Ia baru kalah ketika ia menitikkan air mata.

Oleh karenanya, apapun yang terjadi, Antonio tidak akan membiarkan likuid hangat meluncur di atas kedua pipinya yang kini penuh lebam dan goresan hantam.

"Kau sangat berbeda, Willem!" ucap Antonio serak, masih dengan senyum lebar di wajah, "―kau sungguh menjadi lebih kuat. Sangat kuat. Kurasa aku harus berbangga?"

Representasi negara lain dengan skraf biru bergaris putih di depannya hanya membeku di tempat, tidak bergeming ataupun kembali membanting.

Willem mengerjapkan mata tak lama setelahnya, "Bagaimana bisa kau masih sangat riang, tolol?' tanyanya gusar.

Apa Antonio menganggap apapun yang ia lakukan sekarang sama sekali tidak ada artinya?

"Ahaha," tawa Antonio pelan, "kukira kau akan senang melihatnya. Apakah aku sekiranya harus memasang ekspresi sedih?"

Pertanyaan yang bernada antisatir, tapi terdengar getir. Barangkali itu bisa menyakiti hati seseorang, meski hanya sebagian kecil―

―nyatanya itu menghancurkan hati Willem jauh di dalam. Pemuda berambut pirang yang kala itu belum terlalu diatur ke atas meluncurkan kedua manik matanya ke bawah.

Seseorang tempat ia bersembunyi dulu. Willem tidak ingin mata mereka bertemu, karena ia pasti akan jatuh lagi.

Di balik kedua mata klorofil indah yang terlihat naif itu, terbuka tirai merah penuh jejak darah dan luka. Willem tidak perlu merasakannya langsung. Ia sudah pernah melihatnya dengan mata kepalanya sendiri.

Tapi sesungguhnya― ia bukan siapa-siapa tanpa Antonio. Ia hanya anak semesta, dunia tidak berputar kepadanya. Ia hanya debu di kaki bumi, tidak punya nama dan bertanah sunyi. Ia hanya padang berenda bunga putih, sesungguhnya yang ada hanya perisai ringkih.

"Ini hal yang kauimpikan, bukan?"

Deru napas dan rentet kalimat menyapa Willem dari lamunannya. Ia mendengarkan, ia tidak menjawab.

"Kalau begitu, mengapa kau masih disini?" Antonio tersenyum tanpa beban, seakan-akan memindahkan semua berat di kedua bahunya untuk menyerang pikiran Willem.

"Apa kau takut untuk pergi?" tanya pemuda bermata inosen itu, "Apa Willem kecilku sesungguhnya ingin tetap bersamaku?"

"... kau brengsek―" Willem menggertakan giginya, mengangkat pedangnya yang dikotori bercak merah tinggi-tinggi.

"Pergilah."

Antonio tidak bangkit dari tanahnya; yang mana berlukis jejak berdarah dan luka amarah; menoreh catatan baru dalam buku besar sejarah.

Ia terbata, "Bukankah itu yang kau mau, Holanda?" senyumnya.

Pemuda pirang yang bertubuh besar itu menatapnya kosong. Pedang ia hunuskan kedua kali di depan kelereng peridot Kekaisaran Spanyol itu.

"Antonio― kau tidak melarangku?" tanya Willem monoton, matanya menerjun pandang pada sosok yang dulu tempat ia merasa hangat.

"Sebegitu tak berharganya aku untukmu?"

"Apa selama ini memang benar kau hanya ingin mengambil apa yang kupunya? Apa kau sama sekali tidak sedikitpun berpikir tentang perasaanku?" Willem menjatuhkan pedangnya; bersandingan dengan rosario Antonio yang berbaring di bawah terik raja siang.

Sungging manis Antonio menjadi pahit di bibir, menghilang begitu saja. Mantan koloninya masih menunggu jawaban; maka biarkan ia membunyi alunan―

"Siapa gerangan diriku untuk melarangmu, sekarang?"

―dan punggung personfikasi Republik Tujuh Provinsi itu tak pernah Antonio lihat lagi.

(Ketika Willem menghilang tak kembali, Antonio runtuh dalam tangisan musikali,

kehilangan seseorang dari hidupnya tak pernah menghancurkannya seperti ini.

"Willem, tolong kembali. Aku mohon.")