (bedasarkan insting alami) fokus pada dada Seongwoo yang terekspos sekilas melalui mantel mandi yang dipasang melorot. "Mataku ada di atas sini."

Daniel otomatis menatap mata Seongwoo, nyengir tertangkap basah. Seongwoo menatapnya menilai, tangan bergegas mengikat mantel mandinya lebih rapat. "Siapa yang SMS?"

Untuk sementara, Daniel kehilangan kata. Dia tahu hubungan Seongwoo masih belum baik dengan orang tuanya. Akhirnya Daniel mengambil ponsel Seongwoo, menyerahkannya kepada pemilik. "Kamu lihat sendiri." Dia mengabaikan tatapan aneh dari Seongwoo. Tapi beberapa saat kemudian raut muka Seongwoo jatuh, senyumnya pudar, dan Daniel merasa perutnya diaduk.

"Seongwoo—" Daniel tiba-tiba saja memanggilnya. Tapi dia tidak tahu harus berbicara apa. "Soal pernikahan. Aku ingin tahu apa kamu pernah memikirkannya sebelumnya."

Yang Daniel dapat hanyalah sambaran keras. "Kamu tahu yang dimaksud dalam pernikahan itu bukan kamu, Daniel. Bukan. Tapi perempuan yang sempurna selayaknya yang diharapkan oleh ayahku. Tidak ada gunanya, aku sudah cerita tentangmu dan sebagai gantinya aku tidak dapat balasan sama sekali."

Kini suasana menjadi serius. Seongwoo terlihat marah dengan ekspresi frustasinya, dan Daniel terlihat sama pilunya. Akhirnya Daniel menghela nafas, "Baik, mari kita bicarakan ini kapan-kapan."

"Maaf, aku nggak bermaksud berbicara seperti itu," kata Seongwoo akhirnya, ekspresi melembut. "Hanya... tidak sekarang. Bukan hari ini, oke? Jangan hari ini. Kapan-kapan. Besok-besok."

Daniel mengangguk bisu.


Esok paginya, Daniel keluar dari kamar mandi berharap Seongwoo sudah bangun sepenuhnya, tapi Seongwoo masih bergelung di dalam selimut. Mencoba menyingkirkan firasat buruk, Daniel bergegas mengecek suhu tubuhnya. Seongwoo kelupaan memakai syal dan hot pack-nya ketinggalan kemarin, bisa saja dia merasa kurang enak badan karena kedinginan. "Seongwoo," kata Daniel, berusaha membangunkannya. "Kamu nggak enak badan?"

Mata Seongwoo membuka. Dia menatap Daniel. Lelaki itu berharap mendengar sesuatu dari Seongwoo, tapi Seongwoo hanya mengangguk pelan dan kembali membenamkan muka ke dalam selimut. Daniel langsung tahu—Seongwoo masih kurang nyaman karena mereka sempat bersitegang kemarin malam. Akhirnya Daniel menyerah—dialah yang paling tahu untuk tidak memaksa ketika Seongwoo sedang dalam masa menyendiri.

"Aku berangkat duluan, oke," kata Daniel pelan. "Jangan terlalu dipikirkan soal kemarin. Jangan lupa pakai syalmu dan bawa hot pack-nya. Kalau ketinggalan, belilah beberapa."

Seongwoo menatapnya lagi, dan mengangguk. Daniel setelah itu berpakaian, menjalani rutinitas paginya seperti biasa—memasak sarapan, mengantar Woojin ke sekolah, berjalan menyusur kantor dengan segelas teh yang dibelinya dari perjalanan sebagai penghangat badan. Daniel membuka ponselnya dan mencari kontak Seongwoo.

[Kang Daniel]
udah berangkat?

[Ong]
Otw kantor. Bibirku dingin, beku :(

[Kang Daniel]
maksudnya apa, ngode? :D

[Ong]
Bukaaaan. Cuma ngomong aja. Tapi kalau mau cium silahkan hehehe

[Kang Daniel]
kenapa kamu malah bilangnya sekarang, waktu aku udah di kantor? :(

[Ong]
Sengaja.

[Kang Daniel]
kamu sadar kan aku pulang nanti malam? dan aku punya upper hand di hubungan kita? :D

[Ong]
Sok jago bahasa inggris kamu.

[Kang Daniel]
emang jago.

[Ong]
Aku block.

[Kang Daniel]
jahat kamu :( aku bela-belain kirim sms waktu aku lagi rapat. malah diblock.

[Ong]
Bercanda, sayang. Rapat sana. Biar cepet pulang.

Jisung berdeham di sampingnya. Daniel lantas menyurukkan ponsel dalam saku jas, nyengir canggung ke arah seniornya. Jisung mengirim tatapan menilai kepada Daniel dan menggeleng-gelengkan kepala, bibir berdecak mengomel di bawah nafasnya sesuatu tentang anak muda digilas cinta. Muka Daniel memerah, tapi mengabaikan godaan Jisung.

Seselesai rapat, Jisung mengajaknya makan bersama dengan beberapa kolega di kantin. Daniel menurut saja, tidak pernah bisa menolak ajakan kalau menyangkut dengan keakraban antar staf dan kolega. Pada akhirnya dia duduk didempet Jisung dan Jaehan, meja mereka dipenuhi beberapa orang yang berasal dari departemen sama.

