This fic – Owned by me

Boboiboy, miliknya Animonsta

Warning!

Fic ini mengandung: "OOC tingkat akut, ranjau typo, gaje, abal, EYD ancur-ancuran.

Mohom di maklumi saya orang baru di dunia ini (?)"

RATE : M

Don't like, Don't read.

.

.

.

Moonlight

( Rust )

.

.

.

.

Lampu-lampu di rumah Fang sudah menyalah, terang, berpendar hangat dari balik tirai-tirai kemerahan saat Halilintar mendaki undakan anak tangga beranda. Berjingkat—nyaris terpeleset oleh kerak lumut. Iris senada batu mirah melirik, menubruk siluet kaku mobil sewarna tanah—Melintang, terparkir asal di halaman, melindas rumput hingga terkapar layu. Dari dalam, balik pintu selegam arang, suara gaduh Membubung tinggi.

"Ini saja Fang—Lucu!" Tawa renyah bergema, memantul-mantul rendah merambati dinding keras jati. Berputar, membentur, kemudian menyentil telinga. "Aku baru beli—Nih!" Sorak senang mengikuti, "Ada kupi—Fang! Jangan lari!" bersusulan dengan dentum-dentum panik langkah kaki konstan. Samar, berhamburan di atas lantai kayu.

Satu, dua debum kaku terdengar—Benda jatuh. "Kau bercanda!? Tidak mau! Hei—" Lengking suara meninggi, terpental janggal menerobos pintu. "Apa yang—Kaizo! Arghh!"

Lagi—Riuh tawa Kaizo mengintip, merangkak samar menuju beranda, bersahut seru dengan jerit kesal milik Fang. Menggelitik halus insting aneh dalam diri Halilintar, bersorak menyedihkan dari dasar paling dalam dan curam—Terasa amis.

Aroma manis lemon menguar, aksen pinus mengikuti. Menyelinap lemah dari dalam—Tipis sekali. Halilintar bergetar, terpaku, menyesap dalam-dalam bau yang memabukan. Tak dipungkiri, ia mendamba.

Hasrat gelap bergejolak, serigala lapar mengintai dari dalam dirinya. Berbisik tak sabar, mendorong cakar-cakar tamak untuk segera memerangkap sang mangsa di bawah lengkung keangkuhannya. Menyeret jatuh di bawah jejakan kaki-kaki buas, dalam kubangan rasa nikmat berlumur hasrat dan pekat darah. Mencabik, mengoyak, menerkam—

'—Tak boleh rusak oleh paksaan... Apalagi, oleh cakar busuk mu.'

Kalimat pekat datang. Sangat gelap. Lengket membayang dengan suara dingin milik si mahluk malam. Berputar rusuh, menggangu tiap jengkal syaraf binatang. Cukup ampuh menekan taring-taring yang mulai bergemeletuk liar, berganti seringai tertahan.

Sudut-sudut bibir tertarik berat, membelah lebar dengan tak wajar. "Tapi Ying, mangsa tetap mangsa—" Desis gairah merambat kaku, "—mereka ada untuk memuaskan hasrat pemangsanya." berhembus, melayang gamang membentur kulit kasar pintu.

'BRAK!'

Wajah pucat Fang muncul. Melonjak kaget, menyembul dari pintu mahoni yang terbuka lebar. Berkedip tiga kali sebelum akhirnya merona. Malu. Di belakangnya, Kaizo melongok—Sibuk menepuk-nepuk dasar halus mantel kelabu yang ia pakai. Manik delima membola, sama terkejutnya seperti Fang.

Sebelas detik jeda, senyum lebar tertarik. Putih geligi bersinar di bawah sinar lampu. "Oh! Hali, pas sekali!" Celoteh riang merebak. "Kami mau belanja—Ayo! Kau harus ikut. Seru sekali pasti." Tanpa menunggu, jari-jari Kaizo menarik lengan Halilintar. Menyeret turun, melangkahi undakan anak tangga, kemudian mengejang jijik oleh lendir kehijauan pada sudut-sudut bata lapuk—Lumut. "Oops! Awas terpeleset! Banyak perangkap di sini." Tawa bodoh melambung, menerobos asal dari pita suara, sengau dan konyol. "Lewat sini—hup!"

