Disclaimer © Masashi Kishimoto
.
.
.
Senyum Sasuke merekah melihat pemandangan yang menurutnya terindah di dunia terhampar didepannya. Lautan luas dengan siluet sunset yang berpendar jingga diujung horizon. Tapi bukan itu yang menjadi pusat perhatiannya, melainkan sosok berambut pink yang sedang berjongkok mengamati entah apa. Sakura. Gadis kesayangannya itu terlihat menakjubkan saat menyelipkan anak rambutnya yang dipermainkan angin ke belakang telinga.
Jika kali ini Shikamaru mengatakan jika cintanya adalah cinta monyet, Sasuke akan meninju wajah pria nanas itu. Faktanya enam tahun telah berlalu sejak mereka lulus SMA dan Sasuke justru semakin mencintai gadis itu.
"Sasuke-kun..." Sasuke bahkan mencandu pada suara indah Sakura. Senyum mengiringi setiap langkahnya yang mendekat pada gadis itu. "Lihat kerang ini warnanya cantik..." Ucap Sakura ceria.
"Hn." Sasuke memperhatikan kerang dengan warna merah yang semakin pudar ke arah pangkal. Perhatiannya kembali ke wajah Sakura yang berseri mengagumi rumah binatang laut yang penghuninya sudah ke alam lain itu. "Kau jauh lebih cantik." Sasuke mengangkat dagu Sakura dan mengecup mesra bibir gadis itu. Hanya kecupan kecil tapi mampu membuat wajah Sakura jadi semerah buah favorit Sasuke.
"Sasuke-kun." Rajuk Sakura saat Sasuke tergelak melihat ekspresinya.
"Maaf, kita pulang?" Sasuke berusaha menghentikan tawanya.
"Ya, besok aku harus menemui salah satu dropshipper." Sahut Sakura.
"Ada masalah?" Tanya Sasuke khawatir. Karena biasanya gadisnya hanya berkomunikasi via email dengan dropshippernya.
"Bukan masalah besar. Jangan khawatir." Sasuke mengangguk melihat senyum menenangkan Sakura. Dia selalu memberi gadisnya kebebasan bergerak. Apalagi selama ini orang-orang yang berhubungan dengan Sakura adalah wanita.
Mereka bergandengan tangan menuju mobil Sasuke.
Sejak mereka lulus sekolah menengah atas, Sakura memutuskan tidak meneruskan kuliah. Gadis itu mempertimbangkan kondisi psikologisnya. Ketika Sasuke menyarankan gadis itu untuk membuat sesi dengan psikiater ternama, Sakura menolak. Sasuke tak bisa memaksa gadis itu, bahkan hanya untuk mengemukakan alasan penolakannya. Dan Sasuke membiarkan gadisnya memilih jalannya dengan bebas. Tugas Sasuke adalah mempermudah setiap pilihan gadis itu. Hasilnya, sekarang Sakura memiliki rumah produksi daur ulang botol bekas yang diubah menjadi berbagai macam bunga.
Sementara Sasuke sudah bertanggung jawab terhadap salah satu cabang perusahaan keluarganya. Sebenarnya sudah sejak orang tuanya pindak ke jerman enam tahun lalu Sasuke mendapat tanggung jawab pada cabang perusahaan, namun baru setahun ini dia memegang tanggung jawab penuh karna sebelumnya ada pamannya yang ikut membantunya.
Ah bicara tentang paman, pria itu berhasil menikahi Hanare sensei sejak empat tahun yang lalu. Butuh bertahun-tahun bagi pamannya untuk meyakinkan Hanare agar mau menikah dengannya. Sasuke ikut senang untuk pamannya. Terkadang dia tersenyum geli mengingat betapa galaknya Hanare sensei padanya dulu. Sekarangpun masih galak, padahal sudah memiliki Noa-chan yang baru belajar naik sepeda roda tiganya.
Belum lama mobil Sasuke membawa mereka menjauh dari pantai ponsel Sakura berbunyi. Sasuke melirik Sakura yang kebingungan, suara entah siapapun si penelepon yang Sasuke dengar hanya teriakan dan umpatan. Sebenarnya apa yang terjadi sih? Apa lagi Sakura jadi ikut panik.