"Ah, Areum sebentar lagi cuti, ya?" mulai salah satu rekannya kemudian, semeja itu mulai mengarahkan perhatian kepada wanita yang diketahui namanya Areum. "Cuti menikah. Aduh, sebentar lagi ada pasangan pengantin baru di kantor kita!"

Areum tersipu, mengangguk pelan dan pipinya memerah. "Jangan begitu, pernikahannya masih seminggu lagi."

"Seminggu itu sebentar," pekik Jisung, ikut-ikutan semangat menggoda Areum. "Tujuh hari itu sebentar. Jadi bagaimana, kita semua diundang tidak?"

"Tentu saja. Aku sudah menyiapkan undangannya, besok akan kuberikan ke masing-masing dari kalian," jawab Areum, senyuman tidak pernah jatuh dari wajahnya. Daniel mulai membayangkan bagaimana apabila Seongwoo yang mengatakan kalimat itu, atau bahkan dia sendiri yang mengatakannya, membayangkan nama mereka terukir di kartu undangan tinta perak dengan desain minimalis.

Bahunya dicolek. "Daniel!" panggil Jisung. "Tanggal dua puluh delapan. Kamu bisa tidak?"

Daniel terkesiap pelan, yang kemudian luntur menjadi senyuman. "Ah hyeong, aku harus memastikan dulu. Tapi seusahanya aku akan datang."

Bibirnya tersenyum, tapi pikiran Daniel melayang ke arah yang lain. Daniel bohong kalau dia bilang dia tidak terusik dengan segala urusan ini dimana satu persatu pernikahan mulai hinggap di teman-temannya, tapi tidak dengan dia. Dia bohong kalau dia bilang dia tidak dibayang-bayangi pesan ibu Seongwoo; "Kapan menikah?" Tapi bukan dia yang dimaksud ibu Seongwoo.


Daniel bertemu dengan Areum ketika kebetulan lelaki itu sedang fotokopi data-data yang diminta Jisung segera. Wanita itu membawa setumpuk dokumen yang kelihatannya berat, jadi Daniel membantunya membawa dokumen-dokumen itu dan menumpuknya rapi di atas mesin fotokopi yang tidak dipakai. Daniel tersenyum, "Tuntutan atasan, eh? Banyak sekali yang harus difotokopi."

Areum tertawa. "Kamu juga?" balasnya penuh canda. "Omong-omong, kamu keren sekali membantuku, mungkin aku akan jatuh cinta kalau tidak terikat dengan calon suamiku."

"Oh, ya?" tanggap Daniel tertawa ringan. Dia menekan beberapa tombol di mesin dan mesin itu mulai menggerung, memuntahkan data yang disalin ulang. "Aku nggak merasa sekeren itu. Selamat atas pernikahannya, omong-omong."

"Oh—ya, ya," jawab Areum. "Terima kasih, Daniel. Kamu akan datang kan?"

Jemari Daniel mengetuk-ngetuk mesin dengan ringan. "Sebenarnya kalau soal itu aku pasti datang, hanya aku tidak tahu bisa ikut acara makan malamnya, tidak kalau pacarku tidak ikut. Dan aku pulang malam artinya aku dikunci di luar semalaman," terang Daniel, tertawa kecil mengingat satu momen dia pulang telat tanpa SMS dan Seongwoo berakhir ngambek karena dia khawatir setengah mati.

"Pacarmu?" tanya Areum, mata berkilau agak merasa kagum. "Ternyata sangat perhatian, ya. Kalau begitu bukannya sudah di level pasangan menikah?"

Untuk sejenak Daniel hanya tersenyum simpul karena dia tidak tahu itu pujian atau ejekan. "Memang bawel kalau sudah menyangkut kesehatan dan keselamatan," ujar Daniel. "Tapi menyangkut dirinya sendiri masih ceroboh sekali."

Areum menggumam. Kini data-data Daniel sudah lengkap dan dia bergegas merapikan datanya. Dia baru saja mau membantu Areum, tapi tangan Areum menghentikannya. Wanita itu tertawa. "Nggak usah," tolaknya halus sambil tertawa. "Aku bisa sendiri, kok. Omong-omong kamu ini orangnya baik sekali ya, tak heran pacarmu itu protektif, atasanmu juga sepertinya ingin mengomel."

Heran, Daniel menatap Areum kebingungan. Areum tersenyum simpul, mengendikkan dagunya menuju ambang pintu. Jisung berdiri di sana, berkacak pinggang. Daniel mengerang, jelas lupa dia seharusnya buru-buru. Areum tertawa melihat Daniel kelabakan, mengumpulkan data buru-buru, pamit padanya dan mengikuti Jisung—lelaki itu sibuk mengomel betapa lamanya waktu yang dibutuhkan Daniel untuk balik.


Seongwoo sudah pulang ketika Daniel membuka kunci apartemen dan melepas sepatu di beranda rumah. Lelaki itu ingat ada anak kecil dan tidak berbuat berlebihan selama Woojin masih bangun, dan menempel kepada Daniel sesudah anak itu masuk ke kamarnya. Di ruang tengah gelap, hanya cahaya dari remang-remang televisi yang dinyalakan dengan volume nol. Seongwoo duduk pada Daniel, punggung kepada dada, tangan pada tangan.

