Naruto belong to Masashi Kishimoto

Plot By Yadika Putri (based on novel "Pernikahan Wasiat")

I own the story, and please enjoy.

Welcome to my imagination.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Love and Trust

.

.

.

.

.

Summary: "Hentikan itu Shikamaru. Kau terlihat bodoh dengan boneka itu."/ "Pernikahan kalian belum resmi. Kalau kau memutuskan berpisahpun tidak akan ada yang memberatkan. Kalian hanya perlu sepakat dan tinggal di tempat yang berbeda."/ "Kalian memang benar-benar sahabat terburuk dengan kalimat mutiara yang membuatku ingin menendang kalian ke dunia bikini bottom milik Spongebob."/ "Sesekali aku juga ingin menyambut suamiku pulang. Naruto-nii tidak pernah membangunkanku kalau aku menunggu dan tertidur"/ "Aku tidak sengaja, Naruto-nii. Aku hanya ingin mengambil butiran nasi. Hanya bercan...hmppp.."/ "Aku tidak ingin membahasnya. Lagipula aku hanya melamun. Bukannya mengingat ciuman pertama."/ "Kami memiliki kejutan untukmu. Dan mungkin ini satu-satunya kabar bahagia yang bisa kami berikan."/ "Ma... Mariko..."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

5. A Cup of Memory

A Cup of Memory

.

Sakura menggenggam ujung piyamanya dengan khawatir. Naruto tidak pulang. Dan tidak ada kabar yang diterima olehnya. Kemana pria itu? Kenapa sulit sekali untuk dipahami? Bahkan setelah malam penuh keintiman yang mereka lalui kemarin. Apa ciuman itu tidak ada artinya bagi Naruto?

"Kemana Naruto-nii?"

Gadis pink itu tidak memiliki cukup nyali untuk menelpon pun membuat kegaduhan dengan mengganggu waktu tidur Shikamaru dengan menghubunginya dan menanyakan keberadaan Naruto. Dilema yang melelahkan.

Pada akhirnya, gadis pink itu memutuskan untuk berbaring di atas sofa ruang tamu. TV dinyalakan olehnya dan matanya mulai terpejam. Berharap ketika dia terbangun lengan besar Naruto memeluknya dengan erat seperti apa yang terjadi beberapa hari belakangan ini. Pelukan hangat yang membuatnya selalu tenang.

.

.

.

Sinar matahari yang masuk melalui celah jendela membangunkan Sakura. Gadis itu terkesiap ketika menyadari sudah pukul 6 pagi. Dia terlambat bangun. Namun keterkejutannya itu seolah menguap ketika melihat sosok Naruto tengah duduk di kursi di hadapannya. Pria itu menatapnya dengan sorot yang tidak bisa diartikan oleh Sakura.

Gadis itu tersenyum haru dan segera berlari menabrak sosok suaminya. Memosisikan diri di atas pangkuan suaminya dan menenggelamkan wajahnya dalam ceruk leher Naruto.

"Semalam Naruto-nii kemana saja?"bisiknya di tengah isak yang melandanya.

"Aku di rumah orang tuaku. Lupa memberitahumu kalau menginap."

"Jangan melakukan itu lagi, Naruto-nii. Aku benar-benar takut."

"Kau kan sudah besar? Sendirian di apartemen bukan hal yang menakutkan, hm?"

Sakura mengurai sedikit pelukannya dan menatap wajah suaminya. Air mata yang terus membanjiri pipinya membuat Naruto mengulum senyum dan menghapusnya perlahan. "Aku tidak mau sendirian disini. Tidak bisakah aku ikut kemana saja Naruto-nii pergi?"

"Bahkan ke kamar mandi?"tanya Naruto jahil.

BLUSH!

Naruto terkekeh melihat perubahan rona wajah Sakura. Tangannya membelai rambut merah muda itu lembut dan mengecup dahinya. "Aku tidak kemana-mana. Jangan berlebihan. Lagipula, kalau kau ikut aku kemana saja aku pergi, bagaimana dengan sekolahmu? Bukankah sebentar lagi kau lulus?"

"Itu juga aku tau. Tapi aku akan marah kalau Naruto-nii tidak memberi kabar. Setidaknya... jika tidak pulang..."

"Aku tau, baby girl. Maafkan aku, ne?"

Sakura mengangguk dan mengeratkan pelukannya sekali lagi pada bahu sang suami. Aroma citrus bercampur aroma khas pria itu membuatnya tenang. Semua rasa khawatir yang dirasakannya berguguran satu persatu. Bisakah ini bertahan selamanya?

.

000

.

Naruto gelisah. Hati, pikiran, dan semua hal yang telah berlalu seolah silih berganti mengerubunginya. Rasa cinta pada Mariko dan kisah yang membelit mereka di masa lalu membuatnya bimbang. Tanggung jawab dan rasa sayang yang mulai muncul secara kuat pada Sakura membuat Naruto semakin pening. Jika kakeknya meminta Naruto untuk menjaga Sakura tanpa adanya embel-embel pernikahan, mungkin semuanya tidak akan terasa seperti ini.