"Sasuke-kun kita ke rumah sakit sekarang." Ucap Sakura cemas setelah sambungan teleponnya terputus.
"Rumah Sakit?" Sasuke mengrenyit.
"Temari akan melahirkan, mereka baru berangkat ke rumah sakit." Tanpa banyak tanya lagi Sasuke menginjak gas lebih dalam. Harusnya Sasuke bisa menduga itu saat mendengar suara berisik ditelepon.
Mereka sampai di rumah Sakit bersamaan dengan Shikamaru dan Temari. Beberapa perawat datang membawa brangkar untuk Temari. Sakura dan Shikamaru terlihat panik melihat Temari kesakitan. Sedangkan Sasuke hanya berdecak mendengar omelan Temari. Wanita itu seperti monster yang akan mengamuk saja.
"Shika brengsek! kau yang membuatku mengalami ini!" Jerit Temari di dalam ruang bersalin. Sementara itu Sakura mondar-mandir gelisah menunggu diluar ruangan bersama Sasuke.
"Shikamaru! Ku bunuh kau!" Jerit Temari sembari mengejan.
"Maaf... maaf sayang..." Sasuke sungguh ingin tertawa mendengar Shikamaru mengaduh sambil meminta maaf jika saja tak melihat raut khawatir Sakura. Mungkin saja pria nanas itu sedang kena jambak atau apa.
"Sasuke-kun..." Rengek Sakura nyaris menangis mendengar jeritan Temari di dalam sana, juga rintihan Shikamaru.
"Jangan khawatir, mereka akan baik-baik saja." Tentu saja Sasuke menyimpulkan hal itu dari gaharnya teriakan Temari. Lengannya menarik Sakura yang cemas berlebihan ke pelukannya.
Sasuke dan Sakura menoleh mendengar derap langkah mendekat ke arah mereka. Itu Gaara dan Kankuro. Tak jauh dibelakang mereka Naruto dan Sai juga berlari mendekat. Bersamaan dengan ucapan Gaara yang menanyakan keadaan Temari, gema tangis bayi sampai ke telinga mereka. Reflek mereka semua melihat ke arah pintu ruang bersalin. Desahan lega jelas meluncur dari semua orang. Bahkan Sakura menangis bahagia memeluk Sasuke.
"Syukurlah..." Gumam Sakura yang mendapatkan elusan sayang dikepalanya dari Sasuke.
Setelah Bayi dan ibunya dibersihkan, mereka semua berkumpul diruangan Temari. Gumaman dan tawa bahagia mengisi ruangan itu. Di tambah Ino dan Hinata yang baru datang membawakan pakaian Temari juga berbagai makanan untuk mereka.
"Rasanya rambutku seperti akan tercabut. Dia wanita mengerikan." Keluh Shikamaru yang duduk di sofa bersama para pria.
"Aku dengar itu." Bentak Temari yang membuat seisi kamar terkekeh.
"Yah itu memang harga yang harus dibayar bro." Ucap Naruto sok bijak. Yang lain kembali terkekeh melihat Shikamaru bersungut-sungut.
"Lalu kapan kau akan menikahi Temari?" Pertanyaan Gaara yang sedang menoel-noel pipi bayi Temari membuat ruangan senyap seketika. Shikamaru dan Temari memang belum menikah. Entah apa alasannya, Temari pernah menolak lamaran Shikamaru saat usia kandungannya masih tiga bulan. Tapi hanya Temari, Shikamaru dan tiga sahabat pria nanas itu yang tahu. Lagi pula yang lain tak ingin ikut campur, apapun keputusan Shikamaru dan Temari, yang lain hanya perlu mendukung dan menjadi sandaran saat pasangan energik itu lelah.
"Aku pasti akan melakukannya." Jawab Shikamaru yakin.