"Seongwoo," Daniel memulai, suaranya pelan teredam bahu Seongwoo. "Temanku ada pernikahan akhir pekan. Tanggal dua puluh delapan, resepsinya dari sore sampai malam. Menurutmu kamu bisa datang nggak?"

"Sebagai pacar?" tanya Seongwoo.

Suara tawa Daniel menggema di ruangan itu. Kemudian dia mengecup tengkuk Seongwoo, membuat sang lelaki bergidik—hasil akhir menggeplak paha Daniel sebagai peringatan; jangan coba-coba. "Terus kamu maunya dateng sebagai apa?"

"Ibumu," Seongwoo asal bunyi. Daniel mencubit pinggangnya sebal. "Aduh! Cuma bercanda, kok."

"Datanglah sebagai pacar," kata Daniel, tangan erat di pinggang Seongwoo, mengecup pipinya yang berkonstelasi. "Aku ingin ngenalin kamu ke rekan kerjaku."

"Kamu tau kan homofobik di sini masih tinggi," jawab Seongwoo pelan.

Badan Seongwoo berbalik sehingga dia duduk di pangkuan Daniel sambil menghadapnya. Daniel tersenyum simpul, tidak mengatakan apa-apa. Dia seperti sedang memproses harus mengatakan apa sambil menggenggam tangan Seongwoo. "Kamu belum siap?"

Gelengan. Daniel menggumam mengerti. "Temani aku saja, aku nggak mau datang sendirian ke undangan temanku."

"Woojin gimana? Kita tinggal sampe malem? Kasian dia di rumah sendirian."

"Ayahku ada rencana datang ke sini, sayang. Woojin boleh kok ikut menginap di rumah bibi selama sehari satu malam, lalu esoknya langsung pulang diantar ayah." jelas Daniel.

Seongwoo setuju. Dia memeluk leher Daniel, seperti meminta maaf. Daniel mengeratkan pelukannya sebagai balasan, menepuk-nepuk punggung sebagai tanda menenangkan. "Jangan memaksakan diri kalau memang kamu tidak nyaman," katanya. Daniel tersenyum pada Seongwoo, dan Seongwoo mencium bibirnya.

Badan Seongwoo jatuh telentang melawan permukaan sofa. Tiba-tiba saja, suasana jadi panas, kemeja Seongwoo melorot, atasan Daniel tanggal, Daniel jadi bernafsu menindih Seongwoo di sofa. Seongwoo merengek, tapi memberikan lehernya untuk dicium Daniel. "Di sofa? Seriusan, Daniel?"

"Kenapa," kata Daniel, nafasnya memburu. "Kamu seksi, babe, imagining your face whining, holding onto the couch while I spread you and fuc—"

"Shut." Mulut Daniel dibekap. "Up." Itu Seongwoo dengan muka mengancamnya. Dari dulu dia bukan fans dari dirty talk-nya Daniel yang dikatakan dengan lantang alih-alih dibisikkan secara sensual. Alias, dirty talk khas orang yang besar di Kanada selama masa remajanya—pakai bahasa Inggris—tapi Seongwoo bakal bohong kalau dia bilang dia tidak menikmatinya sama sekali. "Bawa aku ke kamar dulu, tidak lucu kalau Woojin bangun."

Daniel menyeringai. "Maksudnya aku boleh melanjutkan di kamar, babe?"

Tubuh Seongwoo diangkat seraya lelaki itu mengambil langkah lebar-lebar menuju kamar. Seongwoo sudah pasrah, tungkai mengelilingi pinggang pacarnya dan tangan memeluk bahu Daniel, wajah terbenam di tulang selangkanya. Daniel tidak lupa mengunci pintu yang menutup di belakangnya dan meletakkan Seongwoo di ranjang.

Dia menyeringai beringas. "Kita mulai?"

Seongwoo tersenyum pasrah diantara ciumannya dengan Daniel. Dia hanya berharap semoga Woojin tidak terbangun tengah malam.


"Aku nggak percaya kamu bisa kasar," Seongwoo mengeluh dari ranjang, tubuh telanjang dipenuhi bekas lebam keunguan. Daniel tertawa sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk, gigi kelinci muncul memberi kesan lucu. Seongwoo jadi tidak percaya, benar ini Daniel yang menggeram di atasnya tadi malam?

Seongwoo cemberut. Dia menyesap teh bikinan Daniel dari meja nakas. "Hari ini kamu pulang malam?"

"Nggak, aku pulang sore," jawab Daniel, menatap Seongwoo melalui cermin sambil mengancingi kemejanya. "Kenapa, kamu nggak bisa jemput Woojin?"

"Bukan, cuma—" Seongwoo terpotong, berdeham. "Hari ini aku pulang pagi. Kamu mau dimasakin apa?"

Untuk sesaat, Daniel terdiam. Matanya membulat, menatap pada figur Seongwoo masih melalui cermin. Kemudian lelaki itu tertawa pelan. Dia bersenandung pelan sambil mengikat dasi, seperti memikirkan mau dimasakkan apa. "Kalau begini, kita sudah di tingkat pasangan menikah, belum sih?" gumam Daniel tanpa ada niat untuk membicarakannya lantang.

"Apa?" tanya Seongwoo, tidak menangkap kalimat lengkapnya. Daniel membalikkan badan dan menghampiri lelaki itu. Sekarang Seongwoo menatap Daniel sebal karena tidak dijawab. "Tadi kamu bilang apa?"

