EPILOG

Ino berlutut di atas karpet empuk yang melapisi ruang duduk rumahnya. Ia mencium pipi bocah berusia sekitar satu tahun yang sedang berusaha berdiri sambil memegang pinggiran sofa. Inojin memang sedang belajar berdiri dan melangkah. Ia begitu aktif dan ingin tahu. Sehingga membuat Ino dan Itachi menyingkirkan semua benda-benda berbahaya yang bisa di jangkau anak itu. Hidung wanita itu mengerut mencium bau yang berasal dari popok putranya.

"Itachi..! Anakmu pup, tolong bersihkan pantatnya. Aku buru-buru."

Dari dapur suaminya muncul dengan bertelanjang kaki dan menggenggam secangkir kopi di tangannya. Sejak ia keluar dari keluarga Uchiha hidupnya lebih santai, tak perlu lagi buru-buru ke kantor atau kehabisan waktu karna mengurus pekerjaan. Konan pun keluar ikut keluar dari perusahaan Uchiha setelah ia tak lagi menjadi CEO. Bersama kisame dan teman-teman yang lainnya mereka mendirikan start-up bernama Akatsuki. Ia putus kontak dengan Sasuke dan sesekali masih bertemu dengan ayah dan ibunya. Sepertinya di bawah kendali Sasuke dan Sai perusahaan lebih berkembang. Ia memang harus mengakui barangkali adiknya lebih berbakat dari yang mereka kira dan tenggelam dalam bayangan dirinya membuat Sasuke tak bisa bersinar. Ia menatap keluarganya. Sang istri sudah tampil rapi dengan setelan bisnis lavender. Ino sebagai wanita karier memang selalu sibuk meski begitu Ino tetap meluangkan waktu untuk putra mereka. Urusan membesarkan anak bukan hanya tanggung jawab wanita. Kebanyakan ia yang mengurusi Inojin saat istrinya sedang tak ada. Itachi tak malu sering disebut sebagai bapak rumah tangga atau diejek bucin oleh rekan-rekannya. Selama ia dan istrinya bahagia tak ada yang perlu mereka rubah. Ia tak perlu sok menjadi pria macho dan menuntut Ino untuk ini itu ketika sang istri fokus membangun bisnisnya.

"Mengapa ya selalu aku yang membereskan bagian terburuknya?" Keluh Itachi.

"Bukannya aku tak mau, tapi aku harus berangkat sekarang. Apa kau mau membiarkan Inojin memakai popok kotor hingga Yume datang? Silakan saja. Buat anakmu jadi rewel dan tak nyaman karena kau malas."

Itachi melirik jam dinding, Yume tak akan datang sampai jam delapan. Ino benar Bocah itu pasti akan menangis karena popok basah. Ia pun meletakan cangkirnya di meja dan berjalan ke arah anaknya. Kedua tangan Itachi terselip di bawah ketiak sang bayi lalu mengangkat bocah itu. Itachi mendengus mencium baunya. "Oke, Mama benar. Kita harus mencuci pantatmu."

Diangkat seperti itu. Sang bocah berteriak gembira. Ino tersenyum melihat keduanya. Awalnya ia menduga Itachi akan membuat jarak dengan Inojin, tapi pria itu membesarkan Inojin selayaknya darah dagingnya sendiri. Ino salut dan mengagumi suaminya yang selalu berbesar hati dan sabar. Ia tak pernah berhenti bersyukur memiliki Itachi untuk mendampinginya. Mereka tak pernah membahas lagi soal insiden itu. Lagi pula Sai dan Sasuke sudah keluar dari kehidupan mereka.

Sesaat setelah Inojin lahir Ino tak bisa benar-benar mencintai bocah itu, ia selalu teringat akan Sai dan perbuatannya dan Ino sangat kecewa pada dirinya mengapa bukan bayi Itachi yang lahir dari rahimnya, tapi suaminya mengajarkannya untuk menerima dan menjalani semua ini. Inojin tak bersalah dan tak berhak menerima kekesalannya. Cinta dan penerimaan Itachi pada anak itu membuat Ino merasa malu pada dirinya sendiri. Ia adalah Ibunya darahnya mengalir dalam nadi anak itu dengan begitu jelas. Ia akhirnya bisa mengesampingkan amarahnya dan merengkuh insting keibuannya. Membiarkan dirinya jatuh cinta pada bayi tampan yang memilik mata dan rambut seperti dirinya.

