PROLOG

Aku berjalan pelan di jalanan Tokyo yang dingin. Sekarang bahkan belum agustus. Mungkinkah musim dingin tahun ini datang lebih cepat. Aku memepercepat langkahku, ingin cepat-cepat sampai di tujuanku. Aku melirik jam tangan di lengan kiriku. Sudah 30 menit berlalu dari pukul 11 malam, tapi tetap saja Tokyo adalah kota yang tak pernah tidur. Keramaiannya tetap saja membuatku tak pernah terbiasa. Mungkin kalau kalian bilang aku memiliki phobia pada keramaian, maka itu terlalu berlebihan untuku. Aku hanya tidak terlalu nyaman berada di tengah-tengahnya. Hey, bukan aku yang tidak bisa menyatu dengan mereka, merekalah yang tidak sesuai dengan diriku.

Aku baru saja pulang dari kerja paruh waktuku. Aku bekerja di perpustakaan kota. Mungkin kalian bertanya, ada apa dengan "bekerja adalah kekalahan" yang dulu sering ku ucapkan. Tapi mau bagaimana lagi, aku tidak mau terlalu merepotkan orang tuaku. Bagaimanapun mereka yang membayar apartemenku, sebagai hadiah karena mendapat beasiswa di Universitas Tokyo. Oh ayolah. Kau tahu, aku bisa melakukan apapun yang kumau jika aku serius, jadi berhentilah meremehkanku. Karena itulah, aku harus melakukan hal yang sangat tidak ingin kulakukan, yaitu bekerja. Selain itu, ada alasan lain yang sepertinya tidak bisa aku jelaskan. Biarlah kalian temukan sendiri nanti.

Seperti yang kalian tahu, aku sekarang adalah seorang mahasiswa di Universitas Tokyo. Aku diterima di jurusan Sastra Modern. Hiratsuka-sensei bahkan sampai tidak bisa berkata apa-apa saking terkejutnya mengetahui aku diterima di sana. Belum lagi aku mendapatkan beasiswa di sana. Selain Hiratsuka-sensei, hal serupa juga terkadi pada dua gadis mantan anggota klub relawan. Yukinoshita bahkan hampir menumpahkan teh yang sedang ia tuangkan ke gelas kami. Separah itukah ekspektasi kalian kepadaku? Itu melukai hatiku, kau tahu?

Ngomong-ngomong tentang klub, karena semua anggotanya adalah kelas 12, maka sejak semester kedua kegiatan ditiadakan. Akibatnya aku hampir tidak pernah bertemu Yukinoshita dan Yuigahama. Apalagi setelah naik kelas, aku dan Yuigahama berada di kelas yang berbeda. Aku, anehnya merasa kesepian karena hal itu. Bahkan aku kadang-kadang merindukan lidah tajam Yukinoshita. Hey, jangan-jangan aku sudah jadi seorang M. Aku yang dulu mungkin tidak akan pernah menduga hal itu. Mungkin aku perlu berterima kasih pada Hiratsuka-sensei. Karena kalau ia tidak menyeretku ke ruang klub itu, aku mungkin akan selalu menjadi penyendiri suram yang dianggap seperti udara oleh teman sekelasku. Tunggu dulu, sepertinya Hiratsuka-sensei lebih membutuhkan suami daripada terima kasih dariku. Aku mohon, seseorang cepatlah lamar dia! Kalau tidak, aku akan melamarnya, dan ditolak saat itu juga.

Aku telah sampai di depan pintu apartemenku, yang telah aku tempati sejak memutuskan untuk hidup mandiri. Apartemen yang cukup besar. Aku memasukan kunci ke lubangnya kemudian memutarnya. Aku masuk lalu membuka sepatuku. Udara hangat menyambutku. Sudah kuduga, apartemenku adalah tempat terbaik, setelah rumahku tentu saja. Rumah dengan Komachi di dalamnya. Harus kuakui, hal terberat bagiku saat tinggal sendiri adalah berpisah dengan Komachi. Haaahh. Aku merindukan adik permpuanku. Aku harap ia tidak dekat-dekat dengan si serangga itu, adik laki-laki dari Kawa-entahlah itu.

"Tadaima"

Mungkin kalian bingung, mengapa aku perlu mengucapkan salam kalau aku tinggal. Tapi yah, meskipun tadi aku bilang hidup mandiri, aku tidak benar-benar tinggal sendiri. Aku tinggal satu apartemen dengan-

"Okaeri, Hikio"

-dia.