"Kare, sayang, kare," ujar Daniel, mengecup puncak kepala Seongwoo. "Masakkan kare, sudah lama aku nggak makan kare."

Kini Seongwoo terlihat sedikit lebih jinak meski tatapannya masih sebal (setengah tersipu). "Tadi kalimatnya lebih panjang dari sekedar kata kare saja."

"Dimasak dengan cintamu." tambah Daniel, tertawa lepas. Dia tidak lupa mencuri ciuman singkat dari bibir pacarnya sebelum menggumam, "Aku berangkat duluan!" dengan riang.


Hari pernikahan Areum akhirnya tiba. Daniel dan Seongwoo datang menggunakan setelan tuksedo senada tepat pada waktunya. Sewaktu Daniel berjalan masuk, teman-temannya langsung mengerubunginya dan mengajaknya berbicara. Jadilah Daniel tebar senyum kemana-mana, sibuk bercanda dan mengobrol sementara Seongwoo berdiri canggung selayaknya tamu yang salah undangan. Bukannya Seongwoo tidak pandai bergaul, tapi hadirin bervarian dari yang tua sampai muda—Seongwoo kelabakan.

Dia duduk di kursi di samping Daniel, agak menjarak karena lelaki itu sedang berdiri dikelilingi empat sampai lima orang dewasa yang mengajaknya berbicara. Raut muka Seongwoo bengong, dia benar-benar tidak tahu mau ngapain. Makanan yang terhidang kelihatan lezat, tapi Daniel akan bingung kalau dia tiba-tiba hilang. Daniel juga sedang tidak di dalam posisi dimana Seongwoo bisa menyela pembicaraan mereka. Jadilah dia duduk seperti anak hilang.

Tiba-tiba, telinganya disentuh sekilas. Seongwoo mendongak mendapati Daniel menyentuh telinganya, menepuk kepalanya menghibur meski sang lelaki masih sibuk berbicara. Pada akhir mereka bertatapan, Daniel tersenyum minta maaf, bibir bergerak mengatakan 'sebentar, ya' tanpa suara. Seongwoo memalingkan kepala, tetapi dia membiarkan Daniel memainkan telinganya untuk sebentar lagi.

Menepati janjinya, tak lama gerombolan itu bubar dan Daniel mengisyarat kepada Seongwoo untuk ikut padanya. Seongwoo bangkit dari kursi dan mengikuti Daniel, "Apa-apaan itu?" tanyanya, dan ketika Daniel balas bertanya, Seongwoo menjawab, "Menyentuh telingaku."

"Aku nggak mungkin membiarkan pacarku menunggu kelamaan, kan?" kata Daniel pelan sambil tersenyum seraya mereka mengantri mengambil makanan. "Kali saja kamu ngambek, jadi kuhibur."

"Aku nggak ngambek."

"Kan aku bilang kali." timpal Daniel, menyendok pastry ke piringnya dan meletakkan beberapa ke piring Seongwoo yang ada di belakangnya. "Mau selai?" kemudian Daniel memberi Seongwoo selai sebelum Seongwoo menjawab—sudah tahu jawabannya duluan.

Seongwoo merengut. Daniel tertawa, menepuk pipinya ringan.

Tiba juga di tengah-tengah acara, dimana seharusnya ada acara pelemparan buket bunga kepada wanita yang masih single. Daniel kira begitu, tapi ternyata polanya berbeda. Areum memegang buket berisi lima puluh bunga palsu dari untaian sutra berbagai warna, dan pembawa acara mengumumkan bunga itu akan diberikan kepada orang yang diharap sesegera mungkin akan menyusul langkah mereka.

"Jadi bunga itu akan diberikan kepada orang yang diharap akan menikah?" kata Seongwoo di sampingnya. Mereka berdiri di sudut ruangan, agak terjarak dengan orang lain. "Menarik juga idenya. Lebih baik dari acara lempar buket bunga."

Daniel mengangguk, merasa setuju. "Tentu saja, dengan begitu nggak ada orang yang cedera karena saling dorong karena berebut buket."

Ruangan menjadi riuh karena Areum dan suaminya mulai turun, masing-masing memegang buket bunga untuk memberikannya kepada orang-orang yang mereka harap akan segera menikah. Daniel nyengir melihat Hana—rekan kerjanya—diberikan bunga, wajah gadis itu memerah menahan tangis haru. Semakin riuh lagi tawa dan sorakan menggoda ketika ada pasangan yang berciuman ketika bunga diberikan kepada salah satu dari mereka.

Tiba-tiba saja, tawa Seongwoo memelan. Daniel tidak sadar, tapi ketika Seongwoo menyenggolnya pelan, dia melihat Areum berjalan ke arah mereka. Sekuntum gardenia yang dirangkai dari sutra diberikan kepada Seongwoo dari Areum sambil tersenyum tenang. Gestur tubuh Seongwoo berubah kikuk. "Eh, tapi aku laki-laki..."

"Apa maksudmu, tuan," jawab Areum sambil tertawa. "Bunga ini untuk siapa saja. Ambillah."

Seongwoo menerimanya dengan kikuk sambil tersenyum malu. Areum melanjutkan, "Bunga gardenia artinya cinta yang terpendam." Wanita itu mendekati Seongwoo, menjabat tangannya. "Semoga kamu cepat menyusul dengan pacarmu!"