Di belakang, Fang mengekor—melangkah turun, hati-hati menghindar dari sekumpulan lumut lembek. "Astaga—" Susah payah menyibak tudung mantel yang kebesaran, Melahap sebagian kepala yang berkedut kesal. Sepasang kuping lebar menempel, melambai manis, tertarik sayu oleh gravitasi dari kedua sisi.

"Cocok—" Gumam Halilintar. Tak sadar, kemudian melonjak panik.

Kikikan geli Kaizo menyembur, patah-patah dan disengaja. Mirip musang genit—kalau Halilintar tak salah dengar. "Apa kubilang Fang? Halilintar saja terpesona begitu." Sambung Kaizo, lalu meringis oleh pukulan di bahu kirinya. "Apa salahku!?"

"B-berisik!" Bentak Fang, memerah malu di bawah tudungnya. Iris violet bergerak tak nyaman, menatap canggung dari balik kacamata baru. Mendapati tatapan aneh dari Halilintar—tak sabar. Entah karena apa, Fang terlalu malu untuk sekedar menggubris.

Menit berikutnya, ketiga laki-laki berbeda usia itu sudah duduk nyaman di dalam mobil, melaju santai di atas aspal legam. Kaizo mengemudi, memasang wajah sumringah, tanpa henti melirik ke arah Fang. Di sebelahnya, Halilintar menatap penasaran, penuh minat pada pohon-pohon yang nampak buram lewat kaca kusam. Sedang Fang, duduk di belakang, ikut melongok jengkel keluar jendela. Beberapa kali geraman kesalnya bersahutan dengan kekehan riang Kaizo, membuat Halilintar mau tidak mau merasa aneh sendiri.

Latar bergantian, bergerak cepat dari pepohonan lebat menjadi ladang-ladang basah, tokoh-tokoh mungil, jajaran rapat rumah dan penginapan. Hingga lima belas menit kemudian, perlahan menepi—di depan sebuah toko. Ujung belokan ke empat, di samping petak taman usang. Paling terang, juga paling ramai dari yang lain. Berderum halus, geraman terakhir mobil mengaum rendah. Denging mesin mati, berderak aneh saat pintu mobil dibuka.

"Nah—Nona-nona, kita sudah sampai." Celetuk Kaizo, melompat keluar dari kursi pengemudinya.

Fang merengut, "Hhh_" terlalu lelah untuk protes. "Terserah." susah payah mengangkat pantat dari kursi mobil yang menghangat.

"Khe!" Jemari kokoh Kaizo menggapai, "Apa-apaan ekspresi mayat busuk ini Fang?" meremas gemas sepasang pipi adiknya yang berkedut kesal. "Aduh—Sakit Fang! Kenapa kau suka sekali mencakar ku?" Protesnya kemudian, mengusap pilu bekas kemerahan yang memanjang pada ujung lengan. Mirip luka bakar kalau diamati.

Melotot sinis, "Sentuh aku lagi, ku tonjok kau!" Fang menggeram kesal, tercekik erat oleh rasa jengah. Menghentak kasar pada kerikil-kerikil di bawahnya.

"Apa..." Suara Kaizo merendah, berbisik pelan dengan wajah yang luar biasa menjengkelkan. "—apa ini... efek dari tanda liar yang ditinggalkan gadis—"

"Itu digigit nyamuk bodoh!"

"Uhukk!"

"Hali!?" Sepasang manik melirik, memandang heran fitur tegap si pemuda jangkung. Berdiri tegap, dua meter di depan, membelakangi—menoleh kaku dari tempatnya. "Ada apa? Tersedak nyamuk atau semacamnya kawan?"

"A-ah..." Belakang kepala digaruk, "Tenggorokanku... sedikit gatal." Kekehan canggung menyembur patah. Agak janggal di telinga Fang.

Melotot panik, "Oh! Astaga!" mata Kaizo membuka cepat—Dramatis. "Fang, ingatkan aku untuk membeli jahe nanti!"

"U-un."

.

.

.

.

.

Ketiganya melangkah masuk, mendapati banyak orang yang berjejal rapat dalam satu suasana—Bising. Berbagai warna membaur, bercampur padu di bawah lagit-langit kusam berlampu terang. Dari depan, beberapa kerumunan bergerak, tumpang tindih melebur rusuh. Berbagai intonasi merebak, rendah-tinggi membubung asal, menenggelamkan deru suasana luar.

Sekumpulan remaja putri tertawa manis, cekikikan masih dengan seragam sekolah mereka. Entah bagaimana, mulai bercanda dengan kikikan yang makin melengking genit saat mendapati Kaizo yang tersenyum ramah. "Ah, aku populer sekali sih—Heh! Apa? Kenapa kalian memandangku seperti itu?"