Setelah ucapan Shikamaru itu suasana kembali normal, atau lebih tepatnya dipaksakan normal. Sasuke keluar ruangan diikuti Sai. Dia butuh merilekskan diri. Di dalam sana terlalu tegang, Sasuke tak menyalahkan Gaara yang bertingkah protektif pada Temari. Alasan pria merah itu memang jelas, sampai kapan pasangan itu akan membuat hubungan tanpa status. Dampak buruknya akan menimpa anak mereka jika diteruskan.
"Bagaimana menurutmu?" Sasuke menoleh pada Sai yang berjalan disampingnya. Sai balas menoleh padanya sebelum menarik nafas dan menghembuskannya sedikit kuat. Pria eboni itu menatap jauh ke ujung lorong.
"Entahlah. Temari memiliki pemikirannya yang mungkin sulit kita pahami. Tapi yang jelas ini bukan hal bagus untuk diteruskan."
"Ya mereka harus cepat memutuskan apa yang harus dilakukan." Pandangan Sasuke menerawang jauh. Ini seperti melihat gambaran masa depannya dengan Sakura.
"Bagaimana denganmu?" Sasuke menoleh lagi menatap Sai. "Maksudku tentang Sakura." Lanjut Sai yang membuat Sasuke menghela nafas berat.
"Aku tak akan membuat kisah kami menyedihkan." Sasuke tersenyum yakin. "Ah dari pada itu bagaimana dengan rencana kontrak kerja kita?"
"Hey ini bukan tempat yang tepat membicarakan pekerjaan." Rutuk Sai. Sasuke hanya terkekeh menanggapi ucapan Sai.
Jam dua belas malam Sasuke dan Sakura sampai di depan pagar rumah Sakura. Pagar yang menjadi saksi segala kenangan Sakura dan Sasuke. Sekarang Sakura tinggal dirumah ini sendiri setelah Temari memutuskan tinggal di apartemen Shikamaru. Sedangkan Gaara dan Kankuro tinggal diluar kota bersama orang tua mereka.
"Bibi dan paman baru bisa datang besok. Ah kata Temari anaknya akan diberi nama Shikadai. Bukankah itu terdengar imut Sasuke-kun?" Celoteh Sakura riang.
"Hn. Besok kita jenguk Shikadai lagi saat jam makan siang." Sasuke tersenyum mendengar kikikan Sakura. Melihat Sakura senang membuat perasaannya membuncah. "Sakura..." Sasuke menarik pinggang Sakura yang akan membuka pintu pagar.
"Hm?"
"Mau membuat bayi kita sendiri?" Goda Sasuke sembari mendekatkan wajahnya pada leher Sakura.
"Sasuke-kun..." Teriak Sakura malu-malu. Sasuke terkekeh kecil dan mengecup belakang telinga Sakura. Gadis itu menggeliat melepaskan diri dari pelukan Sasuke dengan wajah merah padam.
"Kau mesum Sasuke-kun!" Jeritnya dan berlari masuk ke rumah meninggalkan Sasuke yang terkekeh geli.
Tingkah manis Sakura selalu mampu membuat jantung Sasuke berdebar. Berkali-kali Sasuke nyaris mati kaku karna menahan diri agar tak menerjang dan menelanjangi Sakuranya. Tapi Sasuke tak mau Sakura diderlakukan seperti perempuan murahan, gadis itu terlalu berharga baginya. Sasuke akan melakukannya dengan lembut dan berkesan suatu saat nanti.
Sesampainya dirumah Sasuke tersenyum miris. Rumah besarnya justru mirip penjara yang menyesakkan. Tak ada kehangatan sama sekali. Jajaran pelayan yang menunduk hormat padanya sama sekali tak menghiburnya. Meski ingin, Sasuke tak bisa menganggap mereka keluarga. Sikap mereka tak akan bisa seperti layaknya keluarga pada Sasuke.
"Tuan..." Sasuke menghentikan langkahnya menuju kamar saat Menma memanggilnya. "Tuan Fugaku dan nyonya Mikoto akan kembali dari jerman Besok malam." Sasuke terdiam mendengar informasi yang disampaikan Menma.
"Ya, aku dan Sakura akan mengunjungi putra Shikamaru di rumah sakit besok. Ingatkan aku tentang itu besok." Ucap Sasuke akhirnya.