Bibir Seongwoo rapat membentuk senyum. "Terima kasih, Areum. Semoga kamu bahagia dengan hidup barumu."

"Eh, aku nggak dapat?" rengek Daniel dari sebelah Seongwoo. Areum mendelik padanya jenaka, "Nanti yang lain kehabisan, Daniel."

Dengan itu, Areum pamit memberikan bunga ke orang lain. Daniel menoleh kepada Seongwoo yang memegang bunga gardenia sambil mengerutkan alis "Menurutmu dia sengaja tidak memberikan bunga padamu? Apa maksudnya Areum tahu tentang hubungan kita?" tanya Seongwoo.

"Kenapa sih kamu peduli," kata Daniel pelan. "Kalau mereka tahu, ya sudah. Kita pacaran dan bukan urusan mereka, ini urusan kita." Hening sebentar. Daniel tertawa, mengangkat tangan Seongwoo yang memegang bunga—memperhatikan bunga itu. "Cinta terpendam, ya?"

Tiba-tiba dengan agresif dan cepat Daniel mencium bibirnya. Seongwoo kaget, mendorong tubuh Daniel refleks. Mereka masih di hadapan umum. "Apa-apaan, sih, Daniel!" Mukanya merah.

"Seongwoo," kata Daniel, dia memegangi badan Seongwoo supaya lelaki itu tidak menjauh. Seongwoo kalah kuat—dia mengalah badannya dicengkram Daniel. "Saking frustasinya, aku bisa gila karena mikirin kamu terus. Aku sayang sama kamu. Kita—" Daniel berhenti, menatap manik kelam Seongwoo. "Ayo kita menikah."

"Aku harus gimana kalo kamu ngomongnya sehabis cium aku di hadapan umum, hah?" kata Seongwoo kepada Daniel, nadanya marah. Seongwoo memalingkan muka dari Daniel, mengusap bibirnya. "Aku pulang duluan."

Daniel mengejarnya dan menangkap tangan Seongwoo. "Kenapa kamu jadi marah begini?"

Bibir Seongwoo ditekan menjadi garis tipis. Mata lelaki itu berkaca-kaca di bawah lampu lobi resepsi. Seongwoo menepis tangannya. "Kita sudah janji untuk datang sebagai teman. Kembalilah ke ruang resepsi, nggak enak dengan Areum kalau kamu pergi."

"Lalu kamu pulang sendirian?" tanya Daniel, nadanya heran. "Aku bisa telepon Areum nanti-nanti. Kalau kamu mau pulang, ayo."

Daniel menarik tangan Seongwoo, tetapi lelaki itu menolak berjalan. Daniel menoleh, tatapan matanya serius. Dia tidak sedang dalam mode diajak negoisasi. "Dengar aku. Sekarang sudah malam, dan aku nggak mau kamu tersandung masalah apapun itu malam-malam kalau kamu pergi sendiri. Sekarang kamu pilih—tinggal di sini atau pulang?"

Setelah beberapa saat hening, akhirnya Seongwoo menyerah, mengikuti tarikan Daniel dengan langkah terpaksa.

Perjalanan menuju rumah diselingi suasana hening yang mencekam. Kereta pada saat itu sepi, sehingga Seongwoo sengaja menjarak diri dari Daniel. Daniel membiarkannya, Seongwoo butuh waktu untuk menenangkan diri. Berlaku sama juga untuknya. Ketika kereta sampai di area apartemen mereka, Seongwoo turun duluan, diikuti Daniel berjalan di belakang Seongwoo.

Pintu apartemen menjeblak terbuka menunjukkan ruangan yang gelap dan hawa dingin. Pemanas belum dinyalakan. Seongwoo langsung berjalan ke dalam kamarnya dan menutup pintu. Daniel mendesah—kenapa bisa jadi begini akhirnya? Dia berganti baju dengan baju rumah dan mulai bebersih diri. Daniel mengharapkan Seongwoo keluar, tapi nyatanya pintu kamar Seongwoo tidak terbuka barang seincipun.

Dia mengetuk pintu kamar Seongwoo. "Seongwoo," panggil Daniel, tahu kalau di dalam Seongwoo mendengarnya diam-diam. "Baiklah, malam ini kita akan tidur saja. Tapi besok," kata Daniel, "Besok kita harus bicara tentang ini."


"Kenapa kamu tiba-tiba marah?"

Daniel menghela nafas menyadari Seongwoo menghindari tatapannya untuk kesekian kali. Ruang makan lengang, hanya diisi dengan mereka berdua yang duduk saling berhadapan. Teh seduhan Daniel terasa dingin dan super pahit hari ini. "Aku tanya kenapa kamu marah."

"Kamu menciumku. Di depan umum sebagai catatan tambahan." gumam Seongwoo, menyesap tehnya sedikit.

Daniel mengusap wajahnya frustasi. "Seongwoo, itu bukan masalah utamanya. Kita—"

"Kita di awal sudah berjanji untuk datang sebagai teman!" sambar Seongwoo gusar, raut mukanya memerah padam. "Tidak ada kontrak berciuman dan melamar di dalam hubungan teman, Daniel."

