Chapter 01
Drama Tiga Babak
.
.
Pagi menjelang siang yang cerah di Pulau Rintis.
Kedai Kokotiam damai seperti biasa. Pengunjungnya pun ramai seperti biasa. Dan BoBoiBoy sudah capek bantu-bantu sejak dini hari, juga seperti biasa.
Heran. Perasaan, dia pulang ke Bumi dalam rangka cuti. Liburan dari segala kegiatan TAPOPS yang melelahkan. Tapi ini kok malah tambah capek?
Haah ... Jadi pengin cari pelampiasan, 'kan.
Awas aja kalau ada alien datang bikin gara-gara. Fix bakal tawuran.
Baru berapa detik BoBoiBoy mikir begitu, mendadak langit jadi gelap. Dia refleks mendongak. Begitu juga Tok Aba, Ochobot, dan para pengunjung kedai.
ASTEROID, PEMIRSA!
"Eh?"
Orang bijak berkata, 'Hati-hati dengan keinginanmu.'
.
Animasi "BoBoiBoy Galaxy" beserta seluruh karakter di dalamnya adalah milik Animonsta Studio/Monsta©
Fanfiction "Huru-Hara Elemental" ditulis oleh kurohimeNoir. Penulis tidak mengambil keuntungan material apa pun atas fanfiction ini.
Drama Tiga Babak dengan tebaran bahasa tidak baku plus OOC.
Timeline: Di antara episode 17 dan 18 BoBoiBoy Galaxy.
.
Babak Satu: Huru-Hara Berapi, Lagi!
.
.
"MANA BOCAH BERTOPI ANEH YANG MENGHANCURKAN RUMAH ROTKAROKA?!"
Kalau ada raksasa batu berapi teriak begitu di depan mata, harusnya takut, dong. Tapi BoBoiBoy cuma pasang muka datar. Tok Aba dan Ochobot juga tenang-tenang saja. Bahkan para pengunjung kedai yang tadinya kaget, kembali melanjutkan aktivitas kayak nggak ada apa-apa.
"KENAPA REAKSI KALIAN BEGITU?! HOW DARE YOU!" si raksasa mencak-mencak sendiri.
Di dekat meja counter, BoBoiBoy menghela napas. Barusan doi dikodein Tok Aba supaya cepat-cepat 'membereskan' tamu tak diundang itu.
"Haah ... Bakal ngerepotin, nih," gumamnya tak jelas.
Begitulah. Superhero kita melangkah maju, lalu berdiri gagah di depan si raksasa batu.
"Kok datang lagi?" BoBoiBoy bertanya, nggak pakai basa-basi. "Baru juga kemarin dibilangin, nanti kami akan ke Planet Volcania, bantu benerin rumahmu. Nggak sabaran amat, sih."
Hening sedetik.
Dua detik.
"Jangan sok akrab dengan Rotkaroka!"
"Ha?"
"Memangnya kita saling kenal?!"
Hening lagi sedetik.
Dua detik.
Ada jangkrik lewat. Nggak kelihatan wujudnya sih, tapi kedengeran suaranya.
"OCHOBOT!" BoBoiBoy lalu berteriak ke arah counter. "INI BUKAN GARA-GARA LOOPBOT LAGI, 'KAN?"
"NGGAK, KOK!" Ochobot ikut teriak. "LOOPBOT UDAH AMAN DI MARKAS TAPOPS!"
"JANGAN MALAH NGOBROL SENDIRI!" si raksasa juga ikutan teriak.
"Capek ah, teriak-teriak." Untungnya BoBoiBoy cepat bertobat sebelum capslock jebol. "Iya, deh. Ayo ngobrol, biar cepet. Kamu Roktaroka, 'kan?"
"Bukan! Aku saudara kembarnya."
"Hah?"
"Namaku Rotkaroka!"
"Lah? Kembaran kok namanya sama?"