"Ya tuan." Sasuke melanjutkan langkahnya menuju kamar meninggalkan Menma yang membungkuk hormat.
Mulai besok Sasuke benar-benar harus menghadapi kenyataan. Sasuke menghela nafas berat merebahkan tubuhnya diranjang. Dia menghitung berapa banyak rintangan yang harus dilewatinya agar bisa bersama Sakura. Berapa banyak alternatif yang harus dilakukan agar Sakuranya tak terluka. Sasuke ingin memastikan apapun yang dilakukannya tak melukai Sakura. Dia sangat mengkhawatirkan Sakuranya. Gadisnya. Cintanya.
.
.
.
Sasuke tersenyum tipis disela kunyahannya. Dia hanya menjadi pendengar yang baik untuk obrolan absurd Sakura dan putra Temari. Sedangkan Temari asyik dengan majalahnya. Ah jangan lupakan Shikamaru yang pergi mencari makan siang untuk wanita yang baru saja menjadi ibu itu. Temari semakin gahar saja sekarang dan Shikamaru akan seperti pengikut setia untuknya. Sasuke akan memaklumi itu mengingat dia juga akan melakukan hal yang sama pada Sakura.
"Du du du ca ca ha ha..." Sasuke kembali melirik Sakura yang asyik dengan bayi yang hanya bisa bergerak-gerak tak jelas menanggapinya itu.
"Buatlah bayi sendiri, kau sudah cukup umur untuk hal itu..." Ucap Temari sembari membalikkan halaman majalah yang dibacanya. Sakura mengangkat kepalanya menatap ibu muda dihadapannya.
"Aku tak mau menambah jumlah anak yang bernasib seperti Shikadai." Sasuke dan Temari menoleh menatap Sakura. Dua orang itu tak menyangka jawaban seperti itu akan keluar dari mulut Sakura.
"Apa maksudmu?" Temari menutup majalahnya dengan kasar. Sasuke mendengus, dia tak menyukai situasi ini. Pria raven itu tak menyangka Sakura akan memprovokasi sepupu machonya, atau tak sengaja?
"Keegoisan kalian hanya akan melukai Shikadai-chan jika diteruskan. Apapun alasanmu, bukan pilihan tepat membiarkan Shikadai tak memiliki status jelas." Wow wow Sasuke benar-benar takjub dengan ketegasan luar biasa yang terpancar dari manik emerald gadisnya. Semakin hari gadisnya semakin menakjubkan.
"Status tak jelas? Dia putraku..."
"Kau tahu maksudku." Ucap Sakura kalem namun tak terbantahkan memotong ucapan Temari yang nyaris menjadi teriakan. Tiga orang diruangan itu terdiam berkutat dengan pikirannya masing-masing. Temari menghela nafas dan membuang pandangannya keluar jendela.
"Seperti kau yang mengkhawatirkanku dan Shikadai..." Temari menatap Sakura lembut. "Akupun sangat mengkhawatirkanmu. Kami sangat mengkhawatirkanmu." Sasuke benar-benar berhenti mengunyah mendengar ucapan dua wanita itu.
"Aku tahu." Sahut Sakura lembut. "Aku tahu kau memiliki pemikiranmu sendiri, tapi aku tak suka saat itu menyakiti Shikadai nantinya."
"Sejak awal ini hanyalah pilihan tentang siapa yang akan tersakiti. Aku tak bisa membahagiakan semua orang Sakura..." Lirih Temari. Suasana kembali hening hingga terasa menyesakkan. Ini seperti memberi gambaran masa depan yang pasti datang pada Sakura dan Sasuke.
Sasuke tahu ada seseorang yang mendengarkan pembicaraan Sakura dan Temari diluar sana. Sasuke pikir, semakin dewasa seseorang maka semakin terasa rumit permasalahan yang dihadapi. Tapi Temari benar, kita tak bisa membahagiakan semua orang. Ini masalah pilihan.
Sasuke melangkah keluar ruangan, Shikamaru sedang tertunduk bersandar pada dinding. Matanya menekuri lantai atau bungkusan makanan ditangannya atau... entahlah. Perlahan kepala berkuncir nanas itu terangkat menatapnya. Sasuke merasa tertampar melihat kilatan kesakitan di mata sahabatnya itu.