"Aku—kita pacaran, Seongwoo," balas Daniel lelah. "Aku tahu kamu takut terhadap pandangan mata kaum homofobik, tapi kamu keterlaluan di sini. Posisinya kita hanya pura-pura menjadi teman, Seongwoo. Di dunia asli, nyatanya, aku pacarmu. Lagipula saat itu kita sedang berdiri di sudut ruangan. Tidak ada yang melihat. Semuanya terfokus pada Areum dan suaminya. Berhentilah menghindari topik, kamu tahu masalah sebenarnya di mana."

Seongwoo terdiam dan Daniel menatapnya. Keduanya tahu topik yang sedang mereka tuju. Lamaran Daniel yang berakhir surut di ujung tanduk. "Kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku malam itu?" tanya Daniel, dalam hati meringis melihat tubuh Seongwoo menjadi kaku.

"...Daniel," Seongwoo mendongak, mata berkaca-kaca memohon. "Jangan sekarang. Kumohon. Jangan sekarang."

"Kapan?" tanya Daniel cepat, mukanya sedih. "Kapan kalau kamu bilang begitu terus, Seongwoo? Makin lama, semakin aku merasa kita berjalan di atas seutas tali. Semakin berbahaya. Kenapa kamu nggak pernah berani menjawabnya, Seongwoo?"

"Kamu bisa cari pengganti yang lain kalau kamu merasa nggak suka," gumam Seongwoo pelan. "Kulihat kamu punya banyak kenalan, pasti tak sedikit yang mau menikah denganmu, Daniel."

"Kenapa kamu malah berbicara berputar-putar, sekarang?!" Daniel akhirnya meledak, intonasinya naik drastis dan dia menyalak. "Kenapa kamu takut sekali, Seongwoo? Ingatkan aku hubungan itu dijalani dengan adanya dua orang, bukan hanya satu orang. Kenapa kamu takut sekali membicarakan pernikahan, mengetahui kamu tidak akan sendiri menjalani pernikahan itu?!"

"Karena orang tuaku!" hardik Seongwoo, sama emosinya dengan Daniel. "Karena ayahku mengharapkan aku akan menikah dengan perempuan, bukan laki-laki. Bukan kamu, Daniel! Aku setiap hari berharap bahwa aku bisa pulang, disambut senyum kedua orang tuaku. Berharap semoga mereka mau memaafkanku—meskipun aku sendiri tidak yakin salahku apa."

Air mata menetes dari mata Seongwoo, seraya lelaki itu mengusap air matanya marah. "Bukan aku yang meminta diperkosa. Bukan aku yang meminta nuna dan suaminya meninggal sehingga Woojin diserahkan kepadaku. Lantas kenapa aku yang dibenci, Daniel? Kenapa malah aku yang ditatap sebegitu bencinya oleh ayahku sendiri. Dan kau melamarku sekarang, kau bayangkan seberapa benci ayahku kepadaku ketika waktu itu tiba!"

Kini Daniel terpaku, menatap Seongwoo yang terengah-engah, pipi dibasahi jejak air mata. Suara langkah kaki terdengar, keduanya menoleh ke arah ayah Daniel yang berjalan masuk dengan raut muka tegas. "Kenapa kalian saling menghardik di pagi-pagi ini sehingga terdengar sampai ke depan? Woojin sedang menunggu di luar, kenapa kalian membuatnya gelisah ketika di sisi lain kalian harus membuatnya merasa aman?" tegur tuan Kang.

Seongwoo yang tadinya bangkit menjatuhkan diri kembali ke kursi meja makan dan membenamkan muka di tangannya. Daniel sendiri menatap cangkir teh yang sepenuhnya sudah dingin dan tidak enak, memainkan lidah di dalam mulut. Dia tidak tahu harus bagaimana—mereka jelas tidak bisa berpura-pura semuanya baik-baik saja.

"Nak," Daniel mendongak mendengar ayahnya berkata. Tapi bukan dia yang dipanggil, itu Seongwoo yang bahunya disentuh pelan. "Seongwoo. Bagaimana kalau kita ke Busan untuk beberapa hari?"

Terkejut. Daniel hendak protes, tapi ayahnya mengirim sorot mata yang tidak bisa dibantah. Alhasil lelaki itu terdiam, menonton Seongwoo yang perlahan bangkit dari posisi menelungkupnya. Tuan Kang tersenyum. "Bagaimana? Kau mau ikut ke Busan? Kalau mau, lekas bergegas mengepak bajumu."


Seongwoo berakhir mengepak barang-barangnya untuk jangka waktu beberapa hari. Daniel hanya menonton dalam diam, tahu posisinya tidak akan bisa mencegah keputusan lelaki itu. Tuan Kang menunggu Seongwoo di beranda depan rumah, bersama dengan Woojin.

"Telepon aku kalau ada apa-apa," kata Daniel pada akhirnya ketika Seongwoo bersiap-siap untuk pergi. Seongwoo menatap Daniel balik dengan mata bengkak sehabis menangis, mengangguk pelan. "Hati-hati di jalan. Ayah, hati-hati juga."

Mereka berjalan menuju lift dan Daniel menonton sampai lift tertutup kembali—angka digital menunjukkan mereka sudah turun dari lantai apartemen mereka ke lantai dasar. Daniel menghela nafas, mengusap kepala Woojin. Woojin balas menatap kepada Daniel, Rooney erat dipelukannya. Mereka masuk ke dalam apartemen—kini berkesan lebih kosong, lebih sepi, tidak ada Seongwoo.