"No! Listen carefully! Aku Rotkaroka, dia Roktaroka. Posisi huruf 't' dan 'k'-nya beda."
"Hmmm ..."
BoBoiBoy memandangi si raksasa batu berapi dengan cermat. Dia yakin 99.9% ini makhluk yang sama. Suaranya sama. Ekspresinya sama. Cara ngomongnya juga sama.
"Terus?" lanjut BoBoiBoy. "Kamu mau balas dendam ke 'bocah bertopi aneh' yang merusak rumahmu?"
"Betul! Rotkaroka akan balas kamu—"
"Tau dari mana kalau itu aku?"
"Eh?"
"Sekarang aku tanya. Bocah bertopi aneh itu apa warna bajunya?"
"Ng ... Merah?"
"Warna topinya?"
"Merah."
"Topinya dipakai menghadap ke mana?"
"Depan."
BoBoiBoy setengah berkacak pinggang sambil menunjuk diri sendiri. Baju jingga, topi dino jingga menghadap ke belakang. Si raksasa batu langsung sweatdrop.
"Lagipula, Roktaroka sendiri yang bilang, tinggal sendirian di kaki gunung berapi," tambah sang superhero elemen. "Terus ada saudara tuh dari mana?"
"Ng ..."
"Hayo, mau ngomong apa lagi?"
"I ... tu—AH, BANYAK OMONG!" Tiba-tiba si raksasa membuat api membara di seluruh tubuhnya, siap tempur! "RASAKAN PEMBALASAN ROTKAROKAA—"
BYUR.
Belum apa-apa, guyuran air entah dari mana memadamkan lagi api itu. Dan tahu-tahu, di depan Rotkaroka sudah berdiri dengan santainya, sosok lain BoBoiBoy yang berpakaian dan bertopi biru muda dengan lambang elemen air.
Kesal, si raksasa batu membarakan lagi apinya. Lalu diguyur lagi oleh Air. Berkobar lagi. Diguyur lagi. Berkobar lagi. Diguyur lagi. Berkobar lagi. Diguyur lagi. Berkobar lagi. Diguyur lagi. Berkobar la—
"Woy! Udah, berhenti! Kalian nggak bosen, apa?" Mendadak Ochobot sudah berdiri—eh, melayang di samping BoBoiBoy. Acara guyur mengguyur pun berhenti dengan basahnya. "Oke. Intinya, masalah selesai kalau kalian bisa tawuran sampai puas, 'kan?"
Itu kesimpulan dari mana, coba?
"BoBoiBoy, ini kesempatan bagus—eh?"
Kali ini Ochobot yang sweatdrop melihat BoBoiBoy Air berjongkok santai. Ngeliatin semut merah berenang-renang melintasi genangan kecil air yang baru tercipta. Jarang-jarang 'kan, lihat semut berenang?
"BoBoiBoy!" panggil Ochobot sekali lagi.
"Hmmm?"
"Gimana kalau kamu coba bikin combo BoBoiBoy Air dengan elemental lain?" Ochobot berharap sahabatnya beneran mendengarkan. "Mumpung ada lawan tanding nggak penting ini."
Si raksasa batu berapi hampir meledak dikatain 'lawan tanding nggak penting', tapi ditahannya. Awas kau nanti, robot kuning aneh!
"Ooh ... Okee ..."
Ochobot menghela napas lega saat BoBoiBoy Air bangkit. Terus balik ke wujud semula.
.
Oo)=======o=======(oO
.
Babak Satu Setengah: Combo Baru Bersama Elemental Baru (Yang Lama)!
.
.
"Kuasa Elemental! BoBoiBoy Kuasa Tiga!"
Yang muncul adalah Angin, Daun, daaan ... JENG JEEENG! Air sebagai pusatnya.
"BoBoiBoy, kok kombinasinya gini?" tanya Ochobot. Dalam hati dia sangsi. Memangnya nggak apa-apa, nih?