Dikarenakan kesibukannya Inojin dibesarkan oleh pengasuh yang tentunya diawasi oleh Itachi. Untung saja Itachi diberhentikan, kalau mereka berdua masih sibuk bisa-bisa Inojin tak terurus.

Wanita itu mencium suaminya sebelum pergi dan mengingatkan Itachi untuk membawa Inojin ke dokter untuk Imunisasi. Pria itu hanya mengangguk-angguk patuh.

Ketika hanya tinggal mereka berdua, Itachi berbaring di lantai. Ia membiarkan bocah kecil itu berusaha memanjati perutnya. Semakin hari Inojin tampak semakin mirip dengan Sai dan ia tak pernah membawa bocah itu ke rumah keluarga Uchiha karena takut mereka mungkin akan menyadarinya. Entah apa yang akan dilakukan Sai Shimura bila ia mengetahui hal ini.

"Hei, Nak... Apa kau sayang papa?"

Inojin memamerkan senyum tanpa giginya dan menepuk nepuk perut papanya. "Da..da. da. " oceh bocah itu senang.

Itachi mengangkat sang bocah dan membaringkan anak itu di atas tubuhnya. Seketika anak itu merentangkan tangan memeluknya. "Pa. Pa..."

Itachi tertawa. "Anak pintar. Kau lebih dulu mengucapkan kata papa ya. Kalau mamamu dengar ia pasti iri."

"Pa..pa..pa..pa..pa..." gumam bocah itu berulang-ulang.

Itachi kemudian tertawa senang dan menggelitiki Inojin. Dia merasa hidupnya sempurna. Istri yang mencintainya, Anak yang sehat dan lucu. Serta kehidupan yang nyaris bebas stres. Tak sedikit pun ia merindukan pekerjaan dan statusnya. Pada akhirnya meski ia bukan lagi pemimpin keluarga Uchiha orang-orang masih menghargai kemampuannya. Bila ia berhasil sukses dengan usaha barunya. Ia bisa berbangga karena ia melakukannya sendiri tanpa dihubung-hubungan dengan nama keluarganya.

Terkadang ia jenuh orang mendiskreditkan usahanya. Mereka bilang wajar ia sukses karena ia terlahir sebagai Uchiha, seorang Jenius berbakat. seolah tak menghargai susah dan beratnya proses yang dia harus lalui untuk menjadi pemimpin yang benar di mata kakeknya. Dulu hanya Sasuke yang tahu dan kerap mengkhawatirkannya. Entah kapan persaudaraan mereka yang manis berubah menjadi persaingan rumit. Ia tak pernah ingin Sasuke jadi membencinya.

"Ding...dong."

Suara bel pintu berbunyi. 'Siapa kira-kira yang datang ke rumahnya pagi-pagi begini.' Dengan berat hati Ia membukakan pintu. Meninggalkan putranya sendirian berguling di lantai.

"Sasuke, Mau apa kau kemari?"

"Aku hendak menyampaikan kabar duka. Kakek Madara meninggal tadi malam." Tak sedikit pun nada suram terdengar dari suara Sasuke. Mungkin adiknya memang menanti-nanti kematian sang Kakek.

"Oh, Mengapa kau mendatangiku. Aku tak diakui lagi olehnya."

"Benar, setelah peristiwa itu kakek menulis ulang surat wasiatnya. Kau dan aku sama-sama dicoret dari daftar ahli waris, tapi ia menunjuk ayah sebagai ahli waris satu-satunya. Ayah menginginkanmu kembali, ia juga berpesan ingin bertemu dengan cucunya."

"Apa kau tak keberatan meminta posisiku kembali?" tanya Itachi pada adiknya.

"Apa kau benar-benar menginginkannya? Aku tahu kau tak suka dengan pekerjaanmu kakak. Kau melakukannya hanya karena kau harus. Sekarang dia sudah mati dan tak bisa lagi mengatur kehidupan kita."