Fang memicing. Halilintar menatap culas. "Pedo." Cela keduanya sebelum kembali mengabaikan tingkah gila Kaizo.

Di sudut lorong, dekat rak bumbu dapur, beberapa wanita paruh baya sibuk mengerubungi salah satu rak yang di atasnya tertata rapih informasi diskon miring harga. Sedang meja kasir, bukan main sesaknya.

Fang tidak bisa menahan kerut kesal saat mendapati seorang laki-laki muda dengan pakaian biru mencolok, menabrak asal barisan di depan meja kasir, menyulut lenguh kesal dari tiap orang di sekitarnya. Bukannya merasa bersalah si laki-laki biru malah terus melengang menuju barisan depan, mengabaikan semua makian serta sumpah serapah di belakangnya.

'DUK!'

"Akh! Kaizo kau menghalangiku!"

"Oh! Hei bung—Kau yang menubruku ngomong-ngomong." Cecar Kaizo, mendelik ngeri pada adik pemarahnya. " Jangan bilang… ini karena kau masih dendam pada mantel imut itu? Fang—manisku. Sudah kubilang, kau imut sekali memakai itu."

Fang menberengut—Jijik. "Kaupikir berapa umur ku!?" Melotot jengkel pada wajah konyol milik Kaizo, kemudian melengos pergi, menubruk Kaizo lebih keras lagi. Meninggalkan kakak bodohnya bersama Halilintar, melangkah geram menyusuri rak-rak toko.

Kaizo mendengus, kembali menyeret langkah panjang. Sesekali gerutuan terdengar, beberapa kalimat seperti, "Padahal itu lucu. . ." atau, "Dia cocok dengan mantel itu. . ." didapati oleh telinga Halilintar. Jika saja ia tidak mencari alasan untuk kabur, daun telinganya pasti sudah memerah jengah.

Jadi, di sinilah Halilintar. Berdiri bosan di atas atap toko. Pada sudut tergelap, menatap ekor temaram perak bulan. Tak khawatir sedikitpun jika ada orang yang melihat dan berpikiran aneh tentang dirinya. Kaizo dan Fang belum juga keluar, padahal sudah sekitar limabelas menit sejak ia beralasan ingin berkeliling, sebelum meninggalkan Kaizo sendirian dengan keranjang belanjanya.

Dua, tiga titik-titik gerimis menyapu ujung hidung, sensasi dingin merambat. Halilintar mengeryit kesal, baru saja berniat melompat turun ke bagian belakang toko, penciumannya membentur aroma yang ia rasa begitu familiar. Sangat tipis. Menggantung di udara, tersamar licik oleh gerimis yang mulai menebal. tapi tak cukup tipis untuk mengelabui hidung binatangnya.

Kepala menengadah, surai hitam makin tergerus gerimis. Berlipat-lipat kerut menghiasi dahi, memanjang turun menuju pangkal hidung, Halilintar mengendus—kali ini lebih dalam. Memastikan sekali lagi. Mengais dengan teliti, satu geraman pekat menukik, tajam membelah sunyi. "Karat."

Manik Halilintar meggelap, memicing muak pada setapak hingga kaki-kaki bayang hutan. Sekali hentak sepasang tungkai melompat turun, menjejak beringas tanah lembek di bawahnya. Mengabaikan lumpur yang menciprat, menoreh asal pada tepi keliman celana.

Kemarahan serasa mencekik keronkongan, membelit ketat ujung napas yang menderu hebat. Terlebih, saat semburat tipis aroma milik Fang ikut menyelinap. Bercampur baur di antara bau busuk yang dibencinya. Menjijikan.

"Sial!"

.

.

.

.

.

.

"Maaf—Bisa minta tolong?"

Fang berjenggit—Kaget. Seorang perempuan berdiri di belakangnya, tertimbun kantong belanja yang berjejalan, sesak memenuhi keranjang dan dekapan. Memutuskan bersikap sopan, Fang membuka mulut. "Ya?" Sebisa mungkin agar terdengar ramah.

"Jepit rambutku—jatuh. Bisa tolong ambilkan? Tepat di... samping kakimu."