"Bos?"panggil Shikamaru. Pria itu berusaha menarik perhatian Naruto pada proposal pengadaan yang baru saja dikirim staff divisi umum. Tapi sepertinya pria kuning itu lebih nyaman dengan lamunannya.

"Bos! Ada gadis kecilmu datang!"pekik Shikamaru yang langsung membuat Naruto duduk terkejut. Oh, jangan bilang...

""Dimana dia?"

"Di apartemen tentu saja. Bos yang menghiraukanku dari tadi."keluh pria nanas itu.

"Don't you dare..."

"Tidak berniat berbohong. Bos yang mengabaikan proposal ini. Aku bahkan belum menunjukkan laporan dari divisi keuangan. Tapi sepertinya hal itu belum bisa mendapatkan respon yang sesuai."

Naruto merapalkan sumpah serapahnya. Ingatkan dia untuk memukul kepala nanas ini nanti. Sekalipun menjabat sebagai bos, Shikamaru tidak memiliki kecemasan apapun. Bahkan kekhawatiran akan dipecatpun tidak ada. Dia amat yakin semarah apapun Naruto hal itu tidak akan memecatnya karena bagaimanapun Naruto membutuhkan orang yang rasional dalam bekerja. Dan Shikamaru bisa memberikan hal itu sejauh ini.

"Ada setujui untuk perbaikan sarana di lantai 2. Untuk pengajuan barang, ada beberapa item yang belum dirinci. Tolong sampaikan dulu ke bagian sarana prasarana untuk memperbaiki proposalnya dan kutunggu di meja paling lambat besok siang setelah jam makan siang selesai."intruksi Naruto setelah membaca sekilas proposal di tangannya.

"Baik. Untuk bagaian keuangan?"

"Akan kucek di rumah."

"Aih... Baiklah. Akan kurinci apa saja yang harus kau lakukan besok." Shikamaru mencatat segala intruksi itu dengan cepat dan mengulurkan sejumlah dokumen yang perlu ditandatangani oleh Naruto. "Kau terlihat tidak baik, Bos."

"Aku bingung."

"Apalagi yang masih kau bingungkan, Bos?"

"Aku masih sangat mencintai Mariko."

Shikamaru mengangkat sebelah alisnya dan mendengus sebal. Dia tidak yakin dengan perkataan itu karena dalam beberapa kesempatan pria pirang itu akan marah jika seseorang mencoba membicarakan gadis kecilnya dengan cara yang tidak disukainya.

"Jangan macam-macam, Naruto. Kau sudah menikah."peringat Shikamaru dengan wajah tegas. Mempermainkan pernikahan adalah perbuatan paling buruk dan hina.

"Bukan pernikahan resmi."

"Baiklah. Kalau begitu lepaskan saja dia dan biarkan aku yang merawatnya."

"HEI!"pekik Naruto tak suka. Tangan pria itu sudah terkepal dan Shikamaru hanya memutar bola matanya jengah.

"Lalu apa? Kau akan membiarkannya berada di posisi sebagai orang yang tidak diinginkan? Kalau memang mencintai Mariko, lepaskan Sakura dan biarkan siapapun merawatnya. Kalau kau tidak suka aku merawatnya biarkan Me..."

"Kau atau siapapun tidak akan kubiarkan merawatnya!"

Shikamaru terkekeh prihatin dan menatap mata sahabatnya itu lekat. "Dengan begini kau masih mengatakan kalau kau masih mencintai Mariko secara penuh? Kau waras? Kau bahkan tidak merelakan suapapun merawatnya selain kau sendiri."

"Kau laki-laki!"

"Dan apa kebetulan kau juga bukan laki-laki?"

"Aku suaminya!"

"Bukan suami resmi!"

"Dia istriku, nanas!"

"Kalau begitu perlakukan dengan benar. Tutup masa lalumu bersama Mariko dan mulai hubungan yang benar bersama istrimu. Kau tidak bisa mendapatkan dua-duanya karena itu akan menyakiti salah satunya."nasehat Shikamaru sebelum beranjak meninggalkan ruangan Naruto.

"Ah satu lagi." Shikamaru berbalik dan tersenyum tipis. "Aku menganggapnya sebagai adik. Dan kalau memang kau kelelahan mengurusnya dan memilih mengejar Mariko kembali, aku akan menjaganya sampai dia menemukan laki-laki yang bisa menjadi sandaran hidup baginya."

Blam!

Pintu ruangan tertutup. Namun perasaan jengkel dan sebal menguasai Naruto dengan hebatnya. Bagus sekali nanas. Kau bahkan sudah membangunkan singa yang tengah tertidur. Tidak ada satupun yang diizinkan Naruto menyentuh ujung kuku Sakura. Siapun!

.

000

.

"Ya Tuhan... Ini benar-benar menjengkelkan."keluh Shion setelah entah keberapa kalinya mencoba membuat Sakura 'tersadar' dari lamunannya. Dalam diam, dia merutuki apapun yang telah memisahkan Sakura dengan dunia nyata.