"Biar cepet, aku mau combo sama Angin," Air menjawab santai.
"Lagian," Angin menyambung, "elemen lain pada nggak guna lawan raksasa batu berapi. Hahahahaha ..."
Kamu juga sama aja, dodol! Begitu kata hati Ochobot sambil sweatdrop. Lucu nggak sih, robot kok bisa sweatdrop?
"Ochobot minggir dulu, ya?" kata Daun dengan sopan. "Bahaya, soalnya."
"Oh, oke."
Sementara Ochobot balik ke counter, Air fokus lagi ke Rotkaroka. "Agak ke sana, yuk. Nanti kedainya rusak, kasihan Atok."
Rotkaroka mengikuti arah yang ditunjukkan Air. Nggak jauh dari situ ada lapangan rumput yang lumayan lapang.
"Okay. Let's go there."
Semenit kemudian ...
Sudah berhadap-hadapan siap tawuran: Rotkaroka versus BoBoiBoy Air, Angin, dan Daun. Sambil nyengir lebar, Angin langsung maju duluan.
"Hehe ... Ayo, mulai saja!" serunya. "Kalau angin bersatu dengan air, jadinya ... BADAI!"
Angin melepaskan serangan yang cukup besar. Udah ngarepin sesuatu yang heboh. Tapi ternyata cuma elemennya sendiri yang malah bikin nyala api Rotkaroka makin berkobar.
"Sejuknyaaa ..." Rotkaroka malah bersantai-santai sambil tiduran di rumput. "Kipasin lagi, dong!"
Angin cepat-cepat menengok ke belakang. Air dan Daun yang harusnya berdiri tak jauh darinya, tahu-tahu sudah raib entah ke mana. Tak sulit baginya untuk menemukan sosok mereka di pinggir lapangan rumput. Berjongkok, entah lagi ngapain.
"Heei ... Jangan tinggalin aku sendirian, dong!"
Penasaran, Angin menyusul kedua pecahannya. Ternyata, mereka lagi asyik ngeliatin dua kupu-kupu terbang berkejaran. Yang satu berwarna hijau kebiruan, satu lagi kuning kehijauan. Jarang-jarang ada kupu-kupu berwarna seindah itu. Salah satunya lalu hinggap ke serumpun tanaman putri malu, menyebabkan daun-daunnya menguncup. Mata Daun langsung membulat sempurna waktu melihat itu.
"Air, itu gimana pertarungannya—"
"Ssst ... Jangan berisik," Air memotong ucapan Angin. Dia terus tersenyum lembut, memandangi kupu-kupu satu lagi yang ikut hinggap di daun putri malu.
"I-Iya ..."
Angin garuk-garuk kepala. Emang gatel, sih. Terus, dia ikut duduk bersila di rumput. Bingung. Tapi karena Air leader-nya, ya udah, dia nurut aja. Sementara itu, di kejauhan Rotkaroka bangkit. Nggak jauh-jauh amat, sih. Masih nyampe' kalau mau nyerang dari situ.
"HOI! DON'T IGNORE ME, LAH!"
Tuh, 'kan? Dia beneran nyerang dengan lesatan bola-bola api. Belasan, ah tidak, puluhan jumlahnya. Angin terkesiap. Daun masih ngeliatin putri malu. Air tetap senyum-senyum. Tapi sebelum bola api pertama sampai, Air berdiri perlahan. Dengan tenang dia membuat dinding pelindung dari air, mementahkan semua serangan.
"Air!" Tiba-tiba Daun sudah berdiri di samping Air. "Kalau dikasih air kamu, tanaman aku bisa tumbuh besar nggak, ya?"
Random sekali.
Tapi Air kelihatan tertarik. "Hmm ... Combo Air dan Daun, ya? Menarik juga. Kita coba saja."
"Yay!"