Spontan, Fang melirik ujung sepatunya. Jepit sewarna daun tergeletak, menyinggung sudut sol sepatu. "Oh! Tentu—" membungkuk, memungut aksesoris mungil dengan aksen sulur keemasan. "Ini." Ucapnya, menyodorkan tangan. Kemudian jadi canggung, ketika tangan si perempuan tak juga menyambut.

Manik violet bergerak gelisah. "Emm, Nona?" Panggil Fang, mulai tak nyaman.

Tumpukan belanja bergetar, ikut melonjak bersama pemiliknya. Oleng sedikit, sebelum akhirnya sebuah wajah bulat melongok lewat celah sempit tumpukkan, sepasang iris cemerlang mengerling. "Oh—Ya! Maaf, bisa tolong pasang di rambutku?" Pintanya, lirih. Serak dalam nada yang entah kenapa begitu manis dan pekat. Mengingatkan Fang dengan selai persik yang dua minggu lalu dilumurkan Kaizo pada roti panggangnya. Begitu—

Menggoda.

Sekilas Fang mengerling. Menatap canggung kantung-kantung yang terdekap sesak, kemudian melirik ragu pada helai cokelat ikal. "Ermm—tentu." Jemari pucat menggapai, meraih sisi kiri surai ikal, menyelipkan jepit mungil di sana. Bergetar kaget saat mendapati senyum hangat dari si pemilik jepit, sepuluh senti dari ujung hidung—Cukup dekat. Tertarik sempurna memancing rona pada pipi sepucat marmer.

"Terimakasih." Ucap si cokelat, sedikit membungkuk sopan. suaranya makin terdengar manis dan ringan di telinga Fang. "Duluan yah." Senyum terakhir dilayangkan. Ia berbalik, susah payah mendekap timbunan kantung belanja. Lagi-lagi oleng, berggeser hingga miring kekanan, membuat Fang berdenyut panik.

"Ah! K-kau tidak keberatan kubantu?" Fang menyela, telunjuk mengacung. "Sepertinya, itu berat."

Alis kecokelatan terangkat—Kaget. "Tapi... lengan kirimu terlihat," Jeda sejenak. "Ermm—kurang baik. Terkilir kurasa?"

Merona malu, Fang mengangkat kecil tangan kanannya, "Aku bisa pakai yang ini kok." Agak gelabakan saat telinganya malah mendapati kekehan riang. Renyah menggelitik sumsum tulang. Manis sekali.

"Kau baik sekali. Tapi—"

"Aku tak keberatan! Sungguh." Potong Fang. "Ini... mungkin terdengar aneh, tapi—" Belakang kepala digaruk, manik violet melirik kikuk. "—aku merasa bersalah, melihat mu membawa semua itu."

Si perempuan terdiam, kemudian—senyum manis mengembang sempurna, terpantul cantik di bawah terang sinar toko. "Kalau kau memaksa," Tawa manis bertebaran. "Oh! Tapi, bawa yang ringan saja yah." Sekantung belanjaan disodorkan, sekilas Fang mendapati merek pakaian dalam wanita di salah satu tumpukannya, membuat pemuda violet kalang kabut, menahan rona malu. Jika saja suara halus tidak menyadarkannya, mungkin Fang akan mendapati wajahnya terbakar sempurna.

"Nah, ngomong-ngomong namaku Shielda. Kamu?"

"F-Fang." Jawab Fang singkat, sedikit banyak karena degup jantungnya yang masih belum stabil.

"Fang," Kikikan ringan menggelitik telinga. "—nama yang bagus." Melirik si remaja ungu dengan tatapan jenaka, manik hijau Shilda berkerlip lucu. "Dan bicara soal bagus, mantelmu lumayan juga."

GLEK!

.

.

.

.

Beberapa menit berlalu saat kedua mahluk berlainan warna itu menyelesaikan pembayaran di meja kasir yang bukan main padat antriannya. Sekarang, sepasang tungkai beriringan—menyeberang santai melewati pintu toko. Menuju area parkir, ekor mata Fang mendapati telunjuk Shielda mengacung ke arah salah satu sudut halaman toko—dekat lampu jalan, dibawah lingkar kuning temaram lampu. "Itu!" Soraknya gembira. "—sepedaku."

Dahi Fang mengeryit, "Kau... bersepeda? Malam begini?" manik violet menatap heran.

"Apa itu aneh?" Tanya Shielda balik. Kepala bersurai ikal meneleng pelan.

"Untuk ukuran seorang perempuan—Ya!"

