Fate/Zero © Urobuchi Gen

Floccinaucinihilipilification© Nunnallyy

Arturia Pendragon & Gilgamesh

OOC, Typo, AU.

Chapter one : Malign

Ia dihadapkan pada dua pilihan, pilihan pertama ada seorang laki-laki tampan, berwibawa dan penuh perhatian, menginginkan dirinya untuk menjalin ikatan. Pilihan yang ideal sebenarnya jika ia berkata ya. Akhir bahagia sudah di depan mata.

Tapi ini ujian yang membuat nafasnya berat. Kesetiaannya dipertaruhkan.

"Kau masih mau setia pada laki-laki hidung belang yang telah banyak meniduri wanita?"

Tapi ikatan yang dijalinnya bersama pria brengsek itu belum usai.

"Arturia, kau tidak pantas bila bersanding dengan orang itu."

Bukan rayuan gombal semata, pria di depannya berkata berdasarkan fakta. Bukan satu kali dua kali ia dengar, kalimat itu terlalu sering orang-orang lontarkan padanya.

Mereka dipertemukan oleh pekerjaan, pemuda di hadapannya loyal, ia bertanggung jawab dan bijak. Suami idaman jika boleh dikatakan. Banyak yang jatuh hati, menyatakan cinta dan bertekuk lutut telah dilakukan banyak wanita. Digadang-gadangkan, jika kau tidak ingin terjerat pesonanya, jangan menatap matanya, terlebih tahi lalat di bawah mata kanannya.

"Itu gila!"

Arturia yang baru pertama kali masuk kerja mengabaikan para seniornya. Mana ada jurus pemikat di dunia ini, kecuali susuk. Tapi mana mungkin orang serealistis Tuan Dirmuid memakai barang rendahan yang kerap kali jadi pelarian orang-orang tidak punya rasa percaya diri.

Pertama kali mereka bertemu pandang adalah ketika jam makan siang, Arturia yang keteteran pekerjaannya terpaksa menahan lapar, ia harus merasa kenyang dengan jus buah yang ia bawa dari rumah. Lalu diluar dugaan, atasannya itu berkeliling ke ruang kerjanya. Ia tidak berniat mencari muka, sebenarnya jika teman temannya tau atasannya itu akan berkunjung ke ruangan mereka, biasa dipastikan kantin adalah tempat ke sekian yang akan mereka kunjungi. Bergelut dengan rasa lapar bukan apa-apa jika keuntungan yang didapat adalah bertemu pandang pemilik wajah rupawan.

"Wah, wah wah rajin sekali ya."

Ia tidak ingin mendapat pujian, sungguh. Tidak ada keuntungan yang akan di dapat, apalagi naik jabatan.

Arturia berdiri, lalu membungkuk sebagai wujud hormat pada atasan.

"Apa kau tidak lapar?"

Ia ingin berkata ya, namun memberikan senyuman sebagai balasan.

"Jangan terlalu memaksakan diri, bekerja keras boleh saja tetapi jangan melupakan kodratmu sebagai manusia untuk makan, ya."

"Saya berterima kasih atas kebaikan Tuan."

Lalu orang itu tertawa, terdengar bebas dan ia tidak merasa bahwa mereka memiliki sekat atas posisi yang terbentang jauh sekali.

Penasaran, Arturia menatap matanya. Di luar dugaan, malah orang itu yang terpikat oleh dirinya.

"Hiduplah denganku."

Lalu kehancuran akan menjemput kekasihnya.

"Aku berterimakasih, Dirmuid. Tetapi, aku tidak bisa meninggalkan dia."

"Kau terlalu memikirkannya, apa dia juga melakukan hal yang sama?"

"Ya, kurasa."

Lalu Dirmuid tertawa, sumbang dan putus asa. Arturia menyayangkan tindakan Dirmuid yang gegabah. Meminangnya bukan pilihan yang bagus, banyak wanita single diluar sana yang berkali-kali lipat cantiknya, bisa jatuh ke pelukannya dengan mudah. Apalagi ia memiliki harta dan rupa, siapa saja bisa didapatkannya.

"Tapi ini tentang hati."

Ya, tentang hati.

Layaknya Dirmuid, ia tidak berbeda sama sekali. Bukan tentang kesetiaan yang tengah ia perjuangkan, Arturia hanya tidak ingin menghancurkan hidup seseorang.
Walaupun dia brengsek, hidung belang, dan arogan, tapi ia akan sengsara jika Arturia tinggalkan. Dan Arturia mengambil pilihan kedua, untuk bertahan.

.

.

.

Orang itu gigih, ia melakukan apapun untuk mendapatkan Arturia. Duduk di bangku kuliah tidak membuat Arturia bahagia, tidak sampai ia bertemu dengam seorang pemuda, Gilgamesh namanya.

Berbeda kelas, berbeda jurusan. Tapi Arturia tidak mengerti kenapa Gilgamesh bisa mengenalnya.