Daniel membiarkan Woojin duduk di pangkuannya di ruang tengah. Lelaki itu menonton bagaimana caranya Woojin ingin berbicara, tapi beberapa kali batal, berakhir membenamkan kepala di dada Daniel. Sang papa tersenyum tipis, mengusap rambutnya. "Mau ngomong apa?"

"Woo... Woojin lihat mata mama bengkak," kata Woojin pelan. "Mama berantem sama papa?"

Bibir Daniel menipis. Beberapa kali dia membuka mulut, menutupnya kembali berusaha memproses kalimat yang tidak akan membuat anak itu terluka. Kelebatan Seongwoo menangis kembali di kepalanya. "Semua orang pernah berselisih paham, Woojin."

"Mama," Suara Woojin tercekat, "Mama bakal pulang kan?"

"Tentu saja, sayang," jawab Daniel langsung, pasti. Dia bergegas memeluk Woojin erat dan mengusap kepalanya penuh hibur. "Mama pasti pulang. Dia pasti pulang."

Di kejauhan, Rooney dan Peter bergelung—menonton dengan tenang dan mengeong lirih sampai sore datang. Mereka melompat mengelilingi Woojin dan Daniel. Seperti ingin menghibur keduanya.


Seongwoo kedapatan melamun untuk kesekian kalinya. Tuan Kang tersenyum, menyodorkan segelas teh hangat dan toples kudapan ke hadapannya. Seongwoo terbangun dari lamunan, tersenyum, bau amis laut menguar di bawah hidungnya.

Dua hari sejak pertengkarannya dengan Daniel. Seongwoo lebih menghabiskan waktu di rumah Tuan Kang, tidak berniat membabat Busan dengan segala kekotaannya. Bila keluar pun, biasanya dia hanya berjalan keliling pesisir pantai beberapa menit lalu kembali lagi. Seongwoo tidak pernah menyesal pergi ke Busan, aroma garam laut selalu berhasil menangkan pikirannya.

Rumah Daniel hangat dan sederhana. Seongwoo suka duduk di teras depan, menatap jalan yang kadang-kadang riuh orang, kadang-kadang sepi tenang. Tuan Kang menemaninya sambil menyesap kopi atau teh. Kali ini, Tuan Kang datang membawa album tebal.

"Album foto," jawab Tuan Kang sebelum Seongwoo sempat bertanya. "Ini album foto masa kecilnya Daniel."

Seongwoo terperanjat, tangan ragu-ragu membuka halaman demi halaman album itu. Ada banyak sekali foto-foto yang sudah memudar dan menguning, kebanyakan foto seorang bocah. Itu Daniel kecil. Daniel sedang makan. Daniel sedang tersenyum sambil bermain sepeda. Daniel sedang berlarian. Sedang berpose di kebun. Lama-lama, bibir Seongwoo tertarik menuju senyum lembut.

Tuan Kang berdehem. "Dari dulu anak itu sudah sangat periang, jadi tidak heran kau jarang menemukan fotonya sedang menangis."

"Dia memang jarang menangis," akui Seongwoo, tangan membolak-balikkan halaman album.

"Bagaimana perlakuan Daniel kepadamu, nak?"

Tangan Seongwoo berhenti. Dia menoleh kepada Tuan Kang, yang tersenyum mengharapkan balasan darinya. Melihat itu, Seongwoo meneguk ludah, mengangguk pelan. "Baik, tuan."

"Sudah kubilang panggil aku ayah saja."

Nyengir canggung. Dia lupa. Seongwoo mengangguk lagi. "Baik, yah. Dia lembut. Pengertian, bisa menangani rewel anakku dengan baik. Dia juga rajin menyelesaikan kuliahnya sehingga cepat lulus."

Tuan Kang mengangguk mengerti sambil menggumam. Kemudian lelaki paruh baya itu tersenyum, mengalih kepada Seongwoo. "Daniel bilang apa soal pernikahan?"

"Dia bilang dia ingin menikah. Dia tidak bilang apa-apa lagi selain itu." jawab Seongwoo pelan.

"Lalu jawabanmu?"

Hening sebentar. Seongwoo menatap jalanan yang kini kosong, berpikir bagaimana cara menjawab. "Saya belum siap, jadi saya bilang tidak—nanti. Orang tua saya tertutup soal Daniel dan Woojin."

"Nak," kata Tuan Kang pada akhirnya, senyum tak pernah lepas dari bibir. "Sebenarnya begini. Aku tak akan berkata banyak, tapi kapanpun kamu merasa sakit hati, kapanpun kamu merasa diasingkan oleh keluargamu, aku siap untuk menjadi ayahmu. Aku siap melindungimu. Kupikir itu yang paling pantas untuk menebus perlakuanku ke Daniel beberapa waktu lalu."

Diam total. Seongwoo tercekok, bisu menatap Tuan Kang yang balas tersenyum hangat kepadanya. Matanya memanas. Benar, mungkin ini yang selama ini dia dambakan—kasih sayang dari ayahnya. Ini yang dia inginkan sejak dulu. Ketika Seongwoo ingin berbicara, ponselnya bergetar. Tuan Kang mengendikkan dagu, menyuruhnya mengangkat panggilan. "Angkatlah dulu, baru kita berbicara setelah itu."

Maka Seongwoo pamit, melipir masuk dan makin tercekat melihat ID yang meneleponnya. Buru-buru dia mengangkatnya. "Halo." Suaranya bergetar.