"Sakura! Wake up!"seru Karin sembari menggoncang bahu gadis merah muda itu.

Usaha Karin berhasil. Sakura tersentak dari lamunannya dan menatap teman-teman yang berkumpul di hadapannya dengan tatapan tidak mengerti.

"Apa?"tanya Sakura bingung.

"Oh Demi Tuhan!" Shion mendesah jengkel.

"Kami berusaha memanggilmu tapi kau berpikir soal cinta pertamamu terus menerus."terang Pein dengan senyum jenaka tanpa beban

Blush!

Oke, pria berambut jingga itu sedikit keterlaluan dengan membahas soal cinta pertama. Tapi hei! Darimana dia tau semua yang dipikirkan Sakura? Apa pria itu paranormal? Orang yang bisa membaca segala hal yang tidak bisa dinalar manusia normal?

"Are? Tebakanku benar lagi?"tanya Pein dengan geli.

Ino hanya terkekeh melihat tingkah teman barunya itu. Dia sangat paham bagaimana rasanya ada di posisi itu. Cinta pertama memang membuat segalanya menjadi jauh lebih indah. Dan menyenangkan. Oh katakanlah seperti itu karena Ino tidak tau harus mendeskripsikan bagaimana soal cinta.

"Bu.. Bu..." Sakura tergagap dan tidak sengaja melihat Hinata lewat dengan tumpukan tugas yang akan diantarkannya menuju ruang guru.

"Hinata... Boleh kubantu?"tanya Sakura.

"E... Etto... Ini berat."

"Tidak apa-apa. Percayalah."

Hinata hanya mengangguk gugup dan membiarkan sebagian beban beralih kepada siswa baru di sekolahnya itu. Diam-diam, Hinata menyempatkan melirik Sasuke yang terus memandangi Sakura. Seolah mengikuti apa saja yang dilakukan Sakura.

Gadis yang beruntung. Gumam Hinata dalam hati sembari tersenyum sedih. Entah dengan cara apa dia menunjukkan bahwa dia menyukai Sasuke. Tapi dengan dirinya yang selalu menjadi wallflower seperti saat ini, mungkinkah?

.

000

.

Naruto membelalakkan kedua matanya tidak percaya ketika mendapati gadis yang dicintainya berdiri disana. Di depan pintu kantornya dan tersenyum. Segala penat dan kebingungan yang dirasakan oleh Naruto seolah lenyap tak bersisa.

"Mariko?"panggil Naruto tak percaya.

"Kau terlihat terkejut melihatku. Kau tidak rindu?"rajuk Mariko.

Naruto membentangkan kedua tangannya dan langsung melangkah memeluk Mariko. "Aku sangat merindukanmu. Aku pria bodoh yang susah sekali memikirkan hal lain selain kepulanganmu. Kenapa butuh lama sekali, hm?"tanya Naruto.

"Ada banyak hal. Aku senang bukan aku saja yang merindukan disini."

Mariko mengecup dagu Naruto mesra dan mengelus kepala pirang pria itu. Naruto terkekeh dan membimbing Mariko duduk di atas sofa ruang kerjanya.

"Kenapa tiba-tiba kemari?"tanya Naruto.

"Aku ingin membawakan berita yang pasti akan membuatmu senang."

"Benarkah? Apa itu?"

Mariko mengecup bibir Naruto sekilas dan menatap pria itu dengan binar bahagia. "Papa bertanya kapan kau ke rumah untuk membahas masalah pernikahan kita. Kau senang? Penantian kita akan selesai."

Deg!

Naruto memucat. Berusaha memahami tiap kata yang telah dikeluarkan gadis yang ia cintai itu dengan sangat teliti. Menikah? Tapi...

"Naruto? Kau tidak senang mendengarnya?"tebak Mariko dengan cemas.

"E... Etto... aku hanya terkejut."

"Kau tidak terlihat sehat? Apa kau baik-baik saja?"

"Aku baik. Jangan terlalu cemas."

Pening membuat Naruto semakin tidak bisa berpikir. Tiba-tiba saja dia teringat kalimat yang dikatakan si nanas tempo hari perihal percintaannya.

"Jangan macam-macam, Naruto. Kau sudah menikah."

Sial!

Mengingatnya saja membuat Naruto sebal. Kenapa sih dia harus menikah di saat yang tidak tepat dan bukan dengan wanita yang dia pilih? Sekarang Mariko-nya sudah datang. Apalagi yang akan dibutuhkan oleh Naruto setelah ini? Jawabannya, tidak ada! Dia harus mempertegas soal hubungan antara dirinya dengan Sakura. Secepatnya.

.

000

.

Sakura sudah diperingatkan agar tidak berlebihan menanggapi cinta pertama. Tapi apa salahnya? Toh tidak berlebihan jika dia menyukai suaminya sendiri. Hukum dari belahan dunia manapun tidak akan menyalahkan Sakura. Mereka sudah terikat. Setidaknya secara agama. Dan Sakura cukup legal jika dia bersikap egois dengan memiliki Naruto untuk dirinya.