Langkah terhenti—terlalu mendadak menurut Fang—perempuan dengan manik secerah hutan itu berbalik, mengerling. Kilau hijau menatap redup, cokelat rambut tertumpah temaram bulan, bersinar hangat di antara gerimis tipis. Sekilas, segaris uap menyelinap keluar lewat celah bibir ranum, Halus sekali. "Kalau begitu—" Tiga langkah diambil, kepala merapat. Mendekat pada telinga pemuda di depannya. "—jangan menganggapku perempuan biasa." Ucap Shielda, bergetar rendah—manis dan lengket.

Beberapa menit kemudian Shielda menarik diri, mengedipkan sebelah mata sebelum akhirnya tawa renyah mengalun hangat. Merambat halus melewati belah bibir merahnya. Mengabaikan wajah Fang yang memerah hingga pangkal leher.

"Ah! Fang, aku jadi ingat—" Celetuknya tiba-tiba. Kepala cokelat meyungut, nyaris menyundul bidang dada Fang. "Tadi, kau bilang ke sini bersama kakakmu dan... temannya?"

Angukan kecil. "M-mungkin sebentar lagi ia akan keluar." Wajah menekuk malu. Lirikan patah menubruk kepala sepeda. "Apa tak masalah, bersepeda gerimis begini?" Mengalihkan topik.

"Un!" Cengiran kecil tertarik. Binar manik hijau menyalah riang, terlumur cantik oleh temaram perak bulan dan kuning lampu jalan. "Justru makin seru." Melangkah lebih ringan saat jarak kurang satu meter dari sepeda beroda langsing sewarna tanah. "Lagipula, rumahku dekat Fang."

Titik gerimis membesar, saat semua barang sudah dijejal paksa ke dalam keranjang ukuran sedang pada muka sepeda, beberapa terlihat menyembul janggal, sisanya malah terjepit menyedihkan. Sekilas Fang mengernyit perihatin, sebelum usapan halus mendarat di pipi pucatnya.

"Kau pucat sekali,"

"Shi—"

'—terlihat lezat'

Fang berjengit, nyaris terjungkal. Tanpa sadar memutar kepala, mencari sumber bisik kasar yang sekilas mampir. Kemudian bergetar gugup saat mendapati area parkir yang sepi.

Di pipinya, tangan Shielda terangkat lebih tinggi, pelan—menyusuri lekuk tulang halus. Manik hijau membulat, menatap langsung penuh harap. Berbinar, berkerlip menggoda dari balik lentik bulu mata. Tanpa sadar bulu kuduk Fang meremang, entah malu atau malah bentuk proteksi diri. "Errm, Sh-shielda?"

Kepala cokelat mendekat. Makin rapat, menghimpit hidung bangir Fang yang memerah. Terjepit kikuk menahan napas, otak Fang mati rasa.

"Fang!"

"Ha-halilintar!?"

Berdiri tegak, kaku menutupi separuh sabit bulan dari atas kepala Fang. Tubuh jangkung Halilintar lembab sebagian, terguyur titik gerimis hingga ujung-ujung pundak. Iris merah menggelap, terhalang helai basah surai pekat. "Kaizo—" Gumamnya, berat. Melirik tak suka jemari halus di atas rahang Fang. "—menunggu di mobil."

Di kulitnya, jemari Shielda bergetar. Sekilas terlalu halus, tapi Fang menyadarinya. "Kalau begitu—" Usapan terakhir di layangkan. "Aku juga Fang—Duluan." Ucapnya, manis. Kemudian bergegas, mendaki ke atas dudukan sepeda dan mulai mengayuh pedal. Cengiran riang mengiringi beberapa lambaian tangan, mengelitik insting Fang, sebelum akhirnya kepala cokelat itu benar-benar hilang dari belokan curam persimpangan ujung setapak.

Gerimis makin tebal, memburamkan kacamata anyar yang bertengger di batang hidung. Hati-hati Fang mengusap lensa berembun dengan ujung keliman mantel. Di depannya, Halilintar melangkah ringan, terlalu ringan di antara kolam-kolam lumpur lembek di bawah kaki. Sedikitpun tindak risih dengan air hujan yang mulai menetes-netes cepat dari ekor rambut sehitam tinta cina. Sudah berapa lama laki-laki itu terguyur gerimis? pikir Fang, penasaran.

'Puk!'