"Hn..Kau benar, Tak ada gunanya aku mengikatkan diri dengan kewajiban yang tak aku inginkan, tapi aku tak suka kau mau seenaknya menyingkirkan aku begitu saja. Apa kau lupa aku mendedikasikan dua puluh tahun hidupku untuk membangun perusahaan yang kau ambil alih?"

"Begini saja. Aku punya tawaran untukmu. Bila kau mau, kau bisa menduduki kursi dewan penasihat."

"Serius? Bukankah kau membenciku?"

"Setelah aku berpikir panjang. Sungguh salah aku membencimu. Dulu waktu kita kecil kau selalu menyayangiku, tapi semenjak mereka terus menerus membanding-bandingkan kita. Aku merasa kesal. Hidup menjadi bayanganmu tidak mudah."

"Aku mengerti, Semenjak aku mulai bekerja di perusahaan aku juga jadi mengacuhkanmu. Kakek membuat kita saling berkompetisi. Dia berpikir persaingan akan membuat kita lebih berkembang."

"Dan masalah Ino, aku minta maaf. Seharusnya aku berbesar hati dan menerima kenyataan kalau akulah yang meninggalkannya di altar."

"Sebenarnya, setelah kami kembali ke Tokyo. Ino juga tak mau melanjutkan pernikahan ini, tapi aku bilang padanya untuk tetap bersamaku hanya untuk membuatmu marah."

"Lalu kau berhasil membuatnya jatuh cinta padamu dan benar-benar melupakanku. Aku rasa kau pantas mendapatkan kebahagiaan ini. Aku harus mengakui kau pria yang jauh lebih baik dari aku dan Sai."

"Pa..pa..pa..." Inojin merangkak dengan cepat ke arah pintu. Dengan sigap bocah itu mendudukkan pantatnya di lantai dan menarik celana papanya minta perhatian.

Sasuke terkejut melihat bocah itu. " ini anakmu?, dia mirip sekali dengan Ino."

"Inojin kenalkan ini pamanmu. Paman Sasuke."

"Hai Inojin." Sapa Sasuke pada sang bocah pirang.

Inojin memasang wajah cemberut "Bruupt.." tahu-tahu saja bocah itu kentut.

"Sepertinya ia tak menyukaiku." Komentar Sasuke sambil tertawa. "Aku harap kau bisa datang ke pemakaman kakek besok pagi."

"Aku harus tanya Ino dulu."

"Kakak, Aku berharap kita masih bisa menjadi keluarga. Aku benar-benar menyesali perbuatanku."

"Aku bukan orang yang suka mendendam Sasuke. Aku telah memaafkanmu, tapi tidak tahu dengan istriku. Ia adalah korban dari semua ini."

"Apa aku harus menghindari Ino?"

Itachi mengangkat bahu. "Kita keluarga, mau tak mau dia akan berpapasan dengan kalian. Mungkin suatu hari Ino akan bisa memaafkan kalian."

.

.

Setelah berdebat semalaman dengan Itachi akhirnya Ino mengalah. Ia setuju menginjakkan kakinya lagi di kediaman Uchiha. Dia dan Itachi serta Inojin seperti tamu-tamu lainnya datang mengenakan pakaian berkabung.

Mikoto Uchiha langsung menyambut kedatangan mereka. Wanita itu menyanggul rambutnya dan mengenakan kimono.

"Ino, Itachi. Aku senang kalian datang."

"Aku pasti datang untuk memberi penghormatan pada kakek meski ia tak mengakuiku. Aku tak ingin orang lain bilang aku cucu yang durhaka."

"Aku harap kau bisa memaafkan kakekmu. Dia membuat hidupmu susah."

"Dia membuat hidup kita susah. Aku malah ingin berpesta untuk merayakan kematiannya." Sasuke muncul bergabung dengan mereka membawa sebotol sake.

"Hush.. Jangan bicara begitu Sasuke, tak sopan. Bagaimana bila ada tamu yang mendengarkan." Hardik Mikoto pada putra bungsunya.