Ah! Dia bahkan belum menanyakan apakah Naruto bersedia dia miliki. Tapi itu nanti. Sakura bahkan belum lulus SMA. Mereka mungkin dapat berbicara serius perihal pernikahan mereka jika Sakura sudah lulus.

Pintu terbuka. Naruto masuk dengan ekspresi datar seolah tidak ada siapapun yang menunggunya di depan pintu. Sakura segera mengekori Naruto dan meminta tas kerja pria itu. Tapi Naruto menahannya.

"Hentikan."ujar pria itu dingin.

"Naruto-nii..."

"Aku lelah dan biarkan aku sendiri."

Sakura menggigit ujung bibirnya. Sakit. Darah bahkan keluar dari sudut bibirnya karena saking kuatnya dia menggigit bibirnya. Sikap dingin yang tidak biasa ini membuat dadanya berdenyut nyeri. Apa dia melakukan kesalahan hingga Naruto bersikap seperti ini?

"A... Aku..."

"Jangan membuatku mengatakan hal yang akan kau sesali, Sakura!"

Pria pirang itu melenggang tanpa menoleh. Setelah semua sikap manis yang dilakukan Naruto beberapa belakangan ini, kenapa harus sikap dingin yang dihadirkan pria itu?

"Apa selelah itu hingga dia bahkan tidak menanyakan makan malam?"bisik Sakura lirih. Seleranya untuk makan seolah lenyap. Padahal dia sengaja menunggu Naruto pulang hingga pukul 11 malam.

Perutnya terasa melilit nyeri. Namun Sakura hanya bisa berdiri mematung tanpa ada keinginan untuk makan. Mungkin ketika menyongsong pagi esok, Naruto akan kembali tersenyum ceria padanya. Menggoda Sakura hingga kedua pipi gadis itu memerah. Seperti setiap pagi yang mereka lalui beberapa minggu ini.

.

.

.

Sakura kembali harus menelan pil kecewa ketika pagi menjelang Naruto sudah pergi. Bahkan makan malam yang disiapkan Sakura semalam masih utuh di dalam mangkuk-mangkuk dan hanya ditutupi oleh plastick wrap. Semua makanan sudah tidak layak makan.

Gadis itu tertegun. Menangis pun percuma. Dia sendiri tidak tau apa yang salah hingga Naruto besikap demikian. Kemarin semua seharusnya baik-baik saja. Seharusnya Naruto tersenyum dan makan malam bersama. Bukannya pulang dengan larut dan menimbulkan kekecewaan yang besar dalam dirinya.

Dengan terisak, Sakura membawa mangkuk-mangkuk itu ke tempat sampah. Membuangnya dengan tangis yang mengiringi kegiatannya. Dia tidak suka membuang makanan. Ibu dan Ayahnya tidak pernah mengajarkannya untuk melakukan itu. Mereka selalu memasak dengan jumlah yang pas agar tidak ada yang tersisa. Karena makanan sangat berharga bagi orang yang kelaparan. Tapi kali ini Sakura harus melakukannya. Makanan itu tidak bisa ia makan.

Sakura memberesi sisa mangkuk itu dan mencucinya. Tanpa sarapan, Sakura segera mandi dan mengganti pakaiannya dengan seragam. Dia harus sekolah. Sekalipun kali ini rasanya lebih baik Sakura tidak meninggalkan apartemen hingga Naruto mau berdamai dengannya.

.

.

.

Shion mengerutkan alisnya bingung. Jika kemarin Sakura terlihat melamun tapi wajahnya begitu bahagia, kali ini gadis itu harus melamun dengan raut yang begitu sedih. Seolah apa yang membuatnya senang minggu lalu hanyalah sebuah kamuflase. Dia bahkan tidak menghiraukan bagaimana tingkah Karin dan Pein yang mengganggunya atau tatapan penuh tanya dari Sasuke. Sakura diam.

Shion berusaha mengguncang bahu gadis itu tapi Sakura hanya menatapnya datar seolah apa yang terjadi pada dirinya jauh lebih mengguncang dari pekikan Shion yang mampu membuat banyak siswa menutup telinganya rapat-rapat.

Sakura terlihat amat pucat. Seolah segala rona tertarik dari wajahnya. Yang Shion khawatirkan adalah bila terjadi sesuatu, dia tidak tau pada siapa dia akan meminta bantuan. Menghubungi keluarag Sakura yang mana. Sedangkan gadis itu tidak pernah bercerita apapun tentang kehidupannya.

Dan benar saja seperti apa yang Shion takutkan. Tak lama setelah jam pelajaran ke 4 berakhir, Sakura yang hendak berjalan entah kemana jatuh ambruk tepat di hadapan Shion. Gadis itu langsung tak sadarkan diri.

Shion panik. Ino pun demikian. Sasuke yang kebetulan saat itu ada di depan ruang kelas Shion ikut menghampiri pekikan Shion dan Ino.

"Bagaimana ini?"tanya Shion bingung.

"Bawa ke ruang UKS saja dulu. Disana kita bis ameendapatkan bantuan."saran Ino.