"Ku pikir jenius akan mampu melakukan apapun. Ternyata itu tak bisa membuatku menggapai bahagiaku." Shikamaru tersenyum sendu.
"Jangan khawatir bung. Kau memiliki teman senasib." Sasuke menepuk pelan bahu Shikamaru sembari terkekeh kecil.
"Kau bukan orang yang tepat untuk menghibur, Sasuke." Kekeh Shikamaru. Pria itu masuk ke ruangan, nada acuh tak acuh miliknya muncul saat mendengar omelan Temari tentang betapa lamanya pria itu pergi.
Sasuke mengantar Sakura pulang tak lama setelah keluarga besar Temari datang. Miris melihat keluarga Temari bersikap baik pada Shikamaru sedangkan mereka jelas tahu gambaran permasalahan Temari dengan kekasihnya itu. Jika saja harta tak menjadi tolak ukur dikeluarga Shikamaru, mungkin mereka akan benar-benar bahagia menyambut kelahiran Shikadai. Dan sekali lagi Sasuke tersenyum miris mengingat kebahagiaannya juga terancam.
"Hari ini tou-san dan kaa-san kembali." Ucap Sasuke. Mendengar itu Sakura langsung menunduk, jemarinya saling meremas cemas. "Kau khawatir?" Sasuke meraih tangan kekasihnya dan menciumnya. Manik hitamnya menelusuri wajah Sakura yang terlihat sedikit memucat hingga sampai pada manik memukau milik gadis itu.
"Hmm." Sakura mengangguk pelan. Emeraldnya seperti mencari pegangan pada pria dihadapannya. Meyakinkan dirinya jika mereka akan baik-baik saja. Sasuke tersenyum lembut, mengusap sayang pipi gadisnya.
"Kau hanya harus memastikan tetap bersamaku apapun yang terjadi. Sisanya biar aku yang urus. Kau tahu betapa aku sangat mencintaimu kan?" Sakura mengangguk yakin berkali-kali. Gadis itu memaksakan senyumnya mengembang dan memeluk Sasuke erat.
"Aku tahu. Aku percaya kau akan selalu milikku. Aku mencintaimu." Lirih Sakura. Sasuke tersenyum mengeratkan pelukannya pada tubuh mungil Sakura.
.
.
.
Sasuke melirik jam tangannya. Pesawat yang membawa orangtuanya kembali seharusnya sudah tiba. Bertepatan dengan matanya yang menatap arah kedatangan, sosok yang familiar muncul. Mikoto mempercepat langkahnya dan memeluk Sasuke. Ibunya nyaris tidak berubah meski enam tahun tidak bertemu. Masih cantik dan menakjubkan.
"Kaa-san sangat merindukanmu." Lirih Mikoto menyesap aroma putra tercintanya.
"Aku juga sangat merindukan kaa-san."
"Bohong. Kau sama sekali tak pernah mengunjungiku." Mikoto melepaskan pelukan mereka dan berdecak. Sasuke tersenyum tipis.
"Aku selalu menghubungi kaa-san. Tiap minggu, jika kaa-san lupa."
"Ya. Dan jika kami tak memutuskan kembali, mungkin kita tak akan pernah bertemu. Itu yang kau bilang rindu?" Cecar Mikoto. Sasuke hanya terkekeh kecil, mengalihkan perhatiannya pada sosok yang sangat dihormatinya. Juga sosok yang akan melakukan apapun demi memisahkannya dari gadisnya.
"Apa kabar tou-san." Sasuke menunduk hormat.
"Akan sangat bagus jika putraku mengikuti peraturan dengan baik. Menyadari tempatnya." Ucap Fugaku datar. Sasuke mengangkat wajahnya, menatap pria yang menurunkan lebih banyak sifatnya pada Sasuke daripada Mikoto.