Air memejamkan mata. Konsentrasi. Udara sekitar jadi lembab. Di langit mendung berkumpul dengan cepat, lalu jatuh sama cepatnya. Tahu-tahu udah gerimis aja.
Sementara itu, Daun memunculkan tanaman menjalar dari dalam tanah. Begitu terkena air gerimis tadi, ajaib! Kecepatan tumbuhnya bertambah luar biasa. Dalam sekejap, lapangan rumput itu berubah layaknya hutan kecil penuh akar hijau menjalar.
Iya sih, Rotkaroka terjebak. Terbelit-belit akar dan sulur, malahan. Tapi Air, Daun, dan Angin juga sama.
"Alamak ...," Daun berujar spontan.
Sementara, Angin malah tertawa. "Hahahahaha ... Kereeen!"
"JANGAN MAIN-MAIN DENGAN ROTKAROKA!"
Ngamuk deh, dia. Semua tanaman menjalar habis dibakar dalam sekejap. Combo gagal.
"Hmm ... Ternyata nggak bisa," kata Air, masih tenang. "Ya udah. Angin, kita coba combo."
"Okeee!"
Air membuat hujan lokal buatannya menderas dengan cepat, walau belum cukup untuk benar-benar memadamkan api Rotkaroka. Angin ikut bersiap. Dia memanggil angin, membuat badai kecil menggila, cuma di sekitar Rotkaroka. Kobaran api di tubuh si raksasa batu—akhirnya—mati dalam sekejap.
Ya udah, gitu aja. Combo sukses besar. Skak mat.
"Huwaaa ... Ampuuun ... Maafkan Roktarokaaa ..."
Si raksasa batu bersimpuh, nangis kayak anak kecil. Ketiga elemental saling pandang. Dalam diam, Air dan Angin sepakat untuk berhenti. Dengan cepat, cuaca jadi cerah lagi. Air, Angin, dan Daun lalu mendekati sang raksasa.
"Heee ... Tadi kaubilang Roktaroka?" kata Angin. "Katanya kau kembarannya?"
"Bukaaan ... Aku Roktaroka, lah! Roktaroka cuma mengarang ceritaaa ..."
"Apa?!" Daun berseru kaget. Mukanya beneran shock. "Jadi ... tadi kamu bohong?"
"Iyaaa ... Maafkan Roktaroka sudah berbohong ..."
Air dan Angin sweatdrop di tempat. Apalah Daun ini. Dari awal memang sudah jelas bohong, lah!
"Terus, ini semua maksudnya apa?" bertanya Air.
"Waktu dalam perjalanan pulang ke Planet Volcania, mendadak Roktaroka berpikir ... kalau pulang akan kesepian. Padahal ada kalian semua di sini yang begitu baik. Huwaaa ..."
Yah ... Mewek lagi, deh.
"Roktaroka nggak usah sedih," hibur Daun. "Kita 'kan teman. Yang namanya teman itu, tetap sehati walaupun terpisah jauh."
Buset, sejak kapan Daun jadi bijak gini? Kerasukan si Tanah, ya?
Roktaroka berkaca-kaca lagi. "Bocah bertopi aneh ... menganggap Roktaroka teman?"
"Iya, lah!" sahut Angin sambil nyengir lebar. "Kita memang sudah jadi teman."
"Hmm." Air ikut tersenyum lembut.
Demikianlah. Keributan hari ini pun terlewati dengan selamat. Dan Roktaroka akhirnya pulang ke planetnya.
Tenang. Kali ini pulang beneran, kok.
.
.
.
"BoBoiBoy, kedai sudah sepi, nih. Bantu beres-beres, ya!"
"Baik, Tok!"
BoBoiBoy memandangi seluruh kedai. Banyak juga yang mesti diberesin. Apa boleh buat, kayaknya harus berpecah lagi.
"Hmm ... Keluarin elemen yang lain, ah. Kasihan kalau nggak muncul," gumamnya.