Tanpa pikir panjang, Sasuke mengangkat tubuh Sakura yang di luar sangkaan Sasuke, amat sangat ringan. Sakura seperti tidak makan berhari-hari. Jelas sekali gadis itu tidak memiliki berat yang ideal seperti seharusnya gadis dengan tinggi yang sama dengan dirinya.

"Sensei, tolong bantu kami."ujar Ino ketika sampai ke dalam UKS. Dokter yang berjaga langsung menyediakan tempat dan menaanyakan apa yang terjadi.

Tekanan darah, nadi, suhu langsung diperiksa. Dan seluruh hasilnya menunjukkan bahwa gadis yang tengah berbaring ini dalam kondisi yang kurang baik.

"Apa dia sudah sarapan tadi pagi?"

"Kami tidak tau, Sensei."

"Dia sangat lemas. Akan kujaga dia sampai jam sekolah kalian berakhir. Jangan tinggalkan pelajaran. Nanti setelah bangun aku akan memberinya makan."

"Tapi, Sensei..."protes Shion.

"Kembali ke kelas, Namikaze, Uchiha. Kalian bisa kembali kemari setelah jam sekolah selesai. Masih ada 2 jam lagi. Jangan membantah."

Ino, Shion, dan Sasuke berbalik patuh. Berjalan menuju kelas masing-masing dengan raut yang sama khawatirnya. Tapi satu lagi yang mengganjal. Setelah ini apa Sakura mau jika mereka semua mengantarkannya? Sementara Sakura sangat tertutup dan berkali-kali menolak kunjungan teman-temannya.

Siapa dan ada apa dengan Haruno Sakura sebenarnya?

.

000

.

Shikamaru sebal. Ingin sekali pria nanas itu menumpahkan kopi panas di atas kepala Naruto. Seharusnya pria itu mengerti batasan seorang pria ketika dia sudah menikah. Bukannya merasa bebas dan memutuskan berdua saja di ruangan selama entah berapa lama bersama Mariko. Shikamaru tidak pernah membenci Mariko. Tapi ada sesuatu yang tidak tepat ketika melihat kehadiran gadis itu. Seolah akan ada hal buruk yang terjadi.

Pria nanas itu menatap ponselnya yang tiba-tiba bergetar. Dan lebih terbelalak lagi ketika melihat siapa yang memanggilnya saat ini. Ketua Yayasan sekolah tempat Ino belajar. Well, Shikamaru tau dalam kasus ini tidak mungkin orang dari yayasan itu menelponnya karena Ino. Pasti orang itu menelponnya karena hal lain. Bagaimana jika itu berhubungan dengan... Sakura?

"Moshi-moshi."sapa Shikamaru.

"Nara Shikamaru?"

"Jangan berbelit-belit, Itachi. Aku tau kau sedang ingin memberitahukanku sesuatu. Apa itu?"

Dari seberang telpon, terdengar suara helaan nafas panjang. "Aku tau ini rahasia. Bahkan aku tidak memberitahukan adikku yang super bawel itu. Tapi aku jadi bertanya-tanya kenapa kau dimasukkan sebagai Wali dari Haruno Sakura? Kau kan tidak punya saudara."

Ding! Dong!

Tepat sekali. Tebakan Shikamaru tidak pernah meleset. Dan Shikamaru sudah tau pasti terjadi sesuatu dengan Sakura hingga Itachi menelponnya.

"Ada dengan gadis itu, Itachi?"

"Dia pingsan. Saat ini sedang ada di UKS. Kau tau kan ini tidak biasa? Bahkan Yugao yang sedang berjaga disana terlihat begitu penasaran. Tidak ada catatan perwalian di buku yang dia pegang. Tapi aku ketua yayasan. Jelas saja formulir pendaftarannya ada padaku. Yang aku tanyakan saat ini adalah... kenapa? Dan siapa gadis ini?"

"Dia tanggung jawabku. Sampai disana saja kesempatanmu tau danjangan sampai kalimat ini menyebar hingga ke semua orang atau aku sendiri yang akan membuat perhitungan denganmu. Aku akan ke sekolahnya setelah ini."

"Ya! Kenapa kau tidak sopan? Aku ini berusaha bertanya dengan baik-baik."

"Ceritanya panjang dan aku tidak ingin membaginya bahkan denganmu."

Shikamaru langsung mematikan ponsel dan berjalan menuju kantor Naruto. Tapi sial! Matanya benar-benar perlu disucikan ketika melihat adegan Naruto dan Mariko berciuman. Oke, setidaknya mereka masih memakai pakaian lengkap. Tapi tetap saja ini menjijikkan!

Shikamaru berlari dan menarik Naruto kasar. Tak lupa ada bogem mentah yang dilayangkan disana. Dia tidak peduli Naruto bosnya. Toh sekalipun tanpa resume dari perusahaan ini masih banyak perusahaan yang menampung dirinya. Dia jenius dan seluruh Jepang tau itu.

"Brengsek! Kalau kau tidak mampu mengemban tanggung jawab biarkan aku saja yang menanggungnya! Bukan melakukan hal menjijikkan seperti ini di depan mataku! Sialan!"