"Halo." Daniel, itu Daniel. Terpisah berapalah itu kilometer, Seongwoo bisa merasakan nada khawatir di kalimat Daniel. "Seongwoo. Kenapa suaramu begitu? Ada apa?"

Dia secara impulsif menggeleng. Dalam hati, Seongwoo memarahi dirinya sendiri karena membiarkan suaranya bergetar. "Nggak apa-apa. Kenapa telepon?"

Untuk beberapa detik, diam. Suara Daniel pelan, tenang, dan pasti, menggema di dalam telinganya. "Nggak apa-apa. Aku cuma mau ngecek kabar. Aku kangen. Woojin juga."

Dari belakang telepon, samar-samar Seongwoo bisa mendengar suara Woojin berteriak "Kangen!" dan eongan dua kucingnya, Rooney dan Peter.

Di sisi lain, Tuan Kang tenang menyerup tehnya. Ketika Seongwoo datang kembali ke teras, terburu-buru, mata berkaca-kaca berlapis air mata, menggumamkan kalimat buru-buru "Aku harus pulang sekarang," dia hanya bisa mengangguk sambil tersenyum. Tuan Kang menepuk pundak Seongwoo, memeluknya hangat dan memintanya untuk hati-hati sampai di Seoul, sering-sering main ke Busan. Sambil menonton taksi Seongwoo menjauh, Tuan Kang menyeruput tehnya lagi, tersenyum.

Memang saat itu senja yang indah.


Daniel sedang makan malam dengan Woojin ketika mendengar suara bel berdering di pintu apartemennya. Rooney dan Peter melompat, mengeong-ngeong tidak suka karena si bel berbunyi tingtongtingtongtingtong non stop tanda si pendatang tidak sabaran.

"Siapa?" tanya Woojin, mengikuti Daniel ke beranda depan.

Daniel mengangkat bahu. Monitor sedang mati, belum diperbaiki. Dia membuka pintu. Pintu yang awalnya hanya niat terbuka secelah—tiba-tiba menjeblak terbuka dengan seorang Ong Seongwoo yang menerjang Daniel hingga keduanya terjatuh terjengkang ke belakang, kucing berlarian mengeong kaget dan Woojin memekik.

Woojin kaget. Daniel apalagi. Seongwoo memeluk Daniel erat, air mata mengalir turun dari matanya. Bukan air mata sedih, hanya air mata rindu. "Maaf. Aku cinta kamu. Aku juga mau menikah denganmu. Ayo kita menikah."


(epilog)

Daniel menghembuskan nafas kasar. Duh, panas. Kereta penuh sesak oleh orang-orang yang mau pulang kerja. Musim panas di Korea tidak pernah bersahabat dengannya. Woojin di sampingnya ikut-ikutan mengeluh. Daniel tersenyum iseng. "Ingat nggak sih kamu, waktu kamu masih kecil digendong mamamu karena kamu kependekan, mamamu takut kamu kegencet orang?"

Woojin mengeluh karena ini bukan kali pertama Daniel menggodanya. Dia hanya mengangguk malas, "Ingat, kok. Yang bagian papa ngebawain tasnya mama juga ingat." Giliran Daniel yang terkejut, tertawa kaget. Kereta sampai di stasiun tertentu, mereka akhirnya turun.

Woojin sudah kelas satu SMP. Rooney dan Peter masih sehat, bedanya hanya mereka lebih memilih berjemur dan bergelung malas daripada melompat-lompat di masa mereka masih muda. Daniel sudah menjadi senior di kantornya. Lalu, Seongwoo?

Berjalan hingga ke depan rumah, Daniel membiarkan Woojin membukakan kunci apartemen untuk mereka. Keduanya mengucapkan salam bersamaan, tersenyum begitu melihat apartemen sudah terang benderang dengan bunyi kelontang alat masak dari dapur. Bau harum makanan menguar.

"Kalian sudah pulang," sambut Seongwoo, memakai apron hitam keluar dari dapur.

Seongwoo masih tetap bekerja. Masih tetap menawan. Masih tetap mencintainya. Seiring Daniel melangkah mendekat kepada Seongwoo, mengecup bibirnya ringan sebagai tanda; aku pulang, mengabaikan desis peringatan dari Woojin; 'terlalu banyak mesra-mesraan,', menggenggam tangannya yang kini melingkar cincin pernikahan di jari manis.

Daniel tidak pernah merasa sebahagia ini ketika pulang ke rumah. Ke rumahnya.


Author's Note:

- yeah, ini finalnya... thank you so much mwa mwa mwa :* terima kasih buat kata-kata penyemangatnya. kalian bilang cerita ini realistis, itu sungguh sanjungan besar buatku. buat yang bela-belain review panjang-panjang, saran, kritik, aku janji akan kambek dengan karya yang lebih bagus lagi untuk kalian semua~

- wanna one belum mulai debut, tapi aku udah nervous akan desember 2018 hahahahah. mari jalan di satu flowery path selama wanna one masih eksis, dan mari kita tetap mendukung perkembangan mereka meski nantinya kita harus berhenti, jalan itu harus dibelah menjadi beberapa cabang untuk mereka berjalan dengan teman yang baru. jangan lupa dukung trainee lainnya, i'm so excited for jbj dan samuel dan bnm boys dan the east light dan masih banyak lagi.