Pendekatan pertama dimulai dengan bunga, ya seperti kebanyakan pemuda pada umumnya. Lalu boneka, ditambah rayuan dan kata-kata cinta. Teman-temannya yang tahu perihal itu mengingatkan ia untuk waspada, Gilgamesh adalah buaya, ia mengencani banyak wanita dan akan meninggalkannya begitu saja.

"Ya ya ya aku tahu. Terima kasih sudah mau repot-repot menasihatiku. Tenang saja, aku tidak tertarik padanya kok. Jadi kalian punya kesempatan untuk memiliki raja yang kalian agung-agungkan itu."

Ada yang mukanya memerah karena menahan marah, ada yang siap melayangkan tamparan padanya. Refleksi mereka terlihat jelas di kaca panjang toilet wanita.

Dasar fans girl.

Karena ulahnya yang terlalu berani, Arturia sering pulang beberapa kali dengan kondisi sepeda yang tidak bisa digunakan lagi. Di sinilah Gilgamesh mulai melancarkan aksi. Ia akan menunggu Arturia sampai selesai dengan kelasnya, lalu mengantarkannya pulang dengan sedikit memaksa.

"Ayo pulang bersamaku, "

"Tidak mau."

"Jangan menolak begitu, aku tahu kau tidak punya tumpangan."
Alih-alih para fans girl, entah mengapa tuduhan pengrusakan itu Arturia lebih berpikir bahwa itu ulah Gilgamesh sendiri.

Ya modus mungkin.

"Kau kan masih ada kelas. Aku bisa pulang sendiri."

"Hahahaha." Tawanya yang khas membuat Arturia bergidik ngeri.

"Begitu ya Arturia? Kau memperhatikan aku rupanya, wah aku merasa sangat bahagia."

Arturia bermaksud membiarkan orang itu menikmati kebahagiaannya, sehingga ia melengos begitu saja. Tapi tangannya di tahan, dan ia kesulitan untuk melepaskan.

"Ayo kita pulang, dan akan aku buat kau bahagia."

"Kebahagiaanku adalah tidak pulang bersamamu."

"Hahaha aku tahu apa yang akan membuatmu bahagia, pulang naik kereta bersamaku. Ya! itu sempurna."

Rumahnya tidak akan bisa ditempuh dengan naik kereta, ia terbiasa naik sepeda atau berjalan kaki. Paling tidak, naik bus. Itupun hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Tapi Gilgamesh tidak memiliki waktu untuk mendengar penjelasannya, dan mereka malah tersasar di pusat perbelanjaan.

Arturia tidak memiliki hati untuk mencintai Gilgamesh, jangankan jatuh cinta, tertarik saja tidak. Kegigihan Gilgamesh yang berlebihan, membuat Arturia iba. Terlebih, ia banyak mendengar selentingan bahwa Gilgamesh kerap kali mendekati wanita untuk dijadikan taruhan. Ia tidak ingin percaya, namun rasanya mustahil karena ia tidak istimewa, tetapi tidak ada salahnya untuk tetap waspada bukan?

Awalnya ia ingin tetap pada pendirian, mengabaikan Gilgamesh dan berharap pemuda itu akan menyerah. Namun gagal. Gilgamesh semakin gencar mendekatinya. Ia selalu pulang dan pergi kuliah bersamanya, membawakan makanan di waktu malam, walau Arturia tidak pernah mempersilakan pemuda itu masuk dengan dalih orang tuanya akan murka. Padahal baik ia ataupun Gilgamesh sama-sama tahu bahwa orang tuanya menetap di luar kota. Tetapi, Gilgamesh tidak pernah memaksa dan menghargai tindakan Arturia.
Hingga ia tiba pada suatu malam, ia merenung dengan laptop menyala. Nilainya sempurna, seperti semester-semester sebelumnya. Tetapi ada rasa bersalah yang terlalu besar, dari sekian tanya yang berkecamuk dalam kepala, mengapa yang lebih dominan adalah, "Bagaimana dengan Gilgamesh?"

Menurut rumor, ia sempurna karena tiga hal. Rupa, harta, dan isi kepala. Tetapi, ini dunia perkuliahan, secerdas apapun jika sering bolos itu adalah hal yang sia-sia.

Gilgamesh hafal jadwal kuliahnya, makanya orang itu tidak pernah absen mengantar dan menjemputnya, tetapi Gilgamesh mengabaikan yang terpenting, karena kelas mereka yang nyaris tidak permah memiliki waktu yang sama, maka bisa dipastikan bolos adalah kawannya yang setia.

Atas dasar itu, Arturia mulai melunak. Ia memiliki rencanya yang membuahkan hasil positif untuk keduanya.

"Ayo kita pulang."

Seperti biasa, Gilgamesh akan duduk di depan kelasnya dan mengajaknya untuk pulang. Arturia tidak memiliki daya untuk menolak, karena jika ia lakukan perdebatan akan tercipta dan kemenangan tidak pernah ada di pihaknya.

"Tunggu Gil, memangnya kau tidak ada kelas?"

Raut terkejutnya lebih lucu dari serial komedi di tv. Arturia berusaha menahan tawa, agar upayanya terlihat tulus tampa dibuat-buat.