"Shit! Apa yang kau lakukan nanas?!"

"Brengsek!"

Buagh!

Entah sudah berapa kali Shikamaru memukul Naruto. Namun rasanya masih belum puas juga. Naruto membalas dan membuat lebam di wajah Shikamaru juga. Tapi pria itu tidak peduli. Penampilannya tidak perlu dibetulkan toh dia tidak tertarik dengan wanita manapun kecuali Ino. Jadi tidak ada hal yang perlu ia khawatirkan.

"Dia pingsan. Kau tau apa artinya itu? Sekali lagi aku tau ada yang terjadi padanya aku akan membawanya pergi jauh darimu."tukas Shikamaru.

Dan...

BLAM!

Mariko yang shock langsung menghampiri Naruto dan membantunya berdiri. Gadis itu merapikan penampilan Naruto dan mengambil obat di kotak obat yang selalu tersedia di ruangan Naruto. Dengan perlahan dan sangat lembut, Mariko mengobati luka itu.

"Apa yang sebenarnya terjadi dengan Shikamaru? Dia sahabatmu kan? Kenapa dia tiba-tiba melakukan ini?"

Naruto bungkam manakala pertanyaan itu meluncur dengan indah dari bibir wanita yang dia cintai. Sial! Hatinya saat ini panas membara ketika membayangkan Shikamaru membawa Sakura. Apapun bentuk hubungannya sekarang dengan gadis itu, Sakura miliknya! Istrinya! Brengsek sekali jika Shikamaru ingin mengakuisisi kepemilikan Sakura dari dirinya.

"Naruto..."panggil Mariko lagi.

"Dia sudah melewati batas. Nanas itu."

.

000

.

Kedatangan Shikamaru dengan wajah penuh lebam jelas menjadi pertanyaan di benak Yugao. Shikamaru adalah pria yang tenang dan sangat anti dengan kekerasan kecuali untuk melindungi dirinya. Tapi kali ini, Yugao harus mengakui jika penampilan Shikamaru yang tidak biasa menunjukkan ada sesuatu.

"Haruno Sakura. Bagaimana kondisinya?"tanya Shikamaru dengan dingin.

"E... Etto... Apa maksudmu?"

Tanpa menunggu penjelasan, Shikamaru menerobos UKS dan mendapati Sakura yang tengah melamun menatap jendela. Di depannya ada bubur ayam dan segelas jeruk dingin yang belum dijamah gadis itu. Naruto sialan! Apa yang dia lakukan di rumah hingga Sakura menjadi seperti ini?

"Hei, gadis kecil. Kenapa tidak dimakan?"tanya Shikamaru selembut mungkin. Dia tidak tau bagaimana cara memperlakukan gadis. Bahkan selama kuliah dia tidak pernah berkencan karena cintanya sudah dikunci Ino bahkan semenjak gadis itu berusia 8 tahun. Luar biasa bukan?

"Shi... Shikamaru-san..."

Sakura langsung memeluknya dan menangis. Gadis itu tidak tau kepada siapa dia harus menumpahkan kegelisahan. Sementara mengatakannya pada Shion dan Ino jelas kesalahan karena mereka berdua adalah keluarga Naruto. Sakura sendiri tidak tau bagaimana cara menghubungi keluarganya karena ponselnya rusak ketika kecelakaan.

"Makanlah. Kau terlihat berantakan."ujar Shikamaru lembut sembari mengurai pelukan Sakura, "Mau kubantu?"tawar pria itu ketika melihat Sakura kesulitan mengangkat sendoknya saking lemasnya.

"Berapa lama kau tidak makan sampai seperti ini?"

"2 hari? Aku lupa..."

"Astaga! Kenapa kau lakukan itu? Apa dia melakukan sesuatu terhadapmu?"

Sakura menggeleng kuat-kuat sembari tetap menangis. Shikamaru terus menjejalkan makanan ke mulutnya dengan sesekali menyeka air mata Sakura.

"Aku sudah pernah mengatakan kalau kau selalu bisa menghubungiku kan?"tanya Shikamaru lagi.

Mereka berdua terus dalam posisi itu dan tidak menyadari Ino yang terpaku di pintu ruang UKS. Bersama dengan Shion dan Sasuke. Mereka bertiga melihat bagaimana dalamnya interaksi itu dan jelas membuat Ino terduduk lemas. Dia mencintai Shikamaru. Lebih banyak dari yang dia pahami dalam tubuh remajanya. Tapi...

"Shi...Shikamaru-nii..."bisik Ino yang langsung membuat Shikamaru dan Sakura menoleh.

Mengumpatpun percuma. Berusaha menjelaskan pun tak mungkin. Shikamaru hanya bis amenatap kosong ke arah Ino dengan tatapan penuh maaf. Memang ada konsekuensi yang harus ia bayar. Untuk melindungi Sakura, dia harus siap berpisah dengan Ino. Toh dia tidak pernah memulai hubungan apapun dengan gadis ponytail itu. Sekalipun rasa cinta menyeruak dan memaksanya untuk menjelaskan. Tapi saat ini... Untuk saat ini... Dia ingin membantu gadis cilik yang terjebak dalam kisah cinta yang terlena dengan nostalgia sesaat pria pirang yang sialnya adalah sahabatnya.