Berjengit kaget, Fang menengadah. Mendapati punggung tegap yang mendadak berhenti. Wajahnya berdenyut malu, lantaran tak sengaja menyeruduk. Baru saja ingin minta maaf, wajah Halilintar sudah merapat—bergerak mendekat. Membungkuk dalam pada Fang yang jelas jauh lebih pendek darinya, hidung mancung Halilintar berkedut kesal saat nyaris menempel ketat di pipi Fang.

Fang membeku. "H-hali—" Merah merambat gamblang, menutup padat sebagian area wajah. Pangkal leher hingga ubun-ubun menghangat tak karuan, menyentil urat malu yang nyaris sekarat.

Endusan dalam dilayangkan, cepat dan kasar. Tak sabar berhembus di tulang pipi, geram kesal lolos dari gigi-gigi yang bergemeletuk keras. "Sial—" Gumam Halilintar, tercekik ludah.

Gelabakan, cepat-cepat tangan Fang mendorong jauh wajah kaku laki-laki di depannya. "A-apa mau mu!?" Jeritnya malu. Wajah hingga leher makin bersemu, mengabaikan dingin gerimis dan denging pening di ujung dahi. "Lelucon mu tidak lucu!" kuat-kuat kaki kurus menghentak. Melangkah lebar di atas genangan lumpur, Fang menjauhi Halilintar. Menyeberangi area parkir, mencapai sudut satunya tempat mobil Kaizo menggeram bising.

Di tempatnya, Halilintar berdiri. Kaku. Melirik tajam lingkar temaram kuning lampu jalan, kemudian turun pada sudut gelap di bawahnya. Geraman marah menyembur janggal—tumpah ruah menerobos sudut bibir, sejalan dengan kilatan merah matanya yang menggelap.

Gerimis belum juga berhenti. Makin tebal hingga beberapa detik kemudian jadi hujan seutuhnya. Sisa-sisa muram bulan sirna, berganti temaram menyedihkan dari sinar toko di belakang Halilintar. Angin dingin membelai, membawa serta bau tak asing yang mengelitik sensor penciuman.

"Karat sialan." Bisiknya,

muak.

.

.

.

.

.

Pukul sepuluh malam, Fang sudah duduk manis di atas kasurnya. Beberapa menit lalu, ia naik ke kamar, usai makan malam dan melahap cepat sepotong pie hangat yang tadi dibeli oleh Kaizo. Penghangat ruangan menyala sedang, berdenging rendah di telinga dengan kerlip kemerahan yang sesekali tertangkap oleh sudut mata.

Di luar—hujan mulai menipis. Belum berhenti sepenuhnya, lemah membentur-bentur kaca beranda, terlihat mengintip lewat celah parka berlumut yang tak menutup rapat. Temaram sendu bulan berangsur datang, ikut masuk dengan intensitas yang sama lemahnya. Berpendar kekuningan, dengan aksen muram.

Tawa heboh Kaizo masuk, di temani kekehan kering milik Halilintar. Terambat sempurna melalui dinding-dinding jati, menggema rendah sebelum hilang dan disusul dengan yang lainnya. Begitu terus, sampai dahi Fang berkeriyut tak nyaman. Memutuskan berbalik posisi, kemudian meringis saat merasakan memar pada bahu mengesek kasar pakaiannya sendiri.

"Sial—" Umpatnya. Merutuki nyeri yang bukan main pada sisi kiri tubuh. Belum lagi otaknya mulai ikut-ikutan menyiksa, memaksa wajah menyebalkan Halilintar untuk menyelinap masuk. Bayangan pemuda itu yang merapatkan wajah pada pipi Fang berputar ratusan kali. Merangsek rusuh, mengigatkannya pada putaran konstan bianglala—bedanya, yang ini bianglala konslet.

Tidak tahu kapan harus berhenti.

Kalau sudah begini, harus pakai ekspresi apa ia besok saat berhadapan dengan Halilintar. Ah, rasanya jadi seperti hidup bersama dua ekor Kaizo dalam satu atap. Hanya saja, dalam kasusnya Halilintar lebih mengerikan. Walau senyum halus dan lebar tidak pernah meninggalkan wajah, tidak bisa dipungkiri, Fang merasa sedikit ngeri jika harus berhadapan dengan Halilintar. Rasanya seperti—Terancam.