"Maaf." Ucap Sasuke singkat dengan senyum bisnis. Bukan hal baik memang, tapi sepertinya hanya sebatas inilah hubungan baik dia dan ayahnya bisa terjadi. Meski begitu, Sasuke yang sekarang tidak akan mudah memprovokasi Fugaku. Bertambah umur tentu saja berdampak pada perubahan beberapa pola pikir Sasuke.
"Ku pikir sopan Santunmu semakin baik." Fugaku mendengus remeh lalu meneruskan langkahnya diikuti Mikoto juga para asisten yang membawakan koper mereka. Sasuke menghela nafas berat sebelum akhirnya mengikuti langkah ayahnya.
Sesampainya dirumah sudah ada pamannya bersama Hanare dan Noa. Seperti biasa, pamannya itu selalu terlihat bagai pria paling bahagia sedunia. Dengan senyum lebar pria yang mirip ayahnya itu menyapa Fugaku dan memeluknya. Oh terlalu kontras dengan sikap kaku nan dingin sang kepala keluarga.
"Apa kabar nii-san? Kau bersenang-senang disana?"
" Seharusnya ya. Tapi sayangnya itu tak terjadi, kondisi disini terlalu mengkhawatirkan." Sasuke hanya mendengus melihat pamannya meliriknya jahil. Ya ya siapapun tahu apa yang dikhawatirkan seorang Fugaku disini.
Sasuke memilih ke kamarnya setelah mencium pipi Noa. Silahkan mereka beramah-tamah tanpa Sasuke. Pria raven itu lebih suka menghabiskan waktunya untuk berendam sebelum makan malam nanti.
Seperti yang Sasuke duga. makan malam berjalan aneh. Maksudnya kombinasi datar dan energik antara Fugaku dan pamannya, juga sikap sopan Mebuki dan kecanggungan Hanare. Jangan libatkan Noa, gadis cilik itu terlalu manis di mata Sasuke untuk ikut dirusak oleh segala aturan Uchiha.
.
.
.
"Bagus. Fugaku ji-san tak berubah sama sekali." Naruto menjatuhkan tubuhnya diranjang Sasuke. Pria pirang itu datang sekitar setengah jam yang lalu. Beramah-tamah atau lebih tepat jika disebut berbasa-basi dengan Fugaku sebelum naik ke kamar Sasuke.
"Memangnya apa yang kau harapkan?" Sahut Sasuke acuh tak acuh. Saat ini dia sedang memeriksa berkas yang akan dibahas pada rapat bulanan besok.
"Setidaknya melihatnya sedikit tersenyum." Naruto membalik tubuhnya menjadi tengkurap dan menghadap Sasuke. "Kau tahu, aku sangat penasaran dengan senyum tou-sanmu." Sasuke menoleh dan tersenyum geli.
"Kau sering melihatnya."
"Bukan senyum seperti itu. Maksudku senyum yang bukan dalam rangka bisnis." Kali ini Sasuke terkekeh.
"Kau berkhayal." Naruto menggerutu mendengar ucapan Sasuke.
"Oke lupakan itu. Dengar, aku berencana melamar dan menikahi Hinata. Bagaimana menurutmu?"
"Akupun berencana demikian dengan Sakura." Jawab Sasuke kalem.
"Bukan itu maksudku." Sungut Naruto jengkel. "Maksudku aku akan melamarnya lusa dan jika dia menerimaku, aku akan menikahinya dalam dua bulan." Sasuke terdiam mendengar ucapan sahabatnya. Perlahan senyum lembut nan tulus namun terkesan sedih terukir dibibirnya.
"Aku bahagia untukmu. Sungguh." Naruto mendengus.
"Hentikan. Aku tak menyukai wajahmu yang sekarang. Datang ke pernikahanku dan aku akan membantumu menikahi Sakura-chan." Sasuke terkekeh geli mendengar ucapan Naruto.
"Kau harus tepati janjimu." Sasuke tersenyum jenaka di sambut tawa Naruto.
.
.
tbc...
.
.
Okey... aku akan konsisten sama ff ini dulu sebelum pindah ke ff Sakura-nee. Buat kalian yang nyempetin baca... semoga hari kalian menyenangkan!😉😉😉😉
Keyikarus
29 November 2017