Setelah memilih elemen, BoBoiBoy siap berpose dengan Jam Kuasa kesayangannya.
Apa? Terlihat keren itu tetap wajib hukumnya, lah.
"Kuasa Elemental! BoBoiBoy Kuasa Tiga!"
.
Oo)=======o=======(oO
.
Babak Dua: Rapat Dadakan 'The Original Trio'
.
.
Setelah semua huru-hara yang terjadi, Kedai Kokotiam kembali tenang. Tanah, Angin, dan Petir tampak duduk bersama mengelilingi salah satu meja kedai. Istirahat sebentar setelah beres-beres. Mumpung masih sepi. Tok Aba dan Ochobot pulang sebentar ke rumah. Katanya mau mengambil gula dan beberapa barang lain. Nggak tahu apaan.
"Sejak si Hali muncul, aku merasa dilupakan."
Nggak ada angin, nggak ada hujan, tahu-tahu Tanah membuka topik. Petir menaikkan alis karena bentuk tingkat duanya mendadak disebut-sebut. Lagian, kesambet apa si Tanah? Tumben-tumbenan mengeluh.
"Sejak si Air muncul, aku tambah dilupakan."
Petir dan Angin sweatdrop berjamaah. Asli, nggak lucu banget kalau Tanah merajuk begini.
"Tapi 'kan, pas si Roktaroka datang kemarin, kita semua muncul!" celetuk Angin tiba-tiba.
Tanah terdiam. Dipandanginya sang pecahan elemental yang selalu tersenyum ceria itu. Terus, dan terus dipandanginya ... Kelamaan, woy! Nanti dia kege-eran gara-gara ngerasa dirinya terlalu ganteng, sampai-sampai dipandangi terus.
"Ya ... aku juga muncul." Akhirnya Tanah ngomong juga, Sodara-Sodara! "Tapi ... aku tidak berguna ..."
Angin dan Petir sweatdrop berjamaah, part two.
"Mmm ... Cuma kebetulan aja elemennya nggak cocok. Jangan sedih gitu, dong! Ayo, senyum!" Angin berusaha menghibur.
Petir memandangi Angin dengan tatapan tak percaya. Tumben nggak gesrek otaknya ini anak.
"Iya. Cuma lagi hari apesnya kamu, kali'?" tambah Petir, ingin ikut menghibur.
Mendengar kata-kata kedua pecahannya, Tanah bangkit dari duduknya. Sekelilingnya menggelap di matanya, dan lampu sorot entah dari mana menghujaninya dengan cahaya.
"Memang sudah nasib, lah," Tanah mendesah pelan, lalu melanjutkan dengan dramatis. "BoBoiBoy pasrah dengan keadaan."
Seketika Petir dan Angin berasa déjà vu. Ah, kalau begini kasihan si sweat, sejak tadi drop melulu.
"Ck! Sudahlah!" Petir menarik Tanah supaya kembali duduk. "Kamu masih mending, daripada aku. Belakangan ini, aku merasa dinistakan terus."
Tanah mengerutkan kening. Ini kenapa si Petir malah ikutan curhat?
"Nanti kalau popularitasku turun gimana, coba?"
Kali ini Tanah dan Angin yang sweatdrop. Petir sekalinya curhat kok nggak penting banget. Jangan-jangan dia ketularan virus gila popularitasnya si Fang.
"Bentar ... 'dinistakan' itu maksudnya gimana?" Angin bertanya tak mengerti.
Petir menghela napas.
"Kayak pas kita ngelawan Roktaroka," katanya. "Aku sempat jatuh yang posisinya nggak elit banget. Udah gitu, hampir kena pedang sendiri, lagi!"
Tanah yang nggak ikut menyaksikan musibah itu, cuma memberikan tatapan prihatin. Beda dengan Angin yang malah tertawa terbahak-bahak.
"Yang jatuhnya nungging itu, 'kan? Bwahahahaha ... Epic banget!"