Belum lagi fakta mengejutkan yang baru beberapa jam lalu ia sadari, tepat saat wajah Halilintar nyaris menempel rapat pada pipinya. Di bawah guyuran gerimis, sesuatu yang familiar menyelinap. Menusuk-nusuk janggal tiap sudut ingatan, begitu jelas mendekap. Memunculkan apa yang harusnya terasa buram, tertinggal layu di dasar alam sadarnya.

Aroma hewan basah.

Sangat mengganggu. Karena entah bagaimana malah mengingatkan Fang pada malam-malam mimpi buruknya. Pada bulan runtuh yang sekarat, pada belit ketat jari-jemari setan, dan—anehnya,

pada jilatan lapar di tiap inci kulitnya.

'TRAK!'

Kaca beranda berderak, rendah, menggema janggal pada tepian dinding jati.

Kemudian—Sunyi. Sunyi sekali.

Gemericik sendu hujan menghilang. detak jarum jam, samar tawa Kaizo dan Halilintar, denging rendah pemanas rungan, bahkan riuh televisi menguap pergi. Meninggalkan Fang dalam dekam sepi.

Hanya ada suara napas dan jantungnya.

'Klik.'

Fang berjenggit. Berkerut ngeri di atas kasurnya. Ia tahu suara itu, suara berat oleh karat itu—ia tahu! Suara kering yang muncul tiap kali ia susah payah mendorong gagang pintu beranda. Suara memuakan yang sekarang nyaris mencekiknya di tengah kesunyian janggal.

Berdiri dari lipatan hangat selimut, Fang menapak—nyaris melompat, mendapati lantai jati yang terasa sepanas aspal di bawah terik matahari. Menyengat, mendidihkan aliran darah di balik kulit tipis tapak kaki. Sekilas, diliriknya pemanas ruangan—Mati. Pendar kemerahan berganti hitam.

Dari balik tirai parka, temaram kuning bulan luntur—berganti muram sinar kebiruan yang menggantung janggal. Menerobos lewat celah tipis sudut berlumut—membercak gelap, membentuk bayang kasar yang menjatuhi ujung jari-jari pucat kaki Fang. Makin berjalan mendekat, rasanya hawa panas makin tebal. Ikut menguar bersama pendar biru, sedikit banyak menyulut hasrat penasaran.

Tangan pucat terangkat, menggapai ngeri tepian parka tebal. Pelan-pelan menarik, ujung-ujung jari memanas. Helai berat parka menyibak, memaparkan tepian beranda sebagian.

Kaca berembun—memburam, dengan titik-titik uap di permukaannya, mengalir turun, memenuhi sebagian kaca kusam. Makin diamati, pantulan tubuh Fang membayang samar, membentuk wajah pucat dengan bintik-bintik membiru pada tiap jengkal leher. Terlihat kusut dan lelah.

"Sayang sekali—"

Manik violet membuka lebar. Terbelalak panik.

Aroma terbakar menguar. Geram rendah menyapu tengkuk pucat—tertahan buas dalam tekanan geligi, bersahutan dengan deru napas penuh hasrat. Hawa panas makin menjadi, mengukung dari balik tubuhnya. Membelit tanpa ampun tiap inci kulit. Menggencet mati keberanian yang tersisa di sudut tersempit dada si remaja.

Fang gemetar.

Kekehan kering menyapu telinga.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"—kau tidak bisa melihat bayanganku di sana."

Sepasang tangan bergerak membelit wajah.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

TBC

.

.

.

.

.

AN:

Boleh saya nangis karena keabalan fic satu ini? (-_-")

Oke, jadi akhir-akhir ini saya makin rada pesimis sama keabnormalan tulisan saya. Auk ah gelap.

Author minta maap sekali kalau ada yang keselek, kelilipan, keinjek, kehirup, kemakan ranjau typo dan OOC. Sungguh author gak maksud buat tebar-tebar ranjau.

Terakhir, Author bener-bener terimakasih buat kalian para pembaca nyali baja yang sudah mereview, memfav, dan memfollow fic satu ini. Apresiasi dari kalian selalu jadi penyemangat buat author.

Thanks to:

.

.

.

.

Ai and August 19, Haru si Huru-Hara, mikoyin, Ani, Nozomi Rizuki 1414, Miki Mikaela, ZeAvesomePreussen, Hwang635, Zuan26, MeiLeen, MiyaMoya, KadalDarat, ciikachua, kiyo666, jekjek, guest.

.

.

.

Review dari kalian luar biasa bikin author terharu \(^ ^)/

Kalian da best lah!

Mind to review. . . again?

(Uhuk!)