"Tidak. Ayo pulang."

Gilgamesh bodoh. Ia semalam menghafalkan jadwal kelasnya, berbohong tidak ada gunanya.

"Tidak tidak. Kau ikuti kelasmu, aku akan menunggu di perpustakaan."

"Ck, kebohongan yang sia-sia. Kau akan kabur kan? Mana mungkin aku percaya."

"Kalau aku kabur, kau boleh menculikku pada keesokan harinya."

Arturia tahu, ia payah dalam hal tawar-menawar.

"Ekhm."

Ia berdehem, "Kalo aku kabur, aku akan mengajakmu jalan."

"Kencan?"

"Bu...bukan."

Ya, ia sangat payah.

"Aku terima tawaramu, Arturia! Tunggu dan jangan kemana-mana ya."

Pada akhirnya, kabur atau tidak tetap saja pulang kuliah mereka jalan berdua.

.

.

.

.

Arturia sedang menunggu untuk Gilgamesh menyatakan cinta padanya. Ini adalah konflik yang akan mendekati akhir. Ia tidak menunggu dengan berbunga-bunga, atau menerima dengan penuh bahagia. Ia akan menerima, lalu menunggu sampai Gilgamesh meninggalkannya. dengan begitu, mereka akan kembali pada kehidupan masing-masing, dan ia tidak perlu lagi menjadi pengacau dalam perkuliahan pemuda itu.

Hari yang ditunggu pun tiba. Ia menduga kalo kejadian ini akan penuh bunga, namun di luar dugaan ini terlewat romantis sampai ingin membuat Arturia menangis.
lilin-lilin berwarna biru mint, enggan mati walah tertiup angin. Cahayanya meliuk-liuk, terpantul dari sebuah kolam layaknya kunang-kunang. Gilgamesh menyanyikan lagu cinta, lalu menyematkan cincin di jari manisnya. Alih-alih nembak untuk orang pacaran, ini lebih mirip lamaran. Suara Gilgamesh tidak terlalu bagus, namun ia menyanyi dengan begitu tulus. Lalu mereka makan malam berdua, dengan sorot mata penuh cinta pemuda itu yang tidak pernah lepas darinya. Awalnya ia merasa terancam, takut Gilgamesh akan melakukan tindakan kelewat batas yang tidak menyenangkan. Tetapi gosip memang tidak sepenuhnha benar, Gilgamesh menjaganya. Atau mungkin, belum?

Gosip mereka yang menjalin hubungan menyebar begitu cepat. Tiga perempat dari populasi wanita menyerangnya di media sosial dan sepakat menjadikan hari jadi mereka sebagai hari patah hati Nasional. Satu perempatnya lagi memilihtidak peduli.
Gilgamesh meminta Arturia untuk tidak peduli, dan ancaman-ancaman itu sudah tidak terdengar di hari ketiga. Gilgamesh telah membereskan mereka.

Pekan ketiga di bulan Mei, Arturia tidak akan lupa. Gilgamesh mengenalkannya kepada teman-temannya dengan penuh bangga. Tapi, Arturia mendengarnya seperti kemenangan. Mereka baik, memperlakukan Arturia dengan sangat sopan, makan-makan mengobrol dan bercanda hingga larut malam. Gilgamesh pamit untuk mengantar Arturia pulang, walau sebenarnya acara belum selesai, Gilgamesh hanya ingin membatasi waktu malam yang memang jika terlalu larut tidak baik untuk kesehatan, apalagi bagi seorang gadis.

Di depan rumahnya, semua hal pelik itu ia mulai. Gilgamesh memberinya bingkisan makanan yang mereka beli tadi sebelum pulang. walaupun Arturia bersikeras bahwa ia sudah kenyang, namun Gilgamesh tetap keras kepala membelikannya, takut jika nanti Arturia kelaparan. Padahal, makanan yang kerap kali Gilgamesh kirim dalam jumlah banyak itu masih belum termakan.

Sambil memegang tali tas kertas, Arturia menahan Gilgamesh yang siap untuk melangkah meninggalkan taman rumahnya.

"Ada apa?"

"Sudah, hentikan. Semuanya, sudah selesai bukan?"

"Apanya yang sudah selesai?"

Arturia menatap tanah, tidak berani jika harus berhadapan langsung dengan sepasang retina sewarna darah.

"Masuklah Arturia, kau harus segera beristirahat."

"Sudah selesai Gilgamesh. Kau telah menang, dan teman-temanmu sudah tahu. Sekarang, aku sudah bebas bukan?"

Arturia tidak akan lupa sorot mata itu.

.

.

.

.

A/N : HAI GAES AY EM KAMBEK! Saya merasa sangat senang ketika bisa kembali mengisi tulisan di situs ini, dengan pair tercinta yang gak pernah berhasil buat move on. Yaudah sih ya, semoga kalian bernasib sama biar kita bisa ngemaso bareng khekhkehkehke.

Coba tebak, apa yang akan terjadi dengan hubungan mereka?

.

Nunnallyy, 15 April 2018