Ino langsung menatap lantai. Ia tak ingin bertemu pandang dengan adik iparnya. Biar Itachi sudah memaafkan Sasuke dan Sai. Ino tak bisa melupakan apa yang sudah mereka perbuat. Ia nyaris hancur gara-gara mereka.

"Boleh aku mengendong cucuku? Dia tampan sekali." Pinta Mikoto.

"Inojin...Mau digendong nenek?" tanya Ino pada putranya. Merasa takut dengan wajah-wajah yang tak ia kenal. Anak itu semakin beringsut dalam dekapan ayahnya.

"Inojin...Itu nenek loh, tidak apa-apa." Ucap Itachi dengan lembut menyemangati putranya.

Seolah paham, Inojin pun meraih tangan Mikoto. Wanita berambut hitam itu tampak senang. "Ayo kita temui kakekmu."

Fugaku dan Inabi berada di ruang duka. Wangi dupa dan bunga mengharumkan ruangan di mana peti mati Madara Uchiha diletakkan. Meski dalam suasana duka wajah anggota inti keluarga itu malah tampak lega. Ino jadi lebih paham jadi selama ini Madara memperlakukan anak, cucu dan mantunya seperti seorang tiran. Dari sudut matanya Ino melihat Sai berdiri di sudut ruangan. Ino kadang bertemu dengan pria itu dalam rapat, tapi mereka tak lagi bertegur sapa. Ia khawatir apa yang akan Sai lakukan menyadari keberadaan Inojin. Ino merapatkan dirinya pada sang suami. Kemudian dengan setengah hati ia memanjatkan doa untuk Madara.

Ketika acara selesai dan semua tamu sudah pulang. Itachi mendekati Sai yang sedang merokok di kebun.

"Bagaimana kabarmu. Senang menjadi bagian dari klan Uchiha?" tanya pria yang lebih tua itu.

Sai hanya tertawa hambar, "Ayahku sedang mencoba menebus dosa-dosanya, tapi aku tak berharap banyak menemukan kebahagiaan setelah semua hal yang aku lakukan dalam hidupku."

"Itu menyedihkan, semua orang berhak mendapatkan kesempatan kedua." Komentar Itachi.

Sai berputar untuk menatap sepupunya. "Inojin adalah anakku bukan?" Sejak awal Sai melihat bocah itu ia langsung tahu. Wajah Inojin mirip dirinya.

"Benar, tapi aku tak akan menyerahkannya padamu."

Sai tersenyum tipis. "Aku tak berniat menghancurkan kebahagiaan kalian lagi. Lagi pula Ino tak akan mau bersamaku. Kau ayah yang lebih baik dariku."

Ino melihat suaminya berbicara berdua dengan Sai. Takut terjadi apa-apa ia lalu menghampiri mereka. Ino memberikan Sai tatapan tak senang dan bergegas berdiri di sebelah suaminya. Tangan wanita pirang itu sudah lelah mengendong putranya dari tadi.

Sai melangkah hendak menyingkir dari hadapan mereka. Ia tahu Ino tak pernah merasa nyaman berada di dekatnya. Sebelum ia pergi, ia mendekati Inojin untuk menyapa bocah itu.

"Hai Inojin, Aku paman Sai."

Inojin tersenyum memamerkan gusinya. Hal itu membuat Sai merasa hangat. Mungkin ia tak bisa mengakui dirinya sebagai ayah, tapi ia tetap bisa berada di dekat anak itu sebagai pamannya. Puas dengan penerimaan sang bocah Sai melanjutkan langkahnya mencari Sasuke.

Dahi Ino berkerut, merasa aneh dengan kejadian tadi. Ia langsung panik seketika saat ia menyadari sesuatu. "Apa dia tahu, Itachi?" Ino memeluk Inojin lebih erat.

Itachi meletakan tangannya di bahu Ino. Mencoba menenangkan wanita itu. "Jangan khawatir. Dia tak akan mengganggu kita."

"Mengapa kau percaya padanya?"

"Sebab ia peduli pada anak ini. Sai tak akan merebut kesempatan anaknya memiliki keluarga yang harmonis dan orang tua yang mencintainya."

"Sepertinya aku tak akan bisa menghindari kedua bajingan itu." Ujar Ino kesal.