"I... Ino... Ini tidak seperti..." Sakura tergagap dengan wajah yang semakin memucat. Namun Ino seolah menulikan pendengarannya. Gadis itu berbalik keluar dari ruang UKS. Bahkan dia melupakan tasnya yang terjatuh di dekat pintu.

Shion hanya bungkam. Tapi gadis itu tidak pergi. Dia terus saja masuk dan duduk di samping Sakura. Membuat gadis berambut merah jambu itu menangi sesenggukan.

"Hei... Sudahlah... Aku tau kau pasti punya penjelasan. Untuk saat ini kau makan saja dulu bagaimana?"hibur Shion yang dibalas dengan raungan tangis Sakura yang semakin keras. Segala sesak yang menghantuinya membuat tangis itu seolah tanpa jeda.

.

000

.

Shikamaru tidak mengatakan apapun. Sekalipun Shion berusaha 'memaksanya' dengan berbagai macam cara. Bukan dia yang seharusnya menjelaskan. Ini semua adalah kapasitas Naruto yang merupakan pemeran utama dari drama ciptaannya sendiri. Shikamaru jelas orang luar yang hanya ingin membantu.

Pria nanas itu bahkan tidak peduli dengan ancaman-ancaman Shion dan memaksa mengantarkan Shion pulang dengan ancaman bahwa jika Shion atau Sasuk berani mengikutinya, Shikamaru akan memanggil polisi dengan tuduhan mereka berdua mencampuri urusan pribadi Sakura dan Shikamaru.

Shion dan Sasuke memilih menyerah. Sekalipun dalam benak mereka masih banyak sekali pertanyaan. Tapi Shikamaru terlalu kokoh untuk dirobohkan pendiriannya.

"Kau bisa menghubungiku. Selalu."ujar Shikamaru ketika selesai mengantar Sakura di depan pintu apartemen.

"Terima kasih untuk hari ini."

"Anytime."

"Ano... Shikamaru-san... apa baik-baik saja kalau hubunganmu dan Ino..."

"Dia cukup dewasa di dalam usianya, Sakura. Dia hanya butuh waktu berpikir. Tapi kalau dia menyerah dengan cintanya, entahlah. Aku tidak ingin memikirkan itu. Ada konsekuensi yang harus kubayar ketika sudah memutuskan membantumu. Aku masih bisa membangun hubungan dengannya lagi, mungkin."

"Benar-benar terima kasih."

"Anggap aku kakakmu."

"Ba... Baik."

Shikamaru berlalu dari depan pintu apartemen menuju parkiran. Hatinya gelisah, itu benar. Tapi cinta tak melulu soal kebersamaan kan? Shikamaru akan tetap berjuang untuk cinta Ino. Tapi untuk kali ini.. biarkan semua begini dulu.

.

.

.

Sakura memaksakan diri meminum coklat hangat untuk mengusir sedih di dalam hatinya. Matanya tidak mengantuk namun tubuhnya benar-benar lelah. Sikap diam dan tidak peduli Naruto jelas berbeda bagi Sakura mengingat kebersamaan yang mereka lalui sudah sangat luar biasa.

Rindu itu pasti. Bahkan Sakura merasakan adanya kebutuhan untuk bertemu pria itu, menyentuhnya, mendengar candaan darinya, melihat Naruto menikmati makanan yang ia buat. Tapi semua yang terjadi itu seolah mimpi.

Sakura memejamkan mata. Otaknya berpikir namun tubuhnya terbaring meringkuk dalam sofa. Gadis itu bahkan tidak menyadari Naruto sudah kembali ke rumah dan saat ini tengah menatap Sakura yang meringkuk dengan sesekali mengeluarkan air mata. Sekalipun mata gadis itu terpejam.

"Baby girl."sapa Naruto pelan. Sakura langsung membuka mata dan melompat memeluk Naruto. Rasanya sudah terlalu lama panggilan itu tidak muncul dari bibir suaminya.

"A... Jangan... Begini Naruto-nii. Aku tidak tau apa kesalahanku. Tapi jangan begini."pinta Sakura dalam isak. Naruto mengelus rambut gadis itu dan memeluknya erat. Sesekali menghidu aroma cherry blossom dari tubuh gadis itu. Ya Tuhan! Kapan terakhir kalinya dia bisa sedekat ini dengan Sakura?

"Maaf. Aku..."

Sakura terus diam dan memeluk Naruto erat seolah jika dia melepaskannya, Sakura akan kehilangan Naruto untuk selamanya. Sakura tidak ingin itu. Dia tidak ingin melepas tangan Naruto apapun yang terjadi.

Naruto menggendong gadis itu dan meletakkannya di kasur dengan posisi masih berpelukan. Gadis itu terisak dan terus menenggelamkan wajah di dalam dada Naruto tanpa peduli.