"Apa katamu?!" Petir mulai meradang. Orang lagi curhat, kenapa malah diolok-olok! "Dasar rambut ubanan!"
"Hahaha ... Kamu tuh, ya ... Kalau mau ngeledek yang kreatif, dong! Masa' menghina diri sendiri?"
"Iikh! Kau ini memang minta dihajar! Pedang Petir!"
Dalam sekejap, Petir sudah berdiri siaga dengan sepasang pedang di tangan. Angin ikut berdiri lalu pasang kuda-kuda.
"Ayo, sini kalau berani!"
Melihat kedua pecahannya mulai ribut, Tanah pun ikut berdiri. "Eh, jangan berteman!"
Lah? Malah kepeleset lidah.
"Bertengkar, kali'!" Petir yang lagi badmood menimpali seruan Tanah. "Kamu jangan ikutan gesrek kayak dia—"
"Hembusan Angin!"
"Huwaa—!?"
Hempasan angin membuat Petir terdorong ke belakang. Cuma semeter, sih.
"BERANI KAU! GERAKAN KILAT!"
Nah. Berantem, berantem, deh! Dan Tanah cuma bisa bengong di tempat.
"Hei, berhenti!" serunya.
Tapi mana mau mereka berhenti? Yang ada malah makin parah. Angin dibalas petir. Petir dibalas angin. Eh, malah serangannya menyatu, terus entah gimana nyasar ke arah Tanah.
"Tanah Pelindung!"
Untungnya dia masih sempat bikin dinding pelindung dari tanah. Coba kalau nggak. Bisa-bisa Tanah gosong kesetrum plus tersayat-sayat angin. Jadi nggak ganteng lagi, 'kan?
Untungnya lagi, melihat serangan mereka nggak sengaja kena orang lain, Petir dan Angin mau berhenti. Lalu cepat-cepat menghampiri si korban.
"Tanah! Kamu nggak apa-apa?!"
Nggak apa-apa, sih. Kayaknya. Tanah masih berdiri tegak. Tapi dia terus diam sambil menunduk. Tiba-tiba auranya berasa nggak enak, gitu.
"Ta-Tanah?" Bahkan Angin jadi gugup dibuatnya.
"Ka-li-aaan!"
Tiap suku kata ditekankan dalam-dalam. Serius, Petir aja sampai deg-degan. Makin deg-degan waktu mendadak dari tubuh Tanah terpancar cahaya temaram keemasan. Bumi bergetar. Tanah di sekitar tempat berpijak Petir dan Angin mulai retak-retak kecil. Nah, lho! Sekarang Angin dan Petir beneran panik.
"Waa! Tanah, kamu mau ngapain?!" Angin menjerit histeris.
Masa' iya Tanah mau berubah ke tahap kedua? Cuma gara-gara beginian?! Bayangin aja kalau dia beneran jadi Gempa, terus ngamuk.
Horor.
Please, horor pakai banget!
"Tanah, sa-sabar," Petir berusaha menenangkan pecahan dirinya yang biasanya selalu kalem itu. Pedang Petir pun sudah dilenyapkannya sejak tadi. "Kami nggak berantem lagi, kok."
Jujur, Petir pengin banget mengingatkan Tanah supaya jangan melanggar aturan pakai kuasa tahap kedua. Tapi dia nggak berani. Orang dia sendiri juga melanggar.
Tanah mengangkat wajahnya perlahan. Berasa slow-motion di film horor. Ketika tatapan tajam itu menghunjam mata Petir dan Angin bergantian, keduanya langsung pucat pasi. Terus refleks menjatuhkan diri, sambil masing-masing memeluk kaki kanan dan kiri Tanah.
Lebay? Bodo' amat! Ini nyawa yang dipertaruhkan.
"Ampuni hambaaa," Angin mendrama berurai air mata.