"Istriku aku harap suatu hari kau belajar memaafkan mereka. Manusia bisa berubah."

"Aku tak bisa berjanji."

"Terima kasih, Yang penting kau mau mencoba."

.

.

"Mau ke mana kau Inojin?" Ino yang baru saja tiba di rumah berpapasan di depan pintu dengan remaja pirang mengapit sebuah kanvas di lengannya.

"Aku mau melanjutkan lukisanku di tempat paman Sai. Ia mengajariku beberapa teknik baru. Sudah dulu ya ma, aku akan kembali sebelum makan malam."

Ino mendesah, punya anak remaja memang menyulitkan. Ino mengkhawatirkan Inojin yang belakangan kerap menghabiskan waktu bersama Sai. Bagaimana bila Inojin tahu kebenaran? Lima belas tahun sudah berlalu dan Ino merasa Sasuke dan Sai berubah. Tali persaudaraan yang putus tersambung kembali dan Ino menyingkirkan amarahnya. Seketika kedua orang itu menjadi paman yang memanjakan anak-anaknya.

Baru melangkah ke dalam Ino sudah mendengar putrinya yang sedang berdebat dengan sang ayah.

"Apa-apaan pakaianmu Kageru?" Itachi tampak tak setuju dengan pilihan putrinya.

"Ayah, tak ada yang salah dengan baju ini. Mama juga mengenakan model yang mirip sewaktu muda dulu."

Itachi menarik nafas panjang. Mengapa putrinya mirip sekali dengan Ino, keras kepalanya juga sama. Yang membedakan hanya rambut dan mata gelap gadis itu menegaskan dia seorang Uchiha.

"Ada apa ini ribut-ribut?" Ino meletakkan tas nya di meja dan duduk di sofa.

"Tolong suruh putrimu ganti baju. Pakaian itu tak pantas untuk gadis seusianya."

Ino melirik Kageru yang mengenakan rok denim di padu dengan crop top hitam yang memamerkan perutnya. "Aku tak melihat ada yang salah."

"Tuh, Benar kan. Papa saja yang kolot." Ucap gadis itu sebal.

"Ino, Bukankah ini tak pantas?"

"Aku tak bisa melarangnya. Waktu aku remaja aku selalu mengenakan crop top."

"Hn.. Ya sudahlah." Itachi menyerah berdebat soal pakaian putrinya yang terlalu seksi. Sudah jelas pilihan pakaian putrinya adalah hasil ajaran sesat Ino. "Jadi kau mau pergi ke mana?"

"Kencan" Jawab bocah tiga belas tahun itu dengan lugas.

Ino tertawa sementara Itachi terbelalak. "Kau sudah punya pacar?"

"Tidak ayah, Aku tak akan pacaran sampai bertemu cowok yang melebihi paman Sasuke. Hari ini paman berjanji mengantarkan aku dan teman-teman bermain boling."

Itachi bisa bernafas lega. Dia belum siap melihat putri kecilnya menggandeng tangan pria lain. Mendengar suara mobil. Dengan cepat gadis itu berlari ke luar pintu.

"Apa kau tak khawatir? Putri kita begitu mengidolakan Sasuke dan putra kita berbagi hobi dengan Sai."

"Aku tak khawatir Ino. Mereka selalu bilang paman Sai dan Sasuke keren, tapi papa yang paling keren."

"Hm..Kau memang selalu menggampangkan."

Itachi beringsut ke samping Istrinya dan mendorong Ino dengan lembut hingga wanita itu terlentang di sofa. "Dari pada menghawatirkan anak-anak bagaimana kalau kita melakukan hal yang lebih menyenangkan."

Ino menyentil hidung pria yang menindihnya sambil tersenyum. Helaian perak menghiasi rambut kelam Itachi dan guratan di wajahnya tampak semakin dalam, tapi sentuhan pria itu selalu menimbulkan reaksi yang sama pada tubuhnya.

"Sudah setua ini masih saja mesum."

"Tapi kau suka kan." Ucap Itachi menggoda.

Siapa yang pernah mengira pernikahan dadakan mereka bisa berlangsung begitu lama.