"Hei... Kau sudah makan malam kan Sakura? Aku dengar dari Shikamaru kau pingsan. Kita makan dulu dan aku juga perlu berganti pakaian. Hm?"tawar Naruto.

Sakura mengangguk dan membiarkan Naruto hilang sesaat dari pandangannya. Sekalipun gelisah akan ditinggalkan, Sakura harus bersikap tenang dan memberikan waktu pada Naruto. Dia tidak ingin pria itu kembali dingin. Tidak lagi.

.

.

.

Naruto makan dengan memandangi wajah istri kecilnya. Istri... entah kenapa beberapa hari ini kata 'istri' menjadi bias di hatinya. Bagaimana dengan masa depan cintanya dengan Mariko? Bagaimana dengan takdir yang telah membawanya pada pernikahan dengan bocah ini? Sekalipun Naruto tidak tau apakah hal itu bisa disebut dengan pernikahan. Mereka hanya dinikahkan secara agama. Apa itu cukup untuk membawa semua ini menjadi jelas? Apakah Naruto perlu melangkah lebih jauh dengan membawa pernikahan ini menjadi sah secara hukum dan melupakan Mariko?

"Kau tidak ingin mengatakan sesuatu?"tanya Naruto.

Sakura menggelengkan kepalanya dan kembali menunduk. Makanan yang akan ditelan olehnya serasa berhenti di kerongkongan. Dia tidak ingin kembali ke masa dimana mereka seperti orang asing di rumah.

"Kalau kita sudah selesai makan, aku ingin membicarakan sesuatu."ujar Naruto.

Keheningan terjadi hingga mangkuk makanan mereka kosong. Naruto segera membawanya ke dapur dan mencucinya. Ketika kembali ke kamar Sakura, pria itu mendapati Sakura yang meringkuk. Terlihat tidak ingin berbicara.

"Hei, baby girl."

Gadis itu mendongak dan menatap lekat Naruto dengan mata yang berkaca-kaca. Naruto langsung merasakan nyeri di hatinya. Didekatinya gadis itu dan ikut berbaring di sampingnya. Naruto meletakkan kepala Sakura di lengannya dan mendekap gadis itu hingga getar di tubuh Sakura terhenti.

"Aku harus hidup jauh dari keluargaku. Aku tidak pernah datang ke Tokyo sebelumnya. Aku hanya pernah bertemu dengan Kakek Jiraiya sebentar. Aku berharap mendapatkan perlindungan dengan mengikutinya. Kami mengalami kecelakaan. Kakek Jiraiya pergi dan menikahkanku dengan Naruto-nii. Aku tidak memiliki siapapun untuk bertumpu kecuali Naruto-nii. Kumohon jangan lakukan hal itu lagi. Menjauhiku. Aku benar-benar ketakutan."isak Sakura.

Naruto mengelus rambut Sakura dan membiarkan Sakura mencengkram kausnya dengan erat. Bahkan melukai kulit dada Naruto. Pria itu cukup yakin apa yang dirasakan Sakura lebih nyeri dari ini.

"Maafkan aku. Tapi Sakura... Aku harus mengatakan ini. Aku tidak ingin kau mendengarnya dari orang lain."

Sakura menatap suaminya lekat. Menunggu Naruto berbicara.

"Aku jatuh cinta dengan seorang wanita. Sudah lama sekali perasaan itu ada di sini."Naruto membawa tangan Sakura pada dada sebelah kirinya. "Tiba-tiba wanita itu menghilang tanpa kabar. Aku mencarinya. Dan aku tidak bodoh dengan tidak mengakui bahwa kesan dan rasa yang ditinggalkan wanita itu begitu kuat. Aku tidak pernah jatuh cinta sedalam itu, Sakura. Namanya Mariko. Apa kau tau apa yang membuatku menjauhimu? Aku kebingungan. Gadis itu kembali lagi. Rasa cinta itu menyeruak lagi di dalam dadaku. Membuatku tidak bisa berkutik. Kenangan yang kami miliki tidak ada satupun yang buruk. Dan kami ingin merajutnya kembali. Hanya saja saat ini tidak akan semudah itu. Aku memilikimu untuk kujaga."

Air mata tumpah ruah di pipi Sakura. Gadis itu tidak tau harus mengatakan apa.

"Aku hanya sedang berpikir pernikahan kita sejak awal adalah kesalahan."

Kedua mata Sakura terbelalak. Menatap lekat Naruto. Ada kesakitan yang tergambar di kedua mata Naruto karena tidak bisa bersama wanita yang ia cintai. Tapi bagaimana dengan hati Sakura yang sudah mulai mencintai suaminya?

Kami-sama... Apa yang harus kami lakukan?

.

.

.

.

TBC

.

.

.

.

.

Ola minna. Apa kabar? Ini update yang Chiyo janjikan. Semoga suka dengan ceritanya.

Jangan lupa selalu kasih dukungan kalian dengan cara follow, fav, dan beri review kalian sebanyak-banyaknya. Oke?

Jaa matta ne minna. :)