"Tanah, jangan marah, pliiis." Petir saja sampai ketakutan dan ikut memohon.
Pelan-pelan, bumi kembali tenang. Aura keemasan itu pun lenyap. Tapi tatapan Tanah masih kayak pengin makan orang.
"Duduk!" Tanah bersabda sambil menunjuk tempat duduk mereka semula.
Petir dan Angin menurut tanpa banyak cakap. Bangkit berdiri, lalu duduk manis di kursi masing-masing. Menunduk persis murid trouble-maker lagi dimarahi guru BP.
"Kalian tahu, apa salah kalian?" Tanah sama sekali nggak membentak. Tapi kok serem amat!
"Tahu ..."
"Terus? Bilang apa?"
"Maafkan kami ..."
"Hm ... Good boys."
Tanah menepuk-nepuk puncak kepala Petir dan Angin bergantian. Kalau dalam keadaan biasa sih, Petir pasti nggak terima diginiin. Tapi saat ini Tanah sama sekali nggak senyum. Dan itu beneran nakutin.
Ah, barusan dia tiba-tiba tersenyum. Tapi entah kenapa Petir dan Angin malah merasakan aura membunuh yang lebih menyeramkan daripada sebelumnya. Karuan aja, mereka langsung ciut seciut-ciutnya.
"Ya sudahlah." Wajah Tanah mendadak kembali ramah seperti dia yang biasanya. Petir dan Angin langsung mengucap syukur di dalam hati. "Sebentar lagi sudah jam makan siang. Kedai pasti ramai. Kita siap-siap, yuk!"
"O-Oke," Petir dan Angin menyahut kompak, masih setengah gemetaran.
"Ng? Kalian kenapa?" Tanah memamerkan tatapan polosnya.
Petir cuma menggeleng.
Angin tertawa garing. "Hehe ... Nggak kenapa-kenapa, kok."
Tanah mengangkat bahu, lalu beranjak. Diikuti Petir dan Angin. Ketiganya berjalan menuju meja counter yang kosong.
.
.
.
"Eh ... btw kok dari tadi rasanya kayak ada yang ketinggalan, ya?"
"Apaan?"
"Itu dia ... Apa, ya?"
"Perasaanmu aja, kali'?"
"Hmmm ... Bodo', ah."
.
Oo)=======o=======(oO
.
Babak Tiga: Elemental Paling Nggak Guna Lawan Raksasa Batu Berapi
.
.
Sementara itu, di alam antah-berantah serba putih.
Eh ... bentar. Ini di mana, ya?
Bodo', ah. Anggap aja semacam 'dunia lain' tempat mangkal para elemental kalau lagi nggak dipanggil BoBoiBoy.
Tampak sosok Api duduk sendiri di pojokan. Bersila menghadap dinding. Air ada di sudut yang lain, bobo' cantik—eh, ganteng. Daun ada di pojok yang lain lagi, menyiram tanaman hias di dalam pot sambil bersenandung kecil.
Dengan muka cemberut, Api mengorek-ngorek lantai menggunakan ujung jarinya.
Ngambek, dia.
"Aku nggak diajak main."
.
.
Chapter 01 - FIN
.
* Author's Note *
.
Halo, semuanya~! \(^o^)
Tetiba dapet ide humor yang agak panjang pas lagi kedinginan cuci baju di pagi hari gerimis. Kali ini coba menyatukan humor dengan salah satu genre favoritku, action. :"D #ey
So ... semua elemental yang udah muncul, kumunculkan di sini. Beberapa curhatan elemental di sini sebenarnya curhatanku juga. *plak*
/pukpuk Tanah
/peluk Petir
Dan untuk musuhnya, Roktaroka yang keluar. Lucu, sih. I just like him, ahahah ... XD
What do you say? Moga-moga cukup menghibur.
Sampai jumpa lain waktu~! :")
.
Regards,
kurohimeNoir